Ulèe Lheue—O, Ini Regu “Peltu,” Bukan “Darah Ayam”

Ulèe Lheue—O, Ini Regu “Peltu,” Bukan “Darah Ayam”

Laôt. Langèt. Ladat.
Meusya-é meusyén, sunurat haba lumpöe.
Asai hana meunèe, jak hana meuhöe—
Nanggröe hana meupat.

Berbagi tunggul besi, tempat bertautnya tali-temali, segaris berhadap-hadapan, haluan bersua haluan, Kapal Motor Surya Indah II, GT 98, No. 462/FFe, dan Kapal Basarnas Banda Aceh 01, RB 208, bersandar pada dermaga di sayap-utara Pelabuhan Ulèe Lheue. Pagi. Beberapa menit menjelang pukul sembilan. Matahari bersinar terang; laut beriak tenang. Di Gerbang Laut Pelabuhan, dua kapal cepat, Pulo Rondo dan Express Bahari 3B, terlanggung berdampingan menunggu pemberangkatan ke Sabang.

Di atas Kapal Surya Indah II, sesosok laki-laki paruh baya, bertopi hitam, melompat naik dari geladak-utama ke atas geladak-akil. Selangkah kemudian, dia sudah berada di depan fixture penggulung tali yang terpasang di sana. Di atas kapal yang sama, sesosok laki-laki lain, tampak berusia lebih muda, dengan sepatu bot warna hijau-xanadu di kedua kakinya, bertolak meninggalkan jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal, berjalan terkindap-kindap, kotak plastik di tangan kirinya, kuas kayu di tangan kanannya.

Di buritan Kapal Basarnas, di atas landasan luncur, sebuah perahu karet berkombinasi-warna kelabu–jingga bertengger, miring, bagian paruh terikat regang oleh seutas tali yang terpaut pada tonggak pancang di tengah geladak kapal, bagian ekor menunjuk ke arah laut di belakang buritan kapal. Sebuah lagi perahu karet dari jenis yang sama telah diturunkan melaut di tepian ceruk pelabuhan. Di atas perahu karet yang disebutkan belakangan, dua orang awak kapal, sepertinya anggota tim SAR, bersiap-siap untuk memulai apa yang kemudian tampak sebagai sesi pelatihan. SAREX, mungkin. Sesi swift water response.

Dari area kompleks pelabuhan, di sisi-utaranya ini, sejalur pita-semenanjung menjulur memanjang, lepas ke arah timur-laut sekira dua ratus meter, lalu menikung, berbelok ke utara, dan berhenti tak begitu jauh dari tembereng beloknya. Sejalur pita-semenanjung secorak juga tampak menjulur memanjang dari sisi-selatan pelabuhan, lepas ke arah timur-laut sekira tiga ratus meter, menikung, berbelok ke arah barat-laut, sedikit melengkung ke kanan, lalu menjulur lepas ke utara, dan berhenti agak jauh dari tembereng beloknya. Ujung-ujung dari kedua lengan daratan ini menjadi semacam lorong-pandu keluar-dan-masuk bagi kapal-kapal yang berangkat menyamudera dan tiba berlabuh.

Lanjaran tanggul, yang terbangun dari tumpukan batu-batu, mengembarau di sepanjang garis pantai pelabuhan—hanya berjeda beberapa puluh meter saja di tengah, di Gerbang Laut Pelabuhan, tempat berjulurnya dermaga kapal-cepat.

Lanjaran tanggul-batu juga mengembarau pada kedua sisi longitudinal pita-semenanjung, mengempa dan menyangga jalur sempit di sayap-utara ini. Di tengah-tengah, di antara kedua tanggul-batu di sini, adalah hamparan membujur tanah telanjang. Berdebu, kuning kecoklatan. Dan berbanjar di tepiannya, terutama di sepanjang sisi yang lebih dekat kepada ceruk pelabuhan, rumput dan perdu liar tumbuh di sana-sini: Telau-telau kelimun dedaunan hijau di tepi hamparan laut yang menghijau: hijaunya hijau di sana, hijaunya tak-begitu-hijau di sini. Hijaunya García Lorca di mana-mana.

Verde que te quiero verde.
Verde viento. Verdes ramas.
El barco sobre la mar
y el caballo en la montaña.

Di atas tanah berdebu yang kuning kecoklatan ini, saya berjalan kaki. Plop. Plap. Plop. Plap. Kuncir-bumi berapit tanggul-batu, di penghujung Nanggröe Endatu, dengan riang menjawab kuar gawal dari telapak sandal-jepit saya. Plop. Plap. Plop. Plap. Tanah polos yang lugu kemayu, ingatkah kau, masa lalumu? Ah, Tanah. Tanah tan-“ah!” Eloquently new and abandoned to its delirious beat. Plop. Plap. Plop. Plap. Oke. Jalan terus. Ke arah timur, ke arah laut.

Nun jauh di depan, di atas bongkahan batu-batu yang menjenggul, siluet dua sosok laki-laki yang tengah berdiri menghadap “kolam” pelabuhan—dua sosok yang tampak takzim, damai, serius, penuh konsentrasi, seperti sepasang mahatma tantra merangkap jagapati lantai bursa—terlihat membayang. Tampak juga siluet dari bangun-ruang setongkrongan becak yang terparkir di belakang mereka.

Ho ho. Apakah gerangan pasal dari wujud terestrial dari penampakan astral dari itu dua “points de capiton” visual?

Dua orang pemancing, tentu saja. Pemancing ikan? Belum tentu ikan, sih. Bagaimana kita bisa yakin kalau mereka tidak pernah berniat untuk memancing udang, atau cumi-cumi, atau lumba-lumba? Dan anak kelas satu SMP pun tahu, kalau udang itu krustasea, cumi-cumi itu moluska, lumba-lumba itu mamalia—ketiganya bukan ikan. Ohoi! Kenapa juga kita harus memustahilkan kemungkinan adanya niat pada mereka untuk memancing perhatian Cut Keumala? Tapi, tunggu. Yakin, mereka itu sedang memancing? Yakin, dong. Kalau bukan memancing, lantas apa? Lagipula, joran mereka terlihat jelas, kok. Hei, itu cuma garis hitam yang mengacung lalu melandur. Bisa berarti macam-macam, lho. Es gibt keine Ordnung der Dinge a priori. Bisa berarti… alurlintas pancur pipis, misalnya. Sebentar… bagaimana merumuskannya? Hm… The parabolic trajectories of the metabolic emanation: urina praeclara caeli providentia. Nah, itu dia, kira-kira. (Meskipun, memang, sih, terlalu surealistik juga bila itu diartikan sebagai lebih dari sekadar alurlintas; yaitu, misalnya, sebagai organ artileri originator alurlintas.)

Hm. Hm, hm. Siapakah gerangan mereka? Mari kita sebut saja mereka Tuan Alpha dan Tuan Beta. Dan yang mereka lakukan? Memancing, pasti. Bukan. Pipis, lebih pasti. Bukan. Memancing, lebih past. Bukan. Pipis, lebih pas. Bukan. Memancing, lebih “pa!” Bukan. Pipis, lebih ‘p.’

Baiklah. Pipislah. Karenalah pipislah itulah baiklah.

Ajukan mereka untuk status keanggotaan di Yayasan Nakula Sadewa. Kak Seto sepertinya akan mengalami kesulitan untuk menolaknya. Ya, mereka memang tampak serupa anak kembar. Atau orang dewasa kembar. Atau manekin—bukan (barangkali tidak pernah ada manekin Nakula atau manekin Sadewa)—bukan manekin, tapi wayang, kembar. Tinggi dan postur tubuh mereka kurang-lebih sama. Hanya pose berdiri dan sudut elevasi pipis mereka saja yang berbeda. Tuan Alpha, dengan kepala tegak, punggung bagian atas agak tertekuk, bokong maju, dan sudut elevasi pipis yang terjal; Tuan Beta, dengan kepala agak tertunduk, punggung tegak, bokong sedikit mundur, dan sudut elevasi pipis yang lebih landai. Yang dan yin, mungkin. Bipolaritas uniplanar taijitu yang ditubuhpisahkan demi sebuah misi tao-te, dan yang larut dalam sebuah tirakat-komplementer wei wu wei. Barangkali. Atau kombo modalitas dialektis in re kesetimbangan kemenjadian ontologis dalam sebuah prosesi ritus pipis. Eit, eit! Akan tetapi bila itu kau katakan blak-blakan kepada mereka, Bung— O, niscaya mereka akan menghukummu dengan bengis. Laksana Scylla dan Charybdis. Ngomong-ngomong, apa, ya, yang mereka pikirkan?

Ah, entahlah. Lewatkan saja. Lebih baik lanjutkan berjalan.

Plop. Plap. Plop. Plap….

Oke. Belok kanan: dermaga.

Ujung kaki bentuk huruf ‘T’ dari platform struktur-beton dermaga, pertemuan antara dermaga dengan lengan-daratan bertanggul-batu, kini berada di depan saya. Di sepanjang sisi-kiri dan sisi-kanan dari badan bentuk huruf ‘T’ ini, bersambung dan berbelok ke sisi-bawah sayapnya, terpancang pagar-besi bercat kuning—jejeran tonggak-tonggak pipa-besi yang paruh-paruh atas tingginya dirangkum empat-empat kemudian lima-lima oleh bingkai persegi dari pipa-besi berdiameter sama. Tunggul besi di atas dermaga, yang tampak pejal dan pandak, tempat kapal-kapal tertambat, terlihat berada di ujung tempuh, tepat lurus di hadapan saya. Kepada tunggul besi ini, Kapal Surya Indah II dan Kapal Basarnas menautkan tali-temali tambatnya. Kapal Surya Indah II di sebelah kiri; Kapal Basarnas di sebelah kanan. Keduanya praktis “menghuni” seluruh rentang sayap bentuk huruf ‘T,’ bagian paling fungsional dari struktur dermaga. Dua buah sepeda motor—atau, “kereta,” orang Banda Aceh menyebutnya—terparkir di atas dermaga di dekat Kapal Surya Indah II: satu di dekat lambung kapal, satu lagi di sisi seberangnya, di dekat pagar, ditutupi lembar plastik berwarna biru. Sementara, juga di atas dermaga, di dekat Kapal Basarnas, terparkir empat buah sepeda motor (atau lima?—tak begitu jelas, dilihat dari sini) berjejer dalam arah lateral sayap bentuk huruf ‘T’ dari dermaga, menghadap ke arah yang sejajar dengan arah buritan kapal.

Daily the steamers sidle up to meet
The effusive welcome of the pier.

Lelaki bertopi hitam di atas geladak-akil Kapal Surya Indah II memutar engkol penggulung tali, berhenti, menarik ke atas geladak-akil juluran tali yang berjuntai, berhenti, mengulurnya sedikit, menariknya lagi, merapikannya, memutar engkol lagi, berhenti, membungkuk, memeriksa gulungan tali, berdiri tegak lagi, lalu memutar engkol lagi. Lelaki bersepatu bot hijau-xanadu di atas geladak-utama Kapal Surya Indah II berjalan ke arah haluan, kembali menghampiri jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal, berjongkok, membuka tutup jeriken, memasukkan satu ujung selang plastik ke mulut jeriken, mengarahkan ujung satunya lagi ke kotak plastik yang dibawanya, dan menatap cairan belangkin yang mengucur dari ujung selang itu ke dalam kotak. Saya berjalan menyusuri dermaga hingga tiba di dekat tunggul besi, lalu belok kiri: berjalan lagi ke arah timur; tepi-atas lambung-bebas Kapal Surya Indah II berada di samping kanan saya—linggi, akil, geladak, tiang kapal, geladak, kepala-palka, geladak, anjungan, kimbul….

Enam puluh kaki, kira-kira, panjang platform utama “sayap kiri” dermaga ini, dari “tepi kiri” komponen tegak-lurus yang menghubungkan dermaga dengan lengan-daratan bertanggul-batu. Tujuh puluh lima kaki, kira-kira, panjang Kapal Surya Indah II, LOA—atau dari ujung linggi haluan hingga ujung paling belakang dari buritan. Beberapa kaki panjang-bagian-belakang dari Kapal Surya Indah II tak kebagian tempat merapat. Dan, berdiri di ujung dermaga yang “kutung” ini, saya tak dapat menyunggit tengok untuk menampak dengan jelas bagian belakang kapal. Akan tetapi ada bilai platform, selebar sekira sepertiga lebar platform utama, di sisi jauh, menjulur sekira tepat hingga di garis-maya tegak-lurus yang dapat ditarik dari tepi paling belakang dari “sisa” panjang buritan Kapal Surya Indah II. Saya berjalan ke ujung bilai platform dermaga ini.

Plus douce qu’aux enfants la chair des pommes sures
L’eau verte pénétra ma coque de sapin
Et des taches de vins bleus et des vomissures
Me lava, dispersant gouvernail et grappin.

Et dès lors je me suis baigné dans le poème
De la mer, infusé d’astres et latescent,
Dévorant les azurs verts où, flottaison blême
Et ravie, un noyé pensif parfois descend.

Kimbul. Profil bangunannya tampak gelap; suasana ruangannya tampak temaram. Hari masih pagi bagi sang Surya Indah II. Mengemuli suprastruktur kapal yang terentang hingga ke ujung belakang ini, selapis tipis sisa kabut menggelayut. Si Kapal menggeliat pelan. Palas lintang. Lengang. Sepasang tiang kayu, di sudut kiri dan sudut kanan, menyangga atap anjungan. Birai kayu memagari geladak-jembatan. Jack Dawson berdiri dan bersandar di situ. Bajèe meukasah yang dikenakannya, tak bersulam, terlalu longgar untuk ukuran tubuhnya yang kurang gizi. Tak ada siwah yang terselip di balik ija lamgugap yang belel, yang membelit dari pinggang hingga ke lututnya, melapis cekak musang-nya yang kumal dan bertambal. Rose DeWitt Bukater berdiri dan bersandar di samping Jack Dawson. Sulaman emas di bajèe kurông, ija krông, dan ija sawak-nya beradu kilau dengan butiran ametis pada pending-nya, serta keping safir pada kula-nya. Rose menatap Jack dengan terawang yang sayu dan dalam, tersenyum getir, dan berkata, “Jack, nyöe pat baröe jéh geutanyöe phôn meurumpök.

Angin sepoi-sepoi bertiup dari arah laut. Ombak dedai-dedai menghempas batu-batu di sisi-luar tanggul yang memagari ceruk pelabuhan.

Berjalan kembali ke arah tunggul besi, saya melihat sepeda motor yang berada di dekat lambung Kapal Surya Indah II masih terparkir di tempat yang sama, dengan posisi yang sama. Hanya saja, joknya kini terangkat, dan seorang lelaki—entah dari mana datangnya—tampak tengah berjongkok di hadapannya, sibuk dengan perkakas mekanik di tangannya, mengutak-atik mesin kereta yang boleh jadi merupakan harta teristimewanya itu. Setidaknya, begitulah kesan yang tampil dari kesungguhannya bekerja. Dia bertelanjang dada. Rambut beruban di kepalanya tampak telah mulai menipis. Ketika sesekali dia berdiri, punggungnya tampak sedikit terbungkuk. Tapi jejak-jejak kekekaran otot-ototnya, barangkali sisa-sisa masa mudanya, masih terlihat di postur tubuhnya yang terbungukus kulit tipikal orang Melayu yang lazim berlimbur sinar matahari terik—sawo-matang gelap, nyaris coklat pekat. Agaknya tak sedikitpun dia menghiraukan saya. Dengan senang hati, saya mengimpas piutang sikapnya setangkup se-mata-uang. Begitulah seharusnya para lelaki bertukar laku, Ki Sanak.

Dari celah di antara haluan Kapal Surya Indah II dan haluan Kapal Basarnas, Gerbang Laut Pelabuhan terlihat tenteram. Kapal Express Bahari 3B, dengan warna putih yang mendominasi seluruh lambung serta suprastrukturnya, dan striping warna jingga yang menghiasinya, tampak terlanggung di sebelah luar, menutupi Kapal Pulo Rondo, dengan lambungnya yang berwarna biru, dan suprastrukturnya yang berwarna putih ber-striping biru, yang terlanggung di sebelah dalam, bersandar kepada dermaga kapal-cepat. Bangunan-bangunan di kompleks pelabuhan berdiri di latar belakang. Lamat terdengar dari arah buritan Kapal Basarnas, beberapa orang anggota tim SAR dengan serius bercakap-cakap. Tapi yang terlihat dari sini hanyalah seorang awak kapal yang mengenakan kemeja warna jingga—barangkali dia juga seorang anggota tim SAR—yang berdiri di atas geladak-utama, termenung, tangannya bertumpu pada rel besi yang terpancang di atas bibir-lambung kapal—tepi atas dari lambung-kapal yang bercat warna jingga itu.

Dua lantai anjungan, dihitung dari level geladak-utama, membentuk suprastruktur Kapal Basarnas; seluruhnya bercat putih. Dan pada dinding-depan lantai pertamanya, tulisan dalam huruf-huruf kapital berwarna hitam, “BASARNAS,” tercetak dalam ukuran besar. Dua jalur tali-kapal terentang dari tunggul besi di depan saya kepada mooring bitt yang bersebelahan dengan mooring winch dan anchor windlass di bagian depan dari geladak-utama di dekat ujung haluan dari Kapal Basarnas. Tepat di bawah titik ujung-runcing pada moncong kapal, sebuah jangkar bertipe stockless navy tersangkut dan bermukim di saku-jangkar yang berbentuk prisma segilima, dengan penampang depan yang menyerupai stereotipe profil sebuah bangunan rumah.

And the mussel pooled and the heron
Priested shore.
The morning beckon.

Saya mengeluarkan telepon genggam yang saya bawa, dan dengan kamera fitur bawaannya, saya mengambil foto pemandangan Gerbang Laut Pelabuhan. Seorang anggota tim SAR memanggil rekannya dengan suara lantang, dan lelaki bertopi hitam di atas geladak-akil Kapal Surya Indah II membuat simpul kunci di penggulung tali, dan sandal jepit yang saya kenakan di kaki saya kini kehilangan pelayanan rasa nyamannya, dan lelaki bertelanjang dada menggosokkan, dengan segenap energi, lap kainnya ke sekujur jok serta tangki-bahan-bakar sepeda motornya, dan lelaki bersepatu bot hijau-xanadu, yang telah rampung mengecat bagian ujung dari salah satu batang-rusuk gading-gading kapal dengan cairan belangkin, melintas di atas geladak dengan derap, “prak, prung, prak, prung, prak, prak, prak…,” dan awak Kapal Basarnas berkemeja jingga kembali memasuki anjungan, dan lelaki bertopi hitam melompat turun dari geladak-akil, dan lelaki bertelanjang dada mengibaskan lap kainnya, dan lelaki bersepatu bot hijau-xanadu berjongkok di balik papan-kubu kapal, dan karena kaki saya terasa pegal, saya juga berjongkok di atas dermaga, dan dari pintu ruang kemudi Kapal Basarnas, Franky & Jane, Sahilatua, muncul beriringan, Jane di depan, menggengam kastanyet di kedua tangannya, Franky di belakang, menyandang gitar dengan ambin yang menyelendang melintasi pundaknya, dan mereka berjalan di atas geladak-jembatan menuju pagar-besi di tepi anjungan di depan mereka, dan mereka bernyanyi, “Jika sekolah sudah libur, aku lari ke pelabuhan…,” dan sambil tersenyum mereka terbang ke langit biru, dan seorang anggota tim SAR berseru, “Hooo!” meneriakkan undangan terbuka dari Laut, R.S.V.P., dan dengan khidmat tapi mesra, Laut berbisik, “Ke marilah… ke marilah… ke marilah….”

Byur!

Saya tersentak dan menoleh ke arah buritan Kapal Basarnas. Tapi, sekali lagi, hanya julangan kapal putih–jingga ini saja yang terlihat dari sini. Begini, Bung: Kalau kau benar-benar ingin menonton mereka mempertunjukkan keterampilan rescue swimming “warisan” para anggota Seenotdienst, kenapa hanya diam? Bergeraklah. Tidak sulit, kok. Tinggal berjalan saja ke ujung dermaga di sana.

Dan Laut kembali berbisik, “Ke marilah… ke marilah… ke marilah….”

Apa hendak dikata, posisi berjongkok begini ternyata berkecenderungan menimbulkan sindrom inersia status quo—atau, lebih tepatnya, barangkali, nongkrongatus quo. Dan di atas kepala saya tiba-tiba terdengar suara orang memanggil, atau menyapa, atau bertanya, atau…

“Ada apa, Dik?”

Saya terkesiap dan menoleh ke atas. Lelaki bertopi hitam tampak membersil dari balik papan-kubu kapal di belakang ruang-akil Kapal Surya Indah II—dua bola matanya menatap dari sebentuk bayangan wajah yang tampak buram di bawah topi hitam; di kedua sisi kepalanya, berkas sinar matahari pagi yang lembut terbiaskan menjadi spektrum tipis warna-warni pelangi. Melihat saya yang hanya melongo seperti seorang pandir yang baru tersadar dari pingsan, dia mengubah arah pertanyaannya.

“’Motret, ya?”

Saya mengangguk.

Pak Topi Hitam kemudian berpaling pandang ke posisi geladak di hadapannya, agak ke bawah, yang tersembunyi dari penglihatan saya. Sepertinya dia kembali sibuk bekerja, menggulung tali-temali kapal di sana.

Saya pun kembali memalingkan pandangan kepada dua haluan dari dua buah kapal di depan saya. Kapal Surya Indah II, dan Kapal Basarnas. Satu kapal kayu, satu kapal baja. Face off. Seandainya kedua kapal ini sedang melaju di tengah laut, posisi seperti ini mengharuskan keduanya untuk cikar kanan kemudi, sehingga mereka dapat berpapasan sisi-kiri terhadap sisi-kiri. Steering to starboard, passing port-side to port-side. Dan saya berjongkok di zona-bahayanya Kapal Surya Indah II. Tapi saat ini tidak ada bahaya sama sekali, tentu saja, karena kedua kapal sedang bersandar pada dermaga. Jauh lebih aman daripada petualangan saya berjongkok untuk buang hajat di atas kloset duduk—di rumah yang saya tinggali selama saya berada di Banda Aceh, di Jalan Sultan Alaidin Mansursyah.

“Tempo hari juga ada yang datang ke sini. Wartawan.”

Terdengar lagi suara Pak Topi Hitam di atas kepala saya. Saya menoleh, dan mencoba menimpalinya dengan komentar empatik. Tetapi yang keluar dari mulut saya hanya kata…

“Oh.”

Pak Topi Hitam kemudian dengan ramah memberikan saran mengenai beberapa spot yang menurut penilaiannya bagus untuk dijadikan pijakan bagi angle pemotretan. Sepertinya Pak Topi Hitam pada awalnya mengira, kalau saya juga seorang wartawan. Wartawan? Seorang jurnalis berbendera sebuah perkongsian media terkenal? Rasanya, tak ada potongan, sih, kalau itu. Atau seorang PSK—pewarta sonder koran? Hi hi, terlalu serius, mungkin, lagak saya tadi. Mondar-mandir, sok bikin observasi. Sayang sekali, Pak. Saya tidak mampu mengangkat Anda ke atas panggung kemasyhuran. Saya katakan, saya cuma seorang pelancong fakir-stadium-akhir asal Bandung, yang luntang-lantung di Banda Aceh, memotret lanskap dengan kamera standar, fitur bawaan dari sebuah telepon genggam (yang saya peroleh dengan meminjam), sekadar buat gagah-gagahan. Dan hasilnya? Buat pamer di depan para tetangga di kampung saya, nanti bila saya pulang. Pak Topi Hitam nyengir. Tapi dia tidak mengurungkan niatnya untuk mengambil peran sebagai narasumber. Derajat demi derajat, seiring berjalannya percakapan, saya mengunduh sekelumit informasi seputar profil pribadinya.

Siapa nama Lelaki Bertopi Hitam itu?

Yusuf.

Dari mana dia berasal?

Tanjung Pura, Medan. Sebelumnya, dia pernah bekerja di Pelabuhan Belawan.

Dalam kapasitas apa dia berada di atas Kapal Surya Indah II?

Awak kapal. Juru mesin.

Apakah dia berkeluarga?

Ya. Satu istri, sepuluh orang anak. Semuanya tinggal di kampung halamannya di Medan, kecuali salah seorang anaknya yang bersekolah di Yogyakarta.

Apakah sekarang Pak Yusuf berdomisili di Banda Aceh?

Untuk saat ini, ya. Namun demikian, domisili Pak Yusuf praktis adalah Kapal Surya Indah II. Pagi siang sore malam, dia tinggal di kapal. Sesekali saja dia pergi ke kota untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari, atau untuk sekadar berjalan-jalan.

Adakah ciri khusus dari Pak Yusuf yang sekiranya menarik untuk dicatat?

Barangkali, suaranya ketika dia berbicara. Mungkin terlalu lembut untuk seorang pelaut. Lindap, kadang-kadang nyaris tak terdengar. Dalam skala satu sampai sepuluh—skor satu untuk desah paling pelan dari Ceu Iin Parlina-nya Bimbo dalam lagu “Salam Sayang,” skor sepuluh untuk pekik paling nyaring dari Kang Candil-nya Serieus Band dalam lagu “Rocker Juga Manusia”—skor volume suara Pak Yusuf ini barangkali tidak pernah lebih dari tiga, atau, paling banter, empat.

Dengan begitu, apakah Pak Yusuf bisa dikatakan sebagai seseorang yang lembut dalam bertutur kata?

Tidak selalu tepat begitu. Kata-kata yang terlontar darinya tak jarang juga tajam dan tegas, sehingga efek totalnya kerap kali merupakan kontras.

Apa saja yang dibicarakan oleh Pak Yusuf?

Selain menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tentang beberapa hal berkenaan dengan latar belakang pribadinya, Pak Yusuf juga mengulas beberapa peristiwa yang seturut penuturannya dia ikuti lewat siaran televisi Nasional. Tentang konflik antarwarga di Makassar, tentang penumpukan kendaraan yang tertahan di Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni, tentang isu memanasnya dinamika interrelasi partai-partai politik yang tergabung dalam “aliansi strategis” Koalisi dengan Setgab-nya pasca heboh Kasus Bank Century beserta penyelidikannya oleh DPR dengan Pansus-nya yang memunculkan panggung wacana yang gegap-gempita, tentang kisruh PSSI, dan satu dua isu lainnya. Dia juga turut beropini menyangkut isu-isu tersebut.

Apakah saya dapat menangkap apa yang dikemukakan oleh Pak Yusuf?

Dengan tertatih-tatih. Barangkali lebih dari separuhnya luput dari daya tangkap saya. Ada dua alasan, setidaknya, yang menyebabkannya. Pertama, belakangan saya lebih sering menonton siaran televisi lokal Aceh, AcehTV atau KutarajaTV, yang lebih banyak menyiarkan isu-isu setempat. Kedua, blocking spasial dan setting situasional secara umum dari sesi dialog ini menempatkan saya pada posisi yang secara subjektif saya rasakan sebagai phantasmagoric: Saya berjongkok di atas dermaga; Pak Yusuf entah duduk entah berjongkok di balik papan-kubu-kapal, di sebelah depan-atas dari posisi saya. Dan yang saya tangkap dengan indra serta nalar saya hanyalah, nyaris secara eksklusif, apa yang saya persepsikan sebagai rentetan gelombang bunyi yang meluncur dari sebuah fungsi koordinat dinamik di bawah sebuah topi hitam.

Apakah saya menginginkan percakapan ini tetap berlangsung?

Sangat, sebenarnya. Ini pengalaman baru bagi saya.

Apa yang saya lakukan untuk menjaga agar tidak kehilangan kesempatan ini?

Ketika Pak Yusuf sesekali mengambil jeda untuk mendapatkan respon dari saya, saya berkata, “oh,” atau “oh, ya?” atau “begitu, ya,” atau “ck ck ck…,” atau “hmmm…,” atau sekadar mengangguk, atau sekadar menggeleng, atau sekadar nyengir. Atau kombinasi-kombinasi yang merupakan subhimpunan dari koleksi respon-respon itu.

Upaya lain?

Saya mencoba mengingat-ingat apa yang pernah saya tonton dalam siaran televisi lokal untuk mendapatkan topik.

Adakah yang terlintas?

Ada beberapa: Paparan strategi pengembangan pendidikan yang dikemukakan oleh seorang guru besar dari Universitas Syiah Kuala, pembahasan implementasi kebijakan keuangan daerah dalam rapat-rapat di DPRA, liputan petualangan berburu babi hutan di sebuah gunung di pedalaman Kabupaten Pidie, kupasan tradisi sastra lisan oleh seorang seniman asal Pulau Simeulue.

Adakah di antaranya yang berhasil saya angkat sebagai topik percakapan?

Tidak. Semuanya mengabur. Saya tidak berhasil mengingat detail yang cukup.

Mengapa demikian?

Karena daya ingat saya telah ditundukkan dan dikuasai oleh hal lain yang terus terngiang-ngiang di kepala saya.

Apakah itu?

Alunan merdu mantra musikalnya Cut Keumala, “Hom hai, hom hai…. Hom hai, hom hai…,” serta lenggang-lenggok gemulainya yang aduhai hai hai.

Adakah hal lain yang disampaikan oleh Pak Yusuf?

Ada. Pak Yusuf memperkenalkan Lelaki Bersepatu Bot Hijau-Xanadu sebagai bernama Rusli, juga berasal dari Tanjung Pura, Medan. Selain itu, Pak Yusuf juga mengulangi memberikan saran mengenai fungsi-spasio-visual (korespondensi dari variabel objek-visual dan variabel ranah-pandang) untuk menentukan titik mana saja yang menurutnya bagus bagi eksekusi pemotretan.

Apakah saran dari Pak Yusuf itu langsung membuat saya berdiri dan bergerak untuk kembali memulai memotret?

