Laôt. Langèt. Ladat.
Meusya-é meusyén, sunurat haba lumpöe.
Asai hana meunèe, jak hana meuhöe—
Nanggröe hana meupat.
Berbagi tunggul besi, tempat bertautnya tali-temali, segaris berhadap-hadapan, haluan bersua haluan, Kapal Motor Surya Indah II, GT 98, No. 462/FFe, dan Kapal Basarnas Banda Aceh 01, RB 208, bersandar pada dermaga di sayap-utara Pelabuhan Ulèe Lheue. Pagi. Beberapa menit menjelang pukul sembilan. Matahari bersinar terang; laut beriak tenang. Di Gerbang Laut Pelabuhan, dua kapal cepat, Pulo Rondo dan Express Bahari 3B, terlanggung berdampingan menunggu pemberangkatan ke Sabang.
Di atas Kapal Surya Indah II, sesosok laki-laki paruh baya, bertopi hitam, melompat naik dari geladak-utama ke atas geladak-akil. Selangkah kemudian, dia sudah berada di depan fixture penggulung tali yang terpasang di sana. Di atas kapal yang sama, sesosok laki-laki lain, tampak berusia lebih muda, dengan sepatu bot warna hijau-xanadu di kedua kakinya, bertolak meninggalkan jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal, berjalan terkindap-kindap, kotak plastik di tangan kirinya, kuas kayu di tangan kanannya.
Di buritan Kapal Basarnas, di atas landasan luncur, sebuah perahu karet berkombinasi-warna kelabu–jingga bertengger, miring, bagian paruh terikat regang oleh seutas tali yang terpaut pada tonggak pancang di tengah geladak kapal, bagian ekor menunjuk ke arah laut di belakang buritan kapal. Sebuah lagi perahu karet dari jenis yang sama telah diturunkan melaut di tepian ceruk pelabuhan. Di atas perahu karet yang disebutkan belakangan, dua orang awak kapal, sepertinya anggota tim SAR, bersiap-siap untuk memulai apa yang kemudian tampak sebagai sesi pelatihan. SAREX, mungkin. Sesi swift water response.
Dari area kompleks pelabuhan, di sisi-utaranya ini, sejalur pita-semenanjung menjulur memanjang, lepas ke arah timur-laut sekira dua ratus meter, lalu menikung, berbelok ke utara, dan berhenti tak begitu jauh dari tembereng beloknya. Sejalur pita-semenanjung secorak juga tampak menjulur memanjang dari sisi-selatan pelabuhan, lepas ke arah timur-laut sekira tiga ratus meter, menikung, berbelok ke arah barat-laut, sedikit melengkung ke kanan, lalu menjulur lepas ke utara, dan berhenti agak jauh dari tembereng beloknya. Ujung-ujung dari kedua lengan daratan ini menjadi semacam lorong-pandu keluar-dan-masuk bagi kapal-kapal yang berangkat menyamudera dan tiba berlabuh.
Lanjaran tanggul, yang terbangun dari tumpukan batu-batu, mengembarau di sepanjang garis pantai pelabuhan—hanya berjeda beberapa puluh meter saja di tengah, di Gerbang Laut Pelabuhan, tempat berjulurnya dermaga kapal-cepat.
Lanjaran tanggul-batu juga mengembarau pada kedua sisi longitudinal pita-semenanjung, mengempa dan menyangga jalur sempit di sayap-utara ini. Di tengah-tengah, di antara kedua tanggul-batu di sini, adalah hamparan membujur tanah telanjang. Berdebu, kuning kecoklatan. Dan berbanjar di tepiannya, terutama di sepanjang sisi yang lebih dekat kepada ceruk pelabuhan, rumput dan perdu liar tumbuh di sana-sini: Telau-telau kelimun dedaunan hijau di tepi hamparan laut yang menghijau: hijaunya hijau di sana, hijaunya tak-begitu-hijau di sini. Hijaunya García Lorca di mana-mana.
Verde que te quiero verde.
Verde viento. Verdes ramas.
El barco sobre la mar
y el caballo en la montaña.
Di atas tanah berdebu yang kuning kecoklatan ini, saya berjalan kaki. Plop. Plap. Plop. Plap. Kuncir-bumi berapit tanggul-batu, di penghujung Nanggröe Endatu, dengan riang menjawab kuar gawal dari telapak sandal-jepit saya. Plop. Plap. Plop. Plap. Tanah polos yang lugu kemayu, ingatkah kau, masa lalumu? Ah, Tanah. Tanah tan-“ah!” Eloquently new and abandoned to its delirious beat. Plop. Plap. Plop. Plap. Oke. Jalan terus. Ke arah timur, ke arah laut.
Nun jauh di depan, di atas bongkahan batu-batu yang menjenggul, siluet dua sosok laki-laki yang tengah berdiri menghadap “kolam” pelabuhan—dua sosok yang tampak takzim, damai, serius, penuh konsentrasi, seperti sepasang mahatma tantra merangkap jagapati lantai bursa—terlihat membayang. Tampak juga siluet dari bangun-ruang setongkrongan becak yang terparkir di belakang mereka.
Ho ho. Apakah gerangan pasal dari wujud terestrial dari penampakan astral dari itu dua “points de capiton” visual?
Dua orang pemancing, tentu saja. Pemancing ikan? Belum tentu ikan, sih. Bagaimana kita bisa yakin kalau mereka tidak pernah berniat untuk memancing udang, atau cumi-cumi, atau lumba-lumba? Dan anak kelas satu SMP pun tahu, kalau udang itu krustasea, cumi-cumi itu moluska, lumba-lumba itu mamalia—ketiganya bukan ikan. Ohoi! Kenapa juga kita harus memustahilkan kemungkinan adanya niat pada mereka untuk memancing perhatian Cut Keumala? Tapi, tunggu. Yakin, mereka itu sedang memancing? Yakin, dong. Kalau bukan memancing, lantas apa? Lagipula, joran mereka terlihat jelas, kok. Hei, itu cuma garis hitam yang mengacung lalu melandur. Bisa berarti macam-macam, lho. Es gibt keine Ordnung der Dinge a priori. Bisa berarti… alurlintas pancur pipis, misalnya. Sebentar… bagaimana merumuskannya? Hm… The parabolic trajectories of the metabolic emanation: urina praeclara caeli providentia. Nah, itu dia, kira-kira. (Meskipun, memang, sih, terlalu surealistik juga bila itu diartikan sebagai lebih dari sekadar alurlintas; yaitu, misalnya, sebagai organ artileri originator alurlintas.)
Hm. Hm, hm. Siapakah gerangan mereka? Mari kita sebut saja mereka Tuan Alpha dan Tuan Beta. Dan yang mereka lakukan? Memancing, pasti. Bukan. Pipis, lebih pasti. Bukan. Memancing, lebih past. Bukan. Pipis, lebih pas. Bukan. Memancing, lebih “pa!” Bukan. Pipis, lebih ‘p.’
Baiklah. Pipislah. Karenalah pipislah itulah baiklah.
Ajukan mereka untuk status keanggotaan di Yayasan Nakula Sadewa. Kak Seto sepertinya akan mengalami kesulitan untuk menolaknya. Ya, mereka memang tampak serupa anak kembar. Atau orang dewasa kembar. Atau manekin—bukan (barangkali tidak pernah ada manekin Nakula atau manekin Sadewa)—bukan manekin, tapi wayang, kembar. Tinggi dan postur tubuh mereka kurang-lebih sama. Hanya pose berdiri dan sudut elevasi pipis mereka saja yang berbeda. Tuan Alpha, dengan kepala tegak, punggung bagian atas agak tertekuk, bokong maju, dan sudut elevasi pipis yang terjal; Tuan Beta, dengan kepala agak tertunduk, punggung tegak, bokong sedikit mundur, dan sudut elevasi pipis yang lebih landai. Yang dan yin, mungkin. Bipolaritas uniplanar taijitu yang ditubuhpisahkan demi sebuah misi tao-te, dan yang larut dalam sebuah tirakat-komplementer wei wu wei. Barangkali. Atau kombo modalitas dialektis in re kesetimbangan kemenjadian ontologis dalam sebuah prosesi ritus pipis. Eit, eit! Akan tetapi bila itu kau katakan blak-blakan kepada mereka, Bung— O, niscaya mereka akan menghukummu dengan bengis. Laksana Scylla dan Charybdis. Ngomong-ngomong, apa, ya, yang mereka pikirkan?
Ah, entahlah. Lewatkan saja. Lebih baik lanjutkan berjalan.
Plop. Plap. Plop. Plap….
Oke. Belok kanan: dermaga.
Ujung kaki bentuk huruf ‘T’ dari platform struktur-beton dermaga, pertemuan antara dermaga dengan lengan-daratan bertanggul-batu, kini berada di depan saya. Di sepanjang sisi-kiri dan sisi-kanan dari badan bentuk huruf ‘T’ ini, bersambung dan berbelok ke sisi-bawah sayapnya, terpancang pagar-besi bercat kuning—jejeran tonggak-tonggak pipa-besi yang paruh-paruh atas tingginya dirangkum empat-empat kemudian lima-lima oleh bingkai persegi dari pipa-besi berdiameter sama. Tunggul besi di atas dermaga, yang tampak pejal dan pandak, tempat kapal-kapal tertambat, terlihat berada di ujung tempuh, tepat lurus di hadapan saya. Kepada tunggul besi ini, Kapal Surya Indah II dan Kapal Basarnas menautkan tali-temali tambatnya. Kapal Surya Indah II di sebelah kiri; Kapal Basarnas di sebelah kanan. Keduanya praktis “menghuni” seluruh rentang sayap bentuk huruf ‘T,’ bagian paling fungsional dari struktur dermaga. Dua buah sepeda motor—atau, “kereta,” orang Banda Aceh menyebutnya—terparkir di atas dermaga di dekat Kapal Surya Indah II: satu di dekat lambung kapal, satu lagi di sisi seberangnya, di dekat pagar, ditutupi lembar plastik berwarna biru. Sementara, juga di atas dermaga, di dekat Kapal Basarnas, terparkir empat buah sepeda motor (atau lima?—tak begitu jelas, dilihat dari sini) berjejer dalam arah lateral sayap bentuk huruf ‘T’ dari dermaga, menghadap ke arah yang sejajar dengan arah buritan kapal.
Daily the steamers sidle up to meet
The effusive welcome of the pier.
Lelaki bertopi hitam di atas geladak-akil Kapal Surya Indah II memutar engkol penggulung tali, berhenti, menarik ke atas geladak-akil juluran tali yang berjuntai, berhenti, mengulurnya sedikit, menariknya lagi, merapikannya, memutar engkol lagi, berhenti, membungkuk, memeriksa gulungan tali, berdiri tegak lagi, lalu memutar engkol lagi. Lelaki bersepatu bot hijau-xanadu di atas geladak-utama Kapal Surya Indah II berjalan ke arah haluan, kembali menghampiri jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal, berjongkok, membuka tutup jeriken, memasukkan satu ujung selang plastik ke mulut jeriken, mengarahkan ujung satunya lagi ke kotak plastik yang dibawanya, dan menatap cairan belangkin yang mengucur dari ujung selang itu ke dalam kotak. Saya berjalan menyusuri dermaga hingga tiba di dekat tunggul besi, lalu belok kiri: berjalan lagi ke arah timur; tepi-atas lambung-bebas Kapal Surya Indah II berada di samping kanan saya—linggi, akil, geladak, tiang kapal, geladak, kepala-palka, geladak, anjungan, kimbul….
Enam puluh kaki, kira-kira, panjang platform utama “sayap kiri” dermaga ini, dari “tepi kiri” komponen tegak-lurus yang menghubungkan dermaga dengan lengan-daratan bertanggul-batu. Tujuh puluh lima kaki, kira-kira, panjang Kapal Surya Indah II, LOA—atau dari ujung linggi haluan hingga ujung paling belakang dari buritan. Beberapa kaki panjang-bagian-belakang dari Kapal Surya Indah II tak kebagian tempat merapat. Dan, berdiri di ujung dermaga yang “kutung” ini, saya tak dapat menyunggit tengok untuk menampak dengan jelas bagian belakang kapal. Akan tetapi ada bilai platform, selebar sekira sepertiga lebar platform utama, di sisi jauh, menjulur sekira tepat hingga di garis-maya tegak-lurus yang dapat ditarik dari tepi paling belakang dari “sisa” panjang buritan Kapal Surya Indah II. Saya berjalan ke ujung bilai platform dermaga ini.
Plus douce qu’aux enfants la chair des pommes sures
L’eau verte pénétra ma coque de sapin
Et des taches de vins bleus et des vomissures
Me lava, dispersant gouvernail et grappin.
Et dès lors je me suis baigné dans le poème
De la mer, infusé d’astres et latescent,
Dévorant les azurs verts où, flottaison blême
Et ravie, un noyé pensif parfois descend.
Kimbul. Profil bangunannya tampak gelap; suasana ruangannya tampak temaram. Hari masih pagi bagi sang Surya Indah II. Mengemuli suprastruktur kapal yang terentang hingga ke ujung belakang ini, selapis tipis sisa kabut menggelayut. Si Kapal menggeliat pelan. Palas lintang. Lengang. Sepasang tiang kayu, di sudut kiri dan sudut kanan, menyangga atap anjungan. Birai kayu memagari geladak-jembatan. Jack Dawson berdiri dan bersandar di situ. Bajèe meukasah yang dikenakannya, tak bersulam, terlalu longgar untuk ukuran tubuhnya yang kurang gizi. Tak ada siwah yang terselip di balik ija lamgugap yang belel, yang membelit dari pinggang hingga ke lututnya, melapis cekak musang-nya yang kumal dan bertambal. Rose DeWitt Bukater berdiri dan bersandar di samping Jack Dawson. Sulaman emas di bajèe kurông, ija krông, dan ija sawak-nya beradu kilau dengan butiran ametis pada pending-nya, serta keping safir pada kula-nya. Rose menatap Jack dengan terawang yang sayu dan dalam, tersenyum getir, dan berkata, “Jack, nyöe pat baröe jéh geutanyöe phôn meurumpök.”
Angin sepoi-sepoi bertiup dari arah laut. Ombak dedai-dedai menghempas batu-batu di sisi-luar tanggul yang memagari ceruk pelabuhan.
Berjalan kembali ke arah tunggul besi, saya melihat sepeda motor yang berada di dekat lambung Kapal Surya Indah II masih terparkir di tempat yang sama, dengan posisi yang sama. Hanya saja, joknya kini terangkat, dan seorang lelaki—entah dari mana datangnya—tampak tengah berjongkok di hadapannya, sibuk dengan perkakas mekanik di tangannya, mengutak-atik mesin kereta yang boleh jadi merupakan harta teristimewanya itu. Setidaknya, begitulah kesan yang tampil dari kesungguhannya bekerja. Dia bertelanjang dada. Rambut beruban di kepalanya tampak telah mulai menipis. Ketika sesekali dia berdiri, punggungnya tampak sedikit terbungkuk. Tapi jejak-jejak kekekaran otot-ototnya, barangkali sisa-sisa masa mudanya, masih terlihat di postur tubuhnya yang terbungukus kulit tipikal orang Melayu yang lazim berlimbur sinar matahari terik—sawo-matang gelap, nyaris coklat pekat. Agaknya tak sedikitpun dia menghiraukan saya. Dengan senang hati, saya mengimpas piutang sikapnya setangkup se-mata-uang. Begitulah seharusnya para lelaki bertukar laku, Ki Sanak.
Dari celah di antara haluan Kapal Surya Indah II dan haluan Kapal Basarnas, Gerbang Laut Pelabuhan terlihat tenteram. Kapal Express Bahari 3B, dengan warna putih yang mendominasi seluruh lambung serta suprastrukturnya, dan striping warna jingga yang menghiasinya, tampak terlanggung di sebelah luar, menutupi Kapal Pulo Rondo, dengan lambungnya yang berwarna biru, dan suprastrukturnya yang berwarna putih ber-striping biru, yang terlanggung di sebelah dalam, bersandar kepada dermaga kapal-cepat. Bangunan-bangunan di kompleks pelabuhan berdiri di latar belakang. Lamat terdengar dari arah buritan Kapal Basarnas, beberapa orang anggota tim SAR dengan serius bercakap-cakap. Tapi yang terlihat dari sini hanyalah seorang awak kapal yang mengenakan kemeja warna jingga—barangkali dia juga seorang anggota tim SAR—yang berdiri di atas geladak-utama, termenung, tangannya bertumpu pada rel besi yang terpancang di atas bibir-lambung kapal—tepi atas dari lambung-kapal yang bercat warna jingga itu.
Dua lantai anjungan, dihitung dari level geladak-utama, membentuk suprastruktur Kapal Basarnas; seluruhnya bercat putih. Dan pada dinding-depan lantai pertamanya, tulisan dalam huruf-huruf kapital berwarna hitam, “BASARNAS,” tercetak dalam ukuran besar. Dua jalur tali-kapal terentang dari tunggul besi di depan saya kepada mooring bitt yang bersebelahan dengan mooring winch dan anchor windlass di bagian depan dari geladak-utama di dekat ujung haluan dari Kapal Basarnas. Tepat di bawah titik ujung-runcing pada moncong kapal, sebuah jangkar bertipe stockless navy tersangkut dan bermukim di saku-jangkar yang berbentuk prisma segilima, dengan penampang depan yang menyerupai stereotipe profil sebuah bangunan rumah.
And the mussel pooled and the heron
Priested shore.
The morning beckon.
Saya mengeluarkan telepon genggam yang saya bawa, dan dengan kamera fitur bawaannya, saya mengambil foto pemandangan Gerbang Laut Pelabuhan. Seorang anggota tim SAR memanggil rekannya dengan suara lantang, dan lelaki bertopi hitam di atas geladak-akil Kapal Surya Indah II membuat simpul kunci di penggulung tali, dan sandal jepit yang saya kenakan di kaki saya kini kehilangan pelayanan rasa nyamannya, dan lelaki bertelanjang dada menggosokkan, dengan segenap energi, lap kainnya ke sekujur jok serta tangki-bahan-bakar sepeda motornya, dan lelaki bersepatu bot hijau-xanadu, yang telah rampung mengecat bagian ujung dari salah satu batang-rusuk gading-gading kapal dengan cairan belangkin, melintas di atas geladak dengan derap, “prak, prung, prak, prung, prak, prak, prak…,” dan awak Kapal Basarnas berkemeja jingga kembali memasuki anjungan, dan lelaki bertopi hitam melompat turun dari geladak-akil, dan lelaki bertelanjang dada mengibaskan lap kainnya, dan lelaki bersepatu bot hijau-xanadu berjongkok di balik papan-kubu kapal, dan karena kaki saya terasa pegal, saya juga berjongkok di atas dermaga, dan dari pintu ruang kemudi Kapal Basarnas, Franky & Jane, Sahilatua, muncul beriringan, Jane di depan, menggengam kastanyet di kedua tangannya, Franky di belakang, menyandang gitar dengan ambin yang menyelendang melintasi pundaknya, dan mereka berjalan di atas geladak-jembatan menuju pagar-besi di tepi anjungan di depan mereka, dan mereka bernyanyi, “Jika sekolah sudah libur, aku lari ke pelabuhan…,” dan sambil tersenyum mereka terbang ke langit biru, dan seorang anggota tim SAR berseru, “Hooo!” meneriakkan undangan terbuka dari Laut, R.S.V.P., dan dengan khidmat tapi mesra, Laut berbisik, “Ke marilah… ke marilah… ke marilah….”
Byur!
Saya tersentak dan menoleh ke arah buritan Kapal Basarnas. Tapi, sekali lagi, hanya julangan kapal putih–jingga ini saja yang terlihat dari sini. Begini, Bung: Kalau kau benar-benar ingin menonton mereka mempertunjukkan keterampilan rescue swimming “warisan” para anggota Seenotdienst, kenapa hanya diam? Bergeraklah. Tidak sulit, kok. Tinggal berjalan saja ke ujung dermaga di sana.
Dan Laut kembali berbisik, “Ke marilah… ke marilah… ke marilah….”
Apa hendak dikata, posisi berjongkok begini ternyata berkecenderungan menimbulkan sindrom inersia status quo—atau, lebih tepatnya, barangkali, nongkrongatus quo. Dan di atas kepala saya tiba-tiba terdengar suara orang memanggil, atau menyapa, atau bertanya, atau…
“Ada apa, Dik?”
Saya terkesiap dan menoleh ke atas. Lelaki bertopi hitam tampak membersil dari balik papan-kubu kapal di belakang ruang-akil Kapal Surya Indah II—dua bola matanya menatap dari sebentuk bayangan wajah yang tampak buram di bawah topi hitam; di kedua sisi kepalanya, berkas sinar matahari pagi yang lembut terbiaskan menjadi spektrum tipis warna-warni pelangi. Melihat saya yang hanya melongo seperti seorang pandir yang baru tersadar dari pingsan, dia mengubah arah pertanyaannya.
“’Motret, ya?”
Saya mengangguk.
Pak Topi Hitam kemudian berpaling pandang ke posisi geladak di hadapannya, agak ke bawah, yang tersembunyi dari penglihatan saya. Sepertinya dia kembali sibuk bekerja, menggulung tali-temali kapal di sana.
Saya pun kembali memalingkan pandangan kepada dua haluan dari dua buah kapal di depan saya. Kapal Surya Indah II, dan Kapal Basarnas. Satu kapal kayu, satu kapal baja. Face off. Seandainya kedua kapal ini sedang melaju di tengah laut, posisi seperti ini mengharuskan keduanya untuk cikar kanan kemudi, sehingga mereka dapat berpapasan sisi-kiri terhadap sisi-kiri. Steering to starboard, passing port-side to port-side. Dan saya berjongkok di zona-bahayanya Kapal Surya Indah II. Tapi saat ini tidak ada bahaya sama sekali, tentu saja, karena kedua kapal sedang bersandar pada dermaga. Jauh lebih aman daripada petualangan saya berjongkok untuk buang hajat di atas kloset duduk—di rumah yang saya tinggali selama saya berada di Banda Aceh, di Jalan Sultan Alaidin Mansursyah.
“Tempo hari juga ada yang datang ke sini. Wartawan.”
Terdengar lagi suara Pak Topi Hitam di atas kepala saya. Saya menoleh, dan mencoba menimpalinya dengan komentar empatik. Tetapi yang keluar dari mulut saya hanya kata…
“Oh.”
Pak Topi Hitam kemudian dengan ramah memberikan saran mengenai beberapa spot yang menurut penilaiannya bagus untuk dijadikan pijakan bagi angle pemotretan. Sepertinya Pak Topi Hitam pada awalnya mengira, kalau saya juga seorang wartawan. Wartawan? Seorang jurnalis berbendera sebuah perkongsian media terkenal? Rasanya, tak ada potongan, sih, kalau itu. Atau seorang PSK—pewarta sonder koran? Hi hi, terlalu serius, mungkin, lagak saya tadi. Mondar-mandir, sok bikin observasi. Sayang sekali, Pak. Saya tidak mampu mengangkat Anda ke atas panggung kemasyhuran. Saya katakan, saya cuma seorang pelancong fakir-stadium-akhir asal Bandung, yang luntang-lantung di Banda Aceh, memotret lanskap dengan kamera standar, fitur bawaan dari sebuah telepon genggam (yang saya peroleh dengan meminjam), sekadar buat gagah-gagahan. Dan hasilnya? Buat pamer di depan para tetangga di kampung saya, nanti bila saya pulang. Pak Topi Hitam nyengir. Tapi dia tidak mengurungkan niatnya untuk mengambil peran sebagai narasumber. Derajat demi derajat, seiring berjalannya percakapan, saya mengunduh sekelumit informasi seputar profil pribadinya.
Siapa nama Lelaki Bertopi Hitam itu?
Yusuf.
Dari mana dia berasal?
Tanjung Pura, Medan. Sebelumnya, dia pernah bekerja di Pelabuhan Belawan.
Dalam kapasitas apa dia berada di atas Kapal Surya Indah II?
Awak kapal. Juru mesin.
Apakah dia berkeluarga?
Ya. Satu istri, sepuluh orang anak. Semuanya tinggal di kampung halamannya di Medan, kecuali salah seorang anaknya yang bersekolah di Yogyakarta.
Apakah sekarang Pak Yusuf berdomisili di Banda Aceh?