Tidak.

Mengapa demikian?

Karena kenyamanan posisi berjongkok seperti ini menahan saya.

Sekuat apakah resistensi inersial posisi berjongkok ini dalam menahan inisiasi gerak?

Sekuat kemapanan tatanan politik ekonomi dunia di bawah rezim kapitalisme global. Adalah lebih mudah untuk membayangkan seluruh alam semesta kembali jatuh ke dalam primeval chaos ketimbang membayangkan terbongkarnya kemapanan seperti itu.

Apa yang saya lakukan agar Pak Yusuf tidak merasa tersinggung karena sarannya saya abaikan?

Saya bertanya kepadanya, “’Gak ada yang marah, nih, saya ‘ngambil-ngambil foto tanpa minta izin?”

Bagaimana jawaban Pak Yusuf?

Dia tidak menjawab. Hanya tertawa saja. Ekspresi wajahnya berkata, “Lucu sekali. Kamu kok penakut amat?”

Atas dasar apa saya mengajukan pertanyaan seperti itu, selain sebagai pretext atas kemalasan untuk bangkit dari posisi berjongkok dan untuk sekadar berbasa-basi?

Kejadian hari kemarin: Berjalan ke arah utara di tepi kanan Jalan Nyak Adam Kamil 2, saya melihat deretan gedung-gedung perkantoran militer, bagian dari kompleks Kodam Iskandar Muda, di seberang jalan. Satu di antaranya menarik perhatian saya. Pada dinding depan gedung itu, di sisi-kanan, terpampang tulisan, “Damai Itu Indah,” dan di sisi-kiri, tulisan, “NKRI Harga Mati.” Saya berniat untuk memotretnya. Baru saja saya membidikkan lensa kamera di telepon genggam saya, terdengar teriakan seseorang yang menghardik dengan garang. Ketika saya melirik, saya melihat seorang tentara, mengenakan pakaian dinas lapangan, berlari dari pos jaga ke arah pagar, menjentikkan telunjuknya dengan penuh murka ke arah saya, bahu dan kepalanya berayun ke kiri ke kanan. Saya langsung paham apa yang dia maksudkan. Selama ini saya selalu mengira, kalau pemandangan landmark publik itu adalah milik publik; memotretnya merupakan hak publik. Tapi kemudian saya sadar: barangkali kompleks perkantoran militer memang mempunyai nilai-penting strategis yang memberinya diskresi sekaligus keniscayaan untuk dikecualikan. Setelah mengangkat kedua tangan sebagai isyarat permintaan maaf, saya pun melengos pergi.

Apakah kejadian itu saya ceritakan kepada Pak Yusuf?

Ya.

Bagaimana reaksi Pak Yusuf?

Dia mesem-mesem saja. Tapi wajahnya jadi terlihat aneh: mirip seseorang yang menahan tawa dan menahan kentut, sekaligus. Yang tidak saya duga adalah reaksi dari Pak Rusli. Dia yang sebelumnya saya sangka berprinsip, “Kau uruslah urusanmu; urusanku aku yang urus,” rupanya dari tadi menyimak juga obrolan kami. Ketika saya selesai bercerita, dia tertawa. Hampir tak terdengar suara, tapi tertawa. Tertawa sampai-sampai dia mencodak. Setelah itu, entah kenapa, saya merasa bahwa mereka menjadi lebih terbuka menerima kehadiran saya di sini. Maka saya pun mendadak mempunyai keberanian untuk ber-sok-kenal-sok-dekat dengan mereka.

Apakah saya juga berhasil melepaskan diri dari kungkungan kemapanan posisi berjongkok karenanya?

Ya. Sulit dipercaya, memang. Tapi ini benar-benar terjadi.

Apa yang pertama kali saya sadari ketika saya berdiri dan berjalan mendekati lambung kapal?

Bahwa si Lelaki Bertelanjang Dada tidak lagi terlihat. Sepeda motornya masih terparkir di tempat yang sama, kini ditutupi sehelai kain terpal.

Ke manakah si Lelaki Bertelanjang Dada itu pergi?

Misteri. Dengan struktur fenomenologis yang sama seperti hal kemunculannya.

Adakah teori untuk menjelaskan fenomena ini?

Setidaknya, ada tiga teori. Pertama: Sebuah seri berkas radiasi kosmik yang tidak biasa, sebuah rentetan geostasioner dari astrophysical glitches, tadi sempat jatuh di tubuh si Lelaki Bertelanjang Dada, yang menyebabkan segenap partikel (sub)atomik yang menyusun tubuhnya berakselerasi, terdekomposisi, bertukar paritas dan pusingan, terdekorelasi, sedemikian sehingga, tanpa mengubah kesetimbangan medan entropik di sekitarnya, seluruh sistem partikel tubuhnya itu bertransformasi sekaligus terpilah menjadi dua entitas, yaitu satu fungsi gelombang-materi yang koheren dan satu fungsi radiasi yang mengkodekan posisi serta momentum, yang kemudian, keduanya, ditransmisikan ke planet lain di satu pojok alam raya, di mana tubuh si Lelaki Bertelanjang Dada akhirnya direkonstruksi seperti sediakala. Kedua: Si Lelaki Bertelanjang Dada sebenarnya adalah satu spesimen sui generis dari satu spesies recherché yang maju jauh melampaui evolusi, yang mampu beradaptasi dengan habitatnya secara ultrafleksibel, dan yang struktur dinamik dari rangkaian biomolekul-biomolekul yang menyusun tubuhnya telah mencapai taraf progresi yang sedemikian sehingga memungkinkan dirinya untuk secara spontan, kapan saja jika perlu, melalui proses-proses metaanatomis dan metafisiologis yang sangat efisien, bermetamorfosis secara ultraplastis; dalam hal ini, dia tadi, demi efisiensi bionomik, mengubah dirinya menjadi seekor salamander (Caudata sp.), dan kemudian merayap ke bawah platform dermaga. Ketiga: Ini barangkali lebih tepat disebut sebagai antiteori ketimbang teori: Bahwa si Lelaki Bertelanjang Dada adalah sebuah entitas sekaligus nonentitas, baik secara fisis maupun metafisis. Dia mengada dan meniada begitu saja, tanpa perlu penjelasan apa-apa. Meskipun, barangkali, untuk kontingensi, dapat diajukan pula penjelasan bahwa singularitas-telanjang yang luput dari penyensoran-kosmik itu benar-benar ada.

Yang manakah di antara teori-teori tersebut yang dapat diangkat sebagai kandidat yang paling layak untuk menjadi penjelasan definitif?

Gunakan Occam’s Razor.

Akan tetapi berapa malaikatkah, jumlah pastinya, yang dapat menari di ujung sebatang jarum?

Thomas Aquinas dan Wolfgang Pauli memberikan jawaban yang sama.

Pemandangan apa yang langsung menerpa penglihatan saya ketika saya berdiri rapat di depan galar-lambung kapal dan meletakkan tangan di atas bibir-lambung kapal sambil mengintip ke atas geladak?

Kepala-palka. Berbentuk undakan setinggi sekira dua jengkal, mendominasi bentang ruang di tengah-tengah geladak. Balok-balok kayu dijejerkan di atasnya, melintang sejajar arah lintang kapal. Sebuah tongkat kayu tergeletak di atas jejeran balok-balok kayu itu. Dua helai kain dan dua potong pakaian juga digelar terbeber di sana, dijemur di bawah sinar matahari….

“Naik saja,” kata Pak Yusuf.

Telah ditetapkan sebagai putusan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya: Surat Izin Naik Geladak Kapal Motor Surya Indah II, No. 462/FFe, diarsipkan dengan nomor sekian-sekian garis miring huruf anu huruf anu garis miring sekian angka Romawi garis miring angka ini angka itu strip huruf ini huruf itu garis miring bulan ini garis miring tahun ini, yang ditandatangani oleh Tuan Bos, asal Banda Aceh, pemilik dari kapal tersebut di atas, c.q. Tuan Yusuf, asal Tanjung Pura, Medan, juru mesin, awak dari kapal yang sama, pada hari ini, tanggal ini, bulan ini, tahun ini, jam ini, di Pelabuhan Ulèe Lheue, Banda Aceh. Demikian, maklumat ini disampaikan, agar yang berkepentingan menjadi mafhum adanya.

If nautical nonsense be something you wish,
Then drop on the deck and flop like a fish!

Hap!

Ini adalah geladak-utama pada sisi-kanan kapal. Saya melayangkan pandangan ke sekeliling saya.

Hm.

Oke. Abaft.

Dipandang dari arah haluan ke buritan, tampilan anjungan Kapal Surya Indah II ini tampak, dari level geladak ke atas, berbentuk serupa penampang-depan dari sebuah kotak, untuk lantai pertama dihitung dari level geladak, disambung dengan sepertiga bagian terbawah dari sebuah stupa yang diiris papak, dengan alas stupa yang lebih lebar daripada alas kotak, untuk lantai kedua di atasnya, dan yang terpotong oleh bidang atap di puncaknya—bidang atap berbentuk lempeng persegi yang datar, atau sedikit melengkung. Ke atas lagi, beberapa cerobong asap dan antena telekomunikasi berjerangkang memahkotai suprastruktur kapal.

Jendela-jendela kaca, busur di kedua sisinya, persegi sisanya, berderet di lantai kedua, lantai teratas anjungan. Ruang kemudi, bisa jadi. Atau hampir pasti. Oke. Anggap saja benar, itu adalah ruang kemudi. Tekstur visualnya berkesan lebih lembut, kontras terhadap tekstur visual bagian lambung dan apalagi geladak kapal yang tampak mentah tak purna bertarah, sehingga bagian lambung dan geladak ini berkesan lebih begar dan gahar. Tampak dari sini: si Ruang Kemudi, dengan sorot yang hening, menatap ke depan. Sepertinya lampu masih menyala di sana. Dari deretan jendela, terlihat berkas dan telau cahaya kekuningan memancar dan berpendar di dalam ruangan yang tampak berdinding warna hijau itu. Sementara, pada dinding luar anjungan, yang seluruhnya dicat dengan warna kelabu-kadet, pada bagian depan lantai teratasnya terpampang tulisan dalam huruf-huruf berwarna merah: nama dan kode identitas kapal.

Lantai pertama anjungan, tepat di bawah ruang kemudi, sepertinya adalah ruang ABK. Oke lagi. Anggap juga benar, itu adalah ruang ABK. Dua buah jendela busur, berjeruji dan bertingkap-geser, satu terbuka satu tertutup, terposisikan di tengah dinding depan; dua buah port-hole, berbingkai pelat-gelang warna merah dan bertingkap kisi-kisi kawat, mengapit kedua jendela di ujung atas kiri dan kanannya; dan dua buah sekop, masing-masing di sebelah kiri dan di sebelah kanan, setataran kedudukan kedua jendela, tersematkan pada dinding anjungan, dalam konfigurasi-simetris genjang, menggunakan klem-klem logam. Tepat di depan anjungan, di sebelah kanannya, terdapat tangki plastik warna biru yang sepertinya digunakan untuk menyimpan air tawar. Kemudian, di sebelah tangki plastik warna biru ini, terdapat rangka besi yang di dalamnya tersangga bak plastik warna putih yang digunakan untuk menyimpan lembar-lembar plastik dan terpal, sepertinya penutup kepala-palka. Jalur sempit di samping kiri dan di samping kanan anjungan, di antara dinding-samping ruang ABK dan papan-kubu, membentuk lorong masuk ke arah kimbul dan ke dalam kabin. Sebuah bangku kayu tergolek di pinggir salah satu lorong ini, yaitu lorong pada sisi-kiri kapal.

Saya memutar pandangan. Athwart.

Di sisi-kiri geladak kapal, di seberang dari sisi tempat saya berdiri, tampak Pak Rusli yang tadinya berjongkok menghadap ke arah luar, kini berdiri dan berjalan ke arah buritan, menuju lorong di samping anjungan. Derap sepatu botnya melagukan irama dengan ketukan 2/4—bukan, 6/8, adagio nyaris largo. Irama “It’s A Man’s Man’s Man’s World”-nya James Brown, dalam tempo yang jauh lebih lambat. Prung, prak, prak, prung, prak, prak….

Oke. Afore.

Setinggi sekira empat depa dari muka geladak, tiang baja bercat kuning berdiri mencanak: di belakang ruang-akil, di posisi poros pada arah balok-lintang.

Di segmen atas, dekat ujung tiang, dua bilah sirip-baja pendek, sedikit menirus dari arah tiang ke luar, dan berlubang dengan penampang persegi-berfilet di sisi yang lebih dekat kepada badan tiang, bersilang melintang—membuat ujung tiang menjadi berbentuk salib bersayap pendek. Tujuh utas kawat-baja menopang tiang ini, sebagai temberang-temberang-lenggang dan temberang-haluan. Di sisi-kiri, seutas temberang-lenggang yang berpangkal di ujung sayap salib itu, dan seutas lagi temberang-lenggang yang berpangkal pada badan tiang di bawah sayap salib, bersatu di ujungnya pada kongkong-baja yang lubangnya dipaut oleh ujung-kait sebuah gesper-puntir; sementara, ujung-cincin dari gesper-puntir itu terkunci kepada cok yang ditanam di ujung gading-gading kapal di area geladak-utama di belakang ruang-akil. Hal yang sama, simetris terhadap konstruksi di sisi-kiri, berlaku juga untuk sisi-kanan. Sepasang temberang-lenggang lagi, dengan struktur kawat-kongkong-gesper-cok serupa, di sisi-kiri dan sisi-kanan, ditautkan, pada bagian ujung-ujungnya, di sisi-dalam pada tepi-atas lambung agak ke depan, di area geladak-akil. Dan seutas temberang-haluan, masih dengan struktur serupa, terentang dari badan tiang di bawah sayap salib ke lunas-dalam pada linggi di bagian moncong kapal.

Di segmen bawah tiang, sepilar pipa-baja bercat jingga tercacak menembus papan geladak, melapis secara konsentris sekira tiga-perdelapan bagian dari total tinggi tiang, diukur dari muka geladak. Tiang dan pipa-baja ini tampaknya menjadi stator dan rotor arah-putar sumbu-vertikal dari sistem-derek untuk bongkar-muat kargo kapal. Melalui sebuah kakas-baja berbentuk siku dan berwarna hitam, yang memberikan sumbu-lateral bagi arah-putar, sebatang lengan-derek, berupa tangkai-baja yang dicat dengan warna jingga yang lebih pekat dan tampak lebih mengkilap, dirangkaikan bertumpu pada pipa-baja ini. Saat ini, lengan-derek ini tengah rebah, membujur ke belakang searah sumbu-memanjang kapal, membelah geladak, bagian ujungnya disangga oleh tumpukan dua buah ban bekas di tepi-belakang kepala-palka.

Tercangkel ke lubang-mata pada sirip pendek di dekat ujung lengan-derek, di atas rongga ban bekas, sekeping kongkong-baja menjadi ujung-tambat bagi seutas kawat-baja yang terjurai dari satu titik pangkal di badan tiang, yaitu di bawah simpul temberang-temberang-lenggang dan temberang-haluan. Satu lagi sirip pendek berlubang-mata, pada posisi agak ke tengah, dicangkel oleh seutas kawat-baja yang juga terjurai dari badan tiang, dari titik pangkal yang sama, yang juga menjadi simpul-pangkal dari rantai-rantai yang menggantung bebas. Dari titik pangkal ini pula, seutas lagi kawat-baja terentang regang ke kili-kili pancing di dekat ujung lengan-derek, memutari relung cakranya, lalu menjalar sepanjang lengan-derek ke rangkaian kapi-kerek, gelendong-kumpar, kapi-kerek, dalam formasi takal-senapan, yang tersusun bakukait pada pangkal lengan-derek dan pangkal pipa-baja di bagian-bawah tiang. Blok-blok mesin, penggerak sistem-derek, terpasang di sini, bergandeng langsung dengan gelendong-kumpar.

Sebuah kursi kayu bertengger di samping kanan rangkaian mesin derek ini, menghadap ke arah buritan. Kaki-kaki sampingnya disandingkan dua-dua dengan dua batang balok kayu, masing-masing untuk sisi-kiri dan sisi-kanan, yang terpacak ke papan geladak. Kelihatannya, kursi kayu itu adalah takhta untuk juru mesin kapal, atau, lebih tepatnya, barangkali, operator sistem-derek. Singgasananya Pak Yusuf, boleh jadi. Tapi saat ini Pak Yusuf tidak sedang duduk di situ, melainkan di atas bibir lambung—“gunwale,” dalam istilah orang Inggris—di sisi-kanan kapal, atau tepat di belakang saya. Saya balik badan dan menghampirinya.

For every drizzling mist
My ship substantial.

“Ini kapal kargo, ya, Pak?” tanya saya.

“Ya,” jawab Pak Yusuf, yang dipertegasnya dengan mengangguk. “Tapi yang dibilang orang, ‘kapal,’ itu, ya, biasanya kapal besi. Kita ini, kapal kayu, ‘kan, ya. ‘Tongkang,’ orang sering bilang.”

“Begitu, ya.”

“Tapi jelek-jelek begini, kita ini lebih kenyang, lah, kalau urusan melaut,” kata Pak Yusuf. “Tak seperti kapal yang itu, tuh,” katanya lagi, sambil tersenyum dan melirik ke arah haluan: menunjuk, dengan isyarat gerakan kepalanya, kapal putih-jingga yang tampak mentereng, yang sama-sama bersandar pada dermaga, haluannya tepat di ujung hidung. “Terlalu lama bersandar, kelihatannya.”

Ha ha. Tapi barangkali itu karena mereka harus melaut di bawah manajemen anggaran yang sangat ketat, Pak. Efisiensi, Pak. Efisiensi.

“Ini, krunya, berapa orang, Pak?”

“Semuanya tujuh orang. Termasuk nahkoda, ya.”

“Nahkodanya—siapa, Pak?”

“Ada. Belum datang. Tinggal di Banda Aceh sini.”

“Mereka dari AMI, aku bilang,” kata seseorang yang tiba-tiba datang.

Hello. Lelaki bertelanjang dada, figur yang sama seperti yang tadi terlihat di atas dermaga, meyembul dari keremangan lorong di samping anjungan. Jadi dia ini awak kapal juga, toh? Awak dari Kapal Surya Indah II ini juga? Seorang pelaut juga, rupanya. Oke. Cocok. Saya baru sadar: seandainya saja dia tidak mencukur kelimis kumis dan jenggotnya, dia bahkan tampil sebagai satu sosok yang, dari segi fisik, memenuhi kriteria stereotipe sosok pelaut dalam bayangan saya—sosok “pelaut yang sesungguhnya.”

“Siapa?” tanya Pak Yusuf.

“Anak-anak yang kemarin datang itu,” jawab sang Pelaut. “Yang dua orang itu. Satu cewek, satu cowok. Itu, yang ceweknya, manis ‘kali, itu.”

Pak Rusli yang berjalan melintas dengan suara langkah sepatu botnya, “prak, prak, prak, prung…,” berhenti di dekat tangki plastik warna biru, dan memberikan afirmasi dengan anggukan serta senyumnya. Sang Pelaut kemudian naik ke tepi kepala-palka dan berjongkok di sana, menghadap Pak Yusuf.

“Lumayan lama juga mereka di sini,” kata sang Pelaut lagi. “Mereka tanya, ‘Ini kapal, apa ada agennya?’ Mereka tanya syahbandar, tanya manifes, tanya garis beban, tanya sijil kesiapan darurat…. Dari situ saja aku sudah bisa bilang, ‘Ah, mereka ini pasti dari AMI, ini.’”

Sang Pelaut kemudian tersenyum lebar; tampaknya dia sangat puas dengan keakuratan analisisnya. Sambil bangkit sesaat dari posisi berjongkoknya dia berkata lagi:

“Ah, itu otaknya harus encer, itu. Matematikanya harus delapan, aku bilang.”

Setelah itu, sang Pelaut berjongkok lagi.

Lalu dengan menarik lengannya yang bertumpu kepada lututnya dan terjulur ke depan, dia tiba-tiba menoleh ke arah saya. Dan dengan intonasi bicara yang datar serta tatapan mata yang dingin dia berkata:

“Kalau seperti Anda, ini—kelihatan, lah, tak tahu apa-apa.”

Ya. Bukan sekali ini saja orang berkata begitu kepada saya. Dan biasanya saya langsung naik pitam. Dengan bibir gemetar dan gigi gemeletuk, saya lazimnya akan berkata kepada si penyinggung perasaan, bahwa saya tahu banyak hal yang tak diketahui banyak orang—termasuk Anda, Tuan! Misalnya saja, saya tahu, berapa kali almarhum si Bolu, kucing peliharan bersama penduduk se-RT, di kampung saya di Bandung, berganti pasangan dalam lima belas tahun perjalanan hidupnya yang penuh warna, serta berapa kali dalam semalam dia bercinta, pada fase-fase puncak bioritme berahinya yang pola siklusnya rumit itu. Oh, ya. Saya tahu. Tapi kali ini saya cuma bisa pijat-pijat tengkuk sambil setengah nyengir setengah meringis—sambil juga memikirkan apakah gerangan yang membuat sang Pelaut memberikan penilaian seperti itu. Tak sulit. Saya sadar kalau sang Pelaut rupanya menguping percakapan saya dengan Pak Yusuf waktu saya berjongkok di atas dermaga tadi. Saya mencoba mencari ide untuk diformulasikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot agar citra saya membaik, atau, setidaknya, agar saya tidak gampang disepelekan. Sial. Ide-ide itu tak kunjung muncul….

Pak Yusuf tersenyum. Kemudian dia melirik ke arah saya dengan ekspresi wajah yang seolah-oleh mengatakan, “Jangan terlalu diambil hati, lah. Sudah biasa, dia begitu.” Seperti diorkestrasi, Pak Rusli juga datang menghampiri dan juga sambil tersenyum—kali ini irama sepatu botnya sedikit bersinkopasi, “prak, prak, prungprakprung…”—lalu dia duduk di atas tangki plastik warna biru.

Empat jam kemudian, atau tiga jam setelah saya melompat turun dari Kapal Surya Indah II ini, baru terpikirkan oleh saya, pertanyaan-pertanyaan yang saya kira memang seharusnya dipersiapkan untuk menjadi bahan bagi, barangkali, sebuah reportase yang baik. Menyebalkan. Cekak henti, silat terkenang.

Di seberang gerbang Taman Kuliner, di Simpang Tiga Ulèe Lheue, tak jauh dari Mesjid Baiturrahim, Ulèe Lheue, Meuraxa, saya mencoba menginventarisasi rumusan-rumusan pertanyaan yang saya perkirakan penting untuk diajukan, tetapi yang tadi terlewatkan. Berapa bobot-mati—? Eh, itu ‘kan dapat diketahui dari tulisan di dinding-depan anjungan: “GT 98.” Oke. Berikutnya: Berapa besar kapasitas angkut kargo dari kapal ini? Mesin jenis apa yang digunakan sebagai propulsi utama? Diesel? Lalu, untuk sistem dereknya? Apakah kapal ini mempunyai jadwal melaut yang tetap? Atau bergantung kepada carteran? Bagaimana hubungan kerja antara para awak dengan pemilik kapal? Pegawai tetap? Kontrak? Berapa gaji—? Itu mah lebih pantas diajukan oleh para wartawan, mungkin. Bagaimana dengan pasokan bahan bakar? Lancar? Ada kesulitan? Ketika terjadi kenaikan harga BBM dulu, apakah hal itu berdampak kepada kelancaran pengoperasian kapal? Seberapa besar? Apakah hal itu juga berdampak kepada kehidupan sehari-hari para awak kapal? Seberapa besar?…

Pertanyaan-pertanyaan terus berputar di kepala saya—sampai saat ketika dari tempat saya berdiri, saya melihat kedatangan sebuah labi-labi: muncul dari arah jalan menuju pelabuhan, menurunkan kecepatan ketika berbelok di ujung Jalan Sultan Iskandar Muda yang mentok di depan Mesjid Baiturrahim, dan melaju menuju pusat kota. Labi-labi itu berhenti tak jauh dari gerbang Taman Kuliner setelah saya mengacungkan telunjuk dari seberang jalan. Saya berlari menyeberang, mendapati labi-labi itu sama sekali kosong dari penumpang, mendengar suara sopir memanggil saya agar saya masuk untuk duduk di jok depan, berjalan, membuka pintu depan, dan mendapati seorang sopir yang mengenakan kemeja putih menoleh ke arah saya seraya menyapa….

“Dari mana?” tanya sang Pelaut kepada saya, kali ini dengan nada yang lebih ramah.

“Bandung,” jawab saya.

“Bandung, ya. Peuyeum Bandung, di Bandung itu—”

“Kalau Bapak, sama seperti Pak Yusuf juga, Pak, dari Medan? Atau asli dari sini?”

“Apa tak kelihatan dari logat aku ngomong ini?” kata sang Pelaut seperti seorang guru yang dikenal killer yang sedang menghadapi seorang murid yang daya tangkapnya lamban yang menanyakan kepadanya yang sedang memberikan penjelasan yang penuh dengan peringatan yang tegas mengenai apa yang justru merupakan pertanyaan yang diajukan sebagai soal yang diujikan dalam ujian yang saat itu sedang berlangsung yang dalam sekelebat-layang bikin kepala saya yang gayang tambah merayang. “Cobalah tebak, kira-kira dari mana aku ini.”

Angkat tangan, deh. Bagi saya, membedakan logat Aceh dari logat Melayu Deli itu tugas yang sangat berat. Masih lebih mudah bagi saya untuk membedakan logat Cockney para anak buah kapal di Pelabuhan Canary Wharf dari logat Scottish Gaelic para penggembala domba di kaki Pegunungan Grampian. Karena pernah ke sana? Alah, terang saja, bukan. Lalu apa, dong, yang bikin begitu? Hollywood, sih. Ck ck ck. Memalukan, ini. Apa kabar nasionalisme, Bung? Apa kabar gembar-gembormu di depan segmen pojok-teras-dekat-tiang dari forum tahlilan, acara haul leluhurnya Mas Mono si penjual bandros keliling kampung dulu itu?—Mas Mono: yang kini juga sudah dihaulkan itu? Apa yang waktu itu kau khotbahkan dengan gagah perkasa, dengan menyabot akses emang-emang dan abah-abah kepada suara ceramah Wa Ustad yang terdengar dari dalam rumah? Kecintaan kepada kekayaan budaya Nusantara. Prét! Almarhum Mas Mono sendiri lebih paham soal itu. Dan lebih penting lagi, dia mengamalkannya dengan baik ketika dia menyebut adikarya-soi-disant-nya itu dengan koinase hasil inovasinya: “bandros édun.”

“Dia dari Sabang,” Pak Yusuf membantu memberikan jawaban, mungkin karena merasa iba, atau mungkin lebih karena merasa tak nyaman melihat saya dibikin kelimpungan oleh pertanyaan saya sendiri.

“Bagaimana? Di sini panas, ya?” kata sang Pelaut kepada saya, dengan nada bicara yang kembali ramah. “Tak seperti di Bandung, ‘kan?”

“Pernah ke Bandung, Pak?”

“Tanyalah semua awak kapal di sini. Tak ada kota di negeri ini yang belum aku injak tanahnya.”

—Dan aku kencani perempuan-perempuannya? Ho ho. Pelaut, kata orang. Teman kencan di tiap pelabuhan.

Me throat is long, an’ me thirst is strong, sez Abel Brown the sailor.
Me throat is long, an’ me thirst is strong, sez Abel Brown the sailor.
What if you roll from off the shelf? cried the fair young maiden.
What if you roll from off the shelf? cried the fair young maiden….

(Meskipun, Bandung cuma punya “Pelabuhan” Gedebage, dan kapal laut yang dimungkinkan untuk bisa singgah di situ hanyalah kapal sejenis The Flying Dutchman.)

“Ah, tapi Bandung itu tak terlalu dingin, aku bilang,” lanjut sang Pelaut. “Masih kalah dingin sama Kaliurang di Jogja. Cuma, ya, itu. Bandung. Mojang-mojang-nya. Geulis-geulis.

Mojang-mojang Bandung di “Zaman Normal.” Berkebaya brokade, berkain sinjang Garutan. Rambut mereka ditata sebagai gelung Cioda, dan dihias dengan manglé dari kembang tanjung; kembang tanjungnya sendiri dipungut dari Regentsweg sepulang menonton pergelaran ketuk tilu di kemeriahan arena Pistrén. Mojang-mojang itu berjalan melenggang. Angkat ngagandeuang bangun taya karingrang. Kelom geulis mereka berdegup ketika mereka menyusuri hamparan rumput di bawah julangan portico di depan Gedung Javasche Bank, berdetak ketika mereka menapaki bentangan trotoar di balik rumpun amarilis di depan Gedung Oliefabriek Insulinde. Di sepanjang Jalan Braga, mereka menebar senyum. Jalan Braga: een weg om ngabar raga te opdagen yang tak pernah lelah ber-kamonésan. Van reup tot bray. Dan mojang-mojang Bandung terus berjalan. Umat-imut, lucu. Sura-seuri, nyari. Larak-lirik, keupat. O seu balançado é mais que um poema. O mundo sorrindo se enche de graça. Mooi Bandoeng: Jangan Datang ke Bandung Jika Anda Tinggalkan Istri di Rumah.