Untuk saat ini, ya. Namun demikian, domisili Pak Yusuf praktis adalah Kapal Surya Indah II. Pagi siang sore malam, dia tinggal di kapal. Sesekali saja dia pergi ke kota untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari, atau untuk sekadar berjalan-jalan.
Adakah ciri khusus dari Pak Yusuf yang sekiranya menarik untuk dicatat?
Barangkali, suaranya ketika dia berbicara. Mungkin terlalu lembut untuk seorang pelaut. Lindap, kadang-kadang nyaris tak terdengar. Dalam skala satu sampai sepuluh—skor satu untuk desah paling pelan dari Ceu Iin Parlina-nya Bimbo dalam lagu “Salam Sayang,” skor sepuluh untuk pekik paling nyaring dari Kang Candil-nya Serieus Band dalam lagu “Rocker Juga Manusia”—skor volume suara Pak Yusuf ini barangkali tidak pernah lebih dari tiga, atau, paling banter, empat.
Dengan begitu, apakah Pak Yusuf bisa dikatakan sebagai seseorang yang lembut dalam bertutur kata?
Tidak selalu tepat begitu. Kata-kata yang terlontar darinya tak jarang juga tajam dan tegas, sehingga efek totalnya kerap kali merupakan kontras.
Apa saja yang dibicarakan oleh Pak Yusuf?
Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang beberapa hal berkenaan dengan latar belakang pribadinya, Pak Yusuf juga mengulas beberapa peristiwa yang seturut penuturannya dia ikuti lewat siaran televisi Nasional. Tentang konflik antarwarga di Makassar, tentang penumpukan kendaraan yang tertahan di Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni, tentang isu memanasnya dinamika interrelasi partai-partai politik yang tergabung dalam “aliansi strategis” Koalisi dengan Setgab-nya pasca heboh Kasus Bank Century beserta penyelidikannya oleh DPR dengan Pansus-nya yang memunculkan panggung wacana yang gegap-gempita, tentang kisruh PSSI, dan satu dua isu lainnya. Dia juga turut beropini menyangkut isu-isu tersebut.
Apakah saya dapat menangkap apa yang dikemukakan oleh Pak Yusuf?
Dengan tertatih-tatih. Barangkali lebih dari separuhnya luput dari daya tangkap saya. Ada dua alasan, setidaknya, yang menyebabkannya. Pertama, belakangan saya lebih sering menonton siaran televisi lokal Aceh, AcehTV atau KutarajaTV, yang lebih banyak menyiarkan isu-isu setempat. Kedua, blocking spasial dan setting situasional secara umum dari sesi dialog ini menempatkan saya pada posisi yang secara subjektif saya rasakan sebagai phantasmagoric: Saya berjongkok di atas dermaga; Pak Yusuf entah duduk entah berjongkok di balik papan-kubu-kapal, di sebelah depan-atas dari posisi saya. Dan yang saya tangkap dengan indra serta nalar saya hanyalah, nyaris secara eksklusif, apa yang saya persepsikan sebagai rentetan gelombang bunyi yang meluncur dari sebuah fungsi koordinat dinamik di bawah sebuah topi hitam.
Apakah saya menginginkan percakapan ini tetap berlangsung?
Sangat, sebenarnya. Ini pengalaman baru bagi saya.
Apa yang saya lakukan untuk menjaga agar tidak kehilangan kesempatan ini?
Ketika Pak Yusuf sesekali mengambil jeda untuk mendapatkan respon dari saya, saya berkata, “oh,” atau “oh, ya?” atau “begitu, ya,” atau “ck ck ck…,” atau “hmmm…,” atau sekadar mengangguk, atau sekadar menggeleng, atau sekadar nyengir. Atau kombinasi-kombinasi yang merupakan subhimpunan dari koleksi respon-respon itu.
Upaya lain?
Saya mencoba mengingat-ingat apa yang pernah saya tonton dalam siaran televisi lokal untuk mendapatkan topik.
Adakah yang terlintas?
Ada beberapa: Paparan strategi pengembangan pendidikan yang dikemukakan oleh seorang guru besar dari Universitas Syiah Kuala, pembahasan implementasi kebijakan keuangan daerah dalam rapat-rapat di DPRA, liputan petualangan berburu babi hutan di sebuah gunung di pedalaman Kabupaten Pidie, kupasan tradisi sastra lisan oleh seorang seniman asal Pulau Simeulue.
Adakah di antaranya yang berhasil saya angkat sebagai topik percakapan?
Tidak. Semuanya mengabur. Saya tidak berhasil mengingat detail yang cukup.
Mengapa demikian?
Karena daya ingat saya telah ditundukkan dan dikuasai oleh hal lain yang terus terngiang-ngiang di kepala saya.
Apakah itu?
Alunan merdu mantra musikalnya Cut Keumala, “Hom hai, hom hai…. Hom hai, hom hai…,” serta lenggang-lenggok gemulainya yang aduhai hai hai.
Adakah hal lain yang disampaikan oleh Pak Yusuf?
Ada. Pak Yusuf memperkenalkan Lelaki Bersepatu Bot Hijau-Xanadu sebagai bernama Rusli, juga berasal dari Tanjung Pura, Medan. Selain itu, Pak Yusuf juga mengulangi memberikan saran mengenai fungsi-spasio-visual (korespondensi dari variabel objek-visual dan variabel ranah-pandang) untuk menentukan titik mana saja yang menurutnya bagus bagi eksekusi pemotretan.
Apakah saran dari Pak Yusuf itu langsung membuat saya berdiri dan bergerak untuk kembali memulai memotret?
Tidak.
Mengapa demikian?
Karena kenyamanan posisi berjongkok seperti ini menahan saya.
Sekuat apakah resistensi inersial posisi berjongkok ini dalam menahan inisiasi gerak?
Sekuat kemapanan tatanan politik ekonomi dunia di bawah rezim kapitalisme global. Adalah lebih mudah untuk membayangkan seluruh alam semesta kembali jatuh ke dalam primeval chaos ketimbang membayangkan terbongkarnya kemapanan seperti itu.
Apa yang saya lakukan agar Pak Yusuf tidak merasa tersinggung karena sarannya saya abaikan?
Saya bertanya kepadanya, “’Gak ada yang marah, nih, saya ‘ngambil-ngambil foto tanpa minta izin?”
Bagaimana jawaban Pak Yusuf?
Dia tidak menjawab. Hanya tertawa saja. Ekspresi wajahnya berkata, “Lucu sekali. Kamu kok penakut amat?”
Atas dasar apa saya mengajukan pertanyaan seperti itu, selain sebagai pretext atas kemalasan untuk bangkit dari posisi berjongkok dan untuk sekadar berbasa-basi?
Kejadian hari kemarin: Berjalan ke arah utara di tepi kanan Jalan Nyak Adam Kamil 2, saya melihat deretan gedung-gedung perkantoran militer, bagian dari kompleks Kodam Iskandar Muda, di seberang jalan. Satu di antaranya menarik perhatian saya. Pada dinding depan gedung itu, di sisi-kanan, terpampang tulisan, “Damai Itu Indah,” dan di sisi-kiri, tulisan, “NKRI Harga Mati.” Saya berniat untuk memotretnya. Baru saja saya membidikkan lensa kamera di telepon genggam saya, terdengar teriakan seseorang yang menghardik dengan garang. Ketika saya melirik, saya melihat seorang tentara, mengenakan pakaian dinas lapangan, berlari dari pos jaga ke arah pagar, menjentikkan telunjuknya dengan penuh murka ke arah saya, bahu dan kepalanya berayun ke kiri ke kanan. Saya langsung paham apa yang dia maksudkan. Selama ini saya selalu mengira, kalau pemandangan landmark publik itu adalah milik publik; memotretnya merupakan hak publik. Tapi kemudian saya sadar: barangkali kompleks perkantoran militer memang mempunyai nilai-penting strategis yang memberinya diskresi sekaligus keniscayaan untuk dikecualikan. Setelah mengangkat kedua tangan sebagai isyarat permintaan maaf, saya pun melengos pergi.
Apakah kejadian itu saya ceritakan kepada Pak Yusuf?
Ya.
Bagaimana reaksi Pak Yusuf?
Dia mesem-mesem saja. Tapi wajahnya jadi terlihat aneh: mirip seseorang yang menahan tawa dan menahan kentut, sekaligus. Yang tidak saya duga adalah reaksi dari Pak Rusli. Dia yang sebelumnya saya sangka berprinsip, “Kau uruslah urusanmu; urusanku aku yang urus,” rupanya dari tadi menyimak juga obrolan kami. Ketika saya selesai bercerita, dia tertawa. Hampir tak terdengar suara, tapi tertawa. Tertawa sampai-sampai dia mencodak. Setelah itu, entah kenapa, saya merasa bahwa mereka menjadi lebih terbuka menerima kehadiran saya di sini. Maka saya pun mendadak mempunyai keberanian untuk ber-sok-kenal-sok-dekat dengan mereka.
Apakah saya juga berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemapanan posisi berjongkok karenanya?
Ya. Sulit dipercaya, memang. Tapi ini benar-benar terjadi.
Apa yang pertama kali saya sadari ketika saya berdiri dan berjalan mendekati lambung kapal?
Bahwa si Lelaki Bertelanjang Dada tidak lagi terlihat. Sepeda motornya masih terparkir di tempat yang sama, kini ditutupi sehelai kain terpal.
Ke manakah si Lelaki Bertelanjang Dada itu pergi?
Misteri. Dengan struktur fenomenologis yang sama seperti hal kemunculannya.
Adakah teori untuk menjelaskan fenomena ini?
Setidaknya, ada tiga teori. Pertama: Sebuah seri berkas radiasi kosmik yang tidak biasa, sebuah rentetan geostasioner dari astrophysical glitches, tadi sempat jatuh di tubuh si Lelaki Bertelanjang Dada, yang menyebabkan segenap partikel (sub)atomik yang menyusun tubuhnya berakselerasi, terdekomposisi, bertukar paritas dan pusingan, terdekorelasi, sedemikian sehingga, tanpa mengubah kesetimbangan medan entropik di sekitarnya, seluruh sistem partikel tubuhnya itu bertransformasi sekaligus terpilah menjadi dua entitas, yaitu satu fungsi gelombang-materi yang koheren dan satu fungsi radiasi yang mengkodekan posisi serta momentum, yang kemudian, keduanya, ditransmisikan ke planet lain di satu pojok alam raya, di mana tubuh si Lelaki Bertelanjang Dada akhirnya direkonstruksi seperti sediakala. Kedua: Si Lelaki Bertelanjang Dada sebenarnya adalah satu spesimen sui generis dari satu spesies recherché yang maju jauh melampaui evolusi, yang mampu beradaptasi dengan habitatnya secara ultrafleksibel, dan yang struktur dinamik dari rangkaian biomolekul-biomolekul yang menyusun tubuhnya telah mencapai taraf progresi yang sedemikian sehingga memungkinkan dirinya untuk secara spontan, kapan saja jika perlu, melalui proses-proses metaanatomis dan metafisiologis yang sangat efisien, bermetamorfosis secara ultraplastis; dalam hal ini, dia tadi, demi efisiensi bionomik, mengubah dirinya menjadi seekor salamander (Caudata sp.), dan kemudian merayap ke bawah platform dermaga. Ketiga: Ini barangkali lebih tepat disebut sebagai antiteori ketimbang teori: Bahwa si Lelaki Bertelanjang Dada adalah sebuah entitas sekaligus nonentitas, baik secara fisis maupun metafisis. Dia mengada dan meniada begitu saja, tanpa perlu penjelasan apa-apa. Meskipun, barangkali, untuk kontingensi, dapat diajukan pula penjelasan bahwa singularitas-telanjang yang luput dari penyensoran-kosmik itu benar-benar ada.
Yang manakah di antara teori-teori tersebut yang dapat diangkat sebagai kandidat yang paling layak untuk menjadi penjelasan definitif?
Gunakan Occam’s Razor.
Akan tetapi berapa malaikatkah, jumlah pastinya, yang dapat menari di ujung sebatang jarum?
Thomas Aquinas dan Wolfgang Pauli memberikan jawaban yang sama.
Pemandangan apa yang langsung menerpa penglihatan saya ketika saya berdiri rapat di depan galar-lambung kapal dan meletakkan tangan di atas bibir-lambung kapal sambil mengintip ke atas geladak?
Kepala-palka. Berbentuk undakan setinggi sekira dua jengkal, mendominasi bentang ruang di tengah-tengah geladak. Balok-balok kayu dijejerkan di atasnya, melintang sejajar arah lintang kapal. Sebuah tongkat kayu tergeletak di atas jejeran balok-balok kayu itu. Dua helai kain dan dua potong pakaian juga digelar terbeber di sana, dijemur di bawah sinar matahari….
“Naik saja,” kata Pak Yusuf.
Telah ditetapkan sebagai putusan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya: Surat Izin Naik Geladak Kapal Motor Surya Indah II, No. 462/FFe, diarsipkan dengan nomor sekian-sekian garis miring huruf anu huruf anu garis miring sekian angka Romawi garis miring angka ini angka itu strip huruf ini huruf itu garis miring bulan ini garis miring tahun ini, yang ditandatangani oleh Tuan Bos, asal Banda Aceh, pemilik dari kapal tersebut di atas, c.q. Tuan Yusuf, asal Tanjung Pura, Medan, juru mesin, awak dari kapal yang sama, pada hari ini, tanggal ini, bulan ini, tahun ini, jam ini, di Pelabuhan Ulèe Lheue, Banda Aceh. Demikian, maklumat ini disampaikan, agar yang berkepentingan menjadi mafhum adanya.
If nautical nonsense be something you wish,
Then drop on the deck and flop like a fish!
Hap!
Ini adalah geladak-utama pada sisi-kanan kapal. Saya melayangkan pandangan ke sekeliling saya.
Hm.
Oke. Abaft.
Dipandang dari arah haluan ke buritan, tampilan anjungan Kapal Surya Indah II ini tampak, dari level geladak ke atas, berbentuk serupa penampang-depan dari sebuah kotak, untuk lantai pertama dihitung dari level geladak, disambung dengan sepertiga bagian terbawah dari sebuah stupa yang diiris papak, dengan alas stupa yang lebih lebar daripada alas kotak, untuk lantai kedua di atasnya, dan yang terpotong oleh bidang atap di puncaknya—bidang atap berbentuk lempeng persegi yang datar, atau sedikit melengkung. Ke atas lagi, beberapa cerobong asap dan antena telekomunikasi berjerangkang memahkotai suprastruktur kapal.
Jendela-jendela kaca, busur di kedua sisinya, persegi sisanya, berderet di lantai kedua, lantai teratas anjungan. Ruang kemudi, bisa jadi. Atau hampir pasti. Oke. Anggap saja benar, itu adalah ruang kemudi. Tekstur visualnya berkesan lebih lembut, kontras terhadap tekstur visual bagian lambung dan apalagi geladak kapal yang tampak mentah tak purna bertarah, sehingga bagian lambung dan geladak ini berkesan lebih begar dan gahar. Tampak dari sini: si Ruang Kemudi, dengan sorot yang hening, menatap ke depan. Sepertinya lampu masih menyala di sana. Dari deretan jendela, terlihat berkas dan telau cahaya kekuningan memancar dan berpendar di dalam ruangan yang tampak berdinding warna hijau itu. Sementara, pada dinding luar anjungan, yang seluruhnya dicat dengan warna kelabu-kadet, pada bagian depan lantai teratasnya terpampang tulisan dalam huruf-huruf berwarna merah: nama dan kode identitas kapal.
Lantai pertama anjungan, tepat di bawah ruang kemudi, sepertinya adalah ruang ABK. Oke lagi. Anggap juga benar, itu adalah ruang ABK. Dua buah jendela busur, berjeruji dan bertingkap-geser, satu terbuka satu tertutup, terposisikan di tengah dinding depan; dua buah port-hole, berbingkai pelat-gelang warna merah dan bertingkap kisi-kisi kawat, mengapit kedua jendela di ujung atas kiri dan kanannya; dan dua buah sekop, masing-masing di sebelah kiri dan di sebelah kanan, setataran kedudukan kedua jendela, tersematkan pada dinding anjungan, dalam konfigurasi-simetris genjang, menggunakan klem-klem logam. Tepat di depan anjungan, di sebelah kanannya, terdapat tangki plastik warna biru yang sepertinya digunakan untuk menyimpan air tawar. Kemudian, di sebelah tangki plastik warna biru ini, terdapat rangka besi yang di dalamnya tersangga bak plastik warna putih yang digunakan untuk menyimpan lembar-lembar plastik dan terpal, sepertinya penutup kepala-palka. Jalur sempit di samping kiri dan di samping kanan anjungan, di antara dinding-samping ruang ABK dan papan-kubu, membentuk lorong masuk ke arah kimbul dan ke dalam kabin. Sebuah bangku kayu tergolek di pinggir salah satu lorong ini, yaitu lorong pada sisi-kiri kapal.
Saya memutar pandangan. Athwart.
Di sisi-kiri geladak kapal, di seberang dari sisi tempat saya berdiri, tampak Pak Rusli yang tadinya berjongkok menghadap ke arah luar, kini berdiri dan berjalan ke arah buritan, menuju lorong di samping anjungan. Derap sepatu botnya melagukan irama dengan ketukan 2/4—bukan, 6/8, adagio nyaris largo. Irama “It’s A Man’s Man’s Man’s World”-nya James Brown, dalam tempo yang jauh lebih lambat. Prung, prak, prak, prung, prak, prak….
Oke. Afore.
Setinggi sekira empat depa dari muka geladak, tiang baja bercat kuning berdiri mencanak: di belakang ruang-akil, di posisi poros pada arah balok-lintang.
Di segmen atas, dekat ujung tiang, dua bilah sirip-baja pendek, sedikit menirus dari arah tiang ke luar, dan berlubang dengan penampang persegi-berfilet di sisi yang lebih dekat kepada badan tiang, bersilang melintang—membuat ujung tiang menjadi berbentuk salib bersayap pendek. Tujuh utas kawat-baja menopang tiang ini, sebagai temberang-temberang-lenggang dan temberang-haluan. Di sisi-kiri, seutas temberang-lenggang yang berpangkal di ujung sayap salib itu, dan seutas lagi temberang-lenggang yang berpangkal pada badan tiang di bawah sayap salib, bersatu di ujungnya pada kongkong-baja yang lubangnya dipaut oleh ujung-kait sebuah gesper-puntir; sementara, ujung-cincin dari gesper-puntir itu terkunci kepada cok yang ditanam di ujung gading-gading kapal di area geladak-utama di belakang ruang-akil. Hal yang sama, simetris terhadap konstruksi di sisi-kiri, berlaku juga untuk sisi-kanan. Sepasang temberang-lenggang lagi, dengan struktur kawat-kongkong-gesper-cok serupa, di sisi-kiri dan sisi-kanan, ditautkan, pada bagian ujung-ujungnya, di sisi-dalam pada tepi-atas lambung agak ke depan, di area geladak-akil. Dan seutas temberang-haluan, masih dengan struktur serupa, terentang dari badan tiang di bawah sayap salib ke lunas-dalam pada linggi di bagian moncong kapal.
Di segmen bawah tiang, sepilar pipa-baja bercat jingga tercacak menembus papan geladak, melapis secara konsentris sekira tiga-perdelapan bagian dari total tinggi tiang, diukur dari muka geladak. Tiang dan pipa-baja ini tampaknya menjadi stator dan rotor arah-putar sumbu-vertikal dari sistem-derek untuk bongkar-muat kargo kapal. Melalui sebuah kakas-baja berbentuk siku dan berwarna hitam, yang memberikan sumbu-lateral bagi arah-putar, sebatang lengan-derek, berupa tangkai-baja yang dicat dengan warna jingga yang lebih pekat dan tampak lebih mengkilap, dirangkaikan bertumpu pada pipa-baja ini. Saat ini, lengan-derek ini tengah rebah, membujur ke belakang searah sumbu-memanjang kapal, membelah geladak, bagian ujungnya disangga oleh tumpukan dua buah ban bekas di tepi-belakang kepala-palka.
Tercangkel ke lubang-mata pada sirip pendek di dekat ujung lengan-derek, di atas rongga ban bekas, sekeping kongkong-baja menjadi ujung-tambat bagi seutas kawat-baja yang terjurai dari satu titik pangkal di badan tiang, yaitu di bawah simpul temberang-temberang-lenggang dan temberang-haluan. Satu lagi sirip pendek berlubang-mata, pada posisi agak ke tengah, dicangkel oleh seutas kawat-baja yang juga terjurai dari badan tiang, dari titik pangkal yang sama, yang juga menjadi simpul-pangkal dari rantai-rantai yang menggantung bebas. Dari titik pangkal ini pula, seutas lagi kawat-baja terentang regang ke kili-kili pancing di dekat ujung lengan-derek, memutari relung cakranya, lalu menjalar sepanjang lengan-derek ke rangkaian kapi-kerek, gelendong-kumpar, kapi-kerek, dalam formasi takal-senapan, yang tersusun bakukait pada pangkal lengan-derek dan pangkal pipa-baja di bagian-bawah tiang. Blok-blok mesin, penggerak sistem-derek, terpasang di sini, bergandeng langsung dengan gelendong-kumpar.
Sebuah kursi kayu bertengger di samping kanan rangkaian mesin derek ini, menghadap ke arah buritan. Kaki-kaki sampingnya disandingkan dua-dua dengan dua batang balok kayu, masing-masing untuk sisi-kiri dan sisi-kanan, yang terpacak ke papan geladak. Kelihatannya, kursi kayu itu adalah takhta untuk juru mesin kapal, atau, lebih tepatnya, barangkali, operator sistem-derek. Singgasananya Pak Yusuf, boleh jadi. Tapi saat ini Pak Yusuf tidak sedang duduk di situ, melainkan di atas bibir lambung—“gunwale,” dalam istilah orang Inggris—di sisi-kanan kapal, atau tepat di belakang saya. Saya balik badan dan menghampirinya.
For every drizzling mist
My ship substantial.
“Ini kapal kargo, ya, Pak?” tanya saya.
“Ya,” jawab Pak Yusuf, yang dipertegasnya dengan mengangguk. “Tapi yang dibilang orang, ‘kapal,’ itu, ya, biasanya kapal besi. Kita ini, kapal kayu, ‘kan, ya. ‘Tongkang,’ orang sering bilang.”
“Begitu, ya.”
“Tapi jelek-jelek begini, kita ini lebih kenyang, lah, kalau urusan melaut,” kata Pak Yusuf. “Tak seperti kapal yang itu, tuh,” katanya lagi, sambil tersenyum dan melirik ke arah haluan: menunjuk, dengan isyarat gerakan kepalanya, kapal putih-jingga yang tampak mentereng, yang sama-sama bersandar pada dermaga, haluannya tepat di ujung hidung. “Terlalu lama bersandar, kelihatannya.”
Ha ha. Tapi barangkali itu karena mereka harus melaut di bawah manajemen anggaran yang sangat ketat, Pak. Efisiensi, Pak. Efisiensi.
“Ini, krunya, berapa orang, Pak?”
“Semuanya tujuh orang. Termasuk nahkoda, ya.”
“Nahkodanya—siapa, Pak?”
“Ada. Belum datang. Tinggal di Banda Aceh sini.”
“Mereka dari AMI, aku bilang,” kata seseorang yang tiba-tiba datang.
Hello. Lelaki bertelanjang dada, figur yang sama seperti yang tadi terlihat di atas dermaga, meyembul dari keremangan lorong di samping anjungan. Jadi dia ini awak kapal juga, toh? Awak dari Kapal Surya Indah II ini juga? Seorang pelaut juga, rupanya. Oke. Cocok. Saya baru sadar: seandainya saja dia tidak mencukur kelimis kumis dan jenggotnya, dia bahkan tampil sebagai satu sosok yang, dari segi fisik, memenuhi kriteria stereotipe sosok pelaut dalam bayangan saya—sosok “pelaut yang sesungguhnya.”
“Siapa?” tanya Pak Yusuf.
“Anak-anak yang kemarin datang itu,” jawab sang Pelaut. “Yang dua orang itu. Satu cewek, satu cowok. Itu, yang ceweknya, manis ‘kali, itu.”
Pak Rusli yang berjalan melintas dengan suara langkah sepatu botnya, “prak, prak, prak, prung…,” berhenti di dekat tangki plastik warna biru, dan memberikan afirmasi dengan anggukan serta senyumnya. Sang Pelaut kemudian naik ke tepi kepala-palka dan berjongkok di sana, menghadap Pak Yusuf.
“Lumayan lama juga mereka di sini,” kata sang Pelaut lagi. “Mereka tanya, ‘Ini kapal, apa ada agennya?’ Mereka tanya syahbandar, tanya manifes, tanya garis beban, tanya sijil kesiapan darurat…. Dari situ saja aku sudah bisa bilang, ‘Ah, mereka ini pasti dari AMI, ini.’”
Sang Pelaut kemudian tersenyum lebar; tampaknya dia sangat puas dengan keakuratan analisisnya. Sambil bangkit sesaat dari posisi berjongkoknya dia berkata lagi:
“Ah, itu otaknya harus encer, itu. Matematikanya harus delapan, aku bilang.”
Setelah itu, sang Pelaut berjongkok lagi.
Lalu dengan menarik lengannya yang bertumpu kepada lututnya dan terjulur ke depan, dia tiba-tiba menoleh ke arah saya. Dan dengan intonasi bicara yang datar serta tatapan mata yang dingin dia berkata:
“Kalau seperti Anda, ini—kelihatan, lah, tak tahu apa-apa.”
Ya. Bukan sekali ini saja orang berkata begitu kepada saya. Dan biasanya saya langsung naik pitam. Dengan bibir gemetar dan gigi gemeletuk, saya lazimnya akan berkata kepada si penyinggung perasaan, bahwa saya tahu banyak hal yang tak diketahui banyak orang—termasuk Anda, Tuan! Misalnya saja, saya tahu, berapa kali almarhum si Bolu, kucing peliharan bersama penduduk se-RT, di kampung saya di Bandung, berganti pasangan dalam lima belas tahun perjalanan hidupnya yang penuh warna, serta berapa kali dalam semalam dia bercinta, pada fase-fase puncak bioritme berahinya yang pola siklusnya rumit itu. Oh, ya. Saya tahu. Tapi kali ini saya cuma bisa pijat-pijat tengkuk sambil setengah nyengir setengah meringis—sambil juga memikirkan apakah gerangan yang membuat sang Pelaut memberikan penilaian seperti itu. Tak sulit. Saya sadar kalau sang Pelaut rupanya menguping percakapan saya dengan Pak Yusuf waktu saya berjongkok di atas dermaga tadi. Saya mencoba mencari ide untuk diformulasikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot agar citra saya membaik, atau, setidaknya, agar saya tidak gampang disepelekan. Sial. Ide-ide itu tak kunjung muncul….
Pak Yusuf tersenyum. Kemudian dia melirik ke arah saya dengan ekspresi wajah yang seolah-oleh mengatakan, “Jangan terlalu diambil hati, lah. Sudah biasa, dia begitu.” Seperti diorkestrasi, Pak Rusli juga datang menghampiri dan juga sambil tersenyum—kali ini irama sepatu botnya sedikit bersinkopasi, “prak, prak, prungprakprung…”—lalu dia duduk di atas tangki plastik warna biru.
Empat jam kemudian, atau tiga jam setelah saya melompat turun dari Kapal Surya Indah II ini, baru terpikirkan oleh saya, pertanyaan-pertanyaan yang saya kira memang seharusnya dipersiapkan untuk menjadi bahan bagi, barangkali, sebuah reportase yang baik. Menyebalkan. Cekak henti, silat terkenang.
Di seberang gerbang Taman Kuliner, di Simpang Tiga Ulèe Lheue, tak jauh dari Mesjid Baiturrahim, Ulèe Lheue, Meuraxa, saya mencoba menginventarisasi rumusan-rumusan pertanyaan yang saya perkirakan penting untuk diajukan, tetapi yang tadi terlewatkan. Berapa bobot-mati—? Eh, itu ‘kan dapat diketahui dari tulisan di dinding-depan anjungan: “GT 98.” Oke. Berikutnya: Berapa besar kapasitas angkut kargo dari kapal ini? Mesin jenis apa yang digunakan sebagai propulsi utama? Diesel? Lalu, untuk sistem dereknya? Apakah kapal ini mempunyai jadwal melaut yang tetap? Atau bergantung kepada carteran? Bagaimana hubungan kerja antara para awak dengan pemilik kapal? Pegawai tetap? Kontrak? Berapa gaji—? Itu mah lebih pantas diajukan oleh para wartawan, mungkin. Bagaimana dengan pasokan bahan bakar? Lancar? Ada kesulitan? Ketika terjadi kenaikan harga BBM dulu, apakah hal itu berdampak kepada kelancaran pengoperasian kapal? Seberapa besar? Apakah hal itu juga berdampak kepada kehidupan sehari-hari para awak kapal? Seberapa besar?…
Pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepala saya—sampai saat ketika dari tempat saya berdiri, saya melihat kedatangan sebuah labi-labi: muncul dari arah jalan menuju pelabuhan, menurunkan kecepatan ketika berbelok di ujung Jalan Sultan Iskandar Muda yang mentok di depan Mesjid Baiturrahim, dan melaju menuju pusat kota. Labi-labi itu berhenti tak jauh dari gerbang Taman Kuliner setelah saya mengacungkan telunjuk dari seberang jalan. Saya berlari menyeberang, mendapati labi-labi itu sama sekali kosong dari penumpang, mendengar suara sopir memanggil saya agar saya masuk untuk duduk di jok depan, berjalan, membuka pintu depan, dan mendapati seorang sopir yang mengenakan kemeja putih menoleh ke arah saya seraya menyapa….
“Dari mana?” tanya sang Pelaut kepada saya, kali ini dengan nada yang lebih ramah.
“Bandung,” jawab saya.
“Bandung, ya. Peuyeum Bandung, di Bandung itu—”
“Kalau Bapak, sama seperti Pak Yusuf juga, Pak, dari Medan? Atau asli dari sini?”
“Apa tak kelihatan dari logat aku ngomong ini?” kata sang Pelaut seperti seorang guru yang dikenal killer yang sedang menghadapi seorang murid yang daya tangkapnya lamban yang menanyakan kepadanya yang sedang memberikan penjelasan yang penuh dengan peringatan yang tegas mengenai apa yang justru merupakan pertanyaan yang diajukan sebagai soal yang diujikan dalam ujian yang saat itu sedang berlangsung yang dalam sekelebat-layang bikin kepala saya yang gayang tambah merayang. “Cobalah tebak, kira-kira dari mana aku ini.”
Angkat tangan, deh. Bagi saya, membedakan logat Aceh dari logat Melayu Deli itu tugas yang sangat berat. Masih lebih mudah bagi saya untuk membedakan logat Cockney para anak buah kapal di Pelabuhan Canary Wharf dari logat Scottish Gaelic para penggembala domba di kaki Pegunungan Grampian. Karena pernah ke sana? Alah, terang saja, bukan. Lalu apa, dong, yang bikin begitu? Hollywood, sih. Ck ck ck. Memalukan, ini. Apa kabar nasionalisme, Bung? Apa kabar gembar-gembormu di depan segmen pojok-teras-dekat-tiang dari forum tahlilan, acara haul leluhurnya Mas Mono si penjual bandros keliling kampung dulu itu?—Mas Mono: yang kini juga sudah dihaulkan itu? Apa yang waktu itu kau khotbahkan dengan gagah perkasa, dengan menyabot akses emang-emang dan abah-abah kepada suara ceramah Wa Ustad yang terdengar dari dalam rumah? Kecintaan kepada kekayaan budaya Nusantara. Prét! Almarhum Mas Mono sendiri lebih paham soal itu. Dan lebih penting lagi, dia mengamalkannya dengan baik ketika dia menyebut adikarya-soi-disant-nya itu dengan koinase hasil inovasinya: “bandros édun.”
“Dia dari Sabang,” Pak Yusuf membantu memberikan jawaban, mungkin karena merasa iba, atau mungkin lebih karena merasa tak nyaman melihat saya dibikin kelimpungan oleh pertanyaan saya sendiri.
“Bagaimana? Di sini panas, ya?” kata sang Pelaut kepada saya, dengan nada bicara yang kembali ramah. “Tak seperti di Bandung, ‘kan?”
“Pernah ke Bandung, Pak?”
“Tanyalah semua awak kapal di sini. Tak ada kota di negeri ini yang belum aku injak tanahnya.”
—Dan aku kencani perempuan-perempuannya? Ho ho. Pelaut, kata orang. Teman kencan di tiap pelabuhan.
Me throat is long, an’ me thirst is strong, sez Abel Brown the sailor.
Me throat is long, an’ me thirst is strong, sez Abel Brown the sailor.
What if you roll from off the shelf? cried the fair young maiden.
What if you roll from off the shelf? cried the fair young maiden….
(Meskipun, Bandung cuma punya “Pelabuhan” Gedebage, dan kapal laut yang dimungkinkan untuk bisa singgah di situ hanyalah kapal sejenis The Flying Dutchman.)
“Ah, tapi Bandung itu tak terlalu dingin, aku bilang,” lanjut sang Pelaut. “Masih kalah dingin sama Kaliurang di Jogja. Cuma, ya, itu. Bandung. Mojang-mojang-nya. Geulis-geulis.”
Mojang-mojang Bandung di “Zaman Normal.” Berkebaya brokade, berkain sinjang Garutan. Rambut mereka ditata sebagai gelung Cioda, dan dihias dengan manglé dari kembang tanjung; kembang tanjungnya sendiri dipungut dari Regentsweg sepulang menonton pergelaran ketuk tilu di kemeriahan arena Pistrén. Mojang-mojang itu berjalan melenggang. Angkat ngagandeuang bangun taya karingrang. Kelom geulis mereka berdegup ketika mereka menyusuri hamparan rumput di bawah julangan portico di depan Gedung Javasche Bank, berdetak ketika mereka menapaki bentangan trotoar di balik rumpun amarilis di depan Gedung Oliefabriek Insulinde. Di sepanjang Jalan Braga, mereka menebar senyum. Jalan Braga: een weg om ngabar raga te opdagen yang tak pernah lelah ber-kamonésan. Van reup tot bray. Dan mojang-mojang Bandung terus berjalan. Umat-imut, lucu. Sura-seuri, nyari. Larak-lirik, keupat. O seu balançado é mais que um poema. O mundo sorrindo se enche de graça. Mooi Bandoeng: Jangan Datang ke Bandung Jika Anda Tinggalkan Istri di Rumah.
Di awal dekade 1970-an, perempuan Bandung yang berkain berkebaya ber-gelung ber-kelom-geulis kebanyakan hanyalah para ibu saja. Dandanan mojang-mojang-nya sudah berganti menjadi disposisi fashion yang amat beragam. Yang berblus crop-top dan ber-rok-mini, atau berblus tube-top dan ber-rok-maxi—ala glam-rock; yang ber-leotard ala dancers; yang bercelana cutbrai atau bell-bottom ala androgynous hippie; yang ber-cardigan kasual dan ber-rok-midi ala aktivis feminisme. Yang menyusutkan lengkung alisnya hingga setipis goresan pensil dan memoles bibir serta kukunya dengan warna merah-darah yang menyala, mengikuti Bianca Jagger; yang membiarkan rambutnya tergerai panjang dengan flick yang jelas di tengah, dan memoleskan understated make-up hingga secara virtual tampak natural, mengikuti Camille Keaton; yang menggabungkan kesederhanaan kasual dan kemewahan elegan dalam ber-make-up, mengikuti Margaux Hemingway; yang menentang objektifikasi-seksual terhadap perempuan oleh industri kosmetika, dengan tampil setegas, senatural, se-demystified mungkin, mengikuti Simone de Beauvoir.
Tapi tetap saja, tak urung mereka membikin Mang Koko terserang meriang.
Tongtonan nu gratis: pamér mode nu gareulis;
Dulak-dilak, ucad-aced; nu nénjokeun panas tiris….
Jangan-jangan, sang Pelaut datang ke Bandung persis di saat Mang Koko kukurilingan ketika hendak membeli terasi, dan bemo yang dinaiki oleh sang Pelaut tertahan di belakang becak yang ditumpangi oleh Mang Koko; mereka sama-sama harus dibawa berkendara berputar-putar karena terkena verboden di mulut Jalan Braga. Jangan-jangan, sejumlah dasawarsa sebelumnya, sang Pelaut juga mengunjungi Bandung setelah dia mengarungi laut dari Singapore; begitu kapalnya lego jangkar di Batavia, dia ditarik oleh seorang pastor bule yang datang dari Hakka, untuk mengajaknya naik kereta-api bersama ke Parijs van Java, untuk menyewa jasanya sebagai sais andong selama sang Pastor kukurilingan menggalang dana di sana, sambil menunggu kedatangan sohibnya dari Garut yang berjanji akan datang menemuinya. Jangan-jangan, sejumlah dasawarsa sebelumnya lagi, ketika Daendels menancapkan tapal Kilometer Nol di een kleine berg dessa, banjar karang pamidangan-nya Dayang Sumbi itu, lalu Daendels melompat naik ke atas punggung kuda tunggangannya, lalu Daendels menoleh ke samping dan berkata, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebouwd,” lalu Daendels membingkaspacu kuda tunggangannya, pergi menembus rimba belantara Parahyangan untuk melanjutkan misi kukurilingan-nya di Pulau Jawa, sang Pelautlah yang menyerahkan tali kekang kepada si Mas Galak itu, setelah dia merawat si Kuda dengan telaten, seperti dia merawat kuda besi made in Jepun yang kini ditutupi sehelai kain terpal di atas dermaga di sini.
“Berapa lama jadi pelaut, Pak?”
“Belum lama,” kata sang Pelaut sambil berdiri dan melangkah turun dari tepi kepala-palka. “Ya… kira-kira tiga puluh tahun, lah.” Sinisismenya kembali muncul, diusik oleh pertanyaan lancang dari saya.
Belum sampai dua abad, ternyata. Atau, mungkin “tahun” yang dikatakannya itu sebenarnya adalah kode. Mungkin yang dimaksudkannya dengan “tahun” adalah sebuah rentang-waktu periodik yang berpatokan kepada revolusi planet Neptunus.
Dengan jawabannya itu, sang Pelaut kemudian tertawa. Tampak, nyaris separuh-jumlah gigi seri, taring, dan geraham-muka di gusi atasnya telah tanggal. Dia balik badan, lalu pergi sambil tetap tertawa.
Seperti terkena gendam, saya melongo menyaksikan sosok bertelanjang dada itu melangkah ke dalam keremangan, hingga tubuhnya yang berkulit gelap itu lenyap ditelan oleh gelapnya lorong ke arah kimbul dan ke dalam anjungan.
Hm. Sepertinya tiga teori mengenai misteri muncul-lenyapnya sang Pelaut tadi itu harus diganti. Telaah mitologis kali ini memang harus diperhitungkan juga, barangkali. Ah, tapi, di ujung sebatang jarum, berapa—?
Pak Yusuf dan Pak Rusli tampak tersenyum-senyum ketika saya menoleh ke arah mereka satu persatu.
“Namanya Pak Kefli,” kata Pak Rusli, menjawab pertanyaan di benak saya yang tidak saya kemukakan. “Lajang, dia,” katanya lagi—dengan senyum dan tatapan matanya yang mengisyaratkan himbauan untuk terlibat dalam sebuah conspiracy of silence.
Inilah kali pertama sekaligus satu-satunya, Pak Rusli berbicara kepada saya dengan kata-kata—hingga saya melompat turun dari Kapal Surya Indah II, dan meninggalkan Pelabuhan Ulèe Lheue, dan meninggalkan Banda Aceh, dan seterusnya. Selebihnya, saya hanya mendengar dia “berbicara” lewat suara langkah kaki dengan hentakan sepatu botnya: entah itu, “prung, prak, prak,” atau “prak, prung, prak,” atau “prak, prak, prak,” atau sejumlah permutasi lainnya. Saya jadi berpikir: Jika “prung” itu dikodekan dengan digit ‘0,’ dan “prak” itu dikodekan dengan digit ‘1,’ maka suara derap sepatu bot Pak Rusli selama dia berjalan seharian di atas geladak Kapal Surya Indah II itu tentunya akan menjadi sebuah untaian data serial digital. Dan saya jadi curiga: Jangan-jangan, bila data itu disegmentasikan seturut kaidah kodifikasi data digital—entah itu ASCII, atau EBCDIC, atau Unicode—maka data itu akan terbaca sebagai pesan rahasia dari kisah kehidupannya.
Prakprak. Pak Rusli turun dari tangki plastik warna biru. Dan seiring alunan “prak, prung, prak, prung…” dari suara derap sepatu bot Pak Rusli yang melintasi geladak, saya melangkah naik ke atas kepala-palka untuk menyeberang ke sisi-kiri kapal.
“Awas!” kata Pak Yusuf memperingatkan di belakang saya. “Hati-hati. Ada kayu yang rapuh, tuh.”
Saya kontan terdiam. Lalu melirik ke bawah. Melalui celah-celah di antara balok-balok kayu, sedikit saja berkas sinar matahari yang jatuh tembus ke ruang palka. Tapi itu sudah cukup untuk memperlihatkan ruang palka yang gelap dan dalam. Kosong. Muatan terakhir telah dibongkar beberapa hari yang lalu, mungkin. Dan muatan baru belum tiba. Saya baru ingat, dan menyadari dengan cara yang bikin ciut nyali, bahwa tinggi sebuah kapal itu tentu saja tidak sama dengan tinggi lambung-bebasnya—apalagi dengan tingginya yang diukur dari muka geladak ke bidang atas platform dermaga. Anjis! Kalau saya sampai jat— Oke. Hati-hati. Balok yang ini… ini… ini… Lengan derek. Langkahi. Hap! Jalan lagi… Pelan! Oke… Turun. Geladak. Fyuh! Lain kali, jangan diulangi lagi. Lebih baik memutar saja, lah.
Sisi-kiri geladak Kapal Surya Indah II. Lepas pandang ke selatan.
Sayap selatan Pelabuhan di ujung seberang ceruk terlihat jelas. Lengan daratan yang menjulur ke laut di sisi selatan sana tampak hijau. Lebih hijau dari sisi utara sini. Bukan hanya perdu, tetapi pohon-pohon juga tumbuh di tempat-tempat tertentu di sana, berderet di sepanjang pita-semenanjung. Tepat di pojok yang menyiku di antara garis pantai Gerbang Laut Pelabuhan dengan sisi-dalam dari lengan-daratan, sebuah struktur beton, tampaknya, menjulur ke laut, ke arah timur. Sebuah ferry slip? Ya. Boleh jadi. Diperuntukkan bagi kapal-kapal ro-ro, sepertinya. Apa ada apron-nya juga? Hm. Tak begitu jelas. Ada, barangkali. Terlihat ada struktur gantry yang bercat kuning di sana, berdiri menjulang.
Setelah mengambil satu dua foto, saya melihat Pak Yusuf tengah membetulkan posisi tumpukan ban bekas yang menyangga ujung lengan-derek di tepi-belakang kepala-palka.
“Kenapa mesti takut?” kata Pak Yusuf, ketika saya meminta izin untuk memotretnya. “Memangnya kita ini salah apa? Kalau bikin salah, baru kita takut, ‘kan?”
Pak Yusuf lalu berjalan melintasi geladak—ke arah haluan, menuju kursi kayu di samping tiang kapal dan blok-blok mesin yang mengampu sistem-derek. Dia naik ke kursi itu—singgasananya—ya—dan duduk bersandar dengan posisi yang hampir mirip posisi berjongkok, kakinya yang tak beralas berpijak ke tepi-depan bidang-horizontal papan kursi. Saya mengarahkan lensa kamera di telepon genggam saya, mencari bingkai pemotretan. Pak Rusli yang sedang menyadap cairan belangkin dari jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal masuk ke dalam fokus kamera. Juga sedikit pemandangan dari Gerbang Laut Pelabuhan yang dilatardepani oleh Kapal Pulo Rondo yang terlanggung di sebelah luar, dengan suprastrukturnya yang bercat putih ber-striping biru, menyembul dari balik geladak-akil Kapal Surya Indah II.
Terenyumlah, Pak. Katakan salam pada dunia. Und Friede auf Erden!
Jepret!
Saya berjalan sedikit ke depan di sisi-kanan kapal, dan mengambil foto sekali lagi.
Jepret!
Ada yang terasa janggal pada pemandangan yang saya lihat ketika saya memotret Pak Yusuf barusan. Tapi apa, ya? Saya berjalan ke tepi, dan duduk di atas bibir-lambung kapal di sekitar tempat yang tadi ditinggalkan oleh Pak Yusuf. Sambil mengupil, saya mencoba merenung. Suram. Saya lalu mencoba berpikir keras. Malah gelap. Akhirnya saya menyerah. Sebagai gantinya, saya mengkonsentrasikan seluruh kekuatan imajinasi saya kepada upaya proaktif yang konsisten dan sungguh-sungguh, dengan komitmen penuh kepada integritas dan kemuliaan karakter, penuh dedikasi, penuh keyakinan, dengan semangat dan daya juang yang super sekali, serta dengan ikhlas dan tanpa pamrih, semata didorong oleh jiwa pengabdian yang tulus di dalam mengemban amanah yang dipercayakan kepada saya, untuk mencongkel gumpalan upil yang lengket dan mengeras di dinding lubang hidung saya. Gunakan kelingking. Ribet. Telunjuk. Ribet. Jari teng— Aah! ribet. Jempol. Ribet. Telunjuk….
Samar pada mulanya, lalu menegas setelahnya, nada C terendah dari organ, double-bass, dan contrabassoon berdengung. Lalu, cor-anglais: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Mayor-minor. Brass- dan woodwind-section. Lalu, timpani bertalu. Mata saya tertawan oleh pemandangan Gerbang Laut Pelabuhan. Lalu, cor-anglais, trumpet: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Minor-mayor. Brass- dan woodwind-section kembali. Lalu, timpani bertalu kembali. Kapal Pulo Rondo terlihat makin tegas, makin tegas: suprastruktur putih ber-striping biru. Lalu, cor-anglais, trumpet, trombone: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Mayor-mayor. String-, brass-, dan woodwind-section. Berpadu dengan dentam timpani, denting glockenspiel, dan gemerincing pernik perkusi lainnya. “Sonnenaufgang” dari Opus-No.-30-nya Richard Strauß membahana. Shazam! Sebuah epiphany hadir di benak saya—seiring tercongkelnya oleh ujung kuku di telunjuk saya, secuil upil yang berwarna kelabu kehijauan dan yang berdimensi di atas rata-rata:
Oh, ya…! Bukankah tadi yang terlanggung di sebelah luar Gerbang Laut Pelabuhan itu Kapal Express Bahari 3B? Kenapa sekarang jadi Kapal Pulo Rondo? Wuih! Rupanya barusan kedua kapal itu diam-diam bertukar tempat!
KAPAL PULO RONDO: (Dengan senyum sinis.) ‘Gak usah lebay ‘gitu, déh. Perasaan, kita ‘gak paké bikin acara diam-diam. ‘Émangnya nikah siri? diam-diam? Situnya ‘aja yang ‘gak liat, ‘kalée….
SAYA: Ya, mémang ‘gak liat, sih, Néng.
KAPAL PULO RONDO: Étapi, kalo ‘gak liat, kok situ berani-beraninya, ya, bilang “diam-diam”? ‘Kan ‘gak ngeliat, diam-diam apa enggak.
SAYA: Yah, si Enéng. Jadi répot, déh. Sénsi amat, sih, jadi kapal.
KAPAL EXPRESS BAHARI 3B: (Sambil nongol.) Sudah. Sudah. Tak usah, lah, dibuat bertengkar.
KAPAL BASARNAS: (Lirik kiri, lirik kanan, lalu tengadah ke langit—dengan ekspresi bosan setengah putus asa.) Hadeuh… Kenapa juga aku harus lama-lama ‘nunggu di sini….
STEPHEN HAWKING: (Mendadak muncul dari ruang yang melengkung, bergetar, lalu terkoyak di atas laut Pelabuhan. Melayang, sebelum lenyap perlahan-lahan.) Atau, kenapa juga alam semesta ini mesti répot-répot mengada?
NOAM CHOMSKY: (Berangsur mencuat dari bawah laut. Kemudian, berjalan santai di atas permukaan air, sebelum lesap di cakrawala.) Kenapa? Karena gagasan-gagasan hijau yang tak berwarna tertidur dengan sekuat tenaga, Kawan.
UPIL: Aku dizalimi! Aku dizalimi! Aku dizal—hmbpft….