Di awal dekade 1970-an, perempuan Bandung yang berkain berkebaya ber-gelung ber-kelom-geulis kebanyakan hanyalah para ibu saja. Dandanan mojang-mojang-nya sudah berganti menjadi disposisi fashion yang amat beragam. Yang berblus crop-top dan ber-rok-mini, atau berblus tube-top dan ber-rok-maxi—ala glam-rock; yang ber-leotard ala dancers; yang bercelana cutbrai atau bell-bottom ala androgynous hippie; yang ber-cardigan kasual dan ber-rok-midi ala aktivis feminisme. Yang menyusutkan lengkung alisnya hingga setipis goresan pensil dan memoles bibir serta kukunya dengan warna merah-darah yang menyala, mengikuti Bianca Jagger; yang membiarkan rambutnya tergerai panjang dengan flick yang jelas di tengah, dan memoleskan understated make-up hingga secara virtual tampak natural, mengikuti Camille Keaton; yang menggabungkan kesederhanaan kasual dan kemewahan elegan dalam ber-make-up, mengikuti Margaux Hemingway; yang menentang objektifikasi-seksual terhadap perempuan oleh industri kosmetika, dengan tampil setegas, senatural, se-demystified mungkin, mengikuti Simone de Beauvoir.

Tapi tetap saja, tak urung mereka membikin Mang Koko terserang meriang.

Tongtonan nu gratis: pamér mode nu gareulis;
Dulak-dilak, ucad-aced; nu nénjokeun panas tiris….

Jangan-jangan, sang Pelaut datang ke Bandung persis di saat Mang Koko kukurilingan ketika hendak membeli terasi, dan bemo yang dinaiki oleh sang Pelaut tertahan di belakang becak yang ditumpangi oleh Mang Koko; mereka sama-sama harus dibawa berkendara berputar-putar karena terkena verboden di mulut Jalan Braga. Jangan-jangan, sejumlah dasawarsa sebelumnya, sang Pelaut juga mengunjungi Bandung setelah dia mengarungi laut dari Singapore; begitu kapalnya lego jangkar di Batavia, dia ditarik oleh seorang pastor bule yang datang dari Hakka, untuk mengajaknya naik kereta-api bersama ke Parijs van Java, untuk menyewa jasanya sebagai sais andong selama sang Pastor kukurilingan menggalang dana di sana, sambil menunggu kedatangan sohibnya dari Garut yang berjanji akan datang menemuinya. Jangan-jangan, sejumlah dasawarsa sebelumnya lagi, ketika Daendels menancapkan tapal Kilometer Nol di een kleine berg dessa, banjar karang pamidangan-nya Dayang Sumbi itu, lalu Daendels melompat naik ke atas punggung kuda tunggangannya, lalu Daendels menoleh ke samping dan berkata, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad in gebouwd,” lalu Daendels membingkaspacu kuda tunggangannya, pergi menembus rimba belantara Parahyangan untuk melanjutkan misi kukurilingan-nya di Pulau Jawa, sang Pelautlah yang menyerahkan tali kekang kepada si Mas Galak itu, setelah dia merawat si Kuda dengan telaten, seperti dia merawat kuda besi made in Jepun yang kini ditutupi sehelai kain terpal di atas dermaga di sini.

“Berapa lama jadi pelaut, Pak?”

“Belum lama,” kata sang Pelaut sambil berdiri dan melangkah turun dari tepi kepala-palka. “Ya… kira-kira tiga puluh tahun, lah.” Sinisismenya kembali muncul, diusik oleh pertanyaan lancang dari saya.

Belum sampai dua abad, ternyata. Atau, mungkin “tahun” yang dikatakannya itu sebenarnya adalah kode. Mungkin yang dimaksudkannya dengan “tahun” adalah sebuah rentang-waktu periodik yang berpatokan kepada revolusi planet Neptunus.

Dengan jawabannya itu, sang Pelaut kemudian tertawa. Tampak, nyaris separuh-jumlah gigi seri, taring, dan geraham-muka di gusi atasnya telah tanggal. Dia balik badan, lalu pergi sambil tetap tertawa.

Seperti terkena gendam, saya melongo menyaksikan sosok bertelanjang dada itu melangkah ke dalam keremangan, hingga tubuhnya yang berkulit gelap itu lenyap ditelan oleh gelapnya lorong ke arah kimbul dan ke dalam anjungan.

Hm. Sepertinya tiga teori mengenai misteri muncul-lenyapnya sang Pelaut tadi itu harus diganti. Telaah mitologis kali ini memang harus diperhitungkan juga, barangkali. Ah, tapi, di ujung sebatang jarum, berapa—?

Pak Yusuf dan Pak Rusli tampak tersenyum-senyum ketika saya menoleh ke arah mereka satu persatu.

“Namanya Pak Kefli,” kata Pak Rusli, menjawab pertanyaan di benak saya yang tidak saya kemukakan. “Lajang, dia,” katanya lagi—dengan senyum dan tatapan matanya yang mengisyaratkan himbauan untuk terlibat dalam sebuah conspiracy of silence.

Inilah kali pertama sekaligus satu-satunya, Pak Rusli berbicara kepada saya dengan kata-kata—hingga saya melompat turun dari Kapal Surya Indah II, dan meninggalkan Pelabuhan Ulèe Lheue, dan meninggalkan Banda Aceh, dan seterusnya. Selebihnya, saya hanya mendengar dia “berbicara” lewat suara langkah kaki dengan hentakan sepatu botnya: entah itu, “prung, prak, prak,” atau “prak, prung, prak,” atau “prak, prak, prak,” atau sejumlah permutasi lainnya. Saya jadi berpikir: Jika “prung” itu dikodekan dengan digit ‘0,’ dan “prak” itu dikodekan dengan digit ‘1,’ maka suara derap sepatu bot Pak Rusli selama dia berjalan seharian di atas geladak Kapal Surya Indah II itu tentunya akan menjadi sebuah untaian data serial digital. Dan saya jadi curiga: Jangan-jangan, bila data itu disegmentasikan seturut kaidah kodifikasi data digital—entah itu ASCII, atau EBCDIC, atau Unicode—maka data itu akan terbaca sebagai pesan rahasia dari kisah kehidupannya.

Prakprak. Pak Rusli turun dari tangki plastik warna biru. Dan seiring alunan “prak, prung, prak, prung…” dari suara derap sepatu bot Pak Rusli yang melintasi geladak, saya melangkah naik ke atas kepala-palka untuk menyeberang ke sisi-kiri kapal.

“Awas!” kata Pak Yusuf memperingatkan di belakang saya. “Hati-hati. Ada kayu yang rapuh, tuh.”

Saya kontan terdiam. Lalu melirik ke bawah. Melalui celah-celah di antara balok-balok kayu, sedikit saja berkas sinar matahari yang jatuh tembus ke ruang palka. Tapi itu sudah cukup untuk memperlihatkan ruang palka yang gelap dan dalam. Kosong. Muatan terakhir telah dibongkar beberapa hari yang lalu, mungkin. Dan muatan baru belum tiba. Saya baru ingat, dan menyadari dengan cara yang bikin ciut nyali, bahwa tinggi sebuah kapal itu tentu saja tidak sama dengan tinggi lambung-bebasnya—apalagi dengan tingginya yang diukur dari muka geladak ke bidang atas platform dermaga. Anjis! Kalau saya sampai jat— Oke. Hati-hati. Balok yang ini… ini… ini… Lengan derek. Langkahi. Hap! Jalan lagi… Pelan! Oke… Turun. Geladak. Fyuh! Lain kali, jangan diulangi lagi. Lebih baik memutar saja, lah.

Sisi-kiri geladak Kapal Surya Indah II. Lepas pandang ke selatan.

Sayap selatan Pelabuhan di ujung seberang ceruk terlihat jelas. Lengan daratan yang menjulur ke laut di sisi selatan sana tampak hijau. Lebih hijau dari sisi utara sini. Bukan hanya perdu, tetapi pohon-pohon juga tumbuh di tempat-tempat tertentu di sana, berderet di sepanjang pita-semenanjung. Tepat di pojok yang menyiku di antara garis pantai Gerbang Laut Pelabuhan dengan sisi-dalam dari lengan-daratan, sebuah struktur beton, tampaknya, menjulur ke laut, ke arah timur. Sebuah ferry slip? Ya. Boleh jadi. Diperuntukkan bagi kapal-kapal ro-ro, sepertinya. Apa ada apron-nya juga? Hm. Tak begitu jelas. Ada, barangkali. Terlihat ada struktur gantry yang bercat kuning di sana, berdiri menjulang.

Setelah mengambil satu dua foto, saya melihat Pak Yusuf tengah membetulkan posisi tumpukan ban bekas yang menyangga ujung lengan-derek di tepi-belakang kepala-palka.

“Kenapa mesti takut?” kata Pak Yusuf, ketika saya meminta izin untuk memotretnya. “Memangnya kita ini salah apa? Kalau bikin salah, baru kita takut, ‘kan?”

Pak Yusuf lalu berjalan melintasi geladak—ke arah haluan, menuju kursi kayu di samping tiang kapal dan blok-blok mesin yang mengampu sistem-derek. Dia naik ke kursi itu—singgasananya—ya—dan duduk bersandar dengan posisi yang hampir mirip posisi berjongkok, kakinya yang tak beralas berpijak ke tepi-depan bidang-horizontal papan kursi. Saya mengarahkan lensa kamera di telepon genggam saya, mencari bingkai pemotretan. Pak Rusli yang sedang menyadap cairan belangkin dari jeriken-plastik lusuh menguning yang terikat ke tiang kapal masuk ke dalam fokus kamera. Juga sedikit pemandangan dari Gerbang Laut Pelabuhan yang dilatardepani oleh Kapal Pulo Rondo yang terlanggung di sebelah luar, dengan suprastrukturnya yang bercat putih ber-striping biru, menyembul dari balik geladak-akil Kapal Surya Indah II.

Terenyumlah, Pak. Katakan salam pada dunia. Und Friede auf Erden!

Jepret!

Saya berjalan sedikit ke depan di sisi-kanan kapal, dan mengambil foto sekali lagi.

Jepret!

Ada yang terasa janggal pada pemandangan yang saya lihat ketika saya memotret Pak Yusuf barusan. Tapi apa, ya? Saya berjalan ke tepi, dan duduk di atas bibir-lambung kapal di sekitar tempat yang tadi ditinggalkan oleh Pak Yusuf. Sambil mengupil, saya mencoba merenung. Suram. Saya lalu mencoba berpikir keras. Malah gelap. Akhirnya saya menyerah. Sebagai gantinya, saya mengkonsentrasikan seluruh kekuatan imajinasi saya kepada upaya proaktif yang konsisten dan sungguh-sungguh, dengan komitmen penuh kepada integritas dan kemuliaan karakter, penuh dedikasi, penuh keyakinan, dengan semangat dan daya juang yang super sekali, serta dengan ikhlas dan tanpa pamrih, semata didorong oleh jiwa pengabdian yang tulus di dalam mengemban amanah yang dipercayakan kepada saya, untuk mencongkel gumpalan upil yang lengket dan mengeras di dinding lubang hidung saya. Gunakan kelingking. Ribet. Telunjuk. Ribet. Jari teng— Aah! ribet. Jempol. Ribet. Telunjuk….

Samar pada mulanya, lalu menegas setelahnya, nada C terendah dari organ, double-bass, dan contrabassoon berdengung. Lalu, cor-anglais: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Mayor-minor. Brass- dan woodwind-section. Lalu, timpani bertalu. Mata saya tertawan oleh pemandangan Gerbang Laut Pelabuhan. Lalu, cor-anglais, trumpet: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Minor-mayor. Brass- dan woodwind-section kembali. Lalu, timpani bertalu kembali. Kapal Pulo Rondo terlihat makin tegas, makin tegas: suprastruktur putih ber-striping biru. Lalu, cor-anglais, trumpet, trombone: C— g— c— Lalu, jéng! jéng! Mayor-mayor. String-, brass-, dan woodwind-section. Berpadu dengan dentam timpani, denting glockenspiel, dan gemerincing pernik perkusi lainnya. “Sonnenaufgang” dari Opus-No.-30-nya Richard Strauß membahana. Shazam! Sebuah epiphany hadir di benak saya—seiring tercongkelnya oleh ujung kuku di telunjuk saya, secuil upil yang berwarna kelabu kehijauan dan yang berdimensi di atas rata-rata:

Oh, ya…! Bukankah tadi yang terlanggung di sebelah luar Gerbang Laut Pelabuhan itu Kapal Express Bahari 3B? Kenapa sekarang jadi Kapal Pulo Rondo? Wuih! Rupanya barusan kedua kapal itu diam-diam bertukar tempat!

KAPAL PULO RONDO: (Dengan senyum sinis.) ‘Gak usah lebay ‘gitu, déh. Perasaan, kita ‘gak paké bikin acara diam-diam. ‘Émangnya nikah siri? diam-diam? Situnya ‘aja yang ‘gak liat, ‘kalée….

SAYA: Ya, mémang ‘gak liat, sih, Néng.

KAPAL PULO RONDO: Étapi, kalo ‘gak liat, kok situ berani-beraninya, ya, bilang “diam-diam”? ‘Kan ‘gak ngeliat, diam-diam apa enggak.

SAYA: Yah, si Enéng. Jadi répot, déh. Sénsi amat, sih, jadi kapal.

KAPAL EXPRESS BAHARI 3B: (Sambil nongol.) Sudah. Sudah. Tak usah, lah, dibuat bertengkar.

KAPAL BASARNAS: (Lirik kiri, lirik kanan, lalu tengadah ke langit—dengan ekspresi bosan setengah putus asa.) Hadeuh… Kenapa juga aku harus lama-lama ‘nunggu di sini….

STEPHEN HAWKING: (Mendadak muncul dari ruang yang melengkung, bergetar, lalu terkoyak di atas laut Pelabuhan. Melayang, sebelum lenyap perlahan-lahan.) Atau, kenapa juga alam semesta ini mesti répot-répot mengada?

NOAM CHOMSKY: (Berangsur mencuat dari bawah laut. Kemudian, berjalan santai di atas permukaan air, sebelum lesap di cakrawala.) Kenapa? Karena gagasan-gagasan hijau yang tak berwarna tertidur dengan sekuat tenaga, Kawan.

UPIL: Aku dizalimi! Aku dizalimi! Aku dizal—hmbpft….

Kalau boleh terus terang, sih, sebenarnya menyesal juga, saya tadi keasyikan mengobrol. Sampai lupa tengok kiri kanan. Dan yang lebih penting lagi: tengok belakang. Luput, deh, pergerakan si Pulo Rondo dan si Express Bahari 3B dari pantauan.

Ah, sudahlah.

Eh… tapi… sebentar…. Mereka—tukar tempat—kapal-kapal itu— Apakah itu berarti—

Guooong!

“Lihat, tuh! Kapalnya mau berangkat,” seru Pak Yusuf.

Serta-merta saya berdiri (Ini upil kok lengket banget, ya? Dilapkan saja. Celana. Belakang pantat.), mengangkat telepon genggam saya (Iya, iya. Pinjaman.), dan mengarahkan lensa kamera, fitur bawaan si telepon genggam (Alah. Mungkin cuma itu, variabel-artistik fotografisnya.), kepada Kapal Pulo Rondo yang bergerak perlahan (Timer di kepala saya mulai menghitung: 00:00. Bukan. Titik 00:00 itu “Guooong!” Oke: 00:10.); kemudian ketika Pak Kefli, yang berada di depan lorong di sebelah kiri anjungan (Wuih! Tiba-tiba muncul di situ saja, dia.), memanggil saya, “Di sini ‘ngambilnya,” saya bergegas berjingkat melewati kepala-palka (Yah! Lupa, seharusnya jangan lewat sini!—Oke. Hati-hati: ada kayu yang rapuh. Hap! Lompati lengan-derek.) menuju geladak di sisi-kiri kapal (Kapal Surya Indah II ini, tentu saja.) untuk mengambil posisi di samping Pak Kefli yang berdiri terpaku (Adakah perempuan cantik yang dirindukannya menumpang kapal yang tengah ber-“siap-gerak!” untuk berangkat meninggalkan Pelabuhan?), dengan tatapan matanya yang seakan-akan tak hendak lepas dari Kapal Pulo Rondo.

00:18: Buritan Kapal Pulo Rondo hampir menyelesaikan busur putaran seperempat lingkaran berlawanan arah jarum jam. 00:20: Kapal Pulo Rondo sudah menghadap ke barat (ke arah Gerbang Laut Pelabuhan), dan berada pada posisi hampir tegak lurus terhadap Kapal Express Bahari 3B yang masih bersandar, menghadap ke utara. 00:26: Pak Kefli berkata, “Cantik ‘kali, ‘kan?” 00:31: Dengan dengungan halus nan pelan dari suara mesin, Kapal Pulo Rondo mundur perlahan menjauhi Pelabuhan. 00:34: Di Gerbang Laut Pelabuhan, kini tinggal Kapal Express Bahari 3B yang bersandar, seutuhnya terpapar kepada pandangan dari arah sini. Di latar belakangnya, tampak gedung-gedung di kompleks pelabuhan—atap bangunan utamanya terlihat melintang dari selatan ke utara, warna terakota. 00:48: Hom hai, hom hai…. 00:54: Kapal Pulo Rondo kembali memulai membuat putaran berlawanan arah jarum jam. 01:19: Satu kuadran putaran telah ditempuh oleh Kapal Pulo Rondo: kini dia menghadap ke selatan; pinggulnya yang padat terlihat bertelabat. 01:29: I will go back to the great sweet mother. Mother and lover of men, the sea. 01:40: Fugue, canto, toccata, rondo. Berputarlah, Pulo Rondo. 01:54: Pak Rusli menyapukan belangkin, dengan ujung-kuasnya, di atas muka-lengkung salah satu bilah-lutut yang bertanggam di antara tiang-penyangga-kubu dan balok-geladak—decrescendo, crescendo, staccato, staccato, decrescendo, ritardando, diminuendo…. 02:10: Kapal Pulo Rondo kini telah berbalik arah, membelakangi pelabuhan. 02:16: Hom hai, hom hai…. 02:23: Air laut tampak tersibak di sisi-kiri (dan pasti juga sisi-kanan, seandainya terlihat dari sini) haluan Kapal Pulo Rondo: si Kapal mulai melaju berakselerasi. Para diante, Garota Formosa. Afastado! Afastado! 02:44: Kapal Pulo Rondo meluncur deras menjauh dari Pelabuhan—meninggalkan jejak memanjang buih yang memutih di permukaan laut di belakangnya. 03:05: Kapal Pulo Rondo menghilang dari pandangan, terhalang oleh anjungan Kapal Surya Indah II; saya bergegas bergerak melintasi geladak, menyeberang ke sisi-kanan. 03:14: Kapal Pulo Rondo terlihat muncul di belakang lorong-gelap-arah-kimbul Kapal Surya Indah II, dan terus melaju. 03:17: Siapakah pacar Cut Keumala? 03:22: Kapal Pulo Rondo menembus lorong-pandu di antara dua lengan daratan, dan berlayar bablas ke samudera lepas….

The Ship was cheer’d, the Harbour clear’d—
Merrily did we drop
Below the Kirk, below the Hill,
Below the Light-house top.

The breezes blew, the white foam flew,
The furrow follow’d free:
We were the first that ever burst
Into that silent Sea.

First-in-first-out berkendala switched-single-entry/exit-point: Bertukar tempatnya Kapal Pulo Rondo dan Kapal Express Bahari 3B tadi itu tentu saja tak terhindarkan. Kapal yang tiba dan menunggu pemberangkatan berikutnya harus merapat pada dermaga kapal-cepat di Gerbang Laut Pelabuhan, membuka pintunya bagi para penumpang yang keluar dan masuk melaui gerbang kedatangan dan keberangkatan. Kenapa fakta yang sangat elementary-my-dear-Watson sekali ini tadi tak terpikirkan, ya? Alah. Jadi kau kira kau ini Sherlock Holmes, Bung? Hm. Saya lebih suka menjadi The Old Man in the Corner. Benang sulam lebih mudah dimainkan daripada dawai biola; segelas susu lebih sehat daripada sekantong kokain; dan berbincang dengan seorang wartawati cantik, apalagi yang juga seorang baroness, tentu saja lebih menyenangkan daripada berbincang dengan seorang dokter berkumis baplang.

“Bagaimana? Dapat, gambarnya?” tanya Pak Yusuf, yang kini telah kembali duduk di atas bibir-lambung kapal di sisi-kanan. Seonggok tali-temali, kusut, nyaris menyerupai Simpul Gordium yang nyaris bikin Alexander frustrasi, tergeletak bertimbun di depan kakinya.

Saya mengangguk.

Ruang palka masih mengusik rasa penasaran saya. Dalam perjalanan menyusuri sisi-kanan kapal, saya berhenti di tepi kepala-palka dan menengok ke dalam ruang gelap nan curam di bawah itu melalui sekolom celah lebar yang tampaknya ditinggalkan oleh salah satu balok kayu dari deretan balok-balok kayu lainnya. Satu balok kayu yang rapuh, mungkin. Yang kemudian dicopot saja.

“Ini, kalau hujan, bagaimana, Pak?” saya bertanya sambil berjalan menghampiri Pak Yusuf.

“Ke bawah,” jawab Pak Yusuf. “Airnya jatuh ke palka. Nanti dibuang keluar.”

Saya masih hendak bertanya lagi. Tapi Pak Yusuf tiba-tiba berdiri—dan dia memanggil Pak Rusli yang tengah mengecat ujung-atas gading-gading kapal di pojok-kiri dekat haluan, di antara dinding-belakang ruang-akil dan sebuah tangki plastik warna putih yang berkurung rangka besi.

“***** tadi mana?” tanya Pak Yusuf.

“Di dalam,” jawab Pak Rusli.

Mendengar itu, saya mengeluarkan ***** yang saya bawa dan menawarkannya.

Pak Yusuf melirik *****-filter “ringan” yang saya sodorkan ini sambil bertanya:

“Apa, tuh?”

Setelah mengamati sejenak, dia berkata lagi:

“Oh. Itu, ya.”

Lalu, tanpa menerima “gratifikasi” dari saya, dia pergi ke dalam anjungan dengan berjalan melalui lorong sebelah kanan, disusul oleh Pak Rusli dengan “prung, prak, prung, prak…”-nya ketika berjalan melalui lorong sebelah kiri.

Sesaat kemudian, Pak Yusuf kembali muncul, berjalan sambil menghisap *****-****** tanpa-filter yang mengepul di antara dua jari tangannya. Setelah itu, Pak Rusli juga muncul menyusul, kepulan asap *****nya menari diiringi rentak swinging ragtime dari derap sepatu botnya dalam irama “The Entertainer”-nya Scott Joplin, “prungprak, prak, prak, prak….” Tak mau kalah, dan kadung ***** sudah saya keluarkan, saya pun turut menyalakan sebatang di tangan—dengan menggunakan pemantik-api plastik standar-industri yang saya beli di sebuah toko kelontong, di Keuchik Peuniti, yang ditunggui oleh seorang ibu-muda cantik yang memajang, di etalase tokonya, foto-bersama dirinya dengan Andra and the Backbone.

Maka demikianlah, akhirnya kami dipersatukan kembali di keceriaan pagi yang berseri-seri, dalam sebuah acara kenduri meracuni paru-paru sendiri.

“Biasanya mengangkut apa, ini, Pak?” tanya saya kepada Pak Yusuf, setelah dia duduk kembali di posisi yang tadi ditinggalkannya.

Prak, prak, prak….

“Kelapa,” jawab Pak Yusuf. “Lainnya juga. Macam-macam, lah. Tapi seringnya kelapa. Terakhir kita bawa kelapa ke Penang.”

Prung.

“Malaysia?”

Pertanyaan bodoh. Di mana lagi ada kota bernama “Penang”? O, ya, masih ingat arus pengungsi dari Aceh ke sana—waktu konflik bersenjata di sini sedang berkecamuk sepanas-panasnya? Itu dia: The Penang Connection.

“Ya. Ke Malaysia. Sering sampai ke Thailand juga.”

Hm.

“Dari sini ke Penang, berapa lama, itu, Pak?”

“Empat puluh dua jam, lah.”

Sayup-sayup berandang, mercusuar berdiri di ujung lengan-daratan bertanggul-batu. Ke kiri lagi: laut lepas. Selat Malaka yang lelah dengan peluh dan darah sejarah, dari titik di ujung utara Bumi Andalas ini, tampak membentang ke cakrawala. Mutakhir, sekaligus purba. Di saat ini: terlihat tenang.

Nun di tengah samudera sana, jauh di masa silam, dari atas sebuah kapal, sepasang mata mengelih ke arah sini….

Dizem que desta terra co as possantes
Ondas o mar, entrando, dividiu
A nobre ilha Samatra, que já d’antes
Juntas ambas a gente antiga viu.

“Kalau sedang melaut, sering ketemu badai, Pak?”

Pertanyaan bodoh berikutnya. Pertanyaan bodoh yang meluncur begitu saja. Dari mana, sih, datangnya? Apa dari Vasco da Gama? Hm. Bukan. Kamprét! Hollywood lagi. Laut dan Romantisme Basi: Sebuah Tinjauan Sotoy Berbasis Cemilan atas Representasi Sinematografis dari Heroisme Maritim sebagai Alegori Termaknyus untuk Kehidupan, ‘Kali Yée. Kapten Jack Sparrow mencuri The Interceptor dan berlayar menuju La Isla de Muerta: Pelaut ketemu badai? Ya, iyalah. Bukankah tadi juga Pak Yusuf sudah bilang kalau dia ini sudah kenyang melaut? Dan laut yang tidak ada badainya—ya, cuma ada di lagu “You’re My Everything.” Ho ho. Pak Kefli benar, Bung: kau tak tahu apa-apa. O, kau pasti tampak dungu. Seandainya saja kau bisa melihat dirimu sendiri. Mungkinkah? O wad some Power the giftie gie us, to see oursels as ithers see us! Jangan kaget lagi kalau kau dibilang bego. Biasakanlah.

“Sudah biasa, itu,” kata Pak Yusuf sambil tersenyum—senyum sahibulmantik terhadap tautologi. “Badai. Ombak tinggi.”

Baru ingat: Bukankah sebulan lalu angin kencang dan ombak tinggi juga melanda perairan di sini?—atau, di laut antara Pelabuhan Ulèe Lheue di Banda Aceh sini dan Pelabuhan Balohan di Sabang sana? Ya. Headline di koran Serambi Indonesia. Dua kapal sempat terperangkap di sana waktu itu, katanya. Salah satunya, KMP BRR. Dan satunya lagi? Noh—si Inong yang lagi rebahan manis di belakang, noh. Si Bodi Putih Berpolet Oranye. Katanya, ketika ombak besar menghantam bagian lambung dari kapal yang dikemudikannya, sang Nahkoda mengirimkan pesan melalui perangkat telekomunikasi kepada Pelabuhan, dan pesan itu, yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan situasi yang tengah dihadapi, berbunyi, “sangat terasa.” Hi hi. Seperti adiknya Walt Whitman saja. Pasti dia bukan seorang pe-galau di media sosial, seperti saya. Beruntunglah, jadinya: Serambi Indonesia terselamatkan dari tsunami kata-kata lebay.

Laut: ombak, angin, apa lagi? hujan, petir, arus laut… O, ya, satu lagi: es. Badan air yang membentuk hampir tiga perempat muka bumi ini agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi medan interaksi faktor ketidakpastian yang paling ngéhé. Ya. Konon, banyak variabel eksternal penting bagi teknik rekayasa perkapalan bahkan sampai saat ini pun masih belum terdeterminasi. Dan manusia sudah mengenal perahu sejak… kapan? Sepuluh ribu tahun yang lalu? Masih lebih mudah, katanya, untuk menghitung apa yang akan terjadi pada sebuah pesawat ulang-alik, yang sedang melesat di luar angkasa, daripada menghitung apa yang akan terjadi pada sebuah kapal, yang sedang berlayar di tengah laut. Pélagos: edóo stéenei énedra, ktéenos. Cari mati? Cari bahaya? Ke laut ‘aja. Ho ho. Euch, wer je sich mit listigen Segeln auf furchtbare Meere einschiffte

“Kalau laut lagi ‘ngamuk,” lanjut Pak Yusuf, “habis, kita, dibanting ombak. Kiri, kanan, depan, belakang. Sampai mau tumpah.”

Tetap ada upaya untuk mengantisipasi bahaya, tentu. Ada standar untuk konstruksi kapal, misalnya. Dasar berganda, sekat pelanggaran, kompartemen kedap air, cofferdam…. Juga berbagai prosedur keselamatan. COLREGS, misalnya. Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea. Atau SOLAS. Safety of Life at Sea. Belum ada SOLAS, memang, ketika RMS Titanic angkat sauh di Pelabuhan Southampton untuk pelayaran perdana. Rabu jelang tengah hari, 10 April 1912. Benar, justru tenggelamnya Titanic-lah yang mendorong lahirnya SOLAS. Tapi tentu saja keliru kalau dikatakan bahwa saat itu prosedur keselamatan belum ada, teknologi perkapalan masih terbelakang, atau sang Nahkode, E. J. Smith, adalah seorang pelaut kacangan yang suka linglung dan doyan tidur.

Nasib Titanic sebenarnya bisa saja berakhir lebih awal. Ya. Cuma beberapa menit setelah, “guooong!” Gejolak air laut yang dipicu pergerakannya membikin lepas, temali-tambat SS City of New York. Tabrakan nyaris terjadi. “Full astern!” seru Kapten Smith. Bayangkan para pekerja di ruang mesin di geladak Tank Top sontak bergerak: memutar engkol-engkol, daun-daun kendali katup-katup, mendorong tuas-tuas, menarik tali-temali, menyekop onggokan batu bara ke dalam tungku membara… dan pastinya juga sambil berteriak-teriak. Titanic berhenti. Dan SS City of New York yang terlunta-lunta itu kemudian ditarik oleh Kapal Vulcan, sebuah tugboat yang sedang berada di situ saat itu, untuk kembali ditambatkan pada dermaga.