Kalau boleh terus terang, sih, sebenarnya menyesal juga, saya tadi keasyikan mengobrol. Sampai lupa tengok kiri kanan. Dan yang lebih penting lagi: tengok belakang. Luput, deh, pergerakan si Pulo Rondo dan si Express Bahari 3B dari pantauan.
Ah, sudahlah.
Eh… tapi… sebentar…. Mereka—tukar tempat—kapal-kapal itu— Apakah itu berarti—
Guooong!
“Lihat, tuh! Kapalnya mau berangkat,” seru Pak Yusuf.
Serta-merta saya berdiri (Ini upil kok lengket banget, ya? Dilapkan saja. Celana. Belakang pantat.), mengangkat telepon genggam saya (Iya, iya. Pinjaman.), dan mengarahkan lensa kamera, fitur bawaan si telepon genggam (Alah. Mungkin cuma itu, variabel-artistik fotografisnya.), kepada Kapal Pulo Rondo yang bergerak perlahan (Timer di kepala saya mulai menghitung: 00:00. Bukan. Titik 00:00 itu “Guooong!” Oke: 00:10.); kemudian ketika Pak Kefli, yang berada di depan lorong di sebelah kiri anjungan (Wuih! Tiba-tiba muncul di situ saja, dia.), memanggil saya, “Di sini ‘ngambilnya,” saya bergegas berjingkat melewati kepala-palka (Yah! Lupa, seharusnya jangan lewat sini!—Oke. Hati-hati: ada kayu yang rapuh. Hap! Lompati lengan-derek.) menuju geladak di sisi-kiri kapal (Kapal Surya Indah II ini, tentu saja.) untuk mengambil posisi di samping Pak Kefli yang berdiri terpaku (Adakah perempuan cantik yang dirindukannya menumpang kapal yang tengah ber-“siap-gerak!” untuk berangkat meninggalkan Pelabuhan?), dengan tatapan matanya yang seakan-akan tak hendak lepas dari Kapal Pulo Rondo.
00:18: Buritan Kapal Pulo Rondo hampir menyelesaikan busur putaran seperempat lingkaran berlawanan arah jarum jam. 00:20: Kapal Pulo Rondo sudah menghadap ke barat (ke arah Gerbang Laut Pelabuhan), dan berada pada posisi hampir tegak lurus terhadap Kapal Express Bahari 3B yang masih bersandar, menghadap ke utara. 00:26: Pak Kefli berkata, “Cantik ‘kali, ‘kan?” 00:31: Dengan dengungan halus nan pelan dari suara mesin, Kapal Pulo Rondo mundur perlahan menjauhi Pelabuhan. 00:34: Di Gerbang Laut Pelabuhan, kini tinggal Kapal Express Bahari 3B yang bersandar, seutuhnya terpapar kepada pandangan dari arah sini. Di latar belakangnya, tampak gedung-gedung di kompleks pelabuhan—atap bangunan utamanya terlihat melintang dari selatan ke utara, warna terakota. 00:48: Hom hai, hom hai…. 00:54: Kapal Pulo Rondo kembali memulai membuat putaran berlawanan arah jarum jam. 01:19: Satu kuadran putaran telah ditempuh oleh Kapal Pulo Rondo: kini dia menghadap ke selatan; pinggulnya yang padat terlihat bertelabat. 01:29: I will go back to the great sweet mother. Mother and lover of men, the sea. 01:40: Fugue, canto, toccata, rondo. Berputarlah, Pulo Rondo. 01:54: Pak Rusli menyapukan belangkin, dengan ujung-kuasnya, di atas muka-lengkung salah satu bilah-lutut yang bertanggam di antara tiang-penyangga-kubu dan balok-geladak—decrescendo, crescendo, staccato, staccato, decrescendo, ritardando, diminuendo…. 02:10: Kapal Pulo Rondo kini telah berbalik arah, membelakangi pelabuhan. 02:16: Hom hai, hom hai…. 02:23: Air laut tampak tersibak di sisi-kiri (dan pasti juga sisi-kanan, seandainya terlihat dari sini) haluan Kapal Pulo Rondo: si Kapal mulai melaju berakselerasi. Para diante, Garota Formosa. Afastado! Afastado! 02:44: Kapal Pulo Rondo meluncur deras menjauh dari Pelabuhan—meninggalkan jejak memanjang buih yang memutih di permukaan laut di belakangnya. 03:05: Kapal Pulo Rondo menghilang dari pandangan, terhalang oleh anjungan Kapal Surya Indah II; saya bergegas bergerak melintasi geladak, menyeberang ke sisi-kanan. 03:14: Kapal Pulo Rondo terlihat muncul di belakang lorong-gelap-arah-kimbul Kapal Surya Indah II, dan terus melaju. 03:17: Siapakah pacar Cut Keumala? 03:22: Kapal Pulo Rondo menembus lorong-pandu di antara dua lengan daratan, dan berlayar bablas ke samudera lepas….
The Ship was cheer’d, the Harbour clear’d—
Merrily did we drop
Below the Kirk, below the Hill,
Below the Light-house top.
The breezes blew, the white foam flew,
The furrow follow’d free:
We were the first that ever burst
Into that silent Sea.
First-in-first-out berkendala switched-single-entry/exit-point: Bertukar tempatnya Kapal Pulo Rondo dan Kapal Express Bahari 3B tadi itu tentu saja tak terhindarkan. Kapal yang tiba dan menunggu pemberangkatan berikutnya harus merapat pada dermaga kapal-cepat di Gerbang Laut Pelabuhan, membuka pintunya bagi para penumpang yang keluar dan masuk melaui gerbang kedatangan dan keberangkatan. Kenapa fakta yang sangat elementary-my-dear-Watson sekali ini tadi tak terpikirkan, ya? Alah. Jadi kau kira kau ini Sherlock Holmes, Bung? Hm. Saya lebih suka menjadi The Old Man in the Corner. Benang sulam lebih mudah dimainkan daripada dawai biola; segelas susu lebih sehat daripada sekantong kokain; dan berbincang dengan seorang wartawati cantik, apalagi yang juga seorang baroness, tentu saja lebih menyenangkan daripada berbincang dengan seorang dokter berkumis baplang.
“Bagaimana? Dapat, gambarnya?” tanya Pak Yusuf, yang kini telah kembali duduk di atas bibir-lambung kapal di sisi-kanan. Seonggok tali-temali, kusut, nyaris menyerupai Simpul Gordium yang nyaris bikin Alexander frustrasi, tergeletak bertimbun di depan kakinya.
Saya mengangguk.
Ruang palka masih mengusik rasa penasaran saya. Dalam perjalanan menyusuri sisi-kanan kapal, saya berhenti di tepi kepala-palka dan menengok ke dalam ruang gelap nan curam di bawah itu melalui sekolom celah lebar yang tampaknya ditinggalkan oleh salah satu balok kayu dari deretan balok-balok kayu lainnya. Satu balok kayu yang rapuh, mungkin. Yang kemudian dicopot saja.
“Ini, kalau hujan, bagaimana, Pak?” saya bertanya sambil berjalan menghampiri Pak Yusuf.
“Ke bawah,” jawab Pak Yusuf. “Airnya jatuh ke palka. Nanti dibuang keluar.”
Saya masih hendak bertanya lagi. Tapi Pak Yusuf tiba-tiba berdiri—dan dia memanggil Pak Rusli yang tengah mengecat ujung-atas gading-gading kapal di pojok-kiri dekat haluan, di antara dinding-belakang ruang-akil dan sebuah tangki plastik warna putih yang berkurung rangka besi.
“***** tadi mana?” tanya Pak Yusuf.
“Di dalam,” jawab Pak Rusli.
Mendengar itu, saya mengeluarkan ***** yang saya bawa dan menawarkannya.
Pak Yusuf melirik *****-filter “ringan” yang saya sodorkan ini sambil bertanya:
“Apa, tuh?”
Setelah mengamati sejenak, dia berkata lagi:
“Oh. Itu, ya.”
Lalu, tanpa menerima “gratifikasi” dari saya, dia pergi ke dalam anjungan dengan berjalan melalui lorong sebelah kanan, disusul oleh Pak Rusli dengan “prung, prak, prung, prak…”-nya ketika berjalan melalui lorong sebelah kiri.
Sesaat kemudian, Pak Yusuf kembali muncul, berjalan sambil menghisap *****-****** tanpa-filter yang mengepul di antara dua jari tangannya. Setelah itu, Pak Rusli juga muncul menyusul, kepulan asap *****nya menari diiringi rentak swinging ragtime dari derap sepatu botnya dalam irama “The Entertainer”-nya Scott Joplin, “prungprak, prak, prak, prak….” Tak mau kalah, dan kadung ***** sudah saya keluarkan, saya pun turut menyalakan sebatang di tangan—dengan menggunakan pemantik-api plastik standar-industri yang saya beli di sebuah toko kelontong, di Keuchik Peuniti, yang ditunggui oleh seorang ibu-muda cantik yang memajang, di etalase tokonya, foto-bersama dirinya dengan Andra and the Backbone.
Maka demikianlah, akhirnya kami dipersatukan kembali di keceriaan pagi yang berseri-seri, dalam sebuah acara kenduri meracuni paru-paru sendiri.
“Biasanya mengangkut apa, ini, Pak?” tanya saya kepada Pak Yusuf, setelah dia duduk kembali di posisi yang tadi ditinggalkannya.
Prak, prak, prak….
“Kelapa,” jawab Pak Yusuf. “Lainnya juga. Macam-macam, lah. Tapi seringnya kelapa. Terakhir kita bawa kelapa ke Penang.”
Prung.
“Malaysia?”
Pertanyaan bodoh. Di mana lagi ada kota bernama “Penang”? O, ya, masih ingat arus pengungsi dari Aceh ke sana—waktu konflik bersenjata di sini sedang berkecamuk sepanas-panasnya? Itu dia: The Penang Connection.
“Ya. Ke Malaysia. Sering sampai ke Thailand juga.”
Hm.
“Dari sini ke Penang, berapa lama, itu, Pak?”
“Empat puluh dua jam, lah.”
Sayup-sayup berandang, mercusuar berdiri di ujung lengan-daratan bertanggul-batu. Ke kiri lagi: laut lepas. Selat Malaka yang lelah dengan peluh dan darah sejarah, dari titik di ujung utara Bumi Andalas ini, tampak membentang ke cakrawala. Mutakhir, sekaligus purba. Di saat ini: terlihat tenang.
Nun di tengah samudera sana, jauh di masa silam, dari atas sebuah kapal, sepasang mata mengelih ke arah sini….
Dizem que desta terra co as possantes
Ondas o mar, entrando, dividiu
A nobre ilha Samatra, que já d’antes
Juntas ambas a gente antiga viu.
“Kalau sedang melaut, sering ketemu badai, Pak?”
Pertanyaan bodoh berikutnya. Pertanyaan bodoh yang meluncur begitu saja. Dari mana, sih, datangnya? Apa dari Vasco da Gama? Hm. Bukan. Kamprét! Hollywood lagi. Laut dan Romantisme Basi: Sebuah Tinjauan Sotoy Berbasis Cemilan atas Representasi Sinematografis dari Heroisme Maritim sebagai Alegori Termaknyus untuk Kehidupan, ‘Kali Yée. Kapten Jack Sparrow mencuri The Interceptor dan berlayar menuju La Isla de Muerta: Pelaut ketemu badai? Ya, iyalah. Bukankah tadi juga Pak Yusuf sudah bilang kalau dia ini sudah kenyang melaut? Dan laut yang tidak ada badainya—ya, cuma ada di lagu “You’re My Everything.” Ho ho. Pak Kefli benar, Bung: kau tak tahu apa-apa. O, kau pasti tampak dungu. Seandainya saja kau bisa melihat dirimu sendiri. Mungkinkah? O wad some Power the giftie gie us, to see oursels as ithers see us! Jangan kaget lagi kalau kau dibilang bego. Biasakanlah.
“Sudah biasa, itu,” kata Pak Yusuf sambil tersenyum—senyum sahibulmantik terhadap tautologi. “Badai. Ombak tinggi.”
Baru ingat: Bukankah sebulan lalu angin kencang dan ombak tinggi juga melanda perairan di sini?—atau, di laut antara Pelabuhan Ulèe Lheue di Banda Aceh sini dan Pelabuhan Balohan di Sabang sana? Ya. Headline di koran Serambi Indonesia. Dua kapal sempat terperangkap di sana waktu itu, katanya. Salah satunya, KMP BRR. Dan satunya lagi? Noh—si Inong yang lagi rebahan manis di belakang, noh. Si Bodi Putih Berpolet Oranye. Katanya, ketika ombak besar menghantam bagian lambung dari kapal yang dikemudikannya, sang Nahkoda mengirimkan pesan melalui perangkat telekomunikasi kepada Pelabuhan, dan pesan itu, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan situasi yang tengah dihadapi, berbunyi, “sangat terasa.” Hi hi. Seperti adiknya Walt Whitman saja. Pasti dia bukan seorang pe-galau di media sosial, seperti saya. Beruntunglah, jadinya: Serambi Indonesia terselamatkan dari tsunami kata-kata lebay.
Laut: ombak, angin, apa lagi? hujan, petir, arus laut… O, ya, satu lagi: es. Badan air yang membentuk hampir tiga perempat muka bumi ini agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi medan interaksi faktor ketidakpastian yang paling ngéhé. Ya. Konon, banyak variabel eksternal penting bagi teknik rekayasa perkapalan bahkan sampai saat ini pun masih belum terdeterminasi. Dan manusia sudah mengenal perahu sejak… kapan? Sepuluh ribu tahun yang lalu? Masih lebih mudah, katanya, untuk menghitung apa yang akan terjadi pada sebuah pesawat ulang-alik, yang sedang melesat di luar angkasa, daripada menghitung apa yang akan terjadi pada sebuah kapal, yang sedang berlayar di tengah laut. Pélagos: edóo stéenei énedra, ktéenos. Cari mati? Cari bahaya? Ke laut ‘aja. Ho ho. Euch, wer je sich mit listigen Segeln auf furchtbare Meere einschiffte—
“Kalau laut lagi ‘ngamuk,” lanjut Pak Yusuf, “habis, kita, dibanting ombak. Kiri, kanan, depan, belakang. Sampai mau tumpah.”
Tetap ada upaya untuk mengantisipasi bahaya, tentu. Ada standar untuk konstruksi kapal, misalnya. Dasar berganda, sekat pelanggaran, kompartemen kedap air, cofferdam…. Juga berbagai prosedur keselamatan. COLREGS, misalnya. Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea. Atau SOLAS. Safety of Life at Sea. Belum ada SOLAS, memang, ketika RMS Titanic angkat sauh di Pelabuhan Southampton untuk pelayaran perdana. Rabu jelang tengah hari, 10 April 1912. Benar, justru tenggelamnya Titanic-lah yang mendorong lahirnya SOLAS. Tapi tentu saja keliru kalau dikatakan bahwa saat itu prosedur keselamatan belum ada, teknologi perkapalan masih terbelakang, atau sang Nahkode, E. J. Smith, adalah seorang pelaut kacangan yang suka linglung dan doyan tidur.
Nasib Titanic sebenarnya bisa saja berakhir lebih awal. Ya. Cuma beberapa menit setelah, “guooong!” Gejolak air laut yang dipicu pergerakannya membikin lepas, temali-tambat SS City of New York. Tabrakan nyaris terjadi. “Full astern!” seru Kapten Smith. Bayangkan para pekerja di ruang mesin di geladak Tank Top sontak bergerak: memutar engkol-engkol, daun-daun kendali katup-katup, mendorong tuas-tuas, menarik tali-temali, menyekop onggokan batu bara ke dalam tungku membara… dan pastinya juga sambil berteriak-teriak. Titanic berhenti. Dan SS City of New York yang terlunta-lunta itu kemudian ditarik oleh Kapal Vulcan, sebuah tugboat yang sedang berada di situ saat itu, untuk kembali ditambatkan pada dermaga.
Tapi nasib memang aneh. Bukan tabrakan besar yang menenggelamkan Titanic. Seandainya Titanic menabrak gunung es, menghantam bongkahan es hingga lambungnya terkoyak parah, bukan tidak mungkin, ia malah masih akan tetap bisa mendongak di atas permukaan laut. Dan Tuan Ismay masih akan bisa berkoar-koar, mengatakan bahwa Titanic memang layak diberi gelar seperti yang diperikan dengan dingin oleh para insinyur White Star Line sebagai, “virtually unsinkable,” dan yang dikutip dengan penuh sensasi oleh media sebagai, “unsinkable!” dan yang digaungkan dengan segenap keagungan oleh Caledon Hockley sebagai “God Himself could not sink the ship.”
Cikar kiri kemudi, lambung kanan Titanic menyerempet gunung es, bergesekan hingga paku-paku keling baja yang menyatukan dua lapis galar-lambungnya tercongkel terseret-seret. Bukan sebuah lubang-koyak yang menganga lebar, yang dihasilkan, seperti yang mungkin timbul dari sebuah tabrakan frontal, tetapi lubang-lubang kecil yang tersebar di sepanjang lambung kapal. Fatal. Enam belas kompartemen kedap air, yang ada. Dua bocor? Tenang; masih aman. Tapi karena peristiwa serempetan itu: bukan satu dua kompartemen kedap air yang bocor, jadinya; tapi tiga… empat… lima….
“Kalau hujan deras,” kata Pak Yusuf lagi, “ini haluan bisa sampai masuk ke air. Tenggelam. Kalau ‘darah ayam,’ sudah pulang ke darat saja, maunya.”
Barangkali memang hanya ada sedikit saja kasus di mana berada di atas daratan menjadi berlipat kali lebih mematikan daripada berada di atas kapal di tengah laut.
Senin pagi, 27 Agustus 1883, misalnya. Teluk Betung. Gelombang besar yang mendera pantai, yang datang dari tsunami yang dipicu oleh letusan dahsyat Krakatau, diterjang langsung oleh Kapal Governor General Loudon. Sementara, J. H. Lindeman, sang Nahkoda, menyaksikan sekumpulan orang Eropa yang berdiri di atas dermaga ludes dihantam air laut. Kapal Loudon sendiri malah selamat, meskipun para kru dan penumpangnya harus bergelut dengan hujan lumpur, batu apung, dan debu vulkanik yang pekat—dan yang juga panas menyengat.
Oh, ya. Bagaimana, ya, kabar para kru Kapal PLTD Apung-nya PLN yang dilemparkan gelombang pasang saat Gempa dan Tsunami 2004 terjadi? —Peristiwa yang barangkali merupakan salah satu bencana-alam paling besar sepanjang sejarah umat manusia itu. Minggu pagi, 26 Desember. Aceh, pantai selatan Thailand, seluruh Kepulauan Andaman, dan pantai timur Srilangka luluh lantak karenanya. Dalam skala yang lebih kecil, tsunami juga mengimbas sedikit pantai barat Malaysia serta pantai timur Somalia dan Kenya. Tapi si Kapal PLTD Apung malah melenggang, menyelonong ke atas daratan, lalu menclok di Pungé Blang Cut, dan kini nongkrong di tengah-tengah permukiman penduduk. Nun, di selatan-barat-daya sana.
Prak, prung, prak….
Tapi selebihnya, ancaman dari laut sepertinya tak pernah pupus. Tabiat manusia sendiri, di laut, bisa menjadi sekelam, setakpernahterbayangkankelamnya Le Radeau de la Méduse. Maka kalau diminta untuk memilih, bahkan pelaut yang paling ulung sekalipun tentu saja akan memilih untuk tiba kembali di darat dengan selamat, kendatipun melarat, daripada memilih untuk berlayar mendekap emas bertabut-tabut, tapi kisahnya tamat dikerkah maut di tengah laut. Seringkali dibutuhkan kerendahan hati untuk mempertahankan nyawa, seperti halnya dibutuhkan kebesaran nyali untuk mempertaruhkan nyawa. Dan yang paling pantas untuk mendongak di hadapan laut adalah yang paling mampu untuk tunduk di hadapan laut.
Sir Francis Drake tahu betul, itu. Berlayar dari Plymouth menuju negeri-negeri Amerika Selatan yang dikuasai Kerajaan Spanyol; merampas kapal dagang Portugis di lepas pantai Kepulauan Cape Verde; menghukum-penggal seorang perwiranya di muara Rio de la Plata, mengikuti cara Ferdindand Magellan dalam meredam pemberontakan; dihantam angin kencang di antara pulau-pulau jebakan-badai di sekitar Tierra del Fuego, dan dihempaskan jauh ke selatan; berlayar ke utara “sendirian” dengan The Golden Hind karena kapal-kapal lain dalam rombongannya entah hilang entah pulang; membalas dengan garangnya dentuman meriam, tangan-tangan terbuka penduduk Valparaíso yang menyambutnya dengan ramah, lalu menjarah roti, anggur, dan lemak babi sebanyak yang bisa dia bawa, serta menjambret sejumlah emas dari sebuah kapal yang bersandar di pelabuhan di sana; membuntuti Kapal Nuestra Señora de la Concepción, di perariran dekat Callao, sebelum menghajar tiang-baksi kapal itu dengan sepasang bola-meriam yang dirantaikan bergandeng, hingga kapal yang dinahkodai San Juan de Anton itu takluk, lalu merampas muatan berharga yang diangkutnya, berpon-pon emas dan berton-ton perak, jauh lebih banyak dari hasil penyerbuan ke Nombre de Dios beberapa tahun sebelumnya… sampai di Ternate, si Bajak Laut itu memilih untuk menjadi anak baik.
Sir Francis Drake di Kepulauan Raja-raja. Ya. Frank si Anak Baik. Beras dan tebu, dia beli. Cengkeh, dia bikin deal langsung dengan Yang Mulia Sultan. Perairan Nusantara, abad enam belas: bukan kolam renang mini untuk anak ingusan. Di laut Sulawesi kapalnya menabrak karang. Meriam, perbekalan, bahkan setengah kargonya, dia lempar ke laut. Tiga hari tercengkeram karang, akhirnya deru angin berhenti, dan The Golden Hind terlepas bebas. Beruntung, itu orang. Atau dia memang cerdik? Atau keberuntungan hanya datang kepada orang-orang yang cerdik? El Draque. Jagoan bagi orang Inggris, bajingan bagi orang Spanyol. Muda, merampok dan bertualang; tua, surat tanah segepok dan posisi terhormat bersanjung orang. Kalau saja dia tidak turun lagi melaut, dan menggarong Santo Domingo dan Cartagena, mungkin dia akan bisa melewati masa pensiunnya di Buckland Abbey, di Devon, kampung halamannya, menikmati sisa hidupnya dengan tenang. Apa boleh buat. Kualat, dia. Kutukan buyut moyangnya Úrsula Iguarán: utang panas terbakar kompor dibayar panas terbakar disentri. Nasib. Aneh. Pantat gosong yang bikin pohon sarangan mereput di mulut semut.
Prung, prak, prung….
Api. Ya, satu lagi bahaya di tengah laut: api. Api menjalar dari saluran ventilasi ke ruang mesin ke geladak kendaraan pada KMP Tampomas II di atas perairan Masalembo—dan akhirnya membakar seluruh kapal. Januari 1981. Es memang menenggelamkan Titanic lebih cepat, tak sampai tiga jam setelah tabrakan, tapi selang waktu yang cukup panjang sejak api terpercik di atas Tampomas II hingga kapal itu tenggelam, sekira tiga puluh jam, adalah neraka yang penuh horor. Pelat-pelat baja yang membangun bagian-bagian kapal berubah menjadi “penggorengan” yang kejam; sejumlah penumpang hangus terpanggang begitu saja. Kisah-kisah kepengecutan dan kepahlawanan: sebagian awak kapal yang sibuk menurunkan sekoci untuk diri mereka sendiri, Kapten Abdul Rivai yang bertahan di atas kapal sambil mengupayakan evakuasi para penumpang ke KM Sangihe. Salon telah ditutup sejak api terdeteksi, dan Band Kapal telah bubar. Dan para penumpang yang ketakutan itu harus menghadapi menit demi menit penentuan nasib dalam kebisingan yang mencekam atau sunyi yang mengiris—tanpa alunan “Nearer, My God, to Thee,” dari orkes musik kamarnya Wallace Hartley dan kawan-kawannya, dan tanpa ada seorang gadis yang diselundupkan, entah dari masa lalu entah dari masa depan, untuk bernyanyi, “Płonie ognisko w lesie, wiatr smętną piosnkę niesie….”
Prak, prak, prak….
Hmghhh…. Apakah Kapal Surya Indah II memiliki sertifikat kelayakan melaut dari Kemenhub? memenuhi standar konstruksi dan kelengkapan operasional seturut arahan dari IMO? Tak sopan, tanyakan itu kepada Pak Yusuf. Apakah standar keselamatan sudah diindahkan oleh pemilik Kapal Surya Indah II? Pastinya. Atau… ya, saya harap begitu, lah. Rasanya SOLAS sudah diakui berlaku universal. Bahkan untuk kapal kayu seperti Kapal Surya Indah II ini. Pak Yusuf dan kawan-kawannya pasti sudah akrab dengan hal itu. Tentu saja. Karena kepadanya mereka menggantungkan perkara hidup mati. Oke, sebagiannya, setidaknya. Sebagian lagi? Kepada keteguhan hati—juga, tentu saja, keteguhan kepala, badan, tangan, dan kaki. Sisanya? Kepada kontingensi konstelasi relatif benda-benda langit, mungkin. Dan akhirnya kepada Takdir—dari Yang Mahaesa: Yang di Atas, atau Yang di Bawah, atau Yang di Depan, atau Yang di Belakang, atau Yang di Samping Kiri, atau Yang di Samping Kanan, (konon, bahkan jauh sebelum Erathostenes, ada banyak di antara para pelaut yang sudah ngeh kalau bumi ini bulat,) atau Yang di Tengah: Yang Lebih Dekat dari Urat Leher. Fa’lamū, yā, ayyuha al-sailors, inna-Hu Huwa ălā kulli surgin’-swayin’-heavin’-pitchin’-rollin’-yawin’, qadīr. Takdir—yang bagi para pelaut tak lagi soal apakah berwajah tremendum ataukah fascinans. Takdir—yang oleh para pelaut dijemput dengan gagah berani, tak jarang juga dengan riang ria dan gelak canda. Biarlah dunia tetap bersangkarkan cakrawala; hidup adalah sepasang payudara bermandikan cuaca.
“Kita ini ‘peltu’: pelaut tulen,” kata Pak Yusuf sambil mengangkat kepalanya; topi hitamnya tengadah bagak. “Ini ‘darah harimau’ semua.”
Seekor harimau tiba-tiba muncul dari lorong di samping kanan anjungan, berjalan gontai dengan langkah-langkah ringan. Mendekat. Matanya menatap tenang namun tajam. Kumisnya sesekali mengerut-merentang.
“Ada apa, nih?” tanya sang Harimau.
Pak Baihaki. Demikian, dia biasa dipanggil. Berkumis tebal nan hitam legam (sama sekali tidak mirip kumis harimau, memang). Kumisnya mengingatkan saya kepada masa-masa vintage dangdut tahun 1980-an, eranya Meggy Z dan Hamdan ATT; tapi ambiance yang dipancarkannya mengingatkan saya kepada masa-masa keemasan rock tahun 1970-an, eranya Ucok Harahap dan Syech Abidin.
“Aku baru bilang sama tamu kita,” kata Pak Yusuf, “kita ini ‘peltu’: pelaut tulen.”
Pak Baihaki tersenyum. Dia mengangkat kaki kirinya dan memijakkannya ke tepi kepala-palka; kemudian, sambil sedikit membungkuk, meletakkkan sikut kiri di lututnya, tangan kanan di pinggangnya, dia menoleh kepada Pak Rusli yang datang ber-“prung, prung, prak” di depan anjungan. Lalu dia bertanya:
“Siapa, tuh, kelasi yang kemarin pertama melaut? Stres, dia.”
Pak Rusli menyebut satu nama.
“Dulu aku pun begitu,” kata Pak Baihaki. “Lempar tali, kaki kena tali.”
Mereka tertawa.
“Di laut, kalau ombak lagi tinggi,” kata Pak Baihaki sembari dia menoleh ke arah saya, “semuanya kelihatan aneh. Sekali, kita lihat kapal lain di atas kepala; kita di bawah. Terus balik. Gantian, kita yang di atas; mereka di bawah. Kaget, lah, orang yang biasa tinggal di darat, kalau dibawa ke laut pas kayak ‘gitu.”
“Begitu, ya.”
“Saya juga belum terlalu lama kerja di laut,” kata Pak Baihaki lagi, sambil menarik kakinya kembali dan berdiri tegak di atas geladak.
Pak Baihaki kemudian melangkah ke arah bibir-lambung kapal, dan duduk di sebelah Pak Yusuf.
“Dulu saya sopir di Medan. Bawa L-300. ‘Narik sayur-mayur ke Belawan.”
“Oh. Jadi Bapak juga aslinya dari Medan, ya?”
Bagus. Sangat kreatif. Dari mana Anda berasal? Itu saja pertanyaanmu dari tadi, Bung. Oh! Bukan dari tadi, tapi dari kemarin-kemarin. Membosankan. Begitukah modus-operandimu dalam bersosialisasi? Siapa lagi yang kau tanya seperti itu? Pak Mohamad, Pak Ibnu Ali, Pak Ansari, Bang Marwan, siapa lagi? seorang ibu penjaga warung di kawasan wisata Ulèe Lheue di sebelah barat sana, seorang anak muda di depan Gedung Balai Kota, seorang lelaki tua penyandang tuna netra di pelataran Mesjid Baiturrahman, seorang pengendara becak di depan gerobak pedagang martabak di Pasar Atjeh….
“Bukan,” terdengar suara Pak Baihaki menjawab, “Saya dari Sabang. Di Medan, biasa, lah: cari hidup.”
Pak Baihaki kemudian melirik ke arah Pak Yusuf, dan mengatakan beberapa patah kata sotto voce. Pak Yusuf tampak menyimaknya dengan penuh atensi. Tak lama kemudian mereka larut dalam sebuah perbincangan yang terlihat intens. Dari pelaut kepada pelaut? Mungkin lebih dari itu. Keakraban di antara mereka lebih menyerupai keakraban antaranggota keluarga—atau, setidaknya, keakraban antara dua orang yang sudah lama saling kenal. Kadang-kadang mereka menengok ke arah saya, seolah-olah ingin menegaskan bahwa mereka menyadari kehadiran saya di sini. Mereka bahkan sesekali mengundang saya untuk berkomentar. Tapi saya lebih sering menjawabnya dengan cengegesan atau angguk-angguk sok paham—atau dengan kata-kata sesingkat, sedatar, dan semasuk akal mungkin.
Nurani saya membisikkan pertimbangan: barangkali saya harus mematuhi tuntutan etika untuk memberikan sedikit ruang kepada kedua pelaut itu untuk mendapatkan privasi mereka. Maka saya pun sedikit demi sedikit mundur menjauh. Setidaknya, itu adalah salah satu alasan. Tuntutan alam adalah alasan yang lebih mendesak untuk dipenuhi, sebenarnya. Atau… oh, ho ho, ini tuntutan etika juga, Saudara-saudara. Oke, etiket, lah, kalau tak boleh disebut sebagai etika. Kentut adalah sebuah peristiwa amelioratif dalam konstruksi natural, tetapi sebuah peristiwa pejoratif dalam konstruksi sosial.
Dari tadi perut saya terasa begah. Apa tadi malam saya salah makan, ya? Hm. Nasi goreng hana masak. Sotong goreng. Kemarin dulu, juga. Tapi tak begini, kok. Ah! Bergendaal Koffie Gayo. Mangat thaaat, itu kopi. Lebih afdol, mangat-nya, karena gratisan. Tapi masih sama; kemarin dulu juga minum; tak ada begah begini. Hi hi. Tapi andaikata pun itu kopi yang bikin begah— O! begahlah, biar. Kentut mahal, ini, jadinya. Hm. Atau barangkali saya masuk angin? Atau efek bangun pagi, mungkin? Hm. Dermaga. Sepeda motor Pak Kefli. Yang menyebalkan: berlama-lama tadi saya berjongkok, tapi ini gas cuma berpusar-pusar saja di dalam perut. Cuma baru mau akan hampir nyaris nyerempet-nyerempet agak rada memper-memper mulas saja sedikit. Huh. Mudah-mudahan angin tidak berbalik ke arah buritan. Oke. Kontraksi. Peristaltik. Dpfrut!— Anjis! Pak Baihaki dan Pak Yusuf? Masih anteng. Pak Rusli? Di sisi seberang. Aman. Belakang? Tumpukan ban bekas. Pojok. Akil. Samping? Singgasana Pak Yusuf. Mesin derek. Pasang pose observer dulu, dong. Halo, kaki langit. Halo, muka laut. Hajar. Bphussss… hhhsss…. Fyuh! Lega…. Wuih! Angin laut bermurah hati, lagi. Wusss! Sampaikan salam hamba ke negeri jauh, Ki Sanak. Ho ho. Nyaris tanpa jejak, di sini. Voilà! Lanjaran tanggul batu terlihat lebih indah, sekarang.
Oh, ya. Apa kabar, Tuan Alpha dan Tuan Beta? Masih berdiri di sana, rupanya. Dengan pose pipis yang sama, menghadap ke arah yang sama.
Mungkin akan lebih bermanfaat bila Tuan Alpha dan Tuan Beta disuruh putar badan: menghadap ke arah pegunungan di wilayah Peukan Bada di sebelah barat. Mereka bisa menjadi agen ilmiah yang handal untuk mengukur ketinggian-di-atas-muka-laut dari salah satu puncak gunung di sana: puncak satu gunungnya yang terlihat paling tinggi, katakanlah. Ya. Yang di sana itu Geoh Lemoh, kalau tidak salah. Hm. Kelengkungan muka bumi? Pasang naik dan pasang surut air laut? Kebergalatan optik? Ah, abaikan dulu semua itu. Abaikan dulu juga Bob Tutupoly dengan teorinya tentang korelasi antara “tinggi gunung” dan “seribu janji.” Hm. Tapi nanti “lain di bibir, lain di hati,” dong. Ho ho, adalah absurd untuk berharap apa yang ada di bibir akan selalu identik dengan apa yang ada di hati. Bagaikan pungguk merindukan pinang dibelah di daun keladi. Begitukah? Ya. Oh, ya? Oh, ya, ya. Lihatlah. Tuan Alpha dan Tuan Beta masih setia berdiri menunggu instruksi.
Ya. Mungkin untuk ber-apakah-ini-apakah-itu sekarang bukanlah waktunya. No need to wallow in the mire. Atau, ah, apa pun, lah, itu. Mendingan nyalakan lagi *****nya. Come on, Baby, light my fire.
Baiklah, Bung. Bagaimana instruksinya? Begini: Beri Tuan Alpha dan Tuan Beta masing-masing satu sampan kecil. Posisikan mereka di laut Ulèe Lheue ini, sehingga titik puncak Geoh Lemoh, Tuan Alpha, dan Tuan Beta, berada dalam satu bidang vertikal. Tuan Alpha di depan, Tuan Beta agak jauh di belakang. Lalu minta mereka untuk mengarahkan elevasi pancuran pipis mereka kepada titik puncak Geoh Lemoh. (Ya, ya, ini memang terdengar seperti penistaan. Tapi demi tujuan yang teramat mulia dari misi ilmiah yang sungguh luhur ini, mohon diizinkan, lah, sekali ini saja. Sebelumnya perlu diselenggarakan sedikit ruwatan juga, barangkali. Sebagai permohonan maaf dan amit.) Oke, berilah notasi: sudut elevasi pipis Tuan Alpha sebagai α, sudut elevasi pipis Tuan Beta sebagai β. Nah, selesai. Sekarang: tinggal menghitung. Kalikan tangen α dengan tangen β, bagi hasil perkalian itu dengan hasil pengurangan tangen β dari tangen α, lalu kalikan hasil pembagian tadi dengan jarak posisi pipis antara Tuan Alpha dan Tuan Beta: Presto! Tinggi puncak Geoh Lemoh, diukur dari bidang horizontal yang melewati titik pangkal pancur pipis. Jumlahkan saja angka ini dengan ketinggian titik pangkal pancur pipis dari muka laut, maka niscaya hasilnya tak akan melenceng jauh dari data tinggi-puncak-Geoh-Lemoh, angka resmi yang dirilis Bakosurtanal. Siapa bilang pipis tidak berguna bagi geodesi?
Langit. Laut. Semenanjung. Dermaga. Kapal. Dua pelaut di atas kapal. Satu lagi: ditelan gelap. Satu lagi: melayang-layang. Prak, prung, prak, prung….
Asap *****.
And gentle odours led my steps astray,
Mixed with a sound of water’s murmuring
Along a shelving bank of turf, which lay
Under a copse, and hardly dared to fling
Its green arms round the bosom of the stream,
But kissed it and then fled, as thou mightst in dream.
Selanjutnya, saya hanya melihat komat-kamit bibir Pak Yusuf dan bibir Pak Baihaki—serta gestur tubuh mereka. Suara mereka menjadi tampak terbebaskan-secara-statistik dari kinesika tubuh mereka, dan berinterferensi dengan bunyi-bunyi lain yang berkelindan berpilin-pilin. Atau mungkin itu bukan suara. Atau mungkin itu bukan bunyi. Dan yang tidak ditangkap oleh telinga saya.
Barangkali, setiap sumber bunyi dipasangi sebuah rangkaian transducer yang mengubah getaran mekanik menjadi pulsa-pulsa elektrik, dan kemudian sebuah rangkaian modulator mencampurkan pulsa-pulsa itu ke dalam gelombang elektromagnetik, dengan metode PSK, phase-shift keying, masing-masing dengan slot frekuensinya sendiri, dan mengirimkannya ke antena-antena di atas Kapal Basarnas—ya, yang lencir di pinggir itu, atau yang berceranggah di tengah itu, atau yang bundar di depan itu; lalu sebuah rangkaian mixer di satu tempat di belakang ruang kemudi di sana me-multiplex-kan semuanya; dan akhirnya sebuah transmitter menyuarkan superposisi spektral itu, entah dengan aliran kontinu entah dengan paket-paket diskret, dalam frekuensi yang ditala untuk rangkaian receiver yang tertanam di kepala saya.
Udara pagi. Asap putih. Asap biru. Konveksi, difusi, dispersi. Brownian—
Dan rangkaian demultiplexer di kepala saya bekerja dengan payah. Suara Pak Yusuf, suara Pak Baihaki, suara teriakan regu tim SAR di belakang buritan Kapal Basarnas, suara tubuh-tubuh fisis tiga-dimensi mereka yang bertabrakan dengan badan air, suara derap sepatu bot Pak Rusli yang sesekali melintas di atas geladak, suara kuasnya yang tercelup ke dalam cairan belangkin, yang diketukkan ke tepi kotak plastik, yang meluncur di atas permukaaan kayu bagian-bagian kapal, suara tali-temali yang dirapikan oleh Pak Yusuf, yang diurai, yang digulung, yang bergesekan di antara mereka sendiri, yang jatuh menimpa geladak, suara angin yang berhembus, suara ombak yang menghempas batu-batu…. Semuanya berbaur, dengan pola amplifikasi dan atenuasi yang tak teratur, khaotik, taksa, tak terpilah secara distingtif, tak tertapis secara sempurna. Sinyal, derau, sinyal, derau, derausinyal, sinyalderau, sinyal derausinyal, sinyal sinyalderau, derau derausinyal, derau sinyalderau, sinyalderau derausinyal, derausinyal sinyalderau….
Byur! Si X sudah kaya, sekarang. Hooo! Sini! Kecipak, kecipak…. Dia beruntung: si Y, saudaranya, punya kenalan orang penting. Pelampungnya! Wzzzf…. Modalnya juga kuat, dia. Debur! Begitulah, memang. Buat bikin kue, kita mesti punya tepung. Kecipak, kecipak. Debur! Aku harus ‘ngumpulin duit. Kecipak. Debur. Buat kukirim anakku. Ho! Agak ke kiri lagi! Kecipak, kecipak. Sebentar lagi dia mau ujian, rupanya. Prak, prak, prak…. Ah, kalau aku, sih… prung… aku sudah… tok… tok… tak ngotot lagi, sekarang. Krez. Krez. Kerja kubawa santai saja. Bleg! Rasanya aku sudah… tok… terlalu… tok… tua buat banting tulang habis-habisan. Sssft. Blup. Sssft. Susah juga bikin beres urusan pakai penghasilan pas-pasan. Kecipak. Debur. Kecipak. Debur. Harga-harga naik lagi, naik lagi. Apa-apa tambah mahal, sekarang. Byur! Bantuan Pemerintah…. Kecipak, kecipak, kecipak…. Program pengentasan kemiskinan, katanya…. Krek! Lagu lama orang gedean di Jakarta…. Krek! Lama-lama tak tahan juga dengar istri saban hari mengeluh. Hufffsssrrrhhh…. Kecipak, kecipak… … ssftsselingkuh hffssr…. Kecipak, kecipak… … blupsrstengkar rffssh…. Kecipak, kecipak… … byurrrcerai hrfssrh…. Kecipak, kecipak… … bik insak ithat isaja…. Bleg! Apa boleh buat. Hidup ini medan perang. Debur! Debur! Mesti sedia senjata, mesti siap terluka. Prak, prung, prak…. Tak bawa senjata, mampuslah, kau. Byur! Belum terluka, kau belum juga hidup. Prak, prak, prak….
Ke manakah kiranya para pelaut hendak mengadu? Di manakah rimbanya pinang senawar bercindai-tanti tempat bertadah gula-gula dunia penawar hati gundah gulana? Apatah jua nan dapat diperbuat?
“Apa lagi? Ya, minum, lah,” tukas Pak Yusuf. Sambil menjentikkan jemari untuk membuang abu dari ujung *****nya, dia menganggung tubuhnya untuk berdiri. “Belum jatuh: belum berhenti.”
Pak Baihaki juga berdiri, dan dengan gontai dia melangkah ke arah anjungan. Sampai di depan tangki plastik warna biru, dia balik badan. Lalu bersandar.
Since Mars loved Venus, Venus Mars,
Let’s blend love’s wounds with battle’s scars,
And call in Bacchus all divine,
To cure both pains with rosy wine,
To cure both pains with rosy, rosy wine.
And thus, beneath his social sway,
We’ll sing and laugh the hours away.
“Belum habis satu karton, datang satu karton lagi,” Pak Baihaki kemudian menimpali. Setengah membungkuk, dia bertumputubuh kepada kedua tangannya yang terpacak, di sampingnya, pada tangki plastik warna biru di depan anjungan. Kemudian dia menarik kedua lengannya dan menyilangkannya di dada. Bersandar: badannya dipentang hinggga agak condong ke belakang. Matanya sedikit memicing; seulas senyum memuai di bibirnya. Kumis tebalnya merekah.
Laut di kiri kanan. Jalur-hijau di tengah melajur, membumban—dengan lampu-lampu jalan yang ditopang tiang-tiang yang bertarap memanjang—membelah landasan mulus beraspal menuju portal: gapura berpilar delapan, lamat di depan. Bimbinglah kami di jalan yang lurus ini, wahai, sopir labi-labi, ke Gerbang Darat Pelabuhan Ulèe Lheue. Sekira sekilometer menjelang, papan putih bernuansa kuning di sebelah kanan—di belakang rentang balustrade berupa derai kolom tapal beton yang bersilang dengan sepasang pipa-baja yang terlanjar larat sepanjang jalan—memberikan dukungan dalam merah-hijau empat baris pesan: “Jauhilah minuman yang memabukkan, puncak segala kejahatan.” Si Pengalamat pesan meninggalkan stempel jati dirinya dalam logo putih-hijau-kuning—dan dua baris label dalam warna langit-biru yang teduh: “Pemerintah Aceh, Dinas Syariat Islam.”
“Sadar, kalau tak ada duit,” kata Pak Baihaki lagi.
Mereka kembali tertawa.
Loud, heap miseries upon us yet entwine our arts with laughters low!
Ha he hi ho hu.
Mummum.
Muncul sekonyong-konyong dari arah lorong di sebelah kiri anjungan, Pak Kefli datang melenggang dan langsung mengambil ancang-ancang untuk angkat bicara. Dia sudah tidak bertelanjang dada lagi; kini dia mengenakan kaos tanpa-lengan yang berwarna putih—atau, lebih tepatnya, barangkali, yang memberikan indikasi bagi inferensi visual bahwa pada satu ketika di masa lampau, kaos itu berwarna putih. Ya. Hukum kedua dari termodinamika.
(Sesi diskusi-singkat dibuka.)
CUACA BURUK DAN KMP BRR YANG TERPINJAMKAN: PERIHAL PENUMPUKAN KENDARAAN DI PELABUHAN MERAK, BANTEN, DAN PELABUHAN BAKAUHENI, LAMPUNG
“Itu, antreannya, yang di Merak, masih juga gila, itu,” kata Pak Kefli, seraya berjalan mendekat sebelum berhenti di depan bak plastik warna putih yang disangga rangka besi di depan anjungan. “Sempat sampai tujuh belas kilo lagi, kemarin.”
“Seperti minggu lalu,” kata Pak Yusuf. “Parah.”
“Iya,” kata Pak Kefli. “Sudah berapa lama, ini? Hampir dua bulan, lah. Dari kemarin penyakitnya sama; orang-orang sudah sama paham pula. Tapi begitu lagi, begitu lagi. Heran, aku.”
“Padahal kapal ro-ro-nya sudah ditambah, ‘kan?” timpal Pak Baihaki. “Berapa jumlahnya yang melaut sekarang? Dua puluh lima? Dua puluh enam? Memang belum cukup, lah, buat pelabuhan kayak Pelabuhan Merak. Tapi buat sementara, ya, agak mendingan, ‘kan, dibandingkan kemarin-kemarin yang cuma—berapa?—lima belas? tujuh belas?”
Tujuh belas hari yang lalu, berita mengenai isu ini, dari media, pertama kali saya simak—di Bekasi, sehari sebelum keberangkatan saya ke Banda Aceh. Ratusan, mungkin lebih, truk angkutan barang terlihat terjebak kemacetan di depan gerbang Pelabuhan Penyeberangan Merak, dan antreannya memanjang ke belakang mengokupasi penggal ujung dari ruas jalan tol Jakarta-Merak. Truk-truk itu terhenti, menunggu, berdempetan sisi ke sisi, kepala ke ekor, ekor ke kepala. Sampai-sampai, kelihatannya, sulit bagi para sopir dan kernetnya untuk membuka pintu depan. Dan mereka terperangkap seperti itu sampai berjam-jam. Atau bahkan, kalau tidak salah, sempat hingga lewat hari berganti. Yang langsung terbayang oleh saya: Para sopir dan kernet truk-truk itu—bagaimana kalau mereka hendak pipis? Jangan-jangan, mereka harus keluar lewat jendela pintu depan, lalu memanjat ke atas truk. Dan di situlah mereka, sambil berdiri, pipis dengan seleluasa-leluasanya. Dari ratusan truk yang terjebak kemacetan, berapa orang sopir atau kernet yang mungkin akan bertindaklaku seperti ini? Kalau jumlahnya tak lebih dari dua puluh empat—ups! sebentar; bukan dua puluh empat, tapi dua puluh dua—saya bisa menamai mereka satu persatu sebagai Tuan Gamma, Tuan Delta, Tuan Epsilon… terus sampai, terakhir, Tuan Omega. Lebih dari itu? Waduh, sepertinya saya harus mengganti sistematika penamaan menjadi deret nomor seri, tuh. Apa begitu, ya, rasanya memerintah?
Pemerintahan, birokrasi, sistem administrasi, manajemen. Semua hal niscaya itu telah memetakan, dan secara tak terelakkan juga memperlakukan, individu-individu—dengan nama, wajah, aspirasi, emosi, dan kisah hidupnya masing-masing yang unik dan berwarna-warni—sebagai tak lebih dari deretan angka, huruf, dan aneka indeks, ikon, atau simbol lain, yang sama sekali kering-makna, kecuali sebagai titik-simpul operasional dalam jejaring sistem data yang serba-mekanistik dan serba-prosedural. Oke. Barangkali memang itu harus kita bayar sebagai ongkos kemoderenan. Tuntutan rasional dari perkembangan masyarakat yang kian kompleks. Tapi apa, dong, imbalannya? Profesonalisme. Efisiensi. Keandalan. Pelayanan-publik yang bermutu prima. Nah, bila para pemegang kuasa dan para pengemban wewenang tata-kelola peri-kehidupan publik enggan mengambil pendekatan personal dalam menjalankan tugas mereka melayani publik dengan alasan impersonalitas sistem, tetapi ternyata juga jeblok dalam urusan profesionalisme— Dalih apa lagi, sih, yang akan dimunculkan juga?