Tapi nasib memang aneh. Bukan tabrakan besar yang menenggelamkan Titanic. Seandainya Titanic menabrak gunung es, menghantam bongkahan es hingga lambungnya terkoyak parah, bukan tidak mungkin, ia malah masih akan tetap bisa mendongak di atas permukaan laut. Dan Tuan Ismay masih akan bisa berkoar-koar, mengatakan bahwa Titanic memang layak diberi gelar seperti yang diperikan dengan dingin oleh para insinyur White Star Line sebagai, “virtually unsinkable,” dan yang dikutip dengan penuh sensasi oleh media sebagai, “unsinkable!” dan yang digaungkan dengan segenap keagungan oleh Caledon Hockley sebagai “God Himself could not sink the ship.”

Cikar kiri kemudi, lambung kanan Titanic menyerempet gunung es, bergesekan hingga paku-paku keling baja yang menyatukan dua lapis galar-lambungnya tercongkel terseret-seret. Bukan sebuah lubang-koyak yang menganga lebar, yang dihasilkan, seperti yang mungkin timbul dari sebuah tabrakan frontal, tetapi lubang-lubang kecil yang tersebar di sepanjang lambung kapal. Fatal. Enam belas kompartemen kedap air, yang ada. Dua bocor? Tenang; masih aman. Tapi karena peristiwa serempetan itu: bukan satu dua kompartemen kedap air yang bocor, jadinya; tapi tiga… empat… lima….

“Kalau hujan deras,” kata Pak Yusuf lagi, “ini haluan bisa sampai masuk ke air. Tenggelam. Kalau ‘darah ayam,’ sudah pulang ke darat saja, maunya.”

Barangkali memang hanya ada sedikit saja kasus di mana berada di atas daratan menjadi berlipat kali lebih mematikan daripada berada di atas kapal di tengah laut.

Senin pagi, 27 Agustus 1883, misalnya. Teluk Betung. Gelombang besar yang mendera pantai, yang datang dari tsunami yang dipicu oleh letusan dahsyat Krakatau, diterjang langsung oleh Kapal Governor General Loudon. Sementara, J. H.  Lindeman, sang Nahkoda, menyaksikan sekumpulan orang Eropa yang berdiri di atas dermaga ludes dihantam air laut. Kapal Loudon sendiri malah selamat, meskipun para kru dan penumpangnya harus bergelut dengan hujan lumpur, batu apung, dan debu vulkanik yang pekat—dan yang juga panas menyengat.

Oh, ya. Bagaimana, ya, kabar para kru Kapal PLTD Apung-nya PLN yang dilemparkan gelombang pasang saat Gempa dan Tsunami 2004 terjadi? —Peristiwa yang barangkali merupakan salah satu bencana-alam paling besar sepanjang sejarah umat manusia itu. Minggu pagi, 26 Desember. Aceh, pantai selatan Thailand, seluruh Kepulauan Andaman, dan pantai timur Srilangka luluh lantak karenanya. Dalam skala yang lebih kecil, tsunami juga mengimbas sedikit pantai barat Malaysia serta pantai timur Somalia dan Kenya. Tapi si Kapal PLTD Apung malah melenggang, menyelonong ke atas daratan, lalu menclok di Pungé Blang Cut, dan kini nongkrong di tengah-tengah permukiman penduduk. Nun, di selatan-barat-daya sana.

Prak, prung, prak….

Tapi selebihnya, ancaman dari laut sepertinya tak pernah pupus. Tabiat manusia sendiri, di laut, bisa menjadi sekelam, setakpernahterbayangkankelamnya Le Radeau de la Méduse. Maka kalau diminta untuk memilih, bahkan pelaut yang paling ulung sekalipun tentu saja akan memilih untuk tiba kembali di darat dengan selamat, kendatipun melarat, daripada memilih untuk berlayar mendekap emas bertabut-tabut, tapi kisahnya tamat dikerkah maut di tengah laut. Seringkali dibutuhkan kerendahan hati untuk mempertahankan nyawa, seperti halnya dibutuhkan kebesaran nyali untuk mempertaruhkan nyawa. Dan yang paling pantas untuk mendongak di hadapan laut adalah yang paling mampu untuk tunduk di hadapan laut.

Sir Francis Drake tahu betul, itu. Berlayar dari Plymouth menuju negeri-negeri Amerika Selatan yang dikuasai Kerajaan Spanyol; merampas kapal dagang Portugis di lepas pantai Kepulauan Cape Verde; menghukum-penggal seorang perwiranya di muara Rio de la Plata, mengikuti cara Ferdindand Magellan dalam meredam pemberontakan; dihantam angin kencang di antara pulau-pulau jebakan-badai di sekitar Tierra del Fuego, dan dihempaskan jauh ke selatan; berlayar ke utara “sendirian” dengan The Golden Hind karena kapal-kapal lain dalam rombongannya entah hilang entah pulang; membalas dengan garangnya dentuman meriam, tangan-tangan terbuka penduduk Valparaíso yang menyambutnya dengan ramah, lalu menjarah roti, anggur, dan lemak babi sebanyak yang bisa dia bawa, serta menjambret sejumlah emas dari sebuah kapal yang bersandar di pelabuhan di sana; membuntuti Kapal Nuestra Señora de la Concepción, di perariran dekat Callao, sebelum menghajar tiang-baksi kapal itu dengan sepasang bola-meriam yang dirantaikan bergandeng, hingga kapal yang dinahkodai San Juan de Anton itu takluk, lalu merampas muatan berharga yang diangkutnya, berpon-pon emas dan berton-ton perak, jauh lebih banyak dari hasil penyerbuan ke Nombre de Dios beberapa tahun sebelumnya… sampai di Ternate, si Bajak Laut itu memilih untuk menjadi anak baik.

Sir Francis Drake di Kepulauan Raja-raja. Ya. Frank si Anak Baik. Beras dan tebu, dia beli. Cengkeh, dia bikin deal langsung dengan Yang Mulia Sultan. Perairan Nusantara, abad enam belas: bukan kolam renang mini untuk anak ingusan. Di laut Sulawesi kapalnya menabrak karang. Meriam, perbekalan, bahkan setengah kargonya, dia lempar ke laut. Tiga hari tercengkeram karang, akhirnya deru angin berhenti, dan The Golden Hind terlepas bebas. Beruntung, itu orang. Atau dia memang cerdik? Atau keberuntungan hanya datang kepada orang-orang yang cerdik? El Draque. Jagoan bagi orang Inggris, bajingan bagi orang Spanyol. Muda, merampok dan bertualang; tua, surat tanah segepok dan posisi terhormat bersanjung orang. Kalau saja dia tidak turun lagi melaut, dan menggarong Santo Domingo dan Cartagena, mungkin dia akan bisa melewati masa pensiunnya di Buckland Abbey, di Devon, kampung halamannya, menikmati sisa hidupnya dengan tenang. Apa boleh buat. Kualat, dia. Kutukan buyut moyangnya Úrsula Iguarán: utang panas terbakar kompor dibayar panas terbakar disentri. Nasib. Aneh. Pantat gosong yang bikin pohon sarangan mereput di mulut semut.

Prung, prak, prung….

Api. Ya, satu lagi bahaya di tengah laut: api. Api menjalar dari saluran ventilasi ke ruang mesin ke geladak kendaraan pada KMP Tampomas II di atas perairan Masalembo—dan akhirnya membakar seluruh kapal. Januari 1981. Es memang menenggelamkan Titanic lebih cepat, tak sampai tiga jam setelah tabrakan, tapi selang waktu yang cukup panjang sejak api terpercik di atas Tampomas II hingga kapal itu tenggelam, sekira tiga puluh jam, adalah neraka yang penuh horor. Pelat-pelat baja yang membangun bagian-bagian kapal berubah menjadi “penggorengan” yang kejam; sejumlah penumpang hangus terpanggang begitu saja. Kisah-kisah kepengecutan dan kepahlawanan: sebagian awak kapal yang sibuk menurunkan sekoci untuk diri mereka sendiri, Kapten Abdul Rivai yang bertahan di atas kapal sambil mengupayakan evakuasi para penumpang ke KM Sangihe. Salon telah ditutup sejak api terdeteksi, dan Band Kapal telah bubar. Dan para penumpang yang ketakutan itu harus menghadapi menit demi menit penentuan nasib dalam kebisingan yang mencekam atau sunyi yang mengiris—tanpa alunan “Nearer, My God, to Thee,” dari orkes musik kamarnya Wallace Hartley dan kawan-kawannya, dan tanpa ada seorang gadis yang diselundupkan, entah dari masa lalu entah dari masa depan, untuk bernyanyi, “Płonie ognisko w lesie, wiatr smętną piosnkę niesie….”

Prak, prak, prak….

Hmghhh…. Apakah Kapal Surya Indah II memiliki sertifikat kelayakan melaut dari Kemenhub? memenuhi standar konstruksi dan kelengkapan operasional seturut arahan dari IMO? Tak sopan, tanyakan itu kepada Pak Yusuf. Apakah standar keselamatan sudah diindahkan oleh pemilik Kapal Surya Indah II? Pastinya. Atau… ya, saya harap begitu, lah. Rasanya SOLAS sudah diakui berlaku universal. Bahkan untuk kapal kayu seperti Kapal Surya Indah II ini. Pak Yusuf dan kawan-kawannya pasti sudah akrab dengan hal itu. Tentu saja. Karena kepadanya mereka menggantungkan perkara hidup mati. Oke, sebagiannya, setidaknya. Sebagian lagi? Kepada keteguhan hati—juga, tentu saja, keteguhan kepala, badan, tangan, dan kaki. Sisanya? Kepada kontingensi konstelasi relatif benda-benda langit, mungkin. Dan akhirnya kepada Takdir—dari Yang Mahaesa: Yang di Atas, atau Yang di Bawah, atau Yang di Depan, atau Yang di Belakang, atau Yang di Samping Kiri, atau Yang di Samping Kanan, (konon, bahkan jauh sebelum Erathostenes, ada banyak di antara para pelaut yang sudah ngeh kalau bumi ini bulat,) atau Yang di Tengah: Yang Lebih Dekat dari Urat Leher. Fa’lamū, yā, ayyuha al-sailors, inna-Hu Huwa ălā kulli surgin’-swayin’-heavin’-pitchin’-rollin’-yawin’, qadīr. Takdir—yang bagi para pelaut tak lagi soal apakah berwajah tremendum ataukah fascinans. Takdir—yang oleh para pelaut dijemput dengan gagah berani, tak jarang juga dengan riang ria dan gelak canda. Biarlah dunia tetap bersangkarkan cakrawala; hidup adalah sepasang payudara bermandikan cuaca.

“Kita ini ‘peltu’: pelaut tulen,” kata Pak Yusuf sambil mengangkat kepalanya; topi hitamnya tengadah bagak. “Ini ‘darah harimau’ semua.”

Seekor harimau tiba-tiba muncul dari lorong di samping kanan anjungan, berjalan gontai dengan langkah-langkah ringan. Mendekat. Matanya menatap tenang namun tajam. Kumisnya sesekali mengerut-merentang.

“Ada apa, nih?” tanya sang Harimau.

Pak Baihaki. Demikian, dia biasa dipanggil. Berkumis tebal nan hitam legam (sama sekali tidak mirip kumis harimau, memang). Kumisnya mengingatkan saya kepada masa-masa vintage dangdut tahun 1980-an, eranya Meggy Z dan Hamdan ATT; tapi ambiance yang dipancarkannya mengingatkan saya kepada masa-masa keemasan rock tahun 1970-an, eranya Ucok Harahap dan Syech Abidin.

“Aku baru bilang sama tamu kita,” kata Pak Yusuf, “kita ini ‘peltu’: pelaut tulen.”

Pak Baihaki tersenyum. Dia mengangkat kaki kirinya dan memijakkannya ke tepi kepala-palka; kemudian, sambil sedikit membungkuk, meletakkkan sikut kiri di lututnya, tangan kanan di pinggangnya, dia menoleh kepada Pak Rusli yang datang ber-“prung, prung, prak” di depan anjungan. Lalu dia bertanya:

“Siapa, tuh, kelasi yang kemarin pertama melaut? Stres, dia.”

Pak Rusli menyebut satu nama.

“Dulu aku pun begitu,” kata Pak Baihaki. “Lempar tali, kaki kena tali.”

Mereka tertawa.

“Di laut, kalau ombak lagi tinggi,” kata Pak Baihaki sembari dia menoleh ke arah saya, “semuanya kelihatan aneh. Sekali, kita lihat kapal lain di atas kepala; kita di bawah. Terus balik. Gantian, kita yang di atas; mereka di bawah. Kaget, lah, orang yang biasa tinggal di darat, kalau dibawa ke laut pas kayak ‘gitu.”

“Begitu, ya.”

“Saya juga belum terlalu lama kerja di laut,” kata Pak Baihaki lagi, sambil menarik kakinya kembali dan berdiri tegak di atas geladak.

Pak Baihaki kemudian melangkah ke arah bibir-lambung kapal, dan duduk di sebelah Pak Yusuf.

“Dulu saya sopir di Medan. Bawa L-300. ‘Narik sayur-mayur ke Belawan.”

“Oh. Jadi Bapak juga aslinya dari Medan, ya?”

Bagus. Sangat kreatif. Dari mana Anda berasal? Itu saja pertanyaanmu dari tadi, Bung. Oh! Bukan dari tadi, tapi dari kemarin-kemarin. Membosankan. Begitukah modus-operandimu dalam bersosialisasi? Siapa lagi yang kau tanya seperti itu? Pak Mohamad, Pak Ibnu Ali, Pak Ansari, Bang Marwan, siapa lagi? seorang ibu penjaga warung di kawasan wisata Ulèe Lheue di sebelah barat sana, seorang anak muda di depan Gedung Balai Kota, seorang lelaki tua penyandang tuna netra di pelataran Mesjid Baiturrahman, seorang pengendara becak di depan gerobak pedagang martabak di Pasar Atjeh….

“Bukan,” terdengar suara Pak Baihaki menjawab, “Saya dari Sabang. Di Medan, biasa, lah: cari hidup.”

Pak Baihaki kemudian melirik ke arah Pak Yusuf, dan mengatakan beberapa patah kata sotto voce. Pak Yusuf tampak menyimaknya dengan penuh atensi. Tak lama kemudian mereka larut dalam sebuah perbincangan yang terlihat intens. Dari pelaut kepada pelaut? Mungkin lebih dari itu. Keakraban di antara mereka lebih menyerupai keakraban antaranggota keluarga—atau, setidaknya, keakraban antara dua orang yang sudah lama saling kenal. Kadang-kadang mereka menengok ke arah saya, seolah-olah ingin menegaskan bahwa mereka menyadari kehadiran saya di sini. Mereka bahkan sesekali mengundang saya untuk berkomentar. Tapi saya lebih sering menjawabnya dengan cengegesan atau angguk-angguk sok paham—atau dengan kata-kata sesingkat, sedatar, dan semasuk akal mungkin.

Nurani saya membisikkan pertimbangan: barangkali saya harus mematuhi tuntutan etika untuk memberikan sedikit ruang kepada kedua pelaut itu untuk mendapatkan privasi mereka. Maka saya pun sedikit demi sedikit mundur menjauh. Setidaknya, itu adalah salah satu alasan. Tuntutan alam adalah alasan yang lebih mendesak untuk dipenuhi, sebenarnya. Atau… oh, ho ho, ini tuntutan etika juga, Saudara-saudara. Oke, etiket, lah, kalau tak boleh disebut sebagai etika. Kentut adalah sebuah peristiwa amelioratif dalam konstruksi natural, tetapi sebuah peristiwa pejoratif dalam konstruksi sosial.

Dari tadi perut saya terasa begah. Apa tadi malam saya salah makan, ya? Hm. Nasi goreng hana masak. Sotong goreng. Kemarin dulu, juga. Tapi tak begini, kok. Ah! Bergendaal Koffie Gayo. Mangat thaaat, itu kopi. Lebih afdol, mangat-nya, karena gratisan. Tapi masih sama; kemarin dulu juga minum; tak ada begah begini. Hi hi. Tapi andaikata pun itu kopi yang bikin begah— O! begahlah, biar. Kentut mahal, ini, jadinya. Hm. Atau barangkali saya masuk angin? Atau efek bangun pagi, mungkin? Hm. Dermaga. Sepeda motor Pak Kefli. Yang menyebalkan: berlama-lama tadi saya berjongkok, tapi ini gas cuma berpusar-pusar saja di dalam perut. Cuma baru mau akan hampir nyaris nyerempet-nyerempet agak rada memper-memper mulas saja sedikit. Huh. Mudah-mudahan angin tidak berbalik ke arah buritan. Oke. Kontraksi. Peristaltik. Dpfrut!— Anjis! Pak Baihaki dan Pak Yusuf? Masih anteng. Pak Rusli? Di sisi seberang. Aman. Belakang? Tumpukan ban bekas. Pojok. Akil. Samping? Singgasana Pak Yusuf. Mesin derek. Pasang pose observer dulu, dong. Halo, kaki langit. Halo, muka laut. Hajar. Bphussss… hhhsss…. Fyuh! Lega…. Wuih! Angin laut bermurah hati, lagi. Wusss! Sampaikan salam hamba ke negeri jauh, Ki Sanak. Ho ho. Nyaris tanpa jejak, di sini. Voilà! Lanjaran tanggul batu terlihat lebih indah, sekarang.

Oh, ya. Apa kabar, Tuan Alpha dan Tuan Beta? Masih berdiri di sana, rupanya. Dengan pose pipis yang sama, menghadap ke arah yang sama.

Mungkin akan lebih bermanfaat bila Tuan Alpha dan Tuan Beta disuruh putar badan: menghadap ke arah pegunungan di wilayah Peukan Bada di sebelah barat. Mereka bisa menjadi agen ilmiah yang handal untuk mengukur ketinggian-di-atas-muka-laut dari salah satu puncak gunung di sana: puncak satu gunungnya yang terlihat paling tinggi, katakanlah. Ya. Yang di sana itu Geoh Lemoh, kalau tidak salah. Hm. Kelengkungan muka bumi? Pasang naik dan pasang surut air laut? Kebergalatan optik? Ah, abaikan dulu semua itu. Abaikan dulu juga Bob Tutupoly dengan teorinya tentang korelasi antara “tinggi gunung” dan “seribu janji.” Hm. Tapi nanti “lain di bibir, lain di hati,” dong. Ho ho, adalah absurd untuk berharap apa yang ada di bibir akan selalu identik dengan apa yang ada di hati. Bagaikan pungguk merindukan pinang dibelah di daun keladi. Begitukah? Ya. Oh, ya? Oh, ya, ya. Lihatlah. Tuan Alpha dan Tuan Beta masih setia berdiri menunggu instruksi.

Ya. Mungkin untuk ber-apakah-ini-apakah-itu sekarang bukanlah waktunya. No need to wallow in the mire. Atau, ah, apa pun, lah, itu. Mendingan nyalakan lagi *****nya. Come on, Baby, light my fire.

Baiklah, Bung. Bagaimana instruksinya? Begini: Beri Tuan Alpha dan Tuan Beta masing-masing satu sampan kecil. Posisikan mereka di laut Ulèe Lheue ini, sehingga titik puncak Geoh Lemoh, Tuan Alpha, dan Tuan Beta, berada dalam satu bidang vertikal. Tuan Alpha di depan, Tuan Beta agak jauh di belakang. Lalu minta mereka untuk mengarahkan elevasi pancuran pipis mereka kepada titik puncak Geoh Lemoh. (Ya, ya, ini memang terdengar seperti penistaan. Tapi demi tujuan yang teramat mulia dari misi ilmiah yang sungguh luhur ini, mohon diizinkan, lah, sekali ini saja. Sebelumnya perlu diselenggarakan sedikit ruwatan juga, barangkali. Sebagai permohonan maaf dan amit.) Oke, berilah notasi: sudut elevasi pipis Tuan Alpha sebagai α, sudut elevasi pipis Tuan Beta sebagai β. Nah, selesai. Sekarang: tinggal menghitung. Kalikan tangen α dengan tangen β, bagi hasil perkalian itu dengan hasil pengurangan tangen β dari tangen α, lalu kalikan hasil pembagian tadi dengan jarak posisi pipis antara Tuan Alpha dan Tuan Beta: Presto! Tinggi puncak Geoh Lemoh, diukur dari bidang horizontal yang melewati titik pangkal pancur pipis. Jumlahkan saja angka ini dengan ketinggian titik pangkal pancur pipis dari muka laut, maka niscaya hasilnya tak akan melenceng jauh dari data tinggi-puncak-Geoh-Lemoh, angka resmi yang dirilis Bakosurtanal. Siapa bilang pipis tidak berguna bagi geodesi?

Langit. Laut. Semenanjung. Dermaga. Kapal. Dua pelaut di atas kapal. Satu lagi: ditelan gelap. Satu lagi: melayang-layang. Prak, prung, prak, prung….

Asap *****.

And gentle odours led my steps astray,
Mixed with a sound of water’s murmuring
Along a shelving bank of turf, which lay
Under a copse, and hardly dared to fling
Its green arms round the bosom of the stream,
But kissed it and then fled, as thou mightst in dream.

Selanjutnya, saya hanya melihat komat-kamit bibir Pak Yusuf dan bibir Pak Baihaki—serta gestur tubuh mereka. Suara mereka menjadi tampak terbebaskan-secara-statistik dari kinesika tubuh mereka, dan berinterferensi dengan bunyi-bunyi lain yang berkelindan berpilin-pilin. Atau mungkin itu bukan suara. Atau mungkin itu bukan bunyi. Dan yang tidak ditangkap oleh telinga saya.

Barangkali, setiap sumber bunyi dipasangi sebuah rangkaian transducer yang mengubah getaran mekanik menjadi pulsa-pulsa elektrik, dan kemudian sebuah rangkaian modulator mencampurkan pulsa-pulsa itu ke dalam gelombang elektromagnetik, dengan metode PSK, phase-shift keying, masing-masing dengan slot frekuensinya sendiri, dan mengirimkannya ke antena-antena di atas Kapal Basarnas—ya, yang lencir di pinggir itu, atau yang berceranggah di tengah itu, atau yang bundar di depan itu; lalu sebuah rangkaian mixer di satu tempat di belakang ruang kemudi di sana me-multiplex-kan semuanya; dan akhirnya sebuah transmitter menyuarkan superposisi spektral itu, entah dengan aliran kontinu entah dengan paket-paket diskret, dalam frekuensi yang ditala untuk rangkaian receiver yang tertanam di kepala saya.

Udara pagi. Asap putih. Asap biru. Konveksi, difusi, dispersi. Brownian—

Dan rangkaian demultiplexer di kepala saya bekerja dengan payah. Suara Pak Yusuf, suara Pak Baihaki, suara teriakan regu tim SAR di belakang buritan Kapal Basarnas, suara tubuh-tubuh fisis tiga-dimensi mereka yang bertabrakan dengan badan air, suara derap sepatu bot Pak Rusli yang sesekali melintas di atas geladak, suara kuasnya yang tercelup ke dalam cairan belangkin, yang diketukkan ke tepi kotak plastik, yang meluncur di atas permukaaan kayu bagian-bagian kapal, suara tali-temali yang dirapikan oleh Pak Yusuf, yang diurai, yang digulung, yang bergesekan di antara mereka sendiri, yang jatuh menimpa geladak, suara angin yang berhembus, suara ombak yang menghempas batu-batu…. Semuanya berbaur, dengan pola amplifikasi dan atenuasi yang tak teratur, khaotik, taksa, tak terpilah secara distingtif, tak tertapis secara sempurna. Sinyal, derau, sinyal, derau, derausinyal, sinyalderau, sinyal derausinyal, sinyal sinyalderau, derau derausinyal, derau sinyalderau, sinyalderau derausinyal, derausinyal sinyalderau….

Byur! Si X sudah kaya, sekarang. Hooo! Sini! Kecipak, kecipak…. Dia beruntung: si Y, saudaranya, punya kenalan orang penting. Pelampungnya! Wzzzf…. Modalnya juga kuat, dia. Debur! Begitulah, memang. Buat bikin kue, kita mesti punya tepung. Kecipak, kecipak. Debur! Aku harus ‘ngumpulin duit. Kecipak. Debur. Buat kukirim anakku. Ho! Agak ke kiri lagi! Kecipak, kecipak. Sebentar lagi dia mau ujian, rupanya. Prak, prak, prak…. Ah, kalau aku, sih… prung… aku sudah… tok… tok… tak ngotot lagi, sekarang. Krez. Krez. Kerja kubawa santai saja. Bleg! Rasanya aku sudah… tok… terlalu… tok… tua buat banting tulang habis-habisan. Sssft. Blup. Sssft. Susah juga bikin beres urusan pakai penghasilan pas-pasan. Kecipak. Debur. Kecipak. Debur. Harga-harga naik lagi, naik lagi. Apa-apa tambah mahal, sekarang. Byur! Bantuan Pemerintah…. Kecipak, kecipak, kecipak…. Program pengentasan kemiskinan, katanya…. Krek! Lagu lama orang gedean di Jakarta…. Krek! Lama-lama tak tahan juga dengar istri saban hari mengeluh. Hufffsssrrrhhh…. Kecipak, kecipak… … ssftsselingkuh hffssr…. Kecipak, kecipak… … blupsrstengkar rffssh…. Kecipak, kecipak… … byurrrcerai hrfssrh…. Kecipak, kecipak… … bik insak ithat isaja…. Bleg! Apa boleh buat. Hidup ini medan perang. Debur! Debur! Mesti sedia senjata, mesti siap terluka. Prak, prung, prak…. Tak bawa senjata, mampuslah, kau. Byur! Belum terluka, kau belum juga hidup. Prak, prak, prak….

Ke manakah kiranya para pelaut hendak mengadu? Di manakah rimbanya pinang senawar bercindai-tanti tempat bertadah gula-gula dunia penawar hati gundah gulana? Apatah jua nan dapat diperbuat?

“Apa lagi? Ya, minum, lah,” tukas Pak Yusuf. Sambil menjentikkan jemari untuk membuang abu dari ujung *****nya, dia menganggung tubuhnya untuk berdiri. “Belum jatuh: belum berhenti.”

Pak Baihaki juga berdiri, dan dengan gontai dia melangkah ke arah anjungan. Sampai di depan tangki plastik warna biru, dia balik badan. Lalu bersandar.

Since Mars loved Venus, Venus Mars,
Let’s blend love’s wounds with battle’s scars,
And call in Bacchus all divine,
To cure both pains with rosy wine,
To cure both pains with rosy, rosy wine.
And thus, beneath his social sway,
We’ll sing and laugh the hours away.

“Belum habis satu karton, datang satu karton lagi,” Pak Baihaki kemudian menimpali. Setengah membungkuk, dia bertumputubuh kepada kedua tangannya yang terpacak, di sampingnya, pada tangki plastik warna biru di depan anjungan. Kemudian dia menarik kedua lengannya dan menyilangkannya di dada. Bersandar: badannya dipentang hinggga agak condong ke belakang. Matanya sedikit memicing; seulas senyum memuai di bibirnya. Kumis tebalnya merekah.

Laut di kiri kanan. Jalur-hijau di tengah melajur, membumban—dengan lampu-lampu jalan yang ditopang tiang-tiang yang bertarap memanjang—membelah landasan mulus beraspal menuju portal: gapura berpilar delapan, lamat di depan. Bimbinglah kami di jalan yang lurus ini, wahai, sopir labi-labi, ke Gerbang Darat Pelabuhan Ulèe Lheue. Sekira sekilometer menjelang, papan putih bernuansa kuning di sebelah kanan—di belakang rentang balustrade berupa derai kolom tapal beton yang bersilang dengan sepasang pipa-baja yang terlanjar larat sepanjang jalan—memberikan dukungan dalam merah-hijau empat baris pesan: “Jauhilah minuman yang memabukkan, puncak segala kejahatan.” Si Pengalamat pesan meninggalkan stempel jati dirinya dalam logo putih-hijau-kuning—dan dua baris label dalam warna langit-biru yang teduh: “Pemerintah Aceh, Dinas Syariat Islam.”

“Sadar, kalau tak ada duit,” kata Pak Baihaki lagi.

Mereka kembali tertawa.

Loud, heap miseries upon us yet entwine our arts with laughters low!

Ha he hi ho hu.

Mummum.

Muncul sekonyong-konyong dari arah lorong di sebelah kiri anjungan, Pak Kefli datang melenggang dan langsung mengambil ancang-ancang untuk angkat bicara. Dia sudah tidak bertelanjang dada lagi; kini dia mengenakan kaos tanpa-lengan yang berwarna putih—atau, lebih tepatnya, barangkali, yang memberikan indikasi bagi inferensi visual bahwa pada satu ketika di masa lampau, kaos itu berwarna putih. Ya. Hukum kedua dari termodinamika.

(Sesi diskusi-singkat dibuka.)

CUACA BURUK DAN KMP BRR YANG TERPINJAMKAN: PERIHAL PENUMPUKAN KENDARAAN DI PELABUHAN MERAK, BANTEN, DAN PELABUHAN BAKAUHENI, LAMPUNG

“Itu, antreannya, yang di Merak, masih juga gila, itu,” kata Pak Kefli, seraya berjalan mendekat sebelum berhenti di depan bak plastik warna putih yang disangga rangka besi di depan anjungan. “Sempat sampai tujuh belas kilo lagi, kemarin.”

“Seperti minggu lalu,” kata Pak Yusuf. “Parah.”

“Iya,” kata Pak Kefli. “Sudah berapa lama, ini? Hampir dua bulan, lah. Dari kemarin penyakitnya sama; orang-orang sudah sama paham pula. Tapi begitu lagi, begitu lagi. Heran, aku.”

“Padahal kapal ro-ro-nya sudah ditambah, ‘kan?” timpal Pak Baihaki. “Berapa jumlahnya yang melaut sekarang? Dua puluh lima? Dua puluh enam? Memang belum cukup, lah, buat pelabuhan kayak Pelabuhan Merak. Tapi buat sementara, ya, agak mendingan, ‘kan, dibandingkan kemarin-kemarin yang cuma—berapa?—lima belas? tujuh belas?”