Saya berjalan ke arah anjungan untuk menyimak obrolan para pelaut itu lebih dekat. Lalu saya duduk di tepi kepala-palka di dekat tumpukan dua ban bekas yang menyangga bagian ujung dari lengan-derek: di depan Pak Baihaki dan Pak Kefli. Tapi komentar pertama yang muncul setelah itu adalah dari Pak Yusuf yang kini berada di samping belakang saya. Dia berkata:
“Yang kudengar—ini kata mereka, ya—macet yang sekarang ini sebabnya lebih banyak karena cuaca buruk. Lebih parah dari biasanya, mereka bilang.”
Saya menengok ke kiri ke kanan. Para pelaut itu tampak tersenyum.
Pak Yusuf kemudian mengangkat gulungan tali yang telah dirapikannya, dan membawanya ke pojok kanan di belakang ruang-akil. Di atas tumpukan dua buah ban bekas di sana, dia kemudian menaruhnya. Setelah itu, Pak Yusuf tampak membalikkan badannya, melangkah ke arah tiang kapal, membungkuk, dan akhirnya berjongkok di hadapan blok-blok mesin yang mengampu sistem derek. Sejurus kemudian, dia tampak larut dalam pekerjaannya memeriksa salah satu sistem-komponen vital dari kapal kargo ini.
“Itu, Kalibodri rusak, kemarin, itu,” kata Pak Kefli. “Belum bisa dipakai lagi, katanya. Ah, lagi pun kecil, itu kapal, aku bilang. O, ya. Tapi ada kapal kita juga, ya, yang dikirim ke sana?”
“Iya, lah,” kata Pak Baihaki. “Mana ada kapal dari tempat lain namanya KMP BRR?”
“Ini, kalau nanti sampai tak dikembalikan, orang Aceh bisa marah, ini,” kata Pak Kefli. “Kita juga kekurangan kapal, di sini.”
Mendengar kata “BRR”—“Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi”—saya kembali diingatkan kepada peristiwa Gempa dan Tsunami 2004. Saya pun mencoba menanyakan, kepada Pak Baihaki dan Pak Kefli, satu dua hal mengenai peristiwa itu. Mereka menjawab dengan lugas dan tenang—nyaris tanpa percikan emosi. Sedikit mengejutkan, bagi saya. Reaksi Pak Baihaki dan Pak Kefli ini sama sekali berbeda dengan reaksi dari orang-orang yang saya temui di Kota ketika saya mengajukan pertanyaan serupa. Pada tatapan mata orang-orang yang saya temui itu, jejak-jejak luka dan trauma masih tegas membayang, meskipun telah lebih dari enam tahun mahabencana itu berlalu. Dan, memang, sebagian besar dari mereka telah kehilangan, paling tidak, satu anggota keluarganya. Ya, dan ada di antara mereka yang tertinggal sebatang kara; semua keluarga dan kerabatnya hilang atau ditemukan tak bernyawa.
Tetapi rasanya tak terlampau sukar untuk menebak alasan di balik reaksi dingin dari kedua pelaut ini. Mereka berdua sama-sama berasal dari Sabang. Palung-palung dalam di lepas pantai Pulau Weh, khususnya di sekitar Sabang, telah meredam gelombang tsunami yang datang saat peristiwa enam tahun lalu itu terjadi. Sehingga barangkali dapat dikatakan, bahwa Sabang beruntung, terhindar dari bencana. Di hari-hari Tanggap Darurat pasca peristiwa Gempa dan Tsunami 2004, saat Pelabuhan Ulèe Lheue ini rusak berat, Pelabuhan Balohan di Sabang menjadi salah satu titik pangkalan utama bagi penyebaran bantuan. Semua kerabat Pak Baihaki dan Pak Kefli selamat, sepertinya. Syukurlah. Barangkali bukan saja tak tepat untuk mengkategorikan mereka sebagai penyintas Gempa dan Tsunami 2004, tetapi juga bahwa mereka sama berjaraknya, secara emosional, terhadap tragedi besar yang terjadi enam tahun yang lalu itu, seperti halnya saya. Meskipun begitu, dalam banyak hal mereka tentu saja lebih paham akan bencana itu, karena mereka praktis tinggal di tengah-tengah medan peristiwa.
Maka setelah menyimpulkan seperti itu, saya kira saya tak lagi merasa heran ketika saya melihat bahwa Pak Baihaki dan Pak Kefli, ketimbang mau diajak bersentementalia mengenang sisi-sisi tragis dari bencana, tampak lebih bersemangat tatkala mereka diminta untuk mengungkapkan pandangan mereka atas beberapa sisi kritis menyangkut penanganan bencana.
“Kalau kita tengok di Malaysia itu,” kata Pak Baihaki, “mereka itu ‘ngurus korban jauh lebih bagus. Padahal, di sana itu, tak ada bantuan dari luar. Tiap korban dikasih rumah; rumahnya juga bagus, tak seperti yang di sini. Dikasih perahu pula. Duit pula, sampai lima puluh juta.”
NYAMUK MAKAR KELAMBU DIBAKAR, DAN RENCONG SEBAGAI KATA-AKHIR UTANG-PIUTANG: PERIHAL LINGKARAN KEKERASAN DI HARIBAAN TANAH-NAN-INDAH
“Tapi buat urusan fasilitas umum, lumayan, lah,” kata Pak Kefli. “Ini, pelabuhan, sudah bagus, ‘kan, ini. Cuma, ya, itu. Kalau kemacetan di Pelabuhan Merak itu tak juga beres, lantas kapal kita tak kembali ke sini, orang Aceh bisa marah, lah. Mana sedap, ‘kan? pelabuhannya sudah bagus, tapi kapalnya kurang.”
Lalu saya memberanikan diri untuk kembali ikut nimbrung:
“Ini, pelabuhannya, baru, ya, Pak?”
“Baru,” kata Pak Kefli. “Yang dulu itu rusak.”
“Karena tsunami, ‘kan?”
“Bukan. Sebelumnya. Waktu Tsunami itu, juga sedang dibangun lagi, itu. Sebelumnya rusak dibakar.”
“Dibakar?”
“Ya, itulah, aku bilang,” kata Pak Kefli. “Kalau kesal sama nyamuk, jangan bakar kelambu. Kalau bilang kesal sama Pemerintah Pusat, kita semua juga kesal sama Pemerintah Pusat. Tapi pelabuhan ini ‘kan punya kita juga, ini.”
“Kita ini, orang Aceh,” kata Pak Baihaki, “mungkin terlalu pendendam. Urusan utang-piutang pun pakai rencong. Kalau laki-laki lain ganggu istri kita sampai main gila, bolehlah, rencong keluar. Ini utang-piutang! Soal utang-piutang, Negara pun ‘ngutang.”
Pak Baihaki kemudian berhenti sesaat. Lalu dia meneruskan perkataannya dengan memberikan sedikit ilustrasi:
“‘Begini, Bang. Tak elok, lah, kita ribut di sini. Kita cari, lah, tempat yang enak. Sekarang, begini: Abang pulang bawa barang, aku juga pulang bawa barang.’ Terus, ya, begitulah. Rencong kiri kanan. Habis itu: ada yang lehernya putus, lah,… yang dadanya tembus, lah….”
Lintasi jembatan pendek di atas Krueng Daroy. Siang menjelang sore. Kemarin. Dua pilar batu bermahkotakan kubah hitam berdiri bergelimang sinar matahari—matahari yang sama dengan yang berpijar di langit di atas gerbang utara Baiturrahman, sinarnya jatuh menembus sela-sela dedaunan di puncak pohon geulumpang (O, biarkan Putröe Pucôk melangkah dengan riang di atas tanah Aceh nan indah ini, Teuku.)—juga matahari yang sama dengan yang berpijar di langit di atas hamparan lahan di belakang Museum Tsunami, sinarnya jatuh mengguyur batu-batu yang tersempalai (O, akan halnya apabila hati ini yang mati, bagaimana kita dapat berziarah, Paduka?). Pohon-pohon rindang di sebelah kiri berleret di tepi barat Krueng Daroy, daun-daunnya rimbun dan hijau, berbalas hijau dengan barisan papan reklame berinskripsikan Asmaulhusna di sebelah kanan, berendeng memanjang mengitari benteng Meuligo. Papan putih, khath-tsulutsi kuning. Bingkai dan tiang hitam. Berbaris memutar dari Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah hingga Jalan Japakeh, Jalan Nyak Adam Kamil 1, dan Jalan Teungku Sulaeman Daud.
Lewati gerbang, pintu terali besi hitam, yang terbuka. Dua tugu batu putih menyambut di depan, bergaya modifikasi sikhra Jaina. (O, apalah makna anjaya bagi samaya. Setelah dukhha dan anicca, nyatanya kita hanyalah anattā.) Sebatang perdu meranggas—di dekat tiang putih; saudade di setiap gugus jejatuhan daun-daunnya. Luröh meususôn, meususôn, yang mala-mala. Bangunan balai astaka, yang didominasi warna kuning-melur, warna pasir-gurun, dan warna mawar-teh, berdiri di tepi selatan pekarangan, nun di ujung kanan, berhalamankan hamparan teras keramik berwarna senada, dengan jalan masuk, ke dalam balai, yang dikawal oleh pohon-pohon gelodokan-tiang, tiga sebanjar di kiri, tiga sebanjar di kanan. (O, bagaimana seharusnya hamba mengais kata, Paduka—dari kemilau mewangi setanggi, madah Syamsuddin Pasai, Hamzah Fansuri, dan Nuruddin Ar-Raniri; dan dari pelalau bertajin membacin, risalah Augustin de Beaulieu, William Nichols, dan Cornelis Comans?) Dan prasasti dan lampu taman. Dan di dekat sini, selarik di kiri, selarik di kanan, relik-relik artileri, masing-masing unit bertengger di atas dudukan beton cetak putih, berjejer di sepanjang tepi lahan pekarangan di samping pagar.
Otot kawat tulang besi dari masa lalu. Abad tujuh belas yang menahbiskan gelanggang hingar-bingar percaturan kuasa di Selat Malaka—dengan kidung keramat saga negeri dan baiat agung kitab suci. Bumi diisbatkan untuk terpilah dan dititahkan untuk memilih: darussalam, atau darulharb. Genderang Ibrahim Khailil bertalu. Genta Cakradonya bergerentang. Sandingi tandak mandam masyarakat konsumen dunia—dari London dan Lisboa hingga Amsterdam dan København hingga Paris dan Madrid hingga Genoa dan Köln hingga İstanbul dan Hormuz hingga Gujarat dan Goa hingga Malaka dan Kutaraja hingga Guangzhou dan Edo. Malar. Dengan segala perangai ganjilnya. Ya. Sir hayati nyatanya lebih derana bertunggang harawan. Gaya hidup yang bertren dan berkonjungtur. Hasrat insani yang terus-menerus malihwarni: emas, perak, rempah-rempah, katun, sutera… segalanya berlonjaklontar dan bakupicu. Para orangkaya bersaing tak henti-henti. Harta-benda terhimpun terurai, terhimpun terurai. Dinasti-dinasti tampil dan tumpas, tampil dan tumpas. Manusia-manusia dipertuankan diperhambakan, dipertuankan diperhambakan. Realpolitik. Intrik. Muslihat. Tipu daya. Pengkianatan. Kudeta. Nusantara kian mengambekparamartakan takhta. Raja-raja berjaya. Ternate. Makassar. Banjarmasin. Mataram. Banten…. Di sini, di antara Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan, pesisir Pulau Sumatera dan pesisir Semenanjung Malaya gemetar maras mendengar satu nama: Kesultanan Aceh. Bahkan kekuatan-kekuatan penjelajah Eropa harus berhitung keras untuk sekadar mengamankan, apalagi mengukuhkan, posisi mereka. Portugis di Malaka. Belanda di Batavia. Inggris di Jambi. Diplomasi menjadi sangat pelik dan rawan. Pusat-pusat niaga yang kekuatan politik dan militernya getas terperangkap. Tiku, Pariaman, Indragiri, Johor, Kedah, Pahang. Di antara degam meriam, derap gajah di ladang pisang, guntak tombak dan dentang parang, pasukan infanteri mara berempak. Kapal-kapal tenggelam, rumah-rumah runtuh, kebun lada terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan….
Papan geladak berderit. Pak Kefli dan Pak Baihaki bergerak membenahi posisi berdiri mereka, seiring percakapan mereka yang bertariklanjut. Terdengar lagi kecipak dan debur air laut di belakang—dari para anggota tim SAR yang tengah melangsungkan sesi pelatihan mereka. Di haluan, tampak Pak Yusuf berbicara kepada Pak Rusli yang berjalan menghampiri; Pak Rusli memegang lembar plastik warna biru di tangannya.
Pojok barat-daya Blang Padang. Enam jam sebelumnya. Terlihat sebagai latar, dari bawah naungan lambung-depan bercat-biru relik pesawat Douglas DC-3, Dakota, langit pagi Banda Aceh tampak cerah. Udara mulai terasa hangat. Dari timur ke barat, sinar-matahari yang lembut-lipu-benderang jatuh bersimbur di sekujur tubuh si Relik Pesawat: dari inskripsi “RI-001” di atas logo Bendera Merah Putih di bagian ekor pada arah selatan, hingga inskripsi “INDONESIAN AIRWAYS” di atas deretan jendela di bagian badan pada arah utara. Pilar prisma berpenampang alas segilima tegar menyangga. Prasasti bertahun 1984 pada bagian depannya melabelkan, “Monumen Perjuangan RI-001 ‘Seulawah.’” Dibeli dengan keringat dan kesetiaan, untuk disumbangkan dengan berserah hormat dan bertaruh harapan—oleh rakyat, demi sebuah cita-cita. Didukung oleh emas Kesultanan. Mungkin dikirimkan lewat deru angin, oleh Raja Rum, Iskandar Dzulqarnain. Mungkin diwarisi dari zaman ke zaman, dari baitulmal istana Nabi Sulaeman. Aceh. Daerah modal. “Itu kunci kereta tertinggal di sana. Siapa punya?” Nun di depan sana, di sebelah kanan, menara pemancar RRI Banda Aceh terlihat berdiri menjulang, mencuar dari balik pohon palem pada arah yang tepat di sudut yang menyiku di antara sisi-selatan dan sisi-barat Blang Padang. O, dengarlah derap langkah kaki—dari beribu anak kandung Republik ini, yang meninggalkan Tanah Rencong menuju Sungai Ular, untuk berjibaku di Medan Area.
Deretan pepohonan mengelilingi keempat sisi Blang Padang. Dan di balik hijau rimbun daun pada sisi di sepanjang Jalan Prof. Abdul Majid Ibrahim, tampak berdiri tegak, bangunan beratap merah berdinding putih: Rumah Sakit Ibu dan Anak. Berapa jam Anda menempuh perjalanan dari Bireun, Teungku? Dan berapa malam Anda menginap di selasar? Di Kantor Komnas HAM, hampir tiga belas tahun yang lalu, dua orang janda dari Cot Keng, Pidie, yang diantar ke Jakarta oleh Farida Ariani, duduk tertunduk. Mereka memang bukan Cut Nyak Dhien dan Keumalahayati. Masing-masing suami dari kedua mereka terbunuh pada masa DOM. Munir duduk tegak di samping mereka. Dia mengangkat kepalanya, dan menatap lugas ke arah kamera para wartawan. “Kekerasan telah mengubah karakter masyarakat Aceh secara mendasar.” Kedua perempuan itu turut mengangkat kepala mereka. Ada seribu, dua ribu, tiga ribu… ibu seperti mereka. Ada empat ribu, lima ribu, sepuluh ribu, sebelas ribu… anak-anak yang menjadi yatim seperti anak-anak mereka. Dan ada sejumlah tak terhitung kisah yang menyayat hati dan yang tak tertanggungkan nurani. O, dan bahwa setelah sekian lama, sesungguhnya, semenjak dengan sepenuh benci kita membunuh ratusan ribu manusia, mereka yang bagi kita tak pernah lain daripada saudara, pada dan atas nama Sembilan Belas Enam Lima, dapatkah kita berdiri tegak di depan kaca?—tak hitungkanlah lagi untuk kemudian bertanya, seperti Chairil bertanya, “Ini wajah penuh luka. Siapa punya?”
Papan geladak berderit lagi. Lalu, “prak, prak, prak….” Lalu kemilau, lalu redup, lalu kemilau lagi: kemilau di seberang gelap.
Matahari meninggi. Pelataran terbuka di tengah Taman Kota dibanjiri limpahan sinarnya—yang terik dan menyilaukan. Panas dari paving block terasa menembus alas sandal-jepit, dan sampai di telapak kaki. Di depan, di atas dua undak hamparan tanah yang ditinggikan, berdiri sebuah tugu setinggi sekira dua depa, berarsitektur moderen. Dari bawah ke atas: balok batu hitam dengan sebentuk entablatur, di bagian atas, dan kolom berkaki, di bagian samping, yang menganjur ke depan; disusul melebar oleh sebentuk kanopi beton berwarna putih—yang menyerupai sebuah tabouret persegi, yang simplistik, berkaki pendek, dan menggantung; lalu disusul menirus oleh empat pilar balok beton berwarna kuningan-kuna, dalam formasi empat sudut bujursangkar, dengan tiga bilah balok mendatar, berwarna senada, yang berkesan menembus badan tugu pada bagian bawah dari empat pilar ini; lalu disusul menirus lagi oleh balok beton putih; dan berdiri tegak menjulang, berpangkal di bilah-bilah balok mendatar, berujung di puncak tugu yang berbentuk lempeng persegi mendatar berwarna putih, adalah batang tugu, yang berkesan membentuk persilangan tegak lurus dari dua balok beton putih—seolah-olah menembus terusan pilar balok batu hitam, yang mencuat tegak dari balok batu hitam yang mengampu di dasar tugu. Rimbun pepohonan di sepanjang Jalan Abdullah Anjung Rimba terlihat menghijau di latar-belakang. Awan putih tipis berpencar di langit biru.
Lewati jalan di antara dua pot tanaman. Anak-anak tangga dari susunan batu-batu hitam pada undakan pertama membimbing langkah kaki ke arah tugu. Satu… dua… tiga…. Plakat merah dalam bingkai beton putih tampak tersematkan pada balok batu hitam. Garis konsentrasi, tiang-tiang telegraf, rel kereta-api—simbol-simbol invasi Belanda sejak 1873—dihancurkan oleh pasukan Teungku Cik di Tiro. Empat… lima…. Relief teks dalam huruf-huruf kapital dan berwarna putih jelas terbaca. Bukittinggi menantikan Teuku Nyak Arif dan Daud Beureu’eh. Enam… tujuh…. Anak-anak tangga pada undakan pertama berakhir di sini. Pemerintah Orde Baru praktis menihilkan pengakuan atas status Provinsi Aceh sebagai daerah istimewa. Merandai ke depan, ke arah undakan kedua. Anak-anak tangga dari susunan batu-batu hitam berikutnya mengantarkan langkah kaki langsung ke hadapan tugu. Hitam. Hitam. Hitam. Bingkai beton putih pada plakat merah tampak terkoyak di sebelah kiri bawah. O, betapa mahal harga persilangan wajah di busur tikungan Taman Putröe Phang. Satu… Mayat-mayat korban kekerasan Negara: dikuburkan serampangan. Disangkal keberadaannya. Baharuddin Lopa menyeka keringat di wajahnya. Katanya: “Cukuplah sebagai contoh kebenaran….” Dua… Mayat-mayat terserak dan darah tercecer di halaman pesantren Babul Mukarramah. Beutong Ateuh. Mayat Teungku Bantaqiah dan lima puluh enam orang santrinya. Mereka diambil dari kediaman mereka. Dikumpulkan di sana. Ditembak mati…. Tiga… Mayat-mayat dari orang-orang yang diculik dan dibunuh di Idi Cut. Diangkut dengan truk. Dilemparkan ke sungai dari atas Jembatan Arakundo….
Byur!
Terdengar lagi bunyi debur; tampaknya seorang anggota tim SAR meloncat dari buritan Kapal Basarnas ke laut ceruk Pelabuhan yang, sampai saat ini, kecuali untuk aktivitas para anggota tim SAR itu, tetap hening. Lalu terdengar bunyi kecipak, lalu bunyi debur lagi. Lalu suara perbincangan mereka lagi, yang sesekali bereskalasi menjadi seru dan pekik.
Berapa banyakkah jiwa yang harus terbungkam, raga yang harus terusir, nyawa yang harus terampas, agar tanah di penggal terutara Pulau Sumatera ini menjadi Aceh? tanah di Kepulauan Nusantara ini menjadi Indonesia? O, betapa telah lebih banyak dari terlalu banyak….
Ketika saya mengangkat kepala, di depan saya terlihat hanya ada Pak Baihaki yang masih berdiri dan bersandar kepada tangki plastik warna biru. Untuk kedua kalinya, saya tidak mengerti bagaimana Pak Kefli bisa tiba-tiba menghilang. Tapi kali ini saya kira saya sudah merasa terbiasa dengan elusivitas sosok mitologis yang satu ini. Namun demikian, tak urung saya terperanjat dan langsung berdiri, ketika Pak Kefli kemudian muncul dari arah lorong di sebelah kiri anjungan, seraya dengan bersegera menyampaikan sebuah kabar:
“Itu, kapal feri yang dari Sabang sudah datang!”
(Sesi diskusi-singkat ditutup.)
00:30:
Terlihat muncul dari balik lorong-gelap-arah-kimbul pada sisi-kiri anjungan Kapal Surya Indah II, sebuah kapal feri meluncur menuju pantai Pelabuhan—melaju di sepanjang sisi-dalam dari lengan-daratan, di sebelah selatan. Lambung-bebasnya yang berwarna biru donker tampak membujur: menjalar horizontal di atas muka laut pada sepanjang badan kapal mulai dari bagian buritan, lalu melengkung naik di bagian depan, bersambung dengan bagian ujung haluannya yang merupakan sebuah apron ramp, yang menganjur cukup terjal ke atas. Suprastrukturnya terdiri dari tiga lantai, kelihatannya; seluruhnya bercat putih. Lantai teratasnya untuk para kru; lantai tengah untuk para penumpang; dan lantai dasar untuk kendaraan-kendaraan. Barangkali. Ya. Ini adalah sebuah kapal ro-ro. Jendela-jendela persegi terlihat berderet pada dua lantai teratas. Sedangkan di bagian samping-kanan dari lantai dasar, terdapat lubang-lubang besar berbentuk persegi: tiga menyerupai jendela, tiga menyerupai pintu.
00:36:
Apakah pintu-belakang labi-labi Bang Marwan masih terkunci?
00:39:
Sebaris tulisan berwarna merah terpampang di dinding-samping suprastruktur Kapal Feri. Saya mencoba membaca tulisan itu…. Hm. Tak jelas.
00:45:
“Ah, paling juga pasang purnama.”
00:48:
Kapal Feri terus melaju melintasi deretan pepohonan di atas lengan-daratan di sayap-selatan Pelabuhan. Jejak buihnya yang memutih terlihat semakin panjang, berlarat di atas permukaan air.
01:02:
“Air! Air!” Setinggi dua batang kelapa, katanya.
01:18:
Laju Kapal Feri terlihat melambat. Kini ia tampak hampir tepat tegak lurus dari arah samping. Dua apron-ramp-nya terlihat menjungkar: satu di haluan, satu di buritan.
01:29:
Yang besar kelas dua SD, dituntun ibunya. Yang kecil masih di TK, digendongnya.
01:35:
Langit selatan terlihat biru cerah di atas, namun awan putih menebal di kakinya, menyelimuti Gunung Seulawah Agam, di sebelah kiri, dan deretan gunung-gunung lainnya, di sebelah kanan. Ya. Semuanya berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar.
02:01:
Laju Kapal Feri terlihat kian melambat….
02:12:
Saya mencoba lagi untuk membaca tulisan dalam huruf-huruf merah di dinding-samping suprastruktur Kapal Feri…. Hm. Masih juga tak jelas. Yang terlihat jelas adalah struktur anjungan—yang tampak menyerupai anak-anak tangga, berundak-undak dari bagian buritan ke atas dan ke depan: geladak-kimbul, naik ke geladak-jembatan, naik lagi ke geladak-sekoci….