Tujuh belas hari yang lalu, berita mengenai isu ini, dari media, pertama kali saya simak—di Bekasi, sehari sebelum keberangkatan saya ke Banda Aceh. Ratusan, mungkin lebih, truk angkutan barang terlihat terjebak kemacetan di depan gerbang Pelabuhan Penyeberangan Merak, dan antreannya memanjang ke belakang mengokupasi penggal ujung dari ruas jalan tol Jakarta-Merak. Truk-truk itu terhenti, menunggu, berdempetan sisi ke sisi, kepala ke ekor, ekor ke kepala. Sampai-sampai, kelihatannya, sulit bagi para sopir dan kernetnya untuk membuka pintu depan. Dan mereka terperangkap seperti itu sampai berjam-jam. Atau bahkan, kalau tidak salah, sempat hingga lewat hari berganti. Yang langsung terbayang oleh saya: Para sopir dan kernet truk-truk itu—bagaimana kalau mereka hendak pipis? Jangan-jangan, mereka harus keluar lewat jendela pintu depan, lalu memanjat ke atas truk. Dan di situlah mereka, sambil berdiri, pipis dengan seleluasa-leluasanya. Dari ratusan truk yang terjebak kemacetan, berapa orang sopir atau kernet yang mungkin akan bertindaklaku seperti ini? Kalau jumlahnya tak lebih dari dua puluh empat—ups! sebentar; bukan dua puluh empat, tapi dua puluh dua—saya bisa menamai mereka satu persatu sebagai Tuan Gamma, Tuan Delta, Tuan Epsilon… terus sampai, terakhir, Tuan Omega. Lebih dari itu? Waduh, sepertinya saya harus mengganti sistematika penamaan menjadi deret nomor seri, tuh. Apa begitu, ya, rasanya memerintah?

Pemerintahan, birokrasi, sistem administrasi, manajemen. Semua hal niscaya itu telah memetakan, dan secara tak terelakkan juga memperlakukan, individu-individu—dengan nama, wajah, aspirasi, emosi, dan kisah hidupnya masing-masing yang unik dan berwarna-warni—sebagai tak lebih dari deretan angka, huruf, dan aneka indeks, ikon, atau simbol lain, yang sama sekali kering-makna, kecuali sebagai titik-simpul operasional dalam jejaring sistem data yang serba-mekanistik dan serba-prosedural. Oke. Barangkali memang itu harus kita bayar sebagai ongkos kemoderenan. Tuntutan rasional dari perkembangan masyarakat yang kian kompleks. Tapi apa, dong, imbalannya? Profesonalisme. Efisiensi. Keandalan. Pelayanan-publik yang bermutu prima. Nah, bila para pemegang kuasa dan para pengemban wewenang tata-kelola peri-kehidupan publik enggan mengambil pendekatan personal dalam menjalankan tugas mereka melayani publik dengan alasan impersonalitas sistem, tetapi ternyata juga jeblok dalam urusan profesionalisme— Dalih apa lagi, sih, yang akan dimunculkan juga?

Saya berjalan ke arah anjungan untuk menyimak obrolan para pelaut itu lebih dekat. Lalu saya duduk di tepi kepala-palka di dekat tumpukan dua ban bekas yang menyangga bagian ujung dari lengan-derek: di depan Pak Baihaki dan Pak Kefli. Tapi komentar pertama yang muncul setelah itu adalah dari Pak Yusuf yang kini berada di samping belakang saya. Dia berkata:

“Yang kudengar—ini kata mereka, ya—macet yang sekarang ini sebabnya lebih banyak karena cuaca buruk. Lebih parah dari biasanya, mereka bilang.”

Saya menengok ke kiri ke kanan. Para pelaut itu tampak tersenyum.

Pak Yusuf kemudian mengangkat gulungan tali yang telah dirapikannya, dan membawanya ke pojok kanan di belakang ruang-akil. Di atas tumpukan dua buah ban bekas di sana, dia kemudian menaruhnya. Setelah itu, Pak Yusuf tampak membalikkan badannya, melangkah ke arah tiang kapal, membungkuk, dan akhirnya berjongkok di hadapan blok-blok mesin yang mengampu sistem derek. Sejurus kemudian, dia tampak larut dalam pekerjaannya memeriksa salah satu sistem-komponen vital dari kapal kargo ini.

“Itu, Kalibodri rusak, kemarin, itu,” kata Pak Kefli. “Belum bisa dipakai lagi, katanya. Ah, lagi pun kecil, itu kapal, aku bilang. O, ya. Tapi ada kapal kita juga, ya, yang dikirim ke sana?”

“Iya, lah,” kata Pak Baihaki. “Mana ada kapal dari tempat lain namanya KMP BRR?”

“Ini, kalau nanti sampai tak dikembalikan, orang Aceh bisa marah, ini,” kata Pak Kefli. “Kita juga kekurangan kapal, di sini.”

Mendengar kata “BRR”—“Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi”—saya kembali diingatkan kepada peristiwa Gempa dan Tsunami 2004. Saya pun mencoba menanyakan, kepada Pak Baihaki dan Pak Kefli, satu dua hal mengenai peristiwa itu. Mereka menjawab dengan lugas dan tenang—nyaris tanpa percikan emosi. Sedikit mengejutkan, bagi saya. Reaksi Pak Baihaki dan Pak Kefli ini sama sekali berbeda dengan reaksi dari orang-orang yang saya temui di Kota ketika saya mengajukan pertanyaan serupa. Pada tatapan mata orang-orang yang saya temui itu, jejak-jejak luka dan trauma masih tegas membayang, meskipun telah lebih dari enam tahun mahabencana itu berlalu. Dan, memang, sebagian besar dari mereka telah kehilangan, paling tidak, satu anggota keluarganya. Ya, dan ada di antara mereka yang tertinggal sebatang kara; semua keluarga dan kerabatnya hilang atau ditemukan tak bernyawa.

Tetapi rasanya tak terlampau sukar untuk menebak alasan di balik reaksi dingin dari kedua pelaut ini. Mereka berdua sama-sama berasal dari Sabang. Palung-palung dalam di lepas pantai Pulau Weh, khususnya di sekitar Sabang, telah meredam gelombang tsunami yang datang saat peristiwa enam tahun lalu itu terjadi. Sehingga barangkali dapat dikatakan, bahwa Sabang beruntung, terhindar dari bencana. Di hari-hari Tanggap Darurat pasca peristiwa Gempa dan Tsunami 2004, saat Pelabuhan Ulèe Lheue ini rusak berat, Pelabuhan Balohan di Sabang menjadi salah satu titik pangkalan utama bagi penyebaran bantuan. Semua kerabat Pak Baihaki dan Pak Kefli selamat, sepertinya. Syukurlah. Barangkali bukan saja tak tepat untuk mengkategorikan mereka sebagai penyintas Gempa dan Tsunami 2004, tetapi juga bahwa mereka sama berjaraknya, secara emosional, terhadap tragedi besar yang terjadi enam tahun yang lalu itu, seperti halnya saya. Meskipun begitu, dalam banyak hal mereka tentu saja lebih paham akan bencana itu, karena mereka praktis tinggal di tengah-tengah medan peristiwa.

Maka setelah menyimpulkan seperti itu, saya kira saya tak lagi merasa heran ketika saya melihat bahwa Pak Baihaki dan Pak Kefli, ketimbang mau diajak bersentementalia mengenang sisi-sisi tragis dari bencana, tampak lebih bersemangat tatkala mereka diminta untuk mengungkapkan pandangan mereka atas beberapa sisi kritis menyangkut penanganan bencana.

“Kalau kita tengok di Malaysia itu,” kata Pak Baihaki, “mereka itu ‘ngurus korban jauh lebih bagus. Padahal, di sana itu, tak ada bantuan dari luar. Tiap korban dikasih rumah; rumahnya juga bagus, tak seperti yang di sini. Dikasih perahu pula. Duit pula, sampai lima puluh juta.”

NYAMUK MAKAR KELAMBU DIBAKAR, DAN RENCONG SEBAGAI KATA-AKHIR UTANG-PIUTANG: PERIHAL LINGKARAN KEKERASAN DI HARIBAAN TANAH-NAN-INDAH

“Tapi buat urusan fasilitas umum, lumayan, lah,” kata Pak Kefli. “Ini, pelabuhan, sudah bagus, ‘kan, ini. Cuma, ya, itu. Kalau kemacetan di Pelabuhan Merak itu tak juga beres, lantas kapal kita tak kembali ke sini, orang Aceh bisa marah, lah. Mana sedap, ‘kan? pelabuhannya sudah bagus, tapi kapalnya kurang.”

Lalu saya memberanikan diri untuk kembali ikut nimbrung:

“Ini, pelabuhannya, baru, ya, Pak?”

“Baru,” kata Pak Kefli. “Yang dulu itu rusak.”

“Karena tsunami, ‘kan?”

“Bukan. Sebelumnya. Waktu Tsunami itu, juga sedang dibangun lagi, itu. Sebelumnya rusak dibakar.”

“Dibakar?”

“Ya, itulah, aku bilang,” kata Pak Kefli. “Kalau kesal sama nyamuk, jangan bakar kelambu. Kalau bilang kesal sama Pemerintah Pusat, kita semua juga kesal sama Pemerintah Pusat. Tapi pelabuhan ini ‘kan punya kita juga, ini.”

“Kita ini, orang Aceh,” kata Pak Baihaki, “mungkin terlalu pendendam. Urusan utang-piutang pun pakai rencong. Kalau laki-laki lain ganggu istri kita sampai main gila, bolehlah, rencong keluar. Ini utang-piutang! Soal utang-piutang, Negara pun ‘ngutang.”

Pak Baihaki kemudian berhenti sesaat. Lalu dia meneruskan perkataannya dengan memberikan sedikit ilustrasi:

“‘Begini, Bang. Tak elok, lah, kita ribut di sini. Kita cari, lah, tempat yang enak. Sekarang, begini: Abang pulang bawa barang, aku juga pulang bawa barang.’ Terus, ya, begitulah. Rencong kiri kanan. Habis itu: ada yang lehernya putus, lah,… yang dadanya tembus, lah….”

Lintasi jembatan pendek di atas Krueng Daroy. Siang menjelang sore. Kemarin. Dua pilar batu bermahkotakan kubah hitam berdiri bergelimang sinar matahari—matahari yang sama dengan yang berpijar di langit di atas gerbang utara Baiturrahman, sinarnya jatuh menembus sela-sela dedaunan di puncak pohon geulumpang (O, biarkan Putröe Pucôk melangkah dengan riang di atas tanah Aceh nan indah ini, Teuku.)—juga matahari yang sama dengan yang berpijar di langit di atas hamparan lahan di belakang Museum Tsunami, sinarnya jatuh mengguyur batu-batu yang tersempalai (O, akan halnya apabila hati ini yang mati, bagaimana kita dapat berziarah, Paduka?). Pohon-pohon rindang di sebelah kiri berleret di tepi barat Krueng Daroy, daun-daunnya rimbun dan hijau, berbalas hijau dengan barisan papan reklame berinskripsikan Asmaulhusna di sebelah kanan, berendeng memanjang mengitari benteng Meuligo. Papan putih, khath-tsulutsi kuning. Bingkai dan tiang hitam. Berbaris memutar dari Jalan Sultan Alaidin Mahmudsyah hingga Jalan Japakeh, Jalan Nyak Adam Kamil 1, dan Jalan Teungku Sulaeman Daud.

Lewati gerbang, pintu terali besi hitam, yang terbuka. Dua tugu batu putih menyambut di depan, bergaya modifikasi sikhra Jaina. (O, apalah makna anjaya bagi samaya. Setelah dukhha dan anicca, nyatanya kita hanyalah anattā.) Sebatang perdu meranggas—di dekat tiang putih; saudade di setiap gugus jejatuhan daun-daunnya. Luröh meususôn, meususôn, yang mala-mala. Bangunan balai astaka, yang didominasi warna kuning-melur, warna pasir-gurun, dan warna mawar-teh, berdiri di tepi selatan pekarangan, nun di ujung kanan, berhalamankan hamparan teras keramik berwarna senada, dengan jalan masuk, ke dalam balai, yang dikawal oleh pohon-pohon gelodokan-tiang, tiga sebanjar di kiri, tiga sebanjar di kanan. (O, bagaimana seharusnya hamba mengais kata, Paduka—dari kemilau mewangi setanggi, madah Syamsuddin Pasai, Hamzah Fansuri, dan Nuruddin Ar-Raniri; dan dari pelalau bertajin membacin, risalah Augustin de Beaulieu, William Nichols, dan Cornelis Comans?) Dan prasasti dan lampu taman. Dan di dekat sini, selarik di kiri, selarik di kanan, relik-relik artileri, masing-masing unit bertengger di atas dudukan beton cetak putih, berjejer di sepanjang tepi lahan pekarangan di samping pagar.

Otot kawat tulang besi dari masa lalu. Abad tujuh belas yang menahbiskan gelanggang hingar-bingar percaturan kuasa di Selat Malaka—dengan kidung keramat saga negeri dan baiat agung kitab suci. Bumi diisbatkan untuk terpilah dan dititahkan untuk memilih: darussalam, atau darulharb. Genderang Ibrahim Khailil bertalu. Genta Cakradonya bergerentang. Sandingi tandak mandam masyarakat konsumen dunia—dari London dan Lisboa hingga Amsterdam dan København hingga Paris dan Madrid hingga Genoa dan Köln hingga İstanbul dan Hormuz hingga Gujarat dan Goa hingga Malaka dan Kutaraja hingga Guangzhou dan Edo. Malar. Dengan segala perangai ganjilnya. Ya. Sir hayati nyatanya lebih derana bertunggang harawan. Gaya hidup yang bertren dan berkonjungtur. Hasrat insani yang terus-menerus malihwarni: emas, perak, rempah-rempah, katun, sutera… segalanya berlonjaklontar dan bakupicu. Para orangkaya bersaing tak henti-henti. Harta-benda terhimpun terurai, terhimpun terurai. Dinasti-dinasti tampil dan tumpas, tampil dan tumpas. Manusia-manusia dipertuankan diperhambakan, dipertuankan diperhambakan. Realpolitik. Intrik. Muslihat. Tipu daya. Pengkianatan. Kudeta. Nusantara kian mengambekparamartakan takhta. Raja-raja berjaya. Ternate. Makassar. Banjarmasin. Mataram. Banten…. Di sini, di antara Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan, pesisir Pulau Sumatera dan pesisir Semenanjung Malaya gemetar maras mendengar satu nama: Kesultanan Aceh. Bahkan kekuatan-kekuatan penjelajah Eropa harus berhitung keras untuk sekadar mengamankan, apalagi mengukuhkan, posisi mereka. Portugis di Malaka. Belanda di Batavia. Inggris di Jambi. Diplomasi menjadi sangat pelik dan rawan. Pusat-pusat niaga yang kekuatan politik dan militernya getas terperangkap. Tiku, Pariaman, Indragiri, Johor, Kedah, Pahang. Di antara degam meriam, derap gajah di ladang pisang, guntak tombak dan dentang parang, pasukan infanteri mara berempak. Kapal-kapal tenggelam, rumah-rumah runtuh, kebun lada terbakar. Mayat-mayat bergelimpangan….

Papan geladak berderit. Pak Kefli dan Pak Baihaki bergerak membenahi posisi berdiri mereka, seiring percakapan mereka yang bertariklanjut. Terdengar lagi kecipak dan debur air laut di belakang—dari para anggota tim SAR yang tengah melangsungkan sesi pelatihan mereka. Di haluan, tampak Pak Yusuf berbicara kepada Pak Rusli yang berjalan menghampiri; Pak Rusli memegang lembar plastik warna biru di tangannya.

Pojok barat-daya Blang Padang. Enam jam sebelumnya. Terlihat sebagai latar, dari bawah naungan lambung-depan bercat-biru relik pesawat Douglas DC-3, Dakota, langit pagi Banda Aceh tampak cerah. Udara mulai terasa hangat. Dari timur ke barat, sinar-matahari yang lembut-lipu-benderang jatuh bersimbur di sekujur tubuh si Relik Pesawat: dari inskripsi “RI-001” di atas logo Bendera Merah Putih di bagian ekor pada arah selatan, hingga inskripsi “INDONESIAN AIRWAYS” di atas deretan jendela di bagian badan pada arah utara. Pilar prisma berpenampang alas segilima tegar menyangga. Prasasti bertahun 1984 pada bagian depannya melabelkan, “Monumen Perjuangan RI-001 ‘Seulawah.’” Dibeli dengan keringat dan kesetiaan, untuk disumbangkan dengan berserah hormat dan bertaruh harapan—oleh rakyat, demi sebuah cita-cita. Didukung oleh emas Kesultanan. Mungkin dikirimkan lewat deru angin, oleh Raja Rum, Iskandar Dzulqarnain. Mungkin diwarisi dari zaman ke zaman, dari baitulmal istana Nabi Sulaeman. Aceh. Daerah modal. “Itu kunci kereta tertinggal di sana. Siapa punya?” Nun di depan sana, di sebelah kanan, menara pemancar RRI Banda Aceh terlihat berdiri menjulang, mencuar dari balik pohon palem pada arah yang tepat di sudut yang menyiku di antara sisi-selatan dan sisi-barat Blang Padang. O, dengarlah derap langkah kaki—dari beribu anak kandung Republik ini, yang meninggalkan Tanah Rencong menuju Sungai Ular, untuk berjibaku di Medan Area.

Deretan pepohonan mengelilingi keempat sisi Blang Padang. Dan di balik hijau rimbun daun pada sisi di sepanjang Jalan Prof. Abdul Majid Ibrahim, tampak berdiri tegak, bangunan beratap merah berdinding putih: Rumah Sakit Ibu dan Anak. Berapa jam Anda menempuh perjalanan dari Bireun, Teungku? Dan berapa malam Anda menginap di selasar? Di Kantor Komnas HAM, hampir tiga belas tahun yang lalu, dua orang janda dari Cot Keng, Pidie, yang diantar ke Jakarta oleh Farida Ariani, duduk tertunduk. Mereka memang bukan Cut Nyak Dhien dan Keumalahayati. Masing-masing suami dari kedua mereka terbunuh pada masa DOM. Munir duduk tegak di samping mereka. Dia mengangkat kepalanya, dan menatap lugas ke arah kamera para wartawan. “Kekerasan telah mengubah karakter masyarakat Aceh secara mendasar.” Kedua perempuan itu turut mengangkat kepala mereka. Ada seribu, dua ribu, tiga ribu… ibu seperti mereka. Ada empat ribu, lima ribu, sepuluh ribu, sebelas ribu… anak-anak yang menjadi yatim seperti anak-anak mereka. Dan ada sejumlah tak terhitung kisah yang menyayat hati dan yang tak tertanggungkan nurani. O, dan bahwa setelah sekian lama, sesungguhnya, semenjak dengan sepenuh benci kita membunuh ratusan ribu manusia, mereka yang bagi kita tak pernah lain daripada saudara, pada dan atas nama Sembilan Belas Enam Lima, dapatkah kita berdiri tegak di depan kaca?—tak hitungkanlah lagi untuk kemudian bertanya, seperti Chairil bertanya, “Ini wajah penuh luka. Siapa punya?”

Papan geladak berderit lagi. Lalu, “prak, prak, prak….” Lalu kemilau, lalu redup, lalu kemilau lagi: kemilau di seberang gelap.

Matahari meninggi. Pelataran terbuka di tengah Taman Kota dibanjiri limpahan sinarnya—yang terik dan menyilaukan. Panas dari paving block terasa menembus alas sandal-jepit, dan sampai di telapak kaki. Di depan, di atas dua undak hamparan tanah yang ditinggikan, berdiri sebuah tugu setinggi sekira dua depa, berarsitektur moderen. Dari bawah ke atas: balok batu hitam dengan sebentuk entablatur, di bagian atas, dan kolom berkaki, di bagian samping, yang menganjur ke depan; disusul melebar oleh sebentuk kanopi beton berwarna putih—yang menyerupai sebuah tabouret persegi, yang simplistik, berkaki pendek, dan menggantung; lalu disusul menirus oleh empat pilar balok beton berwarna kuningan-kuna, dalam formasi empat sudut bujursangkar, dengan tiga bilah balok mendatar, berwarna senada, yang berkesan menembus badan tugu pada bagian bawah dari empat pilar ini; lalu disusul menirus lagi oleh balok beton putih; dan berdiri tegak menjulang, berpangkal di bilah-bilah balok mendatar, berujung di puncak tugu yang berbentuk lempeng persegi mendatar berwarna putih, adalah batang tugu, yang berkesan membentuk persilangan tegak lurus dari dua balok beton putih—seolah-olah menembus terusan pilar balok batu hitam, yang mencuat tegak dari balok batu hitam yang mengampu di dasar tugu. Rimbun pepohonan di sepanjang Jalan Abdullah Anjung Rimba terlihat menghijau di latar-belakang. Awan putih tipis berpencar di langit biru.

Lewati jalan di antara dua pot tanaman. Anak-anak tangga dari susunan batu-batu hitam pada undakan pertama membimbing langkah kaki ke arah tugu. Satu… dua… tiga…. Plakat merah dalam bingkai beton putih tampak tersematkan pada balok batu hitam. Garis konsentrasi, tiang-tiang telegraf, rel kereta-api—simbol-simbol invasi Belanda sejak 1873—dihancurkan oleh pasukan Teungku Cik di Tiro. Empat… lima…. Relief teks dalam huruf-huruf kapital dan berwarna putih jelas terbaca. Bukittinggi menantikan Teuku Nyak Arif dan Daud Beureu’eh. Enam… tujuh…. Anak-anak tangga pada undakan pertama berakhir di sini. Pemerintah Orde Baru praktis menihilkan pengakuan atas status Provinsi Aceh sebagai daerah istimewa. Merandai ke depan, ke arah undakan kedua. Anak-anak tangga dari susunan batu-batu hitam berikutnya mengantarkan langkah kaki langsung ke hadapan tugu. Hitam. Hitam. Hitam. Bingkai beton putih pada plakat merah tampak terkoyak di sebelah kiri bawah. O, betapa mahal harga persilangan wajah di busur tikungan Taman Putröe Phang. Satu… Mayat-mayat korban kekerasan Negara: dikuburkan serampangan. Disangkal keberadaannya. Baharuddin Lopa menyeka keringat di wajahnya. Katanya: “Cukuplah sebagai contoh kebenaran….” Dua… Mayat-mayat terserak dan darah tercecer di halaman pesantren Babul Mukarramah. Beutong Ateuh. Mayat Teungku Bantaqiah dan lima puluh enam orang santrinya. Mereka diambil dari kediaman mereka. Dikumpulkan di sana. Ditembak mati…. Tiga… Mayat-mayat dari orang-orang yang diculik dan dibunuh di Idi Cut. Diangkut dengan truk. Dilemparkan ke sungai dari atas Jembatan Arakundo….

Byur!

Terdengar lagi bunyi debur; tampaknya seorang anggota tim SAR meloncat dari buritan Kapal Basarnas ke laut ceruk Pelabuhan yang, sampai saat ini, kecuali untuk aktivitas para anggota tim SAR itu, tetap hening. Lalu terdengar bunyi kecipak, lalu bunyi debur lagi. Lalu suara perbincangan mereka lagi, yang sesekali bereskalasi menjadi seru dan pekik.

Berapa banyakkah jiwa yang harus terbungkam, raga yang harus terusir, nyawa yang harus terampas, agar tanah di penggal terutara Pulau Sumatera ini menjadi Aceh? tanah di Kepulauan Nusantara ini menjadi Indonesia? O, betapa telah lebih banyak dari terlalu banyak….

Ketika saya mengangkat kepala, di depan saya terlihat hanya ada Pak Baihaki yang masih berdiri dan bersandar kepada tangki plastik warna biru. Untuk kedua kalinya, saya tidak mengerti bagaimana Pak Kefli bisa tiba-tiba menghilang. Tapi kali ini saya kira saya sudah merasa terbiasa dengan elusivitas sosok mitologis yang satu ini. Namun demikian, tak urung saya terperanjat dan langsung berdiri, ketika Pak Kefli kemudian muncul dari arah lorong di sebelah kiri anjungan, seraya dengan bersegera menyampaikan sebuah kabar:

“Itu, kapal feri yang dari Sabang sudah datang!”

(Sesi diskusi-singkat ditutup.)

00:30:

Terlihat muncul dari balik lorong-gelap-arah-kimbul pada sisi-kiri anjungan Kapal Surya Indah II, sebuah kapal feri meluncur menuju pantai Pelabuhan—melaju di sepanjang sisi-dalam dari lengan-daratan, di sebelah selatan. Lambung-bebasnya yang berwarna biru donker tampak membujur: menjalar horizontal di atas muka laut pada sepanjang badan kapal mulai dari bagian buritan, lalu melengkung naik di bagian depan, bersambung dengan bagian ujung haluannya yang merupakan sebuah apron ramp, yang menganjur cukup terjal ke atas. Suprastrukturnya terdiri dari tiga lantai, kelihatannya; seluruhnya bercat putih. Lantai teratasnya untuk para kru; lantai tengah untuk para penumpang; dan lantai dasar untuk kendaraan-kendaraan. Barangkali. Ya. Ini adalah sebuah kapal ro-ro. Jendela-jendela persegi terlihat berderet pada dua lantai teratas. Sedangkan di bagian samping-kanan dari lantai dasar, terdapat lubang-lubang besar berbentuk persegi: tiga menyerupai jendela, tiga menyerupai pintu.

00:36:

Apakah pintu-belakang labi-labi Bang Marwan masih terkunci?

00:39:

Sebaris tulisan berwarna merah terpampang di dinding-samping suprastruktur Kapal Feri. Saya mencoba membaca tulisan itu…. Hm. Tak jelas.

00:45:

“Ah, paling juga pasang purnama.”

00:48:

Kapal Feri terus melaju melintasi deretan pepohonan di atas lengan-daratan di sayap-selatan Pelabuhan. Jejak buihnya yang memutih terlihat semakin panjang, berlarat di atas permukaan air.

01:02:

“Air! Air!” Setinggi dua batang kelapa, katanya.

01:18:

Laju Kapal Feri terlihat melambat. Kini ia tampak hampir tepat tegak lurus dari arah samping. Dua apron-ramp-nya terlihat menjungkar: satu di haluan, satu di buritan.

01:29:

Yang besar kelas dua SD, dituntun ibunya. Yang kecil masih di TK, digendongnya.

01:35:

Langit selatan terlihat biru cerah di atas, namun awan putih menebal di kakinya, menyelimuti Gunung Seulawah Agam, di sebelah kiri, dan deretan gunung-gunung lainnya, di sebelah kanan. Ya. Semuanya berada di wilayah Kabupaten Aceh Besar.

02:01:

Laju Kapal Feri terlihat kian melambat….

02:12:

Saya mencoba lagi untuk membaca tulisan dalam huruf-huruf merah di dinding-samping suprastruktur Kapal Feri…. Hm. Masih juga tak jelas. Yang terlihat jelas adalah struktur anjungan—yang tampak menyerupai anak-anak tangga, berundak-undak dari bagian buritan ke atas dan ke depan: geladak-kimbul, naik ke geladak-jembatan, naik lagi ke geladak-sekoci….

02:37:

Di rumah tetangga, di depan anak tangga menuju lantai dua: di situ terakhir kali mereka—

02:44:

Meski perlahan, sudut pandang terus bergeser. Yang terpapar kepada arah sini sekarang adalah tampak-samping yang agak memutar, memperlihatkan bagian belakang kapal. Buritan Kapal Feri menjadi terlihat lebih jelas. Laju si Kapal terlihat kian melambat, dan kian melambat lagi….

02:58:

It is not in the storm nor in the strife
We feel benumbed, and wish to be no more,
But in the after-silence on the shore,
When all is lost, except a little life.

03:16;

Dermaga di sayap-selatan Pelabuhan kini sudah sangat dekat di hadapan Kapal Feri. Laju si Kapal terlihat menjadi sangat pelan; ia tampak nyaris tak bergerak.

03:37;

Kabar dari Bangkok, empat tahun yang lalu: “Keluarga hilang. Orang-orang hilang. Musuh juga hilang. Apa guna lagi berperang?”

03:45;

Kapal Feri terlihat merapat pada dermaga, di hadapan struktrur gantry berwarna kuning yang berdiri menjulang.

04:04;

Jangkar. Tipe old fisherman’s. Tergeletak di dekat dinding-belakang ruang-akil. Cincin-gesper, pangkal baur-tegak, satu ujung baur-palang, dan satu ujung lengannya, terpacak di atas papan geladak; mahkotanya membusur ke samping atas; satu sirip-kailnya terlihat menelungkup, dan di paruh-polongnya, tersangkut, sepotong kain berwarna putih: kumal, lunglai, bergumpal, berjuntai.

04:17:

Apakah selama ini kita juga sebenarnya sudah masuk jerat jala nelayan? Tinggal diciduk saja sewaktu-waktu, kapan dia mau. Kata siapa? Turgenev. Ya. Smert’, kak rybak. And we’re just poor lost fish swimming in a soul bowl.

04:26:

Kapal Feri tampak tak bergerak lagi. Ia telah benar-benar berhenti, sepertinya. Kini ia bersiap-siap untuk menurunkan tangan apron-ramp-nya ke depan, berjabatan dengan uluran tangan dermaga dari Pelabuhan….