02:37:
Di rumah tetangga, di depan anak tangga menuju lantai dua: di situ terakhir kali mereka—
02:44:
Meski perlahan, sudut pandang terus bergeser. Yang terpapar kepada arah sini sekarang adalah tampak-samping yang agak memutar, memperlihatkan bagian belakang kapal. Buritan Kapal Feri menjadi terlihat lebih jelas. Laju si Kapal terlihat kian melambat, dan kian melambat lagi….
02:58:
It is not in the storm nor in the strife
We feel benumbed, and wish to be no more,
But in the after-silence on the shore,
When all is lost, except a little life.
03:16;
Dermaga di sayap-selatan Pelabuhan kini sudah sangat dekat di hadapan Kapal Feri. Laju si Kapal terlihat menjadi sangat pelan; ia tampak nyaris tak bergerak.
03:37;
Kabar dari Bangkok, empat tahun yang lalu: “Keluarga hilang. Orang-orang hilang. Musuh juga hilang. Apa guna lagi berperang?”
03:45;
Kapal Feri terlihat merapat pada dermaga, di hadapan struktrur gantry berwarna kuning yang berdiri menjulang.
04:04;
Jangkar. Tipe old fisherman’s. Tergeletak di dekat dinding-belakang ruang-akil. Cincin-gesper, pangkal baur-tegak, satu ujung baur-palang, dan satu ujung lengannya, terpacak di atas papan geladak; mahkotanya membusur ke samping atas; satu sirip-kailnya terlihat menelungkup, dan di paruh-polongnya, tersangkut, sepotong kain berwarna putih: kumal, lunglai, bergumpal, berjuntai.
04:17:
Apakah selama ini kita juga sebenarnya sudah masuk jerat jala nelayan? Tinggal diciduk saja sewaktu-waktu, kapan dia mau. Kata siapa? Turgenev. Ya. Smert’, kak rybak. And we’re just poor lost fish swimming in a soul bowl.
04:26:
Kapal Feri tampak tak bergerak lagi. Ia telah benar-benar berhenti, sepertinya. Kini ia bersiap-siap untuk menurunkan tangan apron-ramp-nya ke depan, berjabatan dengan uluran tangan dermaga dari Pelabuhan….
Tangan Hamid Awaluddin. Tangan Tgk. Malik Mahmud. Tangan Martti Ahtisaari. Tangan seorang prajurit TNI yang menggendong keluar sesosok anak kecil dari dalam labi-labi yang terjebak dan terseret arus tsunami. Tangan seorang kombatan GAM yang meletakkan senjata di atas meja, kali ini dengan kepercayaan bahwa konflik bersenjata dapat, hendak, dan harus, diakhiri. Tangan-tangan para anggota tim pencarian dan penyelamatan, serta para relawan, yang mengangkat jenazah yang tersempalai di antara puing-puing dan reruntuhan, terserak di sana-sini. Tangan-tangan para pekerja kemanusiaan, serta tenaga medis, yang membangun pusat-pusat distribusi bantuan serta tenda-tenda pengungsi, dapur umum, pos-pos layanan kesehatan, unit-unit layanan konseling, dan simpul-simpul layanan informasi. Tangan-tangan tenaga ahli dan para teknisi, dari beragam bidang—konstruksi, mesin, listrik—yang merancang, merangkai, menyusun, dan memelihara sarana serta prasarana vital agar aktivitas keseharian dapat berjalan normal kembali. Tangan-tangan yang mengulurkan bantuan, dukungan, doa, dan empati, dari pelosok-pelosok negeri. Tangan-tangan yang tetap terulur untuk terus membuka kontak dan membangun komunikasi setelah JUHP dan CoHA tercabik-cabik, dengan kesadaran bahwa segala upaya menuju perdamaian tak boleh berhenti. Tangan-tangan yang menyiangi jalan lapang dari Helsinki, menjaga dan membebaskannya dari dendam dan benci….
Ketika saya menurunkan tangan dan membalikkan badan, saya melihat keempat tuan-rumah saya—dua berkumis, dua kelimis—tampak tengah berkumpul di depan anjungan. Pak Yusuf duduk di atas tangki plastik warna biru, bersandar kepada dinding-depan anjungan. Di depannya, Pak Rusli duduk di tepi-depan kiri, dan Pak Baihaki berdiri di sisi-depan kanan. Pak Kefli berjongkok di tepi-belakang kepala-palka, menghadap ketiga rekannya. Mereka tampak asyik mengobrol dan bersenda gurau.
Saya berjalan melintasi jalur geladak di depan mereka, dan duduk di tepi-kanan kepala-palaka untuk menguping perbincangan para pelaut ini. Tapi kemudian Pak Kefli malah berpaling ke belakang, menengok ke arah saya. Lalu dia bertanya:
“Pernah ke Sabang?” katanya, sambil memutar posisi berjongkoknya.
Saya menggeleng.
“Cobalah,” saran Pak Kefli. Dengan ramah. “Cantik, pantainya.”
Apakah secantik dara manis yang berselimut kelambu? Lebih cantik dari kapal yang pergi dan pulang?
“Pergi pagi pulang sore juga bisa. Tapi buat apa kalau tak ‘nginap. ‘Nginap sehari, lah. Losmen, enam puluh ribu. Yang lebih murah, tiga puluh lima ribu. Tapi yang tiga puluh lima ribu itu AC-nya kurang dingin. Tak nyaman, lah. Atau malah cuma pakai kipas angin. Ada juga yang lebih mahal. Yang delapan puluh lima ribu, yang seratus ribu. —Ya… yang enam puluh ribu, lah. Cukup, itu. Pergi: naik kapal cepat,” Pak Kefli lalu menoleh ke arah Gerbang Laut Pelabuhan, “seperti yang itu”—Kapal Express Bahari 3B masih bersandar di situ—“atau Pulo Rondo yang tadi. Itu, ya. Pulang: naik feri lambat seperti yang itu,” lanjutnya, sembari bangun dari posisi berjongkoknya untuk berdiri, lalu menunjuk kapal feri yang baru tiba beberapa saat yang lalu—dan yang kini terlihat masih merapat pada dermaga di sisi-selatan Pelabuhan. “Pakai kapal cepat, empat puluh lima menit juga sudah sampai. Feri lambat, dua jam, lah.”
Seraya berdiri, Pak Kefli memajukan kedua tangannya, dan menahannya setengah tengadah di depan perutnya, seperti hendak menyangga sesuatu.
“Nanti pulangnya bawa oleh-oleh: lumpia khas Sabang,” katanya. Di atas kepalanya, tampak serangkaian huruf-huruf merah membusur, “SURYA INDAH.”
“Lumpia, ya,” gumam Pak Yusuf, lebih mirip ditujukan kepada dirinya sendiri. “Bagus, lah. Sabang punya satu kue khas. Medan ‘kan kuenya campur-campur.”
“Ya, campur-campur, lah,” tukas Pak Baihaki sambil tersenyum dan menoleh ke arah Pak Yusuf. “Ada tepung, telur, gula….”
“Ongkos kapal, losmen, makan, oleh-oleh—tak sampai tiga ratus ribu; empat ratus ribu, lah, paling mahal. Terjangkau, aku bilang,” kata Pak Kefli, melanjutkan eksekusi misi promosi wisata Sabangnya dengan mengikhtisarkan rekapitulasi.
“Ya, kecuali kalau mau pakai teman tidur,” kata Pak Kefli lagi. “Tapi tak harus keluar duit banyak juga. Tiga ratus ribu, dapat, lah.”
Topi hitam Pak Yusuf terungkit. Kumis Pak Baihaki merentang. Sepatu bot Pak Rusli untang-anting. Para pemilik artikel-artikel termaksud, masing-masing berturut-turut, sama-sama menyeringai.
“Tapi jangan kau bilang ‘l*nte’!” setengah meledak, Pak Kefli menambahkan. “Bilang saja ‘guling bernyawa.’ Atau ‘selimut yang bisa jalan-jalan.’ Iya, ‘kan?”
Jiwa yang lelah, raga yang sangsai, tiba-tiba mendapat tempat tambat di pantai binar mata—dan senyum manja menggoda. Kemudian terbentang di hadapan: hamparan lembut daratan keramat yang tak terpetakan peradatan. Detak jantung dan desir darah berbakulapis dalam tekstur waktu, menganggit irama hasrat. Semalam, kemarau panjang tergopoh-gopoh menuliskan obituarinya sendiri—di kering lumut batu dan kuning kembang ilalang. Hujan deras tadi pagi memandikan lembah sunyi dengan semai-wewangi hijau dedaunan: johar, nangka, bungur, tanjung, mahoni, bugenvil…. Detik demi detik terurai. Memiuh, lalu membeku. Seperti berahi berabad lalu yang berjingkatselinap dari bibir sungai. Untuk memetik daun inai. Di Pintôe Khop. Lintas berabad peristiwa mampat dalam sekejap; denyut berpulun temali-rajut matra maujud di tubuh yang rapuh. Setiap gerak, setiap getar, setiap gelombang, menabalkan diam. Genderang purba yang lindap bertalu, jauh di lubuk laut yang paling biru, perlahan naik ke permukaan, mengapung, berayun, berpuntal-puntal, kemudian terlempar melayang ke langit berbintang, lalu jatuh di ubun-ubun, sebagai serbuan badai-cahaya yang serba-putih, terang memekakkan telinga, sebelum luruh di titik hening dengan dentuman yang kencang, bising menyilaukan mata, ketika desah nafas memijakkan renjana di leliku jalan setapak, mengulir mengikuti lekuk-liku kontur mimpi yang tak lagi ingat bagaimana bersembunyi. Lalu dari celah jendela, semilir angin datang untuk memagut, mengelus, menyibak-nyibak tepi helai kelambu—berubah kencang, menjadi deru, berujung kemelut serupa topan. Tapi bukan, bukan, ternyata bukan dari celah jendela, angin itu datang—melainkan dari arah pintu yang kasip terinsyafi sontak didobrak: Pa! Seperti suara petirnya Giambattista Vico. Dan satu regu Polisi Syariat bergegas turun dari permadani terbang.
Byur!
Satu lagi anggota tim SAR terjun ke laut. Lalu terdengar suara seruan saling bersahut. Sesi pelatihan mereka masih berlangsung, tampaknya.
Prak. Pak Rusli turun dari tangki plastik warna biru. Prak, prung, prak. Sepatu bot Pak Rusli menapaki geladak, prak, prak, prak. Prung, prak. Dari dekat tumpukan ban bekas dan gulungan tali, Pak Rusli mengambil bungkusan plastik warna biru. Prak, prak, prak. Pak Rusli berjalan prak membopong bungkusan plastik warna biru prak melewati tangki plastik warna biru prak menuju lorong prak ke dalam anjungan prak. Prak, prung, prak, prung, prak, prak, prak….
Di langit sebelah selatan, segumpal awan putih tebal berbelintang memebentuk garis lurus, naik dengan kemiringan sekira lima belas derajat dari timur ke barat. Di bawah naungannya, kapal feri dengan sebaris tulisan dalam huruf-huruf berwarna merah pada dinding samping suprastrukturnya itu masih juga tertambat di dermaga. Ya. Tentu saja. Port time. Berapa lama biasanya? Satu jam, minimial. Barangkali. Saya mencoba lagi untuk membaca—kali ini dengan memaksa lensa mata saya untuk berakomodasi seketat mungkin—tulisan di dinding samping suprastruktur kapal feri itu: semuanya huruf kecil: “we bridge the nation.” Hm. Mottonya P.T. ASDP, kalau tidak salah.
Sinar matahari sudah mulai terasa terik. Percikan-percikan putih keperakan dari pantulan cahaya tampak berkelap-kelip di permukaan laut Pelabuhan Ulèe Lheue, ketika saya berjalan, menyisir sisi-kiri geladak kapal ke arah haluan.
Berdiri di belakang tangki plastik warna putih yang berkurung rangka besi, saya memandang ke arah laut di antara Kapal Express Bahari 3B yang bersandar di Gerbang Laut Pelabuhan, agak jauh di kiri depan, dan Kapal Basarnas yang bersandar pada dermaga, dekat di kanan depan. Di belakang saya, senda gurau tiga, dua, tiga, dua, tiga, empat, dua orang pelaut sesekali masih terdengar berlanjut. Di depan, beberapa orang kru Kapal Basarnas tampak tengah khusyuk beraktivitas. Satu orang terlihat sedang berenang, agak jauh ke tengah, dan satu orang lagi, sekira sepelemparan batu dari sana ke kanan, juga terlihat sedang melakukan hal yang sama. Tubuh mereka, dari leher ke bawah, terendam di bawah permukaan air. Sekira sepelemparan batu kemudian lagi ke kanan, pelampung-pelampung berwarna jingga terkembang, ceria, lembam, ganjil, menggelembung, mengapung. Apparent rari nantes in gurgite vasto. Dan air laut jamrud hijau biru indigo. Lebih jauh lagi ke depan: kelabu jalanan pasir-batu yang berdebu. Juga hijau rumpun pepohonan yang bergelimun daun, dan hijau serakan rerumputan yang bersebarkan kabumbu. Modalitas visual adalah ketaksetimbangan termal. Bukan. Modalitas visual adalah efek kuantum. Ah. Grau, theurer Freund, ist alle Theorie. Und grün des Lebens goldner Baum. Hidup. Rumput. Pohon. Laut. Gelombang gemawan anak-anak panah yang berlontaran beruliran. Zitterbewegung. Dan para perenang: seperti cucu-cucu para perantau Arab di tengah banjir Macondo. Kecipak, debur. Kecipak deterministik. Debur probabilistik. Mesin-mesin molekular. Derau putih. Bayangkan sebuah labi-labi yang tegar bertahar di tengah badai dan gempa. Hm. Sepertinya masih ada dua tiga orang lagi; terdengar dari suara mereka. Tapi tak ada sosok-kru lain yang terlihat dari sisi ini karena terhalang oleh Kapal Basarnas….
Tumpukan batu-batu. Kelabu. Memutih dan menguning di sana sini. Feldspar, barangkali. Seberapa tua? Konon, seorang pakar geologi cuma perlu melihatnya dengan mata telanjang, tak perlu laboratorium, untuk membuat taksiran yang lumayan akurat. Putih, kuning, kelabu. Batu-batu itu mungkin tak ada di sana saat Nuruddin Ar-Raniri menyelongkar berlimpap sahifah naskah Melayu untuk menakar riwayat Kesulatanan Aceh. Tapi hikayat geologis batu-batu itu sendiri bisa saja lebih tua dari sejarah. Dan inilah Ulèe Lheue—tempat laut, rumput, pohon, pasir, dan batu menyambut tamu. Selalu. Sejak dulu.
Empat ratus tahun yang lalu, kurang lebih, John Davis juga tiba di sini. Atau, setidaknya, di sekitar sini. Dan satu saat dia berdiri—di tepi pantai, di pangkal-lanjar tanggul batu kala itu—di sisi selatan sana?—atau di sisi utara sini?—entahlah; yang jelas, dia mencatat: “… before this fort is a very pleasant road for ships, the wind still coming from the shore, a ship may ride a mile off in eighteen fathoms, close by in four and six fathoms.” Navigator, dia. Mengukur bintang-bintang yang asing untuk meretas jalan ke negeri-negeri asing. Cara yang aneh untuk merayakan kehidupan. Sezaman dengan John Davis, mungkin cuma selang beberapa tahun, Shakespeare juga menuliskan sesuatu tentang seseorang—yang berjalan di atas pasir kuning di tepi pantai, memandangi laut, dan mendengar senandung garib yang mengalun di awang-awang: “Full fathom five thy father lies. Of his bones are coral made: Those are pearls that were his eyes: Nothing of him that doth fade. But doth suffer a sea-change. Into something rich and strange.” The Tempest. Nyanyian Ariel untuk Ferdinand. Cara yang aneh untuk merayakan kematian.
Where when as death shall all the world subdue,
Love shall live, and later life renew.
Di pantai Ulèe Lheue ini, kematian kadang-kadang datang begitu cepat. John Davis menyaksikan betapa kisah hidup Cornelis de Houtman berakhir tragis di sini; si Kapten itu jatuh tersungkur bersimbah darah, sesaat setelah dia menikmati hidangan makan siang yang mewah persembahan Istana—nasi beras Solok, mungkin; juga siè kameng, pliek’u, dan brandy Nusantara, favorit-instan bule-bule pendatang: arak…. Sebuah serbuan kilat menggempur geladak, menghabisi hampir seluruh kru kapal dari expedisi Zeeland itu tanpa ampun.
Tetapi di pantai ini juga, kehidupan kadang-kadang berjalan begitu pelan. Sultanah Safiatuddin—dia menggelar prosesi perjalanan dengan perahu hias nan rupawan, melintasi Krueng Raya, ke sini. Untuk memancing ikan. Kenduri yang meriah dihelat. Penuh musik dan tari, dan senyum ceria dan tawa canda. Dan jabat-tangan di antara orang-orang yang asing satu sama lain. Pesta pantai ala Bumi Andalas abad tujuh belas. Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn ketiban pulung; dia menerima pemberian ikan hasil tangkapan sang Sultanah.
O, ya. Sultanah Safiatuddin. Dan ingatlah bagaimana dia “memaksa” saudagar permata dari Belanda itu menari. Seisi istana riuh dengan derai tawa dibuatnya. Dan— O, betapa pada hakikatnya sang Sultanah sendirilah yang justru menari. Belanda kini bukanlah Belanda yang mengirim duta mereka untuk menyampaikan surat Pangeran Maurice de Nassau, kepada Sultan Alaudddin Riayat Syah, Sayyid Al-Mukammil, yang ditutup dengan kata-kata, “Hamba mencium tangan Yang Mulia.” Malaka kini jatuh ke tangan mereka. Nusantara kini melihat mereka nyata kian digdaya. Sementara Inggris juga semakin berjaya di Semenanjung Malaya. Dan di dalam lingkaran istana sendiri, faksi-faksi yang diam-diam bertikai tak pernah berhenti saling curiga. Ya. Bèk teuwöe. Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah menari. Seperti Sengeda menari. Duduklah, Bener Meuriah. Duduklah. Ada banyak cara untuk menegakkan marwah. Tanpa harus ada konflik berdarah-darah. Akan halnya putusan untuk Syaikh Abdul Wahab yang menentangnya? Alih-alih memerintahkan penangkapan dan penghukuman, sang Sultanah malah memerintahkan pembangunan rumöh geudöng untuk dihibahkan kepadanya, agar di tempat itu, sang Al-Hadratusysyaikh dapat meneruskan mujahadah keagamaan, ijtihad pengetahuan, dan jihad politiknya. Ah, Putröe Gumbak Meuh. Barangkali permata Aceh yang sesungguhnya….
Hm. Siapa lagi yang datang ke sini dan mencatat—dan kedatangan mereka sendiri juga dicatat? Marco Polo—barangkali tidak. Di Perlak, dia singgah. Ibn Battuta—barangkali juga tidak. Di Pasai, dia singgah. Tomé Pires? Ya. Juga Frederick de Houtman dan François Martin. Juga Laksamana Cheng Ho sekira dua abad sebelumnya. Juga Karl May sekira tiga abad sesudahnya.
Apa sebenarnya yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasakan, mereka pikirkan, ketika mereka tiba di sebuah negeri yang bagi mereka asing? bersua dengan sebuah komunitas, sebuah masyarakat, sebuah bangsa yang asing? dengan pandangan hidup, adat istiadat, dan budaya yang juga asing? Oh, ya. Tentu saja mereka menuliskan semua itu dalam catatan mereka. Oke. Barangkali esensi pertanyaannya harus diubah. Apakah mereka benar-benar dapat memahami apa yang mereka temui itu, sehingga semua hal yang tadinya asing itu akhirnya tak lagi menjadi asing? Ah, tapi apa pula sebenarnya “memahami” itu? Snouck Hurgronje mungkin lebih dari sekadar memahami; dia bahkan telah menjadi seorang pakar dalam hal ini. Barangkali bukan saja esensi, tetapi subjek dan objek pertanyaannya juga harus diubah. Setelah pertemuan-dengan-yang-asing menerbitkan kesadaran akan kehadiran-dari-yang-asing, yang mendesak kita untuk menera-ulang pengalaman, apakah kita bisa melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan kita untuk mendefinisikan sesuatu-yang-asing sebagai sesuatu-yang-lain? Rorty barangkali bisa. Sebagian besar dari kita agaknya seringkali lebih mudah untuk, secara tergesa-gesa, kembali jatuh berkubu di balik benteng identitas, dan kembali memandang apapun yang tampak asing dengan teropong prasangka. Terutama ketika kita merasa terdesak atau terancam. Apalagi, tentu saja, kalau kita memang benar-benar terdesak atau terancam.
Seperti John Davis—yang menjadi saksi-mata atas serbuan kilat ke atas geladak armada ekspedisi Zeeland yang dipimpin oleh kakak beradik de Houtman itu: Kapal Leeuw dinahkodai Cornelis, dan Kapal Leeuwinne dinahkodai Frederick. Para kru tak pelak memberikan perlawanan yang tak kalah sengit. Dan korban jiwa pun jatuh tak hanya di pihak yang diserang, tetapi juga di pihak yang menyerang. Cornelis tewas, dan Frederick ditawan. John Davis sendiri lolos dari maut. Tapi dia tak bisa menyembunyikan amarah dan kebenciannya ketika, dalam tulisannya, dia mengumbar ekspresi primitif dari rasa puasnya saat dia melihat, “betapa orang-orang Hindia yang hina itu tumbang, betapa mereka terbunuh dan betapa purna mereka tenggelam….” John Davis datang kembali beberapa tahun kemudian. Tapi barangkali orang-orang “Hindia” yang dia temui itu baginya hanyalah ornamen eksotis dari sebuah kisah perjalanan. Sama-sama eksotisnya, barangkali, seperti halnya bintang-bintang tropis yang dia pandangi, tentu saja, dari jauh—dari jarak yang sangat, sangat jauh. Atau seperti halnya kapal-kapal lain yang datang mendekat, hanya untuk sesaat—yang berpapasan di kala malam dengan kapal yang dipandunya, ketika armada ekspedisinya itu berlayar di tengah samudera.
Ships that pass in the night, and speak each other in passing;
Only a signal shown and a distant voice in the darkness;
So on the ocean of life we pass and speak one another,
Only a look and a voice; then darkness again and a silence.
Dapatkah kita memecah keheningan dengan berbicara? Dapatkah kita membuka dialog yang sebenar-benarnya dialog, bukan dialog yang seolah-olahnya saja dialog, yang pada hakikatnya hanyalah monolog yang saling berbalas? Dapatkah kita menjadi seperti para pelaut—yang dengan ringan meninggalkan pelabuhan yang melenakan, lalu menyongsong ombak dan badai tanpa merasa gentar—dan yang dengan ringan pula menyongsong pelabuhan manapun yang mengulurkan dermaga, lalu tak merasa ragu untuk menautkan temali atau melemparkan jangkar? Dapatkah kita menjadi “Anak Seribu Satu Pulau,” bukan “Anak Satu Pulau Yang Dikelilingi oleh Seribu Pulau Lain di Ujung-ujung Lain dari Jembatan-jembatan”?
We bridge the nation. Jembatan: tangan manusia menumbangkan tirani jarak. Atau justru menegaskan kekasatmataan jarak? Dotting the shoreless watery wild, we mortal millions live alone.
Tiba-tiba saya merasa asing.
‘Cause I’m a lonely stranger here,
Well beyond my day.
I don’t know what’s going on;
I’ll be on my way.
Bapak-bapak, saya mau pamit. Ke mana? Jalan-jalan lagi. Oh, oke. Kapan-kapan main lagi ke sini. Hm. Entah kapan. Terima kasih. Yo. Bersalaman. Bersalaman. Bersalaman. Boleh saya ambil foto? Buat apa, nih? Buat kenang-kenangan saja. Hmm. Okelah. Jepret. Jepret. Terima kasih, sekali lagi. Yo, yo. Hmmm. Pergi. Angkat telapak tangan. Yo. Ya, yo.
Asai hana meunèe. Jak hana meuhöe. Nanggröe hana meupat.