Tangan Hamid Awaluddin. Tangan Tgk. Malik Mahmud. Tangan Martti Ahtisaari. Tangan seorang prajurit TNI yang menggendong keluar sesosok anak kecil dari dalam labi-labi yang terjebak dan terseret arus tsunami. Tangan seorang kombatan GAM yang meletakkan senjata di atas meja, kali ini dengan kepercayaan bahwa konflik bersenjata dapat, hendak, dan harus, diakhiri. Tangan-tangan para anggota tim pencarian dan penyelamatan, serta para relawan, yang mengangkat jenazah yang tersempalai di antara puing-puing dan reruntuhan, terserak di sana-sini. Tangan-tangan para pekerja kemanusiaan, serta tenaga medis, yang membangun pusat-pusat distribusi bantuan serta tenda-tenda pengungsi, dapur umum, pos-pos layanan kesehatan, unit-unit layanan konseling, dan simpul-simpul layanan informasi. Tangan-tangan tenaga ahli dan para teknisi, dari beragam bidang—konstruksi, mesin, listrik—yang merancang, merangkai, menyusun, dan memelihara sarana serta prasarana vital agar aktivitas keseharian dapat berjalan normal kembali. Tangan-tangan yang mengulurkan bantuan, dukungan, doa, dan empati, dari pelosok-pelosok negeri. Tangan-tangan yang tetap terulur untuk terus membuka kontak dan membangun komunikasi setelah JUHP dan CoHA tercabik-cabik, dengan kesadaran bahwa segala upaya menuju perdamaian tak boleh berhenti. Tangan-tangan yang menyiangi jalan lapang dari Helsinki, menjaga dan membebaskannya dari dendam dan benci….

Ketika saya menurunkan tangan dan membalikkan badan, saya melihat keempat tuan-rumah saya—dua berkumis, dua kelimis—tampak tengah berkumpul di depan anjungan. Pak Yusuf duduk di atas tangki plastik warna biru, bersandar kepada dinding-depan anjungan. Di depannya, Pak Rusli duduk di tepi-depan kiri, dan Pak Baihaki berdiri di sisi-depan kanan. Pak Kefli berjongkok di tepi-belakang kepala-palka, menghadap ketiga rekannya. Mereka tampak asyik mengobrol dan bersenda gurau.

Saya berjalan melintasi jalur geladak di depan mereka, dan duduk di tepi-kanan kepala-palaka untuk menguping perbincangan para pelaut ini. Tapi kemudian Pak Kefli malah berpaling ke belakang, menengok ke arah saya. Lalu dia bertanya:

“Pernah ke Sabang?” katanya, sambil memutar posisi berjongkoknya.

Saya menggeleng.

“Cobalah,” saran Pak Kefli. Dengan ramah. “Cantik, pantainya.”

Apakah secantik dara manis yang berselimut kelambu? Lebih cantik dari kapal yang pergi dan pulang?

“Pergi pagi pulang sore juga bisa. Tapi buat apa kalau tak ‘nginap. ‘Nginap sehari, lah. Losmen, enam puluh ribu. Yang lebih murah, tiga puluh lima ribu. Tapi yang tiga puluh lima ribu itu AC-nya kurang dingin. Tak nyaman, lah. Atau malah cuma pakai kipas angin. Ada juga yang lebih mahal. Yang delapan puluh lima ribu, yang seratus ribu. —Ya… yang enam puluh ribu, lah. Cukup, itu. Pergi: naik kapal cepat,” Pak Kefli lalu menoleh ke arah Gerbang Laut Pelabuhan, “seperti yang itu”—Kapal Express Bahari 3B masih bersandar di situ—“atau Pulo Rondo yang tadi. Itu, ya. Pulang: naik feri lambat seperti yang itu,” lanjutnya, sembari bangun dari posisi berjongkoknya untuk berdiri, lalu menunjuk kapal feri yang baru tiba beberapa saat yang lalu—dan yang kini terlihat masih merapat pada dermaga di sisi-selatan Pelabuhan. “Pakai kapal cepat, empat puluh lima menit juga sudah sampai. Feri lambat, dua jam, lah.”

Seraya berdiri, Pak Kefli memajukan kedua tangannya, dan menahannya setengah tengadah di depan perutnya, seperti hendak menyangga sesuatu.

“Nanti pulangnya bawa oleh-oleh: lumpia khas Sabang,” katanya. Di atas kepalanya, tampak serangkaian huruf-huruf merah membusur, “SURYA INDAH.”

“Lumpia, ya,” gumam Pak Yusuf, lebih mirip ditujukan kepada dirinya sendiri. “Bagus, lah. Sabang punya satu kue khas. Medan ‘kan kuenya campur-campur.”

“Ya, campur-campur, lah,” tukas Pak Baihaki sambil tersenyum dan menoleh ke arah Pak Yusuf. “Ada tepung, telur, gula….”

“Ongkos kapal, losmen, makan, oleh-oleh—tak sampai tiga ratus ribu; empat ratus ribu, lah, paling mahal. Terjangkau, aku bilang,” kata Pak Kefli, melanjutkan eksekusi misi promosi wisata Sabangnya dengan mengikhtisarkan rekapitulasi.

“Ya, kecuali kalau mau pakai teman tidur,” kata Pak Kefli lagi. “Tapi tak harus keluar duit banyak juga. Tiga ratus ribu, dapat, lah.”

Topi hitam Pak Yusuf terungkit. Kumis Pak Baihaki merentang. Sepatu bot Pak Rusli untang-anting. Para pemilik artikel-artikel termaksud, masing-masing berturut-turut, sama-sama menyeringai.

“Tapi jangan kau bilang ‘l*nte’!” setengah meledak, Pak Kefli menambahkan. “Bilang saja ‘guling bernyawa.’ Atau ‘selimut yang bisa jalan-jalan.’ Iya, ‘kan?”

Jiwa yang lelah, raga yang sangsai, tiba-tiba mendapat tempat tambat di pantai binar mata—dan senyum manja menggoda. Kemudian terbentang di hadapan: hamparan lembut daratan keramat yang tak terpetakan peradatan. Detak jantung dan desir darah berbakulapis dalam tekstur waktu, menganggit irama hasrat. Semalam, kemarau panjang tergopoh-gopoh menuliskan obituarinya sendiri—di kering lumut batu dan kuning kembang ilalang. Hujan deras tadi pagi memandikan lembah sunyi dengan semai-wewangi hijau dedaunan: johar, nangka, bungur, tanjung, mahoni, bugenvil…. Detik demi detik terurai. Memiuh, lalu membeku. Seperti berahi berabad lalu yang berjingkatselinap dari bibir sungai. Untuk memetik daun inai. Di Pintôe Khop. Lintas berabad peristiwa mampat dalam sekejap; denyut berpulun temali-rajut matra maujud di tubuh yang rapuh. Setiap gerak, setiap getar, setiap gelombang, menabalkan diam. Genderang purba yang lindap bertalu, jauh di lubuk laut yang paling biru, perlahan naik ke permukaan, mengapung, berayun, berpuntal-puntal, kemudian terlempar melayang ke langit berbintang, lalu jatuh di ubun-ubun, sebagai serbuan badai-cahaya yang serba-putih, terang memekakkan telinga, sebelum luruh di titik hening dengan dentuman yang kencang, bising menyilaukan mata, ketika desah nafas memijakkan renjana di leliku jalan setapak, mengulir mengikuti lekuk-liku kontur mimpi yang tak lagi ingat bagaimana bersembunyi. Lalu dari celah jendela, semilir angin datang untuk memagut, mengelus, menyibak-nyibak tepi helai kelambu—berubah kencang, menjadi deru, berujung kemelut serupa topan. Tapi bukan, bukan, ternyata bukan dari celah jendela, angin itu datang—melainkan dari arah pintu yang kasip terinsyafi sontak didobrak: Pa! Seperti suara petirnya Giambattista Vico. Dan satu regu Polisi Syariat bergegas turun dari permadani terbang.

Byur!

Satu lagi anggota tim SAR terjun ke laut. Lalu terdengar suara seruan saling bersahut. Sesi pelatihan mereka masih berlangsung, tampaknya.

Prak. Pak Rusli turun dari tangki plastik warna biru. Prak, prung, prak. Sepatu bot Pak Rusli menapaki geladak, prak, prak, prak. Prung, prak. Dari dekat tumpukan ban bekas dan gulungan tali, Pak Rusli mengambil bungkusan plastik warna biru. Prak, prak, prak. Pak Rusli berjalan prak membopong bungkusan plastik warna biru prak melewati tangki plastik warna biru prak menuju lorong prak ke dalam anjungan prak. Prak, prung, prak, prung, prak, prak, prak….

Di langit sebelah selatan, segumpal awan putih tebal berbelintang memebentuk garis lurus, naik dengan kemiringan sekira lima belas derajat dari timur ke barat. Di bawah naungannya, kapal feri dengan sebaris tulisan dalam huruf-huruf berwarna merah pada dinding samping suprastrukturnya itu masih juga tertambat di dermaga. Ya. Tentu saja. Port time. Berapa lama biasanya? Satu jam, minimial. Barangkali. Saya mencoba lagi untuk membaca—kali ini dengan memaksa lensa mata saya untuk berakomodasi seketat mungkin—tulisan di dinding samping suprastruktur kapal feri itu: semuanya huruf kecil: “we bridge the nation.” Hm. Mottonya P.T. ASDP, kalau tidak salah.

Sinar matahari sudah mulai terasa terik. Percikan-percikan putih keperakan dari pantulan cahaya tampak berkelap-kelip di permukaan laut Pelabuhan Ulèe Lheue, ketika saya berjalan, menyisir sisi-kiri geladak kapal ke arah haluan.

Berdiri di belakang tangki plastik warna putih yang berkurung rangka besi, saya memandang ke arah laut di antara Kapal Express Bahari 3B yang bersandar di Gerbang Laut Pelabuhan, agak jauh di kiri depan, dan Kapal Basarnas yang bersandar pada dermaga, dekat di kanan depan. Di belakang saya, senda gurau tiga, dua, tiga, dua, tiga, empat, dua orang pelaut sesekali masih terdengar berlanjut. Di depan, beberapa orang kru Kapal Basarnas tampak tengah khusyuk beraktivitas. Satu orang terlihat sedang berenang, agak jauh ke tengah, dan satu orang lagi, sekira sepelemparan batu dari sana ke kanan, juga terlihat sedang melakukan hal yang sama. Tubuh mereka, dari leher ke bawah, terendam di bawah permukaan air. Sekira sepelemparan batu kemudian lagi ke kanan, pelampung-pelampung berwarna jingga terkembang, ceria, lembam, ganjil, menggelembung, mengapung. Apparent rari nantes in gurgite vasto. Dan air laut jamrud hijau biru indigo. Lebih jauh lagi ke depan: kelabu jalanan pasir-batu yang berdebu. Juga hijau rumpun pepohonan yang bergelimun daun, dan hijau serakan rerumputan yang bersebarkan kabumbu. Modalitas visual adalah ketaksetimbangan termal. Bukan. Modalitas visual adalah efek kuantum. Ah. Grau, theurer Freund, ist alle Theorie. Und grün des Lebens goldner Baum. Hidup. Rumput. Pohon. Laut. Gelombang gemawan anak-anak panah yang berlontaran beruliran. Zitterbewegung. Dan para perenang: seperti cucu-cucu para perantau Arab di tengah banjir Macondo. Kecipak, debur. Kecipak deterministik. Debur probabilistik. Mesin-mesin molekular. Derau putih. Bayangkan sebuah labi-labi yang tegar bertahar di tengah badai dan gempa. Hm. Sepertinya masih ada dua tiga orang lagi; terdengar dari suara mereka. Tapi tak ada sosok-kru lain yang terlihat dari sisi ini karena terhalang oleh Kapal Basarnas….

Tumpukan batu-batu. Kelabu. Memutih dan menguning di sana sini. Feldspar, barangkali. Seberapa tua? Konon, seorang pakar geologi cuma perlu melihatnya dengan mata telanjang, tak perlu laboratorium, untuk membuat taksiran yang lumayan akurat. Putih, kuning, kelabu. Batu-batu itu mungkin tak ada di sana saat Nuruddin Ar-Raniri menyelongkar berlimpap sahifah naskah Melayu untuk menakar riwayat Kesulatanan Aceh. Tapi hikayat geologis batu-batu itu sendiri bisa saja lebih tua dari sejarah. Dan inilah Ulèe Lheue—tempat laut, rumput, pohon, pasir, dan batu menyambut tamu. Selalu. Sejak dulu.

Empat ratus tahun yang lalu, kurang lebih, John Davis juga tiba di sini. Atau, setidaknya, di sekitar sini. Dan satu saat dia berdiri—di tepi pantai, di pangkal-lanjar tanggul batu kala itu—di sisi selatan sana?—atau di sisi utara sini?—entahlah; yang jelas, dia mencatat: “… before this fort is a very pleasant road for ships, the wind still coming from the shore, a ship may ride a mile off in eighteen fathoms, close by in four and six fathoms.” Navigator, dia. Mengukur bintang-bintang yang asing untuk meretas jalan ke negeri-negeri asing. Cara yang aneh untuk merayakan kehidupan. Sezaman dengan John Davis, mungkin cuma selang beberapa tahun, Shakespeare juga menuliskan sesuatu tentang seseorang—yang berjalan di atas pasir kuning di tepi pantai, memandangi laut, dan mendengar senandung garib yang mengalun di awang-awang: “Full fathom five thy father lies. Of his bones are coral made: Those are pearls that were his eyes: Nothing of him that doth fade. But doth suffer a sea-change. Into something rich and strange.” The Tempest. Nyanyian Ariel untuk Ferdinand. Cara yang aneh untuk merayakan kematian.

Where when as death shall all the world subdue,
Love shall live, and later life renew.

Di pantai Ulèe Lheue ini, kematian kadang-kadang datang begitu cepat. John Davis menyaksikan betapa kisah hidup Cornelis de Houtman berakhir tragis di sini; si Kapten itu jatuh tersungkur bersimbah darah, sesaat setelah dia menikmati hidangan makan siang yang mewah persembahan Istana—nasi beras Solok, mungkin; juga siè kameng, pliek’u, dan brandy Nusantara, favorit-instan bule-bule pendatang: arak…. Sebuah serbuan kilat menggempur geladak, menghabisi hampir seluruh kru kapal dari expedisi Zeeland itu tanpa ampun.

Tetapi di pantai ini juga, kehidupan kadang-kadang berjalan begitu pelan. Sultanah Safiatuddin—dia menggelar prosesi perjalanan dengan perahu hias nan rupawan, melintasi Krueng Raya, ke sini. Untuk memancing ikan. Kenduri yang meriah dihelat. Penuh musik dan tari, dan senyum ceria dan tawa canda. Dan jabat-tangan di antara orang-orang yang asing satu sama lain. Pesta pantai ala Bumi Andalas abad tujuh belas. Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn ketiban pulung; dia menerima pemberian ikan hasil tangkapan sang Sultanah.

O, ya. Sultanah Safiatuddin. Dan ingatlah bagaimana dia “memaksa” saudagar permata dari Belanda itu menari. Seisi istana riuh dengan derai tawa dibuatnya. Dan— O, betapa pada hakikatnya sang Sultanah sendirilah yang justru menari. Belanda kini bukanlah Belanda yang mengirim duta mereka untuk menyampaikan surat Pangeran Maurice de Nassau, kepada Sultan Alaudddin Riayat Syah, Sayyid Al-Mukammil, yang ditutup dengan kata-kata, “Hamba mencium tangan Yang Mulia.” Malaka kini jatuh ke tangan mereka. Nusantara kini melihat mereka nyata kian digdaya. Sementara Inggris juga semakin berjaya di Semenanjung Malaya. Dan di dalam lingkaran istana sendiri, faksi-faksi yang diam-diam bertikai tak pernah berhenti saling curiga. Ya. Bèk teuwöe. Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah menari. Seperti Sengeda menari. Duduklah, Bener Meuriah. Duduklah. Ada banyak cara untuk menegakkan marwah. Tanpa harus ada konflik berdarah-darah. Akan halnya putusan untuk Syaikh Abdul Wahab yang menentangnya? Alih-alih memerintahkan penangkapan dan penghukuman, sang Sultanah malah memerintahkan pembangunan rumöh geudöng untuk dihibahkan kepadanya, agar di tempat itu, sang Al-Hadratusysyaikh dapat meneruskan mujahadah keagamaan, ijtihad pengetahuan, dan jihad politiknya. Ah, Putröe Gumbak Meuh. Barangkali permata Aceh yang sesungguhnya….

Hm. Siapa lagi yang datang ke sini dan mencatat—dan kedatangan mereka sendiri juga dicatat? Marco Polo—barangkali tidak. Di Perlak, dia singgah. Ibn Battuta—barangkali juga tidak. Di Pasai, dia singgah. Tomé Pires? Ya. Juga Frederick de Houtman dan François Martin. Juga Laksamana Cheng Ho sekira dua abad sebelumnya. Juga Karl May sekira tiga abad sesudahnya.

Apa sebenarnya yang mereka lihat, mereka dengar, mereka rasakan, mereka pikirkan, ketika mereka tiba di sebuah negeri yang bagi mereka asing? bersua dengan sebuah komunitas, sebuah masyarakat, sebuah bangsa yang asing? dengan pandangan hidup, adat istiadat, dan budaya yang juga asing? Oh, ya. Tentu saja mereka menuliskan semua itu dalam catatan mereka. Oke. Barangkali esensi pertanyaannya harus diubah. Apakah mereka benar-benar dapat memahami apa yang mereka temui itu, sehingga semua hal yang tadinya asing itu akhirnya tak lagi menjadi asing? Ah, tapi apa pula sebenarnya “memahami” itu? Snouck Hurgronje mungkin lebih dari sekadar memahami; dia bahkan telah menjadi seorang pakar dalam hal ini. Barangkali bukan saja esensi, tetapi subjek dan objek pertanyaannya juga harus diubah. Setelah pertemuan-dengan-yang-asing menerbitkan kesadaran akan kehadiran-dari-yang-asing, yang mendesak kita untuk menera-ulang pengalaman, apakah kita bisa melepaskan diri dari kungkungan kecenderungan kita untuk mendefinisikan sesuatu-yang-asing sebagai sesuatu-yang-lain? Rorty barangkali bisa. Sebagian besar dari kita agaknya seringkali lebih mudah untuk, secara tergesa-gesa, kembali jatuh berkubu di balik benteng identitas, dan kembali memandang apapun yang tampak asing dengan teropong prasangka. Terutama ketika kita merasa terdesak atau terancam. Apalagi, tentu saja, kalau kita memang benar-benar terdesak atau terancam.

Seperti John Davis—yang menjadi saksi-mata atas serbuan kilat ke atas geladak armada ekspedisi Zeeland yang dipimpin oleh kakak beradik de Houtman itu: Kapal Leeuw dinahkodai Cornelis, dan Kapal Leeuwinne dinahkodai Frederick. Para kru tak pelak memberikan perlawanan yang tak kalah sengit. Dan korban jiwa pun jatuh tak hanya di pihak yang diserang, tetapi juga di pihak yang menyerang. Cornelis tewas, dan Frederick ditawan. John Davis sendiri lolos dari maut. Tapi dia tak bisa menyembunyikan amarah dan kebenciannya ketika, dalam tulisannya, dia mengumbar ekspresi primitif dari rasa puasnya saat dia melihat, “betapa orang-orang Hindia yang hina itu tumbang, betapa mereka terbunuh dan betapa purna mereka tenggelam….” John Davis datang kembali beberapa tahun kemudian. Tapi barangkali orang-orang “Hindia” yang dia temui itu baginya hanyalah ornamen eksotis dari sebuah kisah perjalanan. Sama-sama eksotisnya, barangkali, seperti halnya bintang-bintang tropis yang dia pandangi, tentu saja, dari jauh—dari jarak yang sangat, sangat jauh. Atau seperti halnya kapal-kapal lain yang datang mendekat, hanya untuk sesaat—yang berpapasan di kala malam dengan kapal yang dipandunya, ketika armada ekspedisinya itu berlayar di tengah samudera.

Ships that pass in the night, and speak each other in passing;
Only a signal shown and a distant voice in the darkness;
So on the ocean of life we pass and speak one another,
Only a look and a voice; then darkness again and a silence.

Dapatkah kita memecah keheningan dengan berbicara? Dapatkah kita membuka dialog yang sebenar-benarnya dialog, bukan dialog yang seolah-olahnya saja dialog, yang pada hakikatnya hanyalah monolog yang saling berbalas? Dapatkah kita menjadi seperti para pelaut—yang dengan ringan meninggalkan pelabuhan yang melenakan, lalu menyongsong ombak dan badai tanpa merasa gentar—dan yang dengan ringan pula menyongsong pelabuhan manapun yang mengulurkan dermaga, lalu tak merasa ragu untuk menautkan temali atau melemparkan jangkar? Dapatkah kita menjadi “Anak Seribu Satu Pulau,” bukan “Anak Satu Pulau Yang Dikelilingi oleh Seribu Pulau Lain di Ujung-ujung Lain dari Jembatan-jembatan”?

We bridge the nation. Jembatan: tangan manusia menumbangkan tirani jarak. Atau justru menegaskan kekasatmataan jarak? Dotting the shoreless watery wild, we mortal millions live alone.

Tiba-tiba saya merasa asing.

‘Cause I’m a lonely stranger here,
Well beyond my day.
I don’t know what’s going on;
I’ll be on my way.

Bapak-bapak, saya mau pamit. Ke mana? Jalan-jalan lagi. Oh, oke. Kapan-kapan main lagi ke sini. Hm. Entah kapan. Terima kasih. Yo. Bersalaman. Bersalaman. Bersalaman. Boleh saya ambil foto? Buat apa, nih? Buat kenang-kenangan saja. Hmm. Okelah. Jepret. Jepret. Terima kasih, sekali lagi. Yo, yo. Hmmm. Pergi. Angkat telapak tangan. Yo. Ya, yo.

Asai hana meunèe. Jak hana meuhöe. Nanggröe hana meupat.

Akulah si Jelangkung Gunung. Datang tak dijemput Panglima Bandar, pulang tak diantar Wakil Furdah. Badanku pikulanku. Sepapa kapar, sepapa sampan nan tiada berampai berma. Kepalaku di cakrawala. Serendah sauh, serendah hilal nan tersiah dari rukyat. Kakiku keretaku. Tanpa batik Mori, tanpa bafta Berotji. Tanganku hampa belaka. Tak ada sirih-pinang tunaikan adat-cap, tak ada rutu tunaikan lapik-memohon-berlayar.

Tapi aku bukanlah ostagier.

Dermaga tali. Kapal tunggul. Besi laut tenang hari. Bollard. Tanggal tiga. Ini. Maret. Visit dua ribu Banda Aceh sebelas. Kapal terlalu lama bersandar? Byur! Basarnas. Pelabuhan. Year. Geladak ya hati-hati ada. Ya ada. Yang rapuh langit. Bukan geladak. Palka. Kepala air. Hujan. Utara berawan apa. Þopta. Selatan jejak petaka di rawa pa-. Cusp. Kaca labi-labi -yau. Kabar harus. Ripr. Loncat nih hap! matahari. Tuan-tuan. Becak. Befindlichkeit. Alpha Beta?

Sjahdan, terseboetlah tjeritera jang mengenaï doea orang djoeroe pantjing jang mereka poenja nama ta’ lain dan ta’ boekan masing-masing adalah Toean Alpha dan Toean Beta. Adapoen mengenaï fatsal perawakan daripada mereka, njatalah kedoea-doea mereka itoe poenja badan sebagai tegaplah adanja. Sedangkan mengenaï fatsal perwadjahan daripada mereka, soelitlah hal itoe diperkatakan, akan tetapi dapatlah chalajak pembatja ada mendoega bahwasanja itoe kedoea-doea orang poenja wadjah sebagai berlakoenja persemoean raoet wadjah daripada kaoem boeroeh, petani, nelajan, saudagar, dan kaoem terprentah laenja. Oleh karenanjalah dengan laen perkataan, tiadalah keperangaian daripada kedoea-doea mereka itoe sebagai sesoeatoe laen daripada apapoen djoea, melaenkan seperti sesoeatoe benar sebagaimana adanja keperangaian daripada semoea kita djoea takah-takahnja. Maka dalam pada itoe, apatah gerangan fatsal kechoesoesan jang membaekkan, jang mendjadikan akan kedoea-doea mereka itoe sebagai teristimewa djoea kiranja? Ialah bahwasanja tata tjara berdirinja kedoea-doea mereka itoe, ja’ni manakala kedoea-doea mereka itoe tampaklah lagi ada memantjing, njatalah elok dan permai belaka adanja, jang mengakibatkan kepada teringatkanlah orang-orang jang memandang djoea terhadap kepada mereka itoe akan keëlokan dan kepermaian daripada tata tjara nan bestari sentausa daripada boeang aer ketjilnya bawah doeli radja-radja pada zaman dahoeloe kala. Sehingga soekar djoealah benar akan memperbedakan lagi atas keadaanja kini daripada mana pantjing mana aer seni, dan soekar djoealah benar akan tiada terta’djoebkanja hati, bahwasanja seïring berpantjoernja aer seni daripada mereka, maka berpantjar djoealah seni kebidjaksanaän daripada falsafahnja. Oleh sebab itoe, maka akan mendjadi misselijklah kiranja, djikalau sadja orang-orang hendak menoeding djoea akan hal-ihwal daripada hadirnja kedoea-doea mereka itoe sebagai tiada lebihnja ketjoeali adalah oentoek kafaedahanja berplezier semata, oleh karena soenggoehpoen memang boekanlah atas grondslagnja sesoeatoe besluitpoen akan kedoea-doea mereka itoe ada menjelenggarakan perhadjatanja itoe, baek itoe sebagai daripada satoe afdeling maoepoen itoe sebagai daripada satoe onderneming, namoen bahwasanja fatsal pleziernja kedoea-doea mereka itoe bolehlah djadi ada bertoedjoean jang mengenaï zakenbedrijfnja poela, ja’ni sebagai sesoeatoe activiteit jang sifatnja ambtelijk dan dienstig djoealah sesoenggoehnja.

Inderdaad, er gaat een opgave maar met een doelstelling, een eenvoudige doch edele nog doelstelling, daarom blijven meneer Alpha en meneer Beta ervoor dus nu hier, op het Noordelijke strand van Atchijn, ongeacht de hele dingen door in de verzadigde wereld te gebeuren, krachtens de bedrijvigheid van hun strekking, met overgave te wachten staan. Das ist die heilige Aufgabe, daß die zwei berühmte Herren mit reiner Hingabe ausführen. They apply themselves assiduously to a solemn re-enactment of the defining event of quite some centuries ago, in which the father of the then prophesied-to-be-born Poteumeureuhom, the divination-imbued father, took on the feat of regal splendour of standing upon the fort, with the golden stream of His Royal Highness’s urine, sprinkling and sparkling, disemboguing majestically into the silvery course of the Krueng, vouchsafing to the land of Achien enshrouding blessedness of peace and prosperity. Ainsi, depuis le sommet des montagnes, par le bord des coteaux, par l’étendue des terraines, jusqu’au bout des rivages, que la bénédiction prévaille; autant que ce fut que ce soit, et toujours que ce serait. Pois consequentemente em pé se levantam, os dois senhores, aqui, agora, a fim de que os corações do paiz, e também do mundo, forem sossegados, em toda parte, para sempre, pela perfeição da consciência. Sí, como las leyendas antaño, estan para ser, y para establecer la unidad de todas las relaciónes, que el universo, es exactamente lo que hace falta con sus historias primorosamente cosidas de un lazado gigantesco. Sempre più, che ogni altra cosa diventa la stessa come ogni cosa essa stessa; perciò a’i due maestri, noi, il tutto mondo, non dimoriamo all’interno dello spazio, in meno dello tempo—siamo difatti il spazio e il tempo essi stessi ciòe. Illi enim omnes valent super illis scopulis ipsi vehementer stabunt spatiorum recidivam cum singulis gutta urina de novo eduxit aeternam contemplandi. Upomonetiká, kai me ólee o dikós tous teen dúnamee. Zhídào shíjiān de jìntóu; huò kāishĭ, zhídào shíjiān jiéshù. Sekai ga shitte iru hitsuyō ga arimasu ka? Yaha samudra aura ākāśa kō gavāha kē li’ē paryāpta hai: Anna humā, al-shaykhān Alpha wa Beta, humā al-ithnān min awliyā’ al-umūr ma˘aqūliyāt al-insān, wa yatakarrasān ilā muthābarāt al-ħikmat fī hādhihi al-insāniyāt min al-juhal al-dā·im. Ejāzeh dohīd nūr vojūd dāshoteh bāshed: beh aghtashāsh, nažm; beh ădm`aţmeinān, daqt; beh sardá, moħbet. Evet, bu doğru, onları bakınız orada; bu görüş bir hikaye-yi rivayetlerden eğer silemezsiniz, zaman zaman geçen olacak. Meunanlah nyangka hôm na dröe neuh teungku-teungku banduwa meubaci peugah.

TUANTUAN ALPHABETA: Nyöe biet.

SAYA: Ho ho. Hanya dengan diam?

TUANTUAN ALPHABETA: Diam itu tidak ada, Bung. Tengok pakai teleskop, kemudian mikroskop. Setiap waktu, kita selalu berada di posisi yang berbeda di dalam ruang. Dan di posisi manapun, kita berada di dalam ruang, waktu selalu bergulir ke hilir ke hulu, ke masa depan ke masa lalu.

SAYA: Hm….

TUANTUAN ALPHABETA: Cobalah melihat sebagaimana layaknya setiap orang melihat, dan berpikir sebagaimana layaknya Schrödinger berpikir.

SAYA: Seperti Schr—? Waduh.

TUANTUAN ALPHABETA: Lalu cobalah renungkan kembali apa yang kau lihat dan kau pikirkan itu sebagaimana layaknya Born merenungkannya.

SAYA: Hi hi. Okedeh, itu argumen Tuantuan. Tapi apa, sih, yang bisa diharapkan, dari merenung tanpa berjalan-jalan?

TUANTUAN ALPHABETA: Kesombonganmu tercium di situ, Bung. Baiklah, kalau kau anggap dirimu pintar karena kau kira kau bisa berefleksi sambil mengobservasi: Si Lelaki Bertelanjang Dada tadi itu tidak benar-benar telanjang, ‘kan? Ke mana celana jinsnya saat dia menghilang dalam teori-teorimu itu?

SAYA: Ingat, Tuantuan, keretanya kemudian ditutupi kain terpal.

TUANTUAN ALPHABETA: Halah. Ex falso quodlibet.

Plop. Plap. Plopex. Plapfalso. Plopquod. Plaplibet….

Okelah, jikalau demikianpun. Mungkin sebaiknya Tuan Alpha dan Tuan Beta tidak diganggu; mereka sedang bermesraan dengan Alam. Keberadaan mereka memang absurd, tetapi Alam pada hakikatnya juga absurd, kata Feynman. Bumi ini padat bagi Tuan Alpha dan Tuan Beta, namun semuanya cair bagi Bumi, karena Bumi adalah sesosok darwis. Paradoks Ehrenfest. Oke, kira-kira. Tetapi Tuan Alpha dan Tuan Beta tidak begitu saja lenyap ditelan Bumi. Prinsip eksklusi Pauli. Ya, yang ini lebih pasti. Ah, Tanah. Tanah tan-“ah!” Zarah renik bermuatanrona Yang–Mills: semua yang menubuh, menubuh, karena, di kebun binatang, dua ujung-kaki seekor semut, yang ringan menari, bakurekat menggunakan kekuatan dua ekor gajah. Pecah-setangkup penuh, mekanisme Higgs: apa yang membunuh dari dalam adalah sekaligus juga apa yang menyelamatkan dari luar. Di balik semua itu, apapun yang dapat dilihat, didengar, atau disentuh, tak dapat lebih tepat dari setakat hampiran. Ya. Heisenberg sampai juga di puncak bukit Heligoland. Matahari terbit. Tetapi segala langkah dari segala arah tampaknya harus mentok di batas Planck. Lautan Dirac, jagat hologram ‘t Hooft dan Susskind: Alam adalah apa yang, jika mengecil, ia mengecil menuju titik kesegalaan, dan jika membesar, ia membesar menuju semesta ketiadaan. Tuan Alpha dan Tuan Beta kini kembali menjadi bayang-bayang: simpul-simpul kebolehjadian indrawi yang maujud dari persilangan benang-benang keniscayaan mantiki. Dan mereka menghadirkan kesaksian dengan modus keberadaan mereka kini: momentum angular sesedikit-sedikitnya, geodesik kontinum ruangwaktu sepanjang-panjangnya. Seperti alam itu sendiri. Kata Bertrand Russell: hukum kemalasan jagati. Barangkali mereka memang ditakdirkan untuk menjalani prosesi ritus pipis abadi.

Plop. Plap. Plop. Plap….

Meusya-é meusyén, sunurat haba lumpöe.

SANDAL JEPIT: Nye ma keuh keu kah?

TANAH: Ken ma keuh keu kèe.

Plop. Plap. Plop. Plap….

Siang sebentar lagi datang menjelang. Di perairan dangkal di tepian ceruk pelabuhan, perahu karet kelabu–jingga telah dilanggungkan. Di dekatnya, dua orang anggota tim SAR tampak tengah berendam di air laut. Mereka memakai diving-suit berkombinasi-warna kuning-hitam. Satu orang dari mereka terlihat sedang berenang di belakang perahu karet; satu orang lagi, dengan masker dan scuba-set yang masih dikenakannya, tampak tengah memberesi peralatan pelatihan mereka. Di arah kiri, bendera Merah Putih, yang terpasang pada ujung tiang di pojok-kiri buritan Kapal Basarnas, sesekali berkibar ditiup angin.

Nun di kiri depan, sejumlah tiang lampu terlihat berdiri, berbaris di sepanjang garis pantai Gerbang Laut Pelabuhan. Dan di sisi-utara terluar dari deretan bangunan kompleks pelabuhan, sebuah tiang antena-telekomunikasi yang tinggi juga terlihat berdiri, memitar tegak ke atas, ditopang oleh kawat-kawat yang terentang regang dari badan menara ke permukaan tanah di balik bangunan dan pepohonan.

Di sanalah, barangkali, empat setengah abad yang lalu, orang-orang Aceh mengibarkan bendera kırmızı-beyaz-nya Kekaisaran Ottoman. Ya. Ay-yıldız. Bersahutkibar dengan bendera-bendera seragam di puncak tiang kapal-kapal, dari berlarik-larik armada, yang berserilangrandai di bandar ini. Inilah Aceh: pengemban daulat dan marwah panji-panji bulan sabit suci di arah singsing matahari. Lalu sejarah terus bersinambung gerak, merempuh arungan penuh kelok. Kegemilangan Kesultanan Aceh perlahan memudar, hingga nyaris rantas tiga abad kemudian, ketika konstelasi kuasa di Selat Malaka merengkah dan bersulih tampuk, dan invasi Belanda tajali maujud di ambang pintu. Ikatan masa lalu pun kembali diseru. Namun apa daya, kirana Kekaisaran Ottoman juga sudah sama-sama membalam. Konstelasi kuasa di daratan Eropa, Asia Barat Daya, dan Afrika Utara, rupanya juga sudah sama-sama berubah. Malah dengan gejolak yang lebih dahsyat, kejam bersibaran darah. Mintakat kedaulatan Turki terus menciut. Devlet-i `Aliyye-yi `Osmâniyye kini bukan lagi kekuatan dunia nan perkasa meraksasa, seperti pada masa Sultan Suleiman Agung. Aceh kembali sendiri. Dan tak berapa lama kemudian, pasukan Kohler membombardir Kutaraja, serta merampas artileri bagas milik Istana. Ya. Lada Secupak. Tanda-mata dari masa bergas bagi Aceh—tatkala Sultan Selim II memberkati warkat sebahat yang dipersembahkan Duta Aceh, Husein Efendi; Wazir Raya, Sinan Pasha, mengirimkan meriam dan candrasa ikram kepada Sultan Alauddin Riayat Syah, Al-Kahar; dan Laksamana Kurtoğlu Hızır Reis melabuhkan bahteranya di pantai Ulèe Lheue ini. O, ya. Itu tempo dulu. Kedua kesultanan itu kini tersuntuk berlutut, ringkih merunduk dijemput “Sessiz Gemi”-nya Yahya Kemal Beyatlı. Betapapun, selama berabad-abad orang-orang Aceh tetap menyambut bendera kebesaran bentala Anatolia itu dengan segenap hormat dan kekaguman. Bahkan juga dengan segenap cinta.

Apakah demikian juga halnya, bila yang dikibarkan sekarang adalah bendera merah-putihnya Republik Indonesia? Bagi sebagian orang Aceh, barangkali, itu masih butuh waktu. Ya. Seperti kata Nenek, mungkin: cinta tak bisa dipaksa. Entahlah….

Plop. Plap. Plop. Plap….

Berhenti sejenak.

Naik ke atas tanggul-batu.

Di depan: Nun jauh di ufuk barat, gunung-gunung dan perbukitan di wilayah Peukan Bada tampak biru membayang. Awan putih, yang terlihat seperti helai-helai selaput tipis, mengabut di atas puncak-puncaknya. Sebentuk gumpalan awan yang berbelintang naik dari timur ke barat di langit selatan—di langit barat, ia bersinambung, melantas dari selatan ke utara, untuk menukik landai di atas Puncak Geoh Lemoh. Badan-daratan jalur-jalan yang terentang sebagai semenanjung—Jalan Pelabuhan—terlihat berlarat dari Gerbang Darat Pelabuhan di kiri-depan sana, jauh hingga tampak berujung di tepi yang berbelok ke arah dalam, ke arah kiri, di Pantai Cermin dan Kawasan Wisata Ulèe Lheue—yang dari sini terlihat hanya sebagai rumpun pepohonan di kaki bayangan bukit. Di antara derai tapal-tapal balustrade dan tiang-tiang lampu di sepanjang Jalan Pelabuhan, sayup-sayup terlihat: menara Baiturrahim. Di bawah telapak kaki, tanggul-batu yang ini, embarau bagi tepi-luar dari lengan-daratan di sisi-utara ceruk pelabuhan, juga mulur bersinambung ke tampak-ujung di sana—terlanjar praktis sejajar waterkeringmuur dari struktur jalan. Bersama deret pepohonan, nun di garis ufuk, tanggul-batu di sisi terluar ini menjadi garis teritori persinggahan dari alur-irama rona lanskap: dari pemandangan tegas beragam warna di sebelah kiri dan bawah, ke pemandangan samar bernuansa biru di sebelah kanan dan atas.

Senyap.

Di samping kanan: dari tepi-luar tanggul-batu di bawah sini, lalu lepas jauh membentang ke cakrawala di langit utara: … laut. Laut, dan hanya laut. Tiada lain kecuali laut. Babad aksama sonya udhaya. Laut saujana mata. Dari arah inilah, pagi, 26 Desember 2004 silam—

Laôt. Langèt. Ladat.

Turun.

Plop. Plap. Plop. Plap….

Belok kiri.

Pelabuhan Ulèe Lheue. Sekarang ia barangkali hanya sebuah pelabuhan kecil. Hanya sekira tiga ratus meter saja, tampaknya, panjang bibir ceruknya, dari sisi-utara di sini ke sisi-selatan di sana. Dan hanya sekira dua ratus meter saja, tampaknya, dari tepi-timur ke tepi-barat. Jadi sekira enam hektar, mungkin, area utamanya. Ditambah dengan lengan-daratan dan serambi-lahan di depan gapura… Benar. Sekira delapan hektar. Tiga atau empat trip penyeberangan ke Sabang per hari—barangkali cuma itu jadwal pelayaran reguler yang dilayaninya di tahun-tahun terakhir ini. Ya. Gegas-runggas arung samudera abad tujuh belas kini tinggal cerita lawas. Atau, bahkan, pun di akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, ketika Karl May memijakkan kaki di sini, zaman keagungan laut barangkali sudah jauh berlalu. Setidaknya, begitulah bagi Aceh dan Ulèe Lheue. “Uleh-leh ist nicht groß, fast durchweg nur aus Holz gebaut.” Hm. Sekarang tentu saja dermaga dan bangunan-bangunan di sini terbuat dari beton dan baja, bukan kayu—atau bukan seluruhnya kayu.

Jalur tanah telanjang yang kuning kecoklatan berakhir, selangkah di depan. Selanjutnya adalah jalanan pasir-batu yang berdebu—tiba memutar dari arah gapura, nun di kanan-depan sana, dan dari sini, terhampar pepat lurus ke depan, hingga menjelang lahan parkir di samping-belakang dermaga kapal-cepat.

Para penumpang kapal feri yang tiba dari Sabang tadi mungkin sudah meninggalkan pelabuhan, sekarang. Tapi ada juga, barangkali, yang masih menunggu di sini. Saat-saat setelah kedatangan kapal, di pelabuhan ini, sekira seabad yang lalu, adalah saat-saat yang cukup sibuk, kata Karl May. Ya. Bahkan sebuah pelabuhan kecil pun tak selamanya sunyi. Chairil seharusnya datang di kala pagi. Selalu saja ada yang datang mencari cinta di awal hari, pada cerita tiang serta temali. Ya. O, ya. Dan ada masa-masa ketika yang datang itu adalah sekumpulan orang dengan ragam-tampil yang berwarna-warni. Seperti halnya seabad yang lalu di pelabuhan ini. Kata Karl May, saat itu di sini orang dapat melihat, “die verschiedensten Typen Sumatras in Bewegung.” Hm. Cukup akurat. Meskipun mungkin kurang presisi. Karena sebagian besar dari die Verschiedenheit itu disumbangkan oleh Aceh sendiri.

Jalanan pasir-batu berujung di depan—tinggal beberapa langkah lagi. Area beraspal menyambungnya ke lahan parkir yang dibatasi oleh kanstin bermarka, di tepiannya, berupa pematang-tembok yang langkai dan bercat hitam–putih. Lahan parkir dan jalur beraspal ini tampak dari sini membentuk huruf ‘T,’ dengan hamparan rumput yang menghijau, di samping kiri dan samping kanan bagian tangkai-tegaknya, dan pemandangan sayap-utara kompleks pelabuhan, di belakang bagian palang-lintangnya. Panorama dari kiri ke kanan: Kapal Express Bahari 3B yang tengah bersandar; tanggul-batu dan rumpun perdu; bagian-atas dari suprastruktur kapal feri, nun di belakang sana; dermaga kapal-cepat; beranda bangunan-utama, dengan tiang-tiang lampu yang berdiri tegak; koridor gerbang kedatangan dan keberangkatan; rumpun pepohonan di taman dermaga; bangunan utama, dengan bangunan sayap-utaranya; sebuah bangunan dua-lantai beratap-rungkup, dengan jendela-persegi yang lebar yang menghadap ke laut pelabuhan (menara syahbandar, barangkali); sebuah bangunan dengan dinding yang tampak bergaris-garis; tiang antena telekomunikasi; dan sebuah bangunan mesjid, dengan atap-limas bersusun-dua, dan frontispiece serupa arkade berprofil simplistik, yang tampak menyembul dari balik rumpun konifera di dekat sini….

Berjalan ke depan. Angin laut berhembus di belakang. Di atas lahan parkir, tampak terparkir tiga buah mobil: sebuah pick-up hitam yang berdampingan dengan sebuah SUV kelabu-perak, di sebelah kiri, menghadap ke selatan, dan sebuah MPV hitam, di sebelah kanan, menghadap ke barat. Milik direksi atau staf manajemen pelabuhan, barangkali. Karena lahan parkir untuk kendaraan para pengunjung tampaknya adalah yang di depan sana. Sekelebat, sinar matahari tampak terpantul di kaca spion salah satu dari ketiga mobil.

Bagaimana, sebenarnya, kita seharusnya meneroka dan menghisab masa lalu? Mengenang yang indah-indah saja darinya, lalu mengglorifikasikannya—itu barangkali akan menambah kepercayaan diri; meskipun, itu bisa juga menyesatkan, atau, setidaknya, menyempitkan perspektif. Membongkarnya tanpa pilah dan memaparkannya tanpa tapis—itu barangkali lebih jujur; meskipun, seringkali kenyataan yang kemudian mengemuka darinya tampak begitu mengerikannya, sehingga remai-rodan yang ditimbulkannya terasa menunjam melumpuhkan. Haruskah semua yang keji, yang kotor, yang hina, yang memalukan, yang menjijikkan dari masa lalu dibuka—untuk dibasuh dengan kesadaran akan pentingnya mengungkap kebenaran, dan diseka dengan keinsyafan akan pentingnya membayar utang kepada kemanusiaan? Atau haruskah semua itu dikubur saja dalam-dalam, lalu di atas pusaranya, dihamparkan babak baru, dengan tekad baru untuk berladang pandangan baru yang lebih berkearifan, dan tindakan baru yang lebih bermartabat? Yang tak dapat mengingat masa lalu, kata Santayana, dikutuk untuk mengulanginya. Tapi barangkali yang terlampau dalam mengingat masa lalu juga akan bernasib sama. Lagipula, seperti kata orang, memantau jalanan yang ada di depan itu jauh lebih penting daripada menghabiskan waktu untuk sibuk memandangi kaca spion. Ya. Bisa jadi benar, begitu. Tapi…. Hm. Apakah satu-satunya cara jejak langkah itu menampakkan diri adalah dengan munculnya ia di kaca spion? Masalahnya, barangkali, kita tidak sedang menumpang mobil Galilean, tapi roket Einsteinian. Sejarah menjadi sangat relativistik: semakin bertambah cepat, kita bergerak ke depan, semakin tampak jelas, apa yang berada di belakang kita.

Berjalan terus ke depan. Lintasi lahan parkir, di antara SUV kelabu-perak dan MPV hitam. Sejalur jalan setapak kini tepat berada di ujung kaki—jalan yang berhamparkan paving block, terletak di antara lahan parkir dan taman berumput-berpohon di belakang dermaga kapal-cepat, dan terentang menyusuri lintas-tepi sepanjang pagar-besi, dari sisi sebuah pintu-samping di belakang tanggul-batu di garis pantai, hingga batas teras selasar di samping sayap-utara dari bangunan-utama kompleks pelabuhan. Jalan inilah yang saya ambil. Langkahi kanstin bermarka.

Belok kanan.

Byur!

Saya menoleh ke belakang.

Merah Biru Kaftan, Rok Mini, dan Jambul Syahrini

Efek-Kupu-kupu Syahrini

Di balairung dunia,
tangkai rumput yang sederhana itu
duduk sepermadani
dengan sinar matahari dan bintang-bintang tengah malam.
—Rabindranath Tagore

Antara “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” barangkali tidak harus selalu ada benang merah. Tidak juga benang biru.

Meskipun begitu, dalam satu kasus, benang merah dan benang biru bisa ditenun menjadi sehelai kain; kemudian, kain yang dihasilkannya itu dijahit. Menjadi kaftan. Dalam gaun itu Syahrini melenggang di satu pentas. Dia tampil untuk membawakan lagu hit religinya, “Ya Robbi,” untuk intermède sebuah acara dakwah.

“Alhamdulillah yah,” komentar Syahrini selepas pentas, untuk menjawab pujian para pewarta infotainment. Dengan gaya yang “setengah spiritual, setengah sensual.”

Sedangkan dalam kasus lain, dari pentas tadi Syahrini lompat bergegas ke pentas berikutnya. Benang merah dan benang biru pada kesempatan ini dijalin menjadi seuntai jumbai-jumbai. Untuk rok mini. Syahrini mengenakan rok mininya itu ketika tampil untuk membawakan lagu hitnya yang lain, “Pusing Setengah Mati.” Dan dia mempersembahkan penampilannya itu sebagai performance gist untuk acara peluncuran sebuah produk komersial.

“Sesuatu banget,” jawab pasti Syahrini, ketika ditanya oleh para pewarta infotainment apa komentarnya untuk sambutan para penonton yang antusias. Kali ini dengan gaya yang “sepersepuluh intelektual, sembilan persepuluh sensual.”

Kedua kasus di atas itu hipotetis, tentu saja, meski semua orang tahu kalau kata-kata “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” itu genuine dan faktual kata-katanya Syahrini. Seenerjik-enerjiknya Syahrini, terdengar agak melebih-lebihkan juga bila diandaikan Syahrini benar-benar lompat bergegas dari satu pentas ke pentas lain; lepas kaftan, pasang rok mini; secara drastis menekuk cengkok Melayu-Arab yang meratap-menghiba menjadi House-R&B yang mendentam-mendesah; lalu ber-“alhamdulillah yah” dan -“sesuatu banget.” Kalau demikian halnya yang terjadi, kita dapat membayangkan: Barangkali Syahrini akan tiba-tiba pingsan.

Sementara itu, barangkali tidak semua orang akan setuju bila Syahrini selalu dikaitkan dengan kaftan atau rok mini. Khususnya, dengan kaftan yang berkombinasi-warna merah-biru. Karena mungkin yang lebih pas adalah warna hitam-putih dalam corak-bercak kulit macan tutul. Atau juga khususnya dengan rok mini yang berhiaskan jumbai-jumbai warna merah-biru. Karena, mungkin, bila dipasangkan pada rok-mini warna putih yang dikenakan oleh Syahrini, jumbai-jumbai itu tidak akan mengesankan pertautan dengan gaun pengantin Kate Middleton (Princess Catherine, the Duchess of Cambridge). Tetapi malah akan lebih mengisyaratkan tema warna bendera Amerika.

Bahkan, barangkali lebih restriktif lagi, tidak semua orang akan setuju bila Syahrini selalu dikaitkan dengan kaftan atau rok mini sama sekali. Karena mungkin yang lebih lekat dengan sosok Syahrini adalah gaun Puteri Duyung.

Akan tetapi tulisan ini bukanlah tulisan tentang Puteri Duyung. Juga bukan tentang bendera Amerika atau macan tutul. Ini adalah tulisan tentang benang merah dan benang biru (di samping tentang Syahrini, tentu saja). —Atau…. Okelah, barangkali ini adalah tulisan tentang Puteri Duyung dan macan tutul juga, meskipun tetap bukan tulisan tentang bendera Amerika. Atau mungkin nyerempet-nyerempet bendera Amerika juga? … Entahlah. Yang pasti, untuk saat ini, bolehlah kita katakan dengan tandas bahwa ini adalah tulisan tentang benang merah dan benang biru.

Mengenai kata “benang merah,” rasanya tidak perlu ada penjelasan lagi. Idiom “benang merah” sudah beken dipahami sebagai metafor “standar” untuk menunjukkan keterkaitan tematik antarteks atau antarkonsep. Bahkan “Dalang” Parto pun menggunakannya sebagai “koridor hukum.” Dan ia tak segan menjadikannya sebagai justifikasi untuk menyambit Sule, Andre, Azis, atau Nunung, dengan gada styrofoam, bila ia menganggap “wayang-wayang”-nya tersebut melenceng dari “pakem sakral” Opera van Java itu dalam dalam setiap pementasannya. Dengan atau tanpa Syahrini sebagai bintang tamunya.

Akan halnya kata “benang biru,” sedikit penjelasan sepertinya perlu dikemukakan di sini. Kita pinjam saja, metafor “benang biru” ini, dari kata-kata almarhum Meggy Z dalam penggalan syair sebuah lagunya (atau, lebih tepatnya, kata-kata Fazal Dath via suara tenor dengan timbre quasi-parau yang keluar dari cangkem-nya Meggy Z): “Kalau hanya untuk mengejar laki-laki lain, buat apa, sih, benang biru kau sulam menjadi kelambu?”

Tebakan sekelebatan untuk makna dari kata “benang biru” dalam penggalan syair itu tentu saja adalah “cinta”—dalam pengertiannya yang paling threadbare sebagaimana yang secara intuitif kita pahami sebagai perasaan ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, barangkali kita bisa mengembangkan metafor “benang biru” ini lebih lanjut. Barangkali kita bisa menjadikannya sebagai semacam indikator untuk sesuatu yang substansial, elemental, atau komponensial, karena “benang biru” ini, seperti kata Meggy Z, dapat “kau sulam menjadi kelambu.” Dan pada gilirannya, “kelambu” dari “benang biru” inilah yang mendefinisikan eksistensi hubungan Meggy Z dengan si-“Kau”-nya.

Lalu, kembali ke fenomena Syahrini, adakah benang biru dalam kata-kata Syahrini, “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”? Dan adakah benang merah antara keduanya?

Kegandrungan orang akan dua ungkapan yang dipopulerkan oleh Syahrini itu, yang bahkan hampir-hampir selalu dibawa-bawa orang ke dalam setiap percakapan belakangan ini, menarik untuk disimak. Juga, barang sekadarnya, untuk ditelaah. “Alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget.” Dua frase buzz. Atau mungkin juga sekadar dua frase hype. Tetapi buzz atau hype, dua ungkapan yang dengan kenesnya meluncur dari bibir Syarini itu tetap mengandung “sihir.”

Memang, di tengah derasnya arus perputaran isu di media saat ini, dua frase itu bisa saja hanya akan menjadi phraseological fad yang tak terlalu lama juga akan berlalu. —Seperti juga halnya banyak catch-phrases lain (yang sempat populer lewat media) yang datang dan pergi. Kendati demikian, mar-ki-sa: mari kita sama-sama sadai-sadai sambil sabet sirup markisa, sembari menyigi elusidasi—betapapun dengan harpoon yang culunnya, “minta ampun!”—bagi “sensasi” Syahrini ini.

April 2011 lalu, keluarga Kerajaan Inggris menggelar upacara pernikahan pewaris tahta, Pangeran William, dengan Kate Middleton. Event ini, kita ingat saat itu, membangkitkan kegenitan dan kehebohan media yang luar biasa—boleh jadi di seluruh dunia. Media seakan-akan terserap sempurna ke dalam kemeriahan itu. Dengan lahapnya mereka memunguti setiap keping kecil informasi terkait, lalu memajangnya dengan tergopoh. Kemudian mereka tak henti-hentinya memutar “coverage carousel” itu dengan khusyuk dan takzim.

Dalam satu tayangan dari rangkaian liputan tersebut, seorang pemerhati fashion merangkum tampilan gaun pengantin yang dikenakan oleh Kate Middleton dengan kata-kata kunci, “something new, something blue, and something borrowed.”

Agaknya kata-kata kunci itu bisa juga kita gunakan untuk memberikan sedikit eksplikasi terhadap fenomena “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”-nya Syahrini. Bahwa dua ungkapan itu menjadi populer karena datang dari seorang Syahrini yang merupakan seorang sosok-khalayak, itu tentu saja sudah jelas. Tetapi bahwa hal tersebut menjadi fenomena, itu karena di situ memang ada “something new,” “sesuatu yang baru,” karena ada derajat orisinalitas dalam inovasi Syahrini itu. Akan tetapi, seperti lazimnya di setiap inovasi, di situ juga ada “something borrowed,” “sesuatu yang dipinjam”: yaitu, dalam hal ini, diktum teologis Islam, kalimah ţayyibah hamdalah, untuk ihwal “alhamdulillah yah,” dan idiom informal bahasa Inggris “quite something” atau “really something” untuk ihwal—pun yang diterjemahkan menjadi—“sesuatu banget.”

Yang rasanya perlu kita telisik adalah bahwa dalam dua ungkapan Syahrini itu, barangkali juga ada “something blue”: Bahwa dalam ungkapan “alhamddulillah yah” dan “sesuatu banget,” ada “benang biru” dalam pengertian seperti yang dikemukakan pada paragraf-paragraf di atas—yaitu, “semacam indikator untuk sesuatu yang substansial, elemental, atau komponensial.” Jadi, apa yang berlaku secara literal pada kasus Princess Catherine barangkali boleh kita duga berlaku secara metaforis untuk kasus “Princess” Syahrini.

Kita mulai dari ungkapan “sesuatu banget.” “Quite something” atau “really something” adalah salah satu idiom yang tampaknya mencerminkan tradisi empirisisme yang berakar kuat dalam kebudayaan Anglo-Saxon. (Contoh lain yang lebih tepat untuk itu adalah ungkapan “I see” yang berarti “I understand.”) Dalam bahasa Inggris, idiom informal “quite something” atau “really something” berarti “something impressive or notable.”

Dengan berfokus kepada versi Syahrini: Mau tak mau, actus mental-verbal meleburkan qualifier “mengesankan, menonjol, mengemuka, atau layak-catat” ke dalam ekspresi tunggal “sesuatu”—itu mempunyai konsekuensi filosofis yang cukup serius. Dan actus mental-verbal menambahkan modifier “banget” mempertegas hal itu. Bila “sesuatu yang mengesankan” menjadi “sesuatu”—saja—apalagi “banget”—maka akibatnya adalah, yang tidak memenuhi kualifikasi “mengesankan” akan menjadi “bukan sesuatu”—“tidak ada apa-apanya,” atau “bukan apa-apa”: yang imaterial menjadi yang noneksisten. Itu berarti bahwa yang lain selain “sesuatu yang mengesankan” bukan saja menjadi “tidak penting,” tetapi juga “ternafikan ke dalam ketiadaan.” Dan kini, setelah semuanya “tak ada lagi” selain “sesuatu yang mengesankan” itu, maka relasi atributif dari “yang mengesankan” dengan “sesuatu” menjadi korespondensi (dua arah): Hanya “yang mengesankan”-lah yang adalah “sesuatu,” dan hanya “sesuatu”-lah yang adalah “mengesankan.” Things menjadi identik dengan “being.” Benda-benda, atau yang dibendakan, menjadi identik dengan “ada.” Dengan kata lain, “sesuatu banget” adalah anggukan koroboratif yang, dengan hangat dan penuh gelora, mengiyakan materialisme.

Di sini, kata “materialisme” memang sebaiknya diartikan sebagaimana lazimnya kata ini diartikan dalam filsafat, yaitu kira-kira, pandangan yang menganggap bahwa materi fisis itu, kalau bukan satu-satunya kenyataan, maka setidaknya ia adalah kenyataan fundamental. Namun demikian, sepertinya akan menjadi lebih “jreng!” bila terhadapnya kita gunakan juga pengertian populer dari kata “materialisme” ini, yaitu kira-kira, sebuah kecenderungan untuk memandang bahwa nilai satu-satunya, atau tertinggi, atau objektif dalam kehidupan itu adalah kepemilikan materi atau kesejahteraan material. Oleh karena kedua pengertian itu sejatinya memiliki keterkaitan yang cukup erat, maka untuk kepentingan eksplorasi gagasan dan penafsiran, kita anggap sajalah, untuk selanjutnya dalam tulisan ini, kedua pengertian itu sebagai dua sisi dari satu mata-uang yang sama.

Jadi, barangkali kita bisa juga mengatakannya begini: “Sesuatu banget” adalah versi fraseologis-semiologis Syahrini untuk chorus lagu “Material Girl”-nya Madonna: “We are living in the material world, and I am a material girl.”

Dengan itu, kita kemudian dapat mengajukan beberapa pertanyaan mengenai “benang merah”: Bila “alhamdulillah yah” disematkan kepada “sesuatu banget,” maka bagaimana seharusnya kita memaknai hal ini? Apakah sebaiknya kita berpaling kepada Max Weber untuk berusaha membaca hal ini sebagai sebuah tengara tentang gejala pergeseran etika di dalam kehidupan kita di tengah hingar-bingar kapitalisme dewasa ini? Dapatkah kita katakan bahwa Syahrini di sini menjadi representasi untuk, katakanlah, sebuah arus—untuk meminjam isitlah-istilah Weber—rasionalisasi, intelektualisasi, dan kemudian “disenchantment of the world”? Mungkinkah kita simpulkan bahwa terdapat kesejajaran antara etika Islam dalam masyarakat Indonesia kontemporer dengan etika Protestan dalam masyarakat Jerman pada eranya Weber, di mana, seturut telaah Weber, “kesalehan akidah” dalam aspek keberagamaan masyarakat telah digeser atau dimaknai-ulang menjadi atau sebagai usaha-usaha ke arah penggapaian raihan ekonomik (economic gain)?

Akan tetapi tampaknya pemaknaan seperti itu terlalu berat untuk tulisan ini. Bang Haji Rhoma Irama mungkin akan langsung meresponnya dengan satu lagu hit klasik fenomenalnya, yang sejauh ini belum terkalahkan oleh fenomena Syahrini: “Judi! [—teeet].” Pertaruhannya memang lumayan jleb juga: Bila didukung oleh data dari studi yang berstandar kajian ilmiah, barangkali cara pembacaan seperti itu akan menjadikan paparan dalam tulisan ini sebagai sebuah risalah penting. Tapi bila tidak, tulisan ini akan menjadi lebih buruk dari pepesan kosong. (Pepesan kosong, sih, mending. Daun pisangnya bisa kita gunakan buat ngelap iler yang menetes ketika kita melongo menatap Syahrini.)

Jadi mungkin sebaiknya kita memilih metode pembacaan yang lebih modest. Dalam hal ini, Claude Lévi-Strauss bisa menjadi isprirasi. Lévi-Strauss mentransformasikan sistem-sistem kebudayaan menjadi teks, dan bahkan lebih jauh lagi, mengkodifikasikannya sehingga dapat dijabarkan secara matematis—bukan sesuatu yang bisa dibilang modest, memang. Yang dimaksudkan dengan “modest” di sini adalah bahwa barangkali kita bisa “mengekstraksi” fenomena Syahrini ini menjadi sebuah teks—namun demikian, secara terbatas, ad hoc, pro loco, pro tempore saja—untuk kemudian terhadap teks itu kita konstruksikan sebuah penafsiran. Misalnya, kita baca “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” ini sebagai “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme”—barangkali seperti halnya inskripsi diktum “In God We Trust” di atas uang kartal Dollar Amerika, atau “Dengan Rahmat Tuhan Yang Mahaesa” di atas uang kartal Rupiah kita.

Tetapi pernyataan “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme” itu pun bisa saja menjadi terlalu keras, karena kita belum mengelaborasi “benang biru” dari ungkapan “alhamdulillah yah.” Sebagian orang barangkali akan secara normatif-teologis beranggapan bahwa mutasi ungkapan khidmat “alhamdulillah” menjadi ungkapan kolokial “alhamdulillah yah” telah “mendegradasi” pernyataan sikap bersyukur yang transenden menjadi pertunjukan sikap puas yang imanen. Atau bahkan menjadi semacam self-complacency yang profan. Tendensinya, adalah ke arah “pamer”: bahwa si penutur (dalam hal ini Syahrini) pada dasarnya meminta pengakuan serta pengukuhan atas—misalnya—kebaikannya, kecantikannya, keberhasilan daya-upayanya, atau pencapaian yang telah diraihnya.

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya salah, karena jelas terdapat perbedaan antara ungkapan “alhamdulillah” dengan “alhamdulillah yah”—khususnya bila ungkapan terakhir itu diucapkan dengan intonasi ala Syahrini. Tidak sepenuhnya benar, karena bahkan dalam apa yang barangkali terbaca sebagai sikap “self-complacency” itu, pada dasarnya terdapat sikap bersyukur juga, meskipun barangkali dengan intensitas keberagamaan yang berbeda.

Kalimat bahasa Arab “alhamdulillah,” “al-ħamd li-‘llāh,” tentu saja kita tahu, adalah sebuah teks teologis (Islam). Maka urusan hermeneutika internal teksnya kita serahkan sajalah kepada beliau-beliau para mufasir dari kalangan alim-ulama. Di sini kita hanya akan membahas perihal pengekspresian ungkapan “alhamdulillah” serta “alhamdulillah yah” sebagai kejadian komunikasi dalam konteks budaya tutur. Edisi ngehe yang sok filosofis dari perumusannya adalah seperti berikut ini:

Ungkapan “alhamdulillah” beroperasi di ranah totalitas hidup. Di sini kita mem-persepsikan hidup sebagai realitas keberadaan-di-dunia yang dipenuhi oleh tak berhingga banyaknya variabel acak yang—seturut definisi atau sifat dasarnya—tak dapat diprediksi. Terhadap realitas ini, ada dua standpoint yang didukung oleh dua kubu. (Kebanyakan kita berada di satu titik di antara keduanya.)

Kubu pertama, yang barangkali dapat kita atribusikan kepada para motivator, adalah mereka yang memandang hidup sebagai semacam sistem kendali stokastik. Dalam pandangan ini, kita mempunyai kuasa yang cukup memadai: ada banyak parameter yang dapat kita pahami dan definisikan, ada logika yang cukup koheren, dan ada ruang variabel-kendali yang cukup lega. Galat, yang merupakan selisih antara rencana-rencana serta upaya-upaya, dengan kenyataan yang terjadi yang mengandung ketidakpastian, terdistribusi secara merata di seluas dimensi sejarah.

Kubu kedua, yang barangkali dapat kita atribusikan kepada para “pujangga kelam,” adalah mereka yang memandang hidup sebagai pertemuan yang terus-menerus terbarukan antara penghayatan sejarah dengan keacakan dunia yang selalu menuntut pemahaman ulang—pertemuan yang terus menerus melahirkan pengalaman yang unik, tak tergeneralisasikan. Di sini tidak ada sistem, tidak ada logika yang koheren, dan kendali hanya dapat diterapkan secara refleksif kepada diri, tetapi tidak kepada dunia. Hidup di dunia, pada prinsipnya dalam pandangan ini, adalah sebuah misteri.

Kendati berbeda, kedua kubu di atas, kita lihat, dipersamakan oleh satu hal: pengakuan akan adanya ketidakpastian. Keberagamaan, kemudian, adalah satu hal lagi yang mempersamakan kedua kubu itu. Di hadapan ketidakpastian, ketika “semua baik-baik saja,” ketika “kenyataan sesuai dengan harapan,” ketika kita merasa “beroleh anugerah,” kita, dalam hal ini orang yang beragama, membuat “lompatan teologis” dengan berucap, “alhamdulillah,” seraya memandang, menalar, serta merasakan—dengan takjub, setakjub-takjubnya—bahwa “against all odds,” hidup di dunia, “sampai titik ini,” memberikan hal-hal yang meneguhkan eksistensi kita. Dan kita meyakini, karunia Tuhan berada di balik itu. Karenanya, kita memanjatkan puji kepada-Nya.

Terstrukturkan dalam paradigma yang berbeda, ungkapan “alhamdulillah yah”-nya Syahrini beroperasi tidak di ranah totalitas hidup, tetapi hanya di ranah “episode-episode hidup.” Ranah ini adalah ranah di mana ruang hidup didefinisikan sebagai subhimpunan dari dunia: event-event dalam perjalanan karir; peristiwa-peristiwa dalam satu atau lain aspek dari kehidupan pribadi, seperti acara wisuda, rencana pertunangan, atau pertemuan keluarga; atau negosiasi-negosiasi serta transaksi-transaksi dalam bisnis.

Di sini, “sistem-sistem kehidupan” telah diisolasi dari segala variabel acak dari misteri dunia, dan telah disegementasikan ke dalam entitas-entitas yang manageable. Jadi, sistem-sistem ini pada pokoknya adalah deterministik. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa apa yang terjadi selalu dapat diprediksi. Maka persisnya, sistem-sistem ini adalah apa yang barangkali dapat kita pandang sebagai chaos atau deterministic chaos. (Bukan “chaos” dalam makna leksikal umum yang berarti “kekacauan” atau “ketakteraturan,” tetapi “chaos” sebagai sistem yang merupakan entitas dasar yang menjadi sumbu dari “chaos theory.”)

Dengan demikian, “episode-episode hidup” yang menjadi ranah operasional dari “alhamdulillah yah”-nya Syahrini, dalam model konseptual di atas, adalah sistem-sistem yang, sekali lagi, dalam karakternya sendiri, adalah deterministik dan “di bawah kendali.” Kendatipun begitu—dengan meminjam konsep dasar chaos theory—sistem-sistem ini juga mempunyai “transitivitas topologis” dan “kerapatan orbit-orbit periodik”-nya sendiri, yang membuatnya sensitif terhadap “kondisi mula”—yang kemudian, pada akhirnya, mengakibatkan prediksi untuk rentang waktu yang panjang bagi sistem-sistem ini menjadi mustahil.

Selalu saja ada kemungkinan sebuah “Lorenz attractor” akan muncul, yang dapat memicu terjadinya “efek kupu-kupu”: Nada-dering-ponsel yang tertukar, lipstik yang tertinggal di toilet, gradasi warna yang kurang pas pada pemakaian perona pipi, atau high-heels yang salah ukuran, bisa saja memicu reaksi spiral—sespiral obat-nyamuk ataupun badai siklon tropis—yang mengakibatkan tertundanya produksi album baru, timbulnya kasus sengketa hukum yang serius dengan pihak sponsor, gagal dan hancurnya kesepakatan dalam kontrak kerja berjalan, atau berantakannya konser yang sudah dirancang berbulan-bulan.

Kita lihat bahwa dihadapkan dengan kemungkinan di atas, adalah logis dan wajar bila Syahrini, dalam penafsiran ini, kita duga tulus—atau setidaknya, memiliki derajat ketulusan tertentu—ketika dia berucap, “alhamdulillah yah”—yang dapat kita pandang sebagai ekspresi sikap bersyukur bahwa “semua baik-baik saja.” Hanya saja, ketimbang dihayati sebagai teks teologis di dalam dirinya sendiri, teks “alhamdulillah,” di dalam ungkapan “alhamdulillah yah,” seturut implikasi dari model konseptual dalam paradigma ini, digunakan barangkali sekadar sebagai sarana citrawi dari sebentuk pemahaman keberagamaan, sebagaimana yang terinternalisasi di dalam diri Syahrini.

Dangkal? Bisa jadi. Namun demikian, “kedangkalan” ini justru memitigasi simpulan “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme.” Bukan seperti itu, tampaknya, pembacaan yang lebih tepat untuk penyematan “alhamdulillah yah” kepada “sesuatu banget,” melainkan adalah bahwa hal itu lebih merupakan upaya memperdamaikan—untuk meminjam terminologi dan sistematisasi Pierre Bourdieu—“habitus” keberagamaan dengan superposisi berbagai “field” dari realitas kehidupan saat ini, di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang.

Syahrini adalah contoh kisah dari sebuah fenomena klasik dalam dunia show-biz. Kisah ini adalah kisah tentang seorang artis yang, di awal karirnya, berhasil merebut perhatian publik berkat pemanfaatan, secara intensif, “erotic capital” (dalam definisi Catherine Hakim, barangkali, yang lebih lebih tepat untuk konteks ini). Namun, kemudian, setelah popularitasnya menanjak, si artis mendapati bahwa popularitasnya itu membawa konsekuensi bahwa dia harus berbenturan dengan dimensi etika atau moralitas dalam persepsi publik. Lebih spesifiknya, barangkali, yang harus dihadapi oleh si artis adalah tuntutan akan semacam, katakanlah, “versi performatif-Indonesiawi dari political correctness,” yang secara inheren mengandung wacana etika dan moralitas di dalamnya. Serta, karena keindonesiaannya, hal itu juga mengimplikasikan aspek keberagamaan—yang pada pokoknya, serta lazimnya, cenderung, antara lain, memandang simbol-simbol sensualitas di ranah publik secara negatif.

Dengan menggunakan kasus Syahrini sebagai titik tolak bahasan kita: Bagi Syahrini, kenyataan di atas itu menyisakan, dalam abstraksi ekstremnya, dua pilihan.

Pilihan pertama, Syahrini bisa keukeuh mencitrakan diri sebagai artis yang selalu tampil “seksi” atau “sensual.” Keuntungannya, tentu saja hal itu di dunia show-biz dianggap lebih “menjual”—dan sedianya, biasanya, memang demikian adanya. Risikonya, dia berpotensi kehilangan sepangsa “pasar hiburan,” yaitu, dalam hal ini, para penggemar dari kalangan “konservatif.” Atau mungkin dia akan menemui masalah-masalah yang pelik seperti halnya, misalnya, satu kasus yang pernah dialami oleh Dewi Persik ketika dia “dicekal” tampil di panggung-panggung hiburan di Kota Tangerang. Sebut saja pilihan pertama ini, “modus rok-mini.”

Pilihan kedua, Syahrini bisa mengikuti jejak Inneke Koesherawati yang mengubah total penampilannya—sekaligus segmen garapan keartisannya—menjadi sesuatu yang mencitrakan sosok artis muslimah yang “alim.” Bagi seorang artis yang telah cukup “sukses” (diukur dengan popularitasnya, tentunya), pilihan ini tidaklah terlalu “buruk” (dipandang dari segi bisnis). Toh, masa-masa “cari sensasi” telah berlalu. Malah hal ini bisa menghasilkan benefit berupa penerimaan yang lebih baik oleh kalangan yang lebih luas. Meskipun demikian, risiko terkikisnya “potensi daya jual,” untuk pilihan ini, tetap ada juga. Sebut saja pilihan kedua ini, “modus kaftan.”

Dari sudut pandang Syahrini sebagai “mesin bisnis,” maka problemnya sekarang adalah bagaimana menyiasati apa yang oleh para pemasar—atau seaslinya oleh “Suhu” Hermawan Kartajaya—disebut dengan segitiga “positioning, differentiation, branding” dengan mengoperasikan alternatif “modus kaftan” dan “modus rok-mini” itu. Yang ditempuh oleh Syahrini tampaknya bukan strategi positioning yang memilih mengadopsi salah satu dari kedua modus tersebut, melainkan memodifikasi keduanya menjadi semacam versi “decaffeinated” yang agak ringan dan cair. Lalu Syahrini merengkuh dan mengintegrasikan versi modifikasi dari “modus kaftan”- dan “modus rok-mini”-nya itu, dua-duanya sekaligus, ke dalam “personal branding”-nya. Selanjutnya adalah masalah differentiation: memasarkan Syahrini yang sama dalam kemasan yang berbeda untuk “segmen pasar” atau occasion yang berbeda.

Dalam kerangka inilah, kita dapat menyaksikan, misalnya, di bulan Ramadan lalu, Syahrini tampil sebagai artis bercitra “muslimah salehah” dengan meluncurkan beberapa single lagu religinya, dan sekaligus sebagai trend-setter dunia mode dengan penggunaan kaftannya. Lalu, selepas Lebaran, Syahrini tampil dengan rok-mini kembali—kali ini dalam bingkai tema “eksekutif muda”—ketika membawakan lagu-lagu hit standarnya. Ungkapan “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” tersituasikan juga dalam skema ini.

Selama “segmen pasar” atau occasion yang menjadi wilayah taktik differentiation-nya Syahrini tersebut dapat “disekat” atau “dipisahkan” dengan baik, maka skema penampilan Syahrini itu akan tampak alamiah saja. Akan tetapi, bila Syahrini menampilkan modus keartisannya yang seperti itu di media—sedangkan di situlah ranah utama keartisan Syahrini itu adanya—dan dengan kemampuan media dalam “melipat” ruang dan waktu, media menjukstaposisikan “modus kaftan” dan “modus rok-mini” Syahrini itu secara serial atau apatah lagi paralel, maka gejala inkonsistensi dan kontradiksi akan tampak di hadapan publik. Satu segmen publik, yang sinis, boleh jadi akan menilai bahwa “pencitraan” Syahrini sebagai artis “muslimah salehah” itu adalah sebuah pertunjukan sikap kepura-puraan yang lebay. Barangkali ada juga yang bahkan akan menilai bahwa Syahrini adalah tak lebih dari sebuah mesin kalkulasi bisnis, yang cenderung akan menguangkan “apa pun,” termasuk “citra keberagamaan”—kalau tidak disebut secara singkat dan tajam, “menjual agama.”

Namun demikian, adalah tidak fair, di samping juga tidak realistis dan terlalu menyederhanakan, bila Syahrini kita reduksikan menjadi hanya sebuah “mesin bisnis.” Itu tetap tidak fair, bahkan meskipun kenyataannya Syahrini sendiri secara gamblang dan blak-blakan berbicara tentang cash-flows, tentang budget, tentang expenditures untuk pernak-pernik fashion—yang dia katakan sebagai “invest[ment].” Juga meskipun Syahrini mengatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari apa yang secara terang-terangan dia akui sebagai strategi “menjual dirinya sendiri”—Syahrini sebagai sebuah “brand.”

Yang lebih mendasar lagi—bila kita menerima logika yang kita coba bangun sampai tahap ini—mereduksikan Syahrini menjadi hanya sebuah “mesin bisnis” akan menjadi tidak konsisten dengan simpulan kita tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget.’” Simpulan kita itu, kita lihat sekali lagi, bukanlah tentang hal-hal berikut: Di satu pojok, ada Syahrini. Dia adalah agen sosial yang secara spesifik dikategorikan sebagai sebuah entitas-ekonomik subjektif. Di pojok lain—berseberangan dengan Syahrini—ada sebuah struktur objektif keberagamaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem doxa yang mendiktekan keniscayaan-keniscayaan kepada subjek-subjeknya. Kemudian, Syahrini merespon kondisi itu dengan perilaku adaptif. Dia mendasarkan tindakan-tindakannya kepada semacam “teori pilihan rasional.” Sekali lagi, tidak seperti itu, simpulan kita.

Terminologi kunci dalam simpulan kita itu adalah dua dari beberapa konsep sentral dalam karya-pikir Bourdieu: “habitus” (—yaitu disposisi-disposisi, atau kualitas-kualitas karakter, kecendrungan-kecenderungan, kerangka indra-pikir-tindak, yang didapatkan atau dipelajari seseorang, dan bertahan sebagai prinsip yang mengejawantah, seringkali secara otomatis, dalam praktek-praktek yang terbiasakan), dan “field” (—yaitu medan interaksi sosial dengan segala relasi-relasinya, distribusi kuasanya, struktur atau pola-pola dominasinya, aturan-aturannya, konvensi-konvensinya, pendapat-pendapat dominannya, dan seterusnya). Di dalam simpulan kita mengenai “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu, aspek keberagamaan menjadi “habitus” dari Syahrini, dan pada saat yang sama, juga sebuah “field” yang dengannya, Syahrini berhadapan, dan sekaligus juga, di dalamnya, Syahrini terlibat.

Rasanya bukan tanpa alasan bila kita membuat praduga seperti itu, meskipun kita hanya akan mengasumsikannya sebagai postulat saja, bukan sebagai sebuah inferensi dari data empiris, tentunya, (kita tidak sedang menyusun profil-psikologis atau biografi Syahrini di sini,) dan bukan pula sebagai sebuah argumen yang bersandar kepada topangan skema teoretis—kepada konsep “archetypes”– dan “the collective unconscious”-nya Carl Jung, misalnya. Cukuplah kita katakan bahwa di tengah-tengah masyarakat kita (dan Syahrini tentunya juga adalah salah seorang dari kita), aspek keberagamaan telah menjadi fakta (atau lebih tepatnya, barangkali, bukan “fakta,” melainkan “keberterimaan logis atas penjelasan tentang fakta”), yang secara nyata dapat kita tengarai dan bahkan rasakan. Implikasinya, dalam setting seperti ini, rasanya masuk akal bila kita katakan bahwa kebanyakan kita—kalau tidak boleh dikatakan bahwa kita semua—secara niscaya saja, serta secara sadar ataupun tidak, menginternalisasikan aspek keberagaman itu ke dalam pandangan hidup kita.

Kategorisasi Syahrini sebagai “mesin bisnis,” di lain pihak dalam paradigma ini, kita tempatkan sebagai sebuah kondisi keterdampakan oleh, dan sekaligus respon aktif terhadap, struktur objektif pengorganisasian ekonomi dalam masyarakat. Atau, pandanglah ini, dalam eksistensinya, sebagai semacam proses “structuration”– dan “reflexivity”-nya Anthony Giddens. Sedangkan akan hal dalam esensinya, kita tentu saja di sini bersesuaian pandangan dengan kaum Marxis (lebih tepatnya: dengan interpretasi “standar” atas dikotomisasi arsitektural-ontologis Marxian tentang “basis”–“suprastruktur”). Sudah sejak dulu Karl Marx mengenali struktur ekonomik objektif itu, dan mengidentifikasinya sebagai substruktur sosial—atau “basis.”

Hanya saja, berbeda dengan paradigma Marxian yang memandang “basis” itu sebagai yang pertama dan terutama, paradigma kita dalam simpulan kita mengenai “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu memproporsikan (lebih tepatnya, barangkali, mentransformasikan—secara konseptual, tentunya) “basis” tersebut, sebagai (ataupun menjadi) sebuah “field” yang kedudukannya sama kuat dengan “field” keberagamaan. Kita juga tidak mengeksklusikan aspek-aspek lain dari kehidupan masyarakat kita—seperti politik atau hukum, misalnya—dari simpulan kita itu. Karenanya, kita merangkumkannya ke dalam kata-kata “superposisi berbagai ‘field’ dari realitas kehidupan saat ini.”

Kita telah selesai mendudukkan subjek Syahrini dengan “habitus”-nya dalam perspektif medan makna yang kita coba konstruksikan. Yang tertinggal sekarang adalah elaborasi untuk frase terakhir dari simpulan kita tentang penyematan “alhamdulillah yah” kepada “sesuatu banget” itu—yaitu mengenai frase, “di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang.”

Yang dapat kita paparkan, dengan berangkat dari pernyataan di atas itu, sepertinya, tak ayal, adalah bahwa kita akan sampai kepada penengaraan akan sebuah suasana yang mencirikan perkembangan kapitalisme di era mutakhir ini (—topik yang tidak dapat dikatakan sebagai baru). Kita tengah berhadapan—kita katakan demikian, sejenak mengambil jarak, meskipun senyatanya kita larut di dalamnya—dengan sesosok kapitalisme yang berahi. Yang sudah ganjen sejak paruh-kedua abad XX lalu, dan yang semakin menampakkan wajahnya yang mupeng-mupeng-ngebet dan sange-sange-serondolan di awal abad XXI ini. Ini adalah era yang membuat kita cemas; ini adalah era yang membuat kita terpana. Ini adalah era yang memuakkan; ini adalah era yang asoy-geboy. Dan yang jelas, ini adalah era yang membikin kita berputar—seperti cakram yang digeber oleh seorang disc jockey yang tengah berburu tempat-catat di edisi “menjelang kiamat” dari Guinness Book of World Records.

Saat ini kita hidup di era ketika sosok perempuan cantik dan seksi dipampang dalam iklan berbagai produk. Tidak hanya dalam iklan produk jasa keuangan yang prestisius, atau iklan mobil mewah yang super-kinclong—tetapi juga dalam iklan minuman energi, pasta gigi, cat tembok, obat gosok, sabun cair, sampai pompa air. Bahkan juga dalam iklan layanan masyarakat. Kita hidup di era ketika “rumah makan” bukan sekadar berarti “rumah tempat orang makan,” tetapi juga “teater tempat orang pamer.” Kita hidup di era ketika mata kita selalu dibuat terbelalak dan mulut kita terbelangah oleh demonstrasi kecanggihan fitur-fitur dalam produk-produk digital gadget baru; nyaris setiap saat selalu saja muncul produk baru yang serta-merta membuat perangkat yang kita miliki menjadi sesuatu yang mirip dengan sempoa milik juru-tulis Laksamana Cheng Ho. Kita hidup untuk terpukau oleh para futurolog bisnis yang mengatakan bahwa bukan saja industri manufaktur itu sudah menjadi kuno, tetapi juga bahwa industri jasa itu sudah menjadi basi; kini terbit era industri “hiburan” dan “waktu luang.”

Kita hidup untuk menjadi saksi atas kefasihan para konsultan pemasaran dalam menunjukkan bahwa yang jauh lebih penting dari sekadar meng-identify kebutuhan atau me-respond-to kebutuhan, adalah meng-create kebutuhan.

Akan tetapi kalau kebutuhan itu diciptakan, siapa yang pada gilirannya menciptakan kebutuhan seorang pemasar untuk menciptakan kebutuhan itu? Atau pertanyaannya barangkali bukan “siapa,” melainkan “apa.” Dan bukankah jawaban yang paling mungkin adalah “kebutuhan” juga? Atau apakah kata “kebutuhan” di sini menjadi istilah yang kurang tepat? Apakah sebaiknya di sini dipergunakan istilah “hasrat” (“desire”)?

Dari Jacques Lacan, kita bisa memperoleh rumusan tentang hasrat. Meskipun rumusan mengenai hasrat dari Lacan itu barangkali masih dapat dipandang segaris dengan apa yang biasanya dirumuskan tentangnya semenjak zamannya Plato hingga Sigmund Freud, oleh karena Lacan menaruhnya dalam skematika teoretisnya yang unik, rumusannya itu dapat menghasilkan konsep yang agak berbeda—yaitu yang berparadigma produktif di samping akuisitif, tidak seperti paradigma yang melulu akuisitif seperti, misalnya, yang dapat kita lihat dalam konsep “Wunsch”-nya Freud. Slavoj Žižek mereformulasikannya dengan lebih jelas begini: “Raison d’être dari hasrat itu bukanlah untuk merealisasikan sasarannya, untuk mendapatkan pemuasan penuh, tetapi untuk mereproduksi dirinya sendiri sebagai hasrat.”

Reproduksi, replikasi, regenerasi, fraktalisasi hasrat. Dalam kecepatan, dan dengan akselerasi. Itulah kiranya yang menjadi impetus bagi dinamika “Mandelbrotian” dunia saat ini. Persaingan, perilaku pengambilan-risiko, efisiensi manajemen, serta penjelajahan, penemuan, penciptaan produk baru—semua yang membuat pasar bergerak—lahir dari situ. (Ada penyederhanaan dalam paparan ini; di sini kita tidak membedakan “hasrat,” atau “desire,” atau “Wunsch,” dengan “dorongan,” atau “drive,” atau “Trieb.”)

Implikasinya cukup serius. Pertama, disparitas antara “nilai” (setidaknya, “nilai rasional”) dengan “harga”—yang secara teknis-matematis dapat dikatakan sebagai problem-transformasi—dapat menjadi erratic, dan dapat melebar secara sistematis. Kedua, proses komodifikasi, yang didorong oleh energi (propulsif sekaligus multiplikatif) hasrat itu, dapat menjadi dromologi: Tidak hanya barang atau jasa, seperti dalam pandangan Jean Baudrillard, tetapi juga simbol-simbol—semuanya diproduksi jauh melampaui apa yang secara rasional dapat dikatakan sebagai “kebutuhan.” “Croissance et excroissance,” dalam istilah Baudrillard, adalah apa yang, menurut Baudrillard, memacu gaya hidup masyarakat kapitalistik ke titik ekstrem, ke dalam apa yang ia katakan sebagai kondisi “hiperrealitas.”

Dengan demikian, bila Marx “menunjukkan” bahwa dalam masyarakat kapitalistik, komoditas menjadi tanda “keterasingan” manusia, maka kita barangkali dapat mengatakan bahwa saat ini terjadi “badai kencang” proses “objektifikasi” dan “reifikasi” yang membuat “keterasingan” manusia semakin dalam menghunjam, semakin ketat menelikung, dan semakin deras mengepung. Herbert Marcuse bahkan menengarai timbulnya kondisi “keterasingan” yang lebih mendasar dalam masyarakat kapitalistik mutakhir: Ia melihat bahwa pada akhirnya, sementara komoditas itu diproduksi dalam sistem kapitalistik, orang-orang, menurut Marcuse, menganggap bahwa komoditas itulah yang utama, bahkan lebih utama dari diri mereka sendiri. Orang-orang “menemukan jiwa mereka” di dalamnya, dan menemukan bahwa keberadaan mereka hanyalah kepanjangan atau perluasan dari komoditas itu. —Sebuah fetishisme komoditas yang bahkan mungkin lebih ekstrem bila dibandingkan dengan apa yang sempat diutarakan oleh Marx.

Ada kegalauan-eksistensial yang kronis di situ. Tetapi juga, bila interpretasinya “ditarik ke luar dari subjek,” ke arah implikasi sosial-ekonomik-politis yang lebih luas, di situ bahkan bisa ada ketidakadilan. Bayangkan, misalnya, seandainya popularitas Syahrini menjadi sedemikian tinggi, sampai-sampai sehelai rok mini yang dikenakan Syahrini pada sebuah konser yang dianggap historis dibandrol pasar pada harga yang melambung hingga ke bulan. Kemudian rok mini itu dibeli oleh seorang “kolektor,” yang kebetulan juga adalah seorang koruptor, dengan uang hasil pat-gulipat dari, taruhlah misalnya, proyek penanggulangan bencana kelaparan di Papua. Kemudian skandal korupusi itu terbongkar; transaksi itu terpapar. Seorang redaktur pers yang “tengil” barangkali akan menulis sebuah editorial berjudul, “Rok-Mini Syahrini Renggut Ratusan Nyawa Warga Papua.”

Sedemikian burukkah sifat hasrat itu dalam peranannya mendorong laju-gerak perekonomian, interrelasi sosial, dinamika politik? Kaum rohaniwan tentu saja akan mengkonfirmasinya. Khususnya, bila hasrat itu dianggap sebagai satu-satunya—untuk meminjam istilah Henri Bergson—“élan vital,” dan bila “keberandalan” si hasrat itu dibiarkan lepas tanpa kendali. Kendati demikian, bahkan mereka pun barangkali akan mengakui bahwa kualifikasi yang disebutkan tadi hendaknya diberi penekanan, karena tak dapat dielakkan, bahwa hasrat adalah bagian penting (kalau bukan bagian paling hakiki, atau malah mungkin ada juga yang mengatakannya sebagai nama lain) dari naluri, yang nota bene adalah kondisi alamiah manusia. Menafikannya sama saja dengan mengurai-lepaskan definisi keberadaan manusia itu sendiri.

Hanya saja, agar perbincangan tentang manusia dan peradabannya