Akulah si Jelangkung Gunung. Datang tak dijemput Panglima Bandar, pulang tak diantar Wakil Furdah. Badanku pikulanku. Sepapa kapar, sepapa sampan nan tiada berampai berma. Kepalaku di cakrawala. Serendah sauh, serendah hilal nan tersiah dari rukyat. Kakiku keretaku. Tanpa batik Mori, tanpa bafta Berotji. Tanganku hampa belaka. Tak ada sirih-pinang tunaikan adat-cap, tak ada rutu tunaikan lapik-memohon-berlayar.
Tapi aku bukanlah ostagier.
Dermaga tali. Kapal tunggul. Besi laut tenang hari. Bollard. Tanggal tiga. Ini. Maret. Visit dua ribu Banda Aceh sebelas. Kapal terlalu lama bersandar? Byur! Basarnas. Pelabuhan. Year. Geladak ya hati-hati ada. Ya ada. Yang rapuh langit. Bukan geladak. Palka. Kepala air. Hujan. Utara berawan apa. Þopta. Selatan jejak petaka di rawa pa-. Cusp. Kaca labi-labi -yau. Kabar harus. Ripr. Loncat nih hap! matahari. Tuan-tuan. Becak. Befindlichkeit. Alpha Beta?
Sjahdan, terseboetlah tjeritera jang mengenaï doea orang djoeroe pantjing jang mereka poenja nama ta’ lain dan ta’ boekan masing-masing adalah Toean Alpha dan Toean Beta. Adapoen mengenaï fatsal perawakan daripada mereka, njatalah kedoea-doea mereka itoe poenja badan sebagai tegaplah adanja. Sedangkan mengenaï fatsal perwadjahan daripada mereka, soelitlah hal itoe diperkatakan, akan tetapi dapatlah chalajak pembatja ada mendoega bahwasanja itoe kedoea-doea orang poenja wadjah sebagai berlakoenja persemoean raoet wadjah daripada kaoem boeroeh, petani, nelajan, saudagar, dan kaoem terprentah laenja. Oleh karenanjalah dengan laen perkataan, tiadalah keperangaian daripada kedoea-doea mereka itoe sebagai sesoeatoe laen daripada apapoen djoea, melaenkan seperti sesoeatoe benar sebagaimana adanja keperangaian daripada semoea kita djoea takah-takahnja. Maka dalam pada itoe, apatah gerangan fatsal kechoesoesan jang membaekkan, jang mendjadikan akan kedoea-doea mereka itoe sebagai teristimewa djoea kiranja? Ialah bahwasanja tata tjara berdirinja kedoea-doea mereka itoe, ja’ni manakala kedoea-doea mereka itoe tampaklah lagi ada memantjing, njatalah elok dan permai belaka adanja, jang mengakibatkan kepada teringatkanlah orang-orang jang memandang djoea terhadap kepada mereka itoe akan keëlokan dan kepermaian daripada tata tjara nan bestari sentausa daripada boeang aer ketjilnya bawah doeli radja-radja pada zaman dahoeloe kala. Sehingga soekar djoealah benar akan memperbedakan lagi atas keadaanja kini daripada mana pantjing mana aer seni, dan soekar djoealah benar akan tiada terta’djoebkanja hati, bahwasanja seïring berpantjoernja aer seni daripada mereka, maka berpantjar djoealah seni kebidjaksanaän daripada falsafahnja. Oleh sebab itoe, maka akan mendjadi misselijklah kiranja, djikalau sadja orang-orang hendak menoeding djoea akan hal-ihwal daripada hadirnja kedoea-doea mereka itoe sebagai tiada lebihnja ketjoeali adalah oentoek kafaedahanja berplezier semata, oleh karena soenggoehpoen memang boekanlah atas grondslagnja sesoeatoe besluitpoen akan kedoea-doea mereka itoe ada menjelenggarakan perhadjatanja itoe, baek itoe sebagai daripada satoe afdeling maoepoen itoe sebagai daripada satoe onderneming, namoen bahwasanja fatsal pleziernja kedoea-doea mereka itoe bolehlah djadi ada bertoedjoean jang mengenaï zakenbedrijfnja poela, ja’ni sebagai sesoeatoe activiteit jang sifatnja ambtelijk dan dienstig djoealah sesoenggoehnja.
Inderdaad, er gaat een opgave maar met een doelstelling, een eenvoudige doch edele nog doelstelling, daarom blijven meneer Alpha en meneer Beta ervoor dus nu hier, op het Noordelijke strand van Atchijn, ongeacht de hele dingen door in de verzadigde wereld te gebeuren, krachtens de bedrijvigheid van hun strekking, met overgave te wachten staan. Das ist die heilige Aufgabe, daß die zwei berühmte Herren mit reiner Hingabe ausführen. They apply themselves assiduously to a solemn re-enactment of the defining event of quite some centuries ago, in which the father of the then prophesied-to-be-born Poteumeureuhom, the divination-imbued father, took on the feat of regal splendour of standing upon the fort, with the golden stream of His Royal Highness’s urine, sprinkling and sparkling, disemboguing majestically into the silvery course of the Krueng, vouchsafing to the land of Achien enshrouding blessedness of peace and prosperity. Ainsi, depuis le sommet des montagnes, par le bord des coteaux, par l’étendue des terraines, jusqu’au bout des rivages, que la bénédiction prévaille; autant que ce fut que ce soit, et toujours que ce serait. Pois consequentemente em pé se levantam, os dois senhores, aqui, agora, a fim de que os corações do paiz, e também do mundo, forem sossegados, em toda parte, para sempre, pela perfeição da consciência. Sí, como las leyendas antaño, estan para ser, y para establecer la unidad de todas las relaciónes, que el universo, es exactamente lo que hace falta con sus historias primorosamente cosidas de un lazado gigantesco. Sempre più, che ogni altra cosa diventa la stessa come ogni cosa essa stessa; perciò a’i due maestri, noi, il tutto mondo, non dimoriamo all’interno dello spazio, in meno dello tempo—siamo difatti il spazio e il tempo essi stessi ciòe. Illi enim omnes valent super illis scopulis ipsi vehementer stabunt spatiorum recidivam cum singulis gutta urina de novo eduxit aeternam contemplandi. Upomonetiká, kai me ólee o dikós tous teen dúnamee. Zhídào shíjiān de jìntóu; huò kāishĭ, zhídào shíjiān jiéshù. Sekai ga shitte iru hitsuyō ga arimasu ka? Yaha samudra aura ākāśa kō gavāha kē li’ē paryāpta hai: Anna humā, al-shaykhān Alpha wa Beta, humā al-ithnān min awliyā’ al-umūr ma˘aqūliyāt al-insān, wa yatakarrasān ilā muthābarāt al-ħikmat fī hādhihi al-insāniyāt min al-juhal al-dā·im. Ejāzeh dohīd nūr vojūd dāshoteh bāshed: beh aghtashāsh, nažm; beh ădm`aţmeinān, daqt; beh sardá, moħbet. Evet, bu doğru, onları bakınız orada; bu görüş bir hikaye-yi rivayetlerden eğer silemezsiniz, zaman zaman geçen olacak. Meunanlah nyangka hôm na dröe neuh teungku-teungku banduwa meubaci peugah.
TUANTUAN ALPHABETA: Nyöe biet.
SAYA: Ho ho. Hanya dengan diam?
TUANTUAN ALPHABETA: Diam itu tidak ada, Bung. Tengok pakai teleskop, kemudian mikroskop. Setiap waktu, kita selalu berada di posisi yang berbeda di dalam ruang. Dan di posisi manapun, kita berada di dalam ruang, waktu selalu bergulir ke hilir ke hulu, ke masa depan ke masa lalu.
SAYA: Hm….
TUANTUAN ALPHABETA: Cobalah melihat sebagaimana layaknya setiap orang melihat, dan berpikir sebagaimana layaknya Schrödinger berpikir.
SAYA: Seperti Schr—? Waduh.
TUANTUAN ALPHABETA: Lalu cobalah renungkan kembali apa yang kau lihat dan kau pikirkan itu sebagaimana layaknya Born merenungkannya.
SAYA: Hi hi. Okedeh, itu argumen Tuantuan. Tapi apa, sih, yang bisa diharapkan, dari merenung tanpa berjalan-jalan?
TUANTUAN ALPHABETA: Kesombonganmu tercium di situ, Bung. Baiklah, kalau kau anggap dirimu pintar karena kau kira kau bisa berefleksi sambil mengobservasi: Si Lelaki Bertelanjang Dada tadi itu tidak benar-benar telanjang, ‘kan? Ke mana celana jinsnya saat dia menghilang dalam teori-teorimu itu?
SAYA: Ingat, Tuantuan, keretanya kemudian ditutupi kain terpal.
TUANTUAN ALPHABETA: Halah. Ex falso quodlibet.
Plop. Plap. Plopex. Plapfalso. Plopquod. Plaplibet….
Okelah, jikalau demikianpun. Mungkin sebaiknya Tuan Alpha dan Tuan Beta tidak diganggu; mereka sedang bermesraan dengan Alam. Keberadaan mereka memang absurd, tetapi Alam pada hakikatnya juga absurd, kata Feynman. Bumi ini padat bagi Tuan Alpha dan Tuan Beta, namun semuanya cair bagi Bumi, karena Bumi adalah sesosok darwis. Paradoks Ehrenfest. Oke, kira-kira. Tetapi Tuan Alpha dan Tuan Beta tidak begitu saja lenyap ditelan Bumi. Prinsip eksklusi Pauli. Ya, yang ini lebih pasti. Ah, Tanah. Tanah tan-“ah!” Zarah renik bermuatanrona Yang–Mills: semua yang menubuh, menubuh, karena, di kebun binatang, dua ujung-kaki seekor semut, yang ringan menari, bakurekat menggunakan kekuatan dua ekor gajah. Pecah-setangkup penuh, mekanisme Higgs: apa yang membunuh dari dalam adalah sekaligus juga apa yang menyelamatkan dari luar. Di balik semua itu, apapun yang dapat dilihat, didengar, atau disentuh, tak dapat lebih tepat dari setakat hampiran. Ya. Heisenberg sampai juga di puncak bukit Heligoland. Matahari terbit. Tetapi segala langkah dari segala arah tampaknya harus mentok di batas Planck. Lautan Dirac, jagat hologram ‘t Hooft dan Susskind: Alam adalah apa yang, jika mengecil, ia mengecil menuju titik kesegalaan, dan jika membesar, ia membesar menuju semesta ketiadaan. Tuan Alpha dan Tuan Beta kini kembali menjadi bayang-bayang: simpul-simpul kebolehjadian indrawi yang maujud dari persilangan benang-benang keniscayaan mantiki. Dan mereka menghadirkan kesaksian dengan modus keberadaan mereka kini: momentum angular sesedikit-sedikitnya, geodesik kontinum ruangwaktu sepanjang-panjangnya. Seperti alam itu sendiri. Kata Bertrand Russell: hukum kemalasan jagati. Barangkali mereka memang ditakdirkan untuk menjalani prosesi ritus pipis abadi.
Plop. Plap. Plop. Plap….
Meusya-é meusyén, sunurat haba lumpöe.
SANDAL JEPIT: Nye ma keuh keu kah?
TANAH: Ken ma keuh keu kèe.
Plop. Plap. Plop. Plap….
Siang sebentar lagi datang menjelang. Di perairan dangkal di tepian ceruk pelabuhan, perahu karet kelabu–jingga telah dilanggungkan. Di dekatnya, dua orang anggota tim SAR tampak tengah berendam di air laut. Mereka memakai diving-suit berkombinasi-warna kuning-hitam. Satu orang dari mereka terlihat sedang berenang di belakang perahu karet; satu orang lagi, dengan masker dan scuba-set yang masih dikenakannya, tampak tengah memberesi peralatan pelatihan mereka. Di arah kiri, bendera Merah Putih, yang terpasang pada ujung tiang di pojok-kiri buritan Kapal Basarnas, sesekali berkibar ditiup angin.
Nun di kiri depan, sejumlah tiang lampu terlihat berdiri, berbaris di sepanjang garis pantai Gerbang Laut Pelabuhan. Dan di sisi-utara terluar dari deretan bangunan kompleks pelabuhan, sebuah tiang antena-telekomunikasi yang tinggi juga terlihat berdiri, memitar tegak ke atas, ditopang oleh kawat-kawat yang terentang regang dari badan menara ke permukaan tanah di balik bangunan dan pepohonan.
Di sanalah, barangkali, empat setengah abad yang lalu, orang-orang Aceh mengibarkan bendera kırmızı-beyaz-nya Kekaisaran Ottoman. Ya. Ay-yıldız. Bersahutkibar dengan bendera-bendera seragam di puncak tiang kapal-kapal, dari berlarik-larik armada, yang berserilangrandai di bandar ini. Inilah Aceh: pengemban daulat dan marwah panji-panji bulan sabit suci di arah singsing matahari. Lalu sejarah terus bersinambung gerak, merempuh arungan penuh kelok. Kegemilangan Kesultanan Aceh perlahan memudar, hingga nyaris rantas tiga abad kemudian, ketika konstelasi kuasa di Selat Malaka merengkah dan bersulih tampuk, dan invasi Belanda tajali maujud di ambang pintu. Ikatan masa lalu pun kembali diseru. Namun apa daya, kirana Kekaisaran Ottoman juga sudah sama-sama membalam. Konstelasi kuasa di daratan Eropa, Asia Barat Daya, dan Afrika Utara, rupanya juga sudah sama-sama berubah. Malah dengan gejolak yang lebih dahsyat, kejam bersibaran darah. Mintakat kedaulatan Turki terus menciut. Devlet-i `Aliyye-yi `Osmâniyye kini bukan lagi kekuatan dunia nan perkasa meraksasa, seperti pada masa Sultan Suleiman Agung. Aceh kembali sendiri. Dan tak berapa lama kemudian, pasukan Kohler membombardir Kutaraja, serta merampas artileri bagas milik Istana. Ya. Lada Secupak. Tanda-mata dari masa bergas bagi Aceh—tatkala Sultan Selim II memberkati warkat sebahat yang dipersembahkan Duta Aceh, Husein Efendi; Wazir Raya, Sinan Pasha, mengirimkan meriam dan candrasa ikram kepada Sultan Alauddin Riayat Syah, Al-Kahar; dan Laksamana Kurtoğlu Hızır Reis melabuhkan bahteranya di pantai Ulèe Lheue ini. O, ya. Itu tempo dulu. Kedua kesultanan itu kini tersuntuk berlutut, ringkih merunduk dijemput “Sessiz Gemi”-nya Yahya Kemal Beyatlı. Betapapun, selama berabad-abad orang-orang Aceh tetap menyambut bendera kebesaran bentala Anatolia itu dengan segenap hormat dan kekaguman. Bahkan juga dengan segenap cinta.
Apakah demikian juga halnya, bila yang dikibarkan sekarang adalah bendera merah-putihnya Republik Indonesia? Bagi sebagian orang Aceh, barangkali, itu masih butuh waktu. Ya. Seperti kata Nenek, mungkin: cinta tak bisa dipaksa. Entahlah….
Plop. Plap. Plop. Plap….
Berhenti sejenak.
Naik ke atas tanggul-batu.
Di depan: Nun jauh di ufuk barat, gunung-gunung dan perbukitan di wilayah Peukan Bada tampak biru membayang. Awan putih, yang terlihat seperti helai-helai selaput tipis, mengabut di atas puncak-puncaknya. Sebentuk gumpalan awan yang berbelintang naik dari timur ke barat di langit selatan—di langit barat, ia bersinambung, melantas dari selatan ke utara, untuk menukik landai di atas Puncak Geoh Lemoh. Badan-daratan jalur-jalan yang terentang sebagai semenanjung—Jalan Pelabuhan—terlihat berlarat dari Gerbang Darat Pelabuhan di kiri-depan sana, jauh hingga tampak berujung di tepi yang berbelok ke arah dalam, ke arah kiri, di Pantai Cermin dan Kawasan Wisata Ulèe Lheue—yang dari sini terlihat hanya sebagai rumpun pepohonan di kaki bayangan bukit. Di antara derai tapal-tapal balustrade dan tiang-tiang lampu di sepanjang Jalan Pelabuhan, sayup-sayup terlihat: menara Baiturrahim. Di bawah telapak kaki, tanggul-batu yang ini, embarau bagi tepi-luar dari lengan-daratan di sisi-utara ceruk pelabuhan, juga mulur bersinambung ke tampak-ujung di sana—terlanjar praktis sejajar waterkeringmuur dari struktur jalan. Bersama deret pepohonan, nun di garis ufuk, tanggul-batu di sisi terluar ini menjadi garis teritori persinggahan dari alur-irama rona lanskap: dari pemandangan tegas beragam warna di sebelah kiri dan bawah, ke pemandangan samar bernuansa biru di sebelah kanan dan atas.
Senyap.
Di samping kanan: dari tepi-luar tanggul-batu di bawah sini, lalu lepas jauh membentang ke cakrawala di langit utara: … laut. Laut, dan hanya laut. Tiada lain kecuali laut. Babad aksama sonya udhaya. Laut saujana mata. Dari arah inilah, pagi, 26 Desember 2004 silam—
Laôt. Langèt. Ladat.
Turun.
Plop. Plap. Plop. Plap….
Belok kiri.
Pelabuhan Ulèe Lheue. Sekarang ia barangkali hanya sebuah pelabuhan kecil. Hanya sekira tiga ratus meter saja, tampaknya, panjang bibir ceruknya, dari sisi-utara di sini ke sisi-selatan di sana. Dan hanya sekira dua ratus meter saja, tampaknya, dari tepi-timur ke tepi-barat. Jadi sekira enam hektar, mungkin, area utamanya. Ditambah dengan lengan-daratan dan serambi-lahan di depan gapura… Benar. Sekira delapan hektar. Tiga atau empat trip penyeberangan ke Sabang per hari—barangkali cuma itu jadwal pelayaran reguler yang dilayaninya di tahun-tahun terakhir ini. Ya. Gegas-runggas arung samudera abad tujuh belas kini tinggal cerita lawas. Atau, bahkan, pun di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, ketika Karl May memijakkan kaki di sini, zaman keagungan laut barangkali sudah jauh berlalu. Setidaknya, begitulah bagi Aceh dan Ulèe Lheue. “Uleh-leh ist nicht groß, fast durchweg nur aus Holz gebaut.” Hm. Sekarang tentu saja dermaga dan bangunan-bangunan di sini terbuat dari beton dan baja, bukan kayu—atau bukan seluruhnya kayu.
Jalur tanah telanjang yang kuning kecoklatan berakhir, selangkah di depan. Selanjutnya adalah jalanan pasir-batu yang berdebu—tiba memutar dari arah gapura, nun di kanan-depan sana, dan dari sini, terhampar pepat lurus ke depan, hingga menjelang lahan parkir di samping-belakang dermaga kapal-cepat.
Para penumpang kapal feri yang tiba dari Sabang tadi mungkin sudah meninggalkan pelabuhan, sekarang. Tapi ada juga, barangkali, yang masih menunggu di sini. Saat-saat setelah kedatangan kapal, di pelabuhan ini, sekira seabad yang lalu, adalah saat-saat yang cukup sibuk, kata Karl May. Ya. Bahkan sebuah pelabuhan kecil pun tak selamanya sunyi. Chairil seharusnya datang di kala pagi. Selalu saja ada yang datang mencari cinta di awal hari, pada cerita tiang serta temali. Ya. O, ya. Dan ada masa-masa ketika yang datang itu adalah sekumpulan orang dengan ragam-tampil yang berwarna-warni. Seperti halnya seabad yang lalu di pelabuhan ini. Kata Karl May, saat itu di sini orang dapat melihat, “die verschiedensten Typen Sumatras in Bewegung.” Hm. Cukup akurat. Meskipun mungkin kurang presisi. Karena sebagian besar dari die Verschiedenheit itu disumbangkan oleh Aceh sendiri.
Jalanan pasir-batu berujung di depan—tinggal beberapa langkah lagi. Area beraspal menyambungnya ke lahan parkir yang dibatasi oleh kanstin bermarka, di tepiannya, berupa pematang-tembok yang langkai dan bercat hitam–putih. Lahan parkir dan jalur beraspal ini tampak dari sini membentuk huruf ‘T,’ dengan hamparan rumput yang menghijau, di samping kiri dan samping kanan bagian tangkai-tegaknya, dan pemandangan sayap-utara kompleks pelabuhan, di belakang bagian palang-lintangnya. Panorama dari kiri ke kanan: Kapal Express Bahari 3B yang tengah bersandar; tanggul-batu dan rumpun perdu; bagian-atas dari suprastruktur kapal feri, nun di belakang sana; dermaga kapal-cepat; beranda bangunan-utama, dengan tiang-tiang lampu yang berdiri tegak; koridor gerbang kedatangan dan keberangkatan; rumpun pepohonan di taman dermaga; bangunan utama, dengan bangunan sayap-utaranya; sebuah bangunan dua-lantai beratap-rungkup, dengan jendela-persegi yang lebar yang menghadap ke laut pelabuhan (menara syahbandar, barangkali); sebuah bangunan dengan dinding yang tampak bergaris-garis; tiang antena telekomunikasi; dan sebuah bangunan mesjid, dengan atap-limas bersusun-dua, dan frontispiece serupa arkade berprofil simplistik, yang tampak menyembul dari balik rumpun konifera di dekat sini….
Berjalan ke depan. Angin laut berhembus di belakang. Di atas lahan parkir, tampak terparkir tiga buah mobil: sebuah pick-up hitam yang berdampingan dengan sebuah SUV kelabu-perak, di sebelah kiri, menghadap ke selatan, dan sebuah MPV hitam, di sebelah kanan, menghadap ke barat. Milik direksi atau staf manajemen pelabuhan, barangkali. Karena lahan parkir untuk kendaraan para pengunjung tampaknya adalah yang di depan sana. Sekelebat, sinar matahari tampak terpantul di kaca spion salah satu dari ketiga mobil.
Bagaimana, sebenarnya, kita seharusnya meneroka dan menghisab masa lalu? Mengenang yang indah-indah saja darinya, lalu mengglorifikasikannya—itu barangkali akan menambah kepercayaan diri; meskipun, itu bisa juga menyesatkan, atau, setidaknya, menyempitkan perspektif. Membongkarnya tanpa pilah dan memaparkannya tanpa tapis—itu barangkali lebih jujur; meskipun, seringkali kenyataan yang kemudian mengemuka darinya tampak begitu mengerikannya, sehingga remai-rodan yang ditimbulkannya terasa menunjam melumpuhkan. Haruskah semua yang keji, yang kotor, yang hina, yang memalukan, yang menjijikkan dari masa lalu dibuka—untuk dibasuh dengan kesadaran akan pentingnya mengungkap kebenaran, dan diseka dengan keinsyafan akan pentingnya membayar utang kepada kemanusiaan? Atau haruskah semua itu dikubur saja dalam-dalam, lalu di atas pusaranya, dihamparkan babak baru, dengan tekad baru untuk berladang pandangan baru yang lebih berkearifan, dan tindakan baru yang lebih bermartabat? Yang tak dapat mengingat masa lalu, kata Santayana, dikutuk untuk mengulanginya. Tapi barangkali yang terlampau dalam mengingat masa lalu juga akan bernasib sama. Lagipula, seperti kata orang, memantau jalanan yang ada di depan itu jauh lebih penting daripada menghabiskan waktu untuk sibuk memandangi kaca spion. Ya. Bisa jadi benar, begitu. Tapi…. Hm. Apakah satu-satunya cara jejak langkah itu menampakkan diri adalah dengan munculnya ia di kaca spion? Masalahnya, barangkali, kita tidak sedang menumpang mobil Galilean, tapi roket Einsteinian. Sejarah menjadi sangat relativistik: semakin bertambah cepat, kita bergerak ke depan, semakin tampak jelas, apa yang berada di belakang kita.
Berjalan terus ke depan. Lintasi lahan parkir, di antara SUV kelabu-perak dan MPV hitam. Sejalur jalan setapak kini tepat berada di ujung kaki—jalan yang berhamparkan paving block, terletak di antara lahan parkir dan taman berumput-berpohon di belakang dermaga kapal-cepat, dan terentang menyusuri lintas-tepi sepanjang pagar-besi, dari sisi sebuah pintu-samping di belakang tanggul-batu di garis pantai, hingga batas teras selasar di samping sayap-utara dari bangunan-utama kompleks pelabuhan. Jalan inilah yang saya ambil. Langkahi kanstin bermarka.
Belok kanan.
Byur!
Saya menoleh ke belakang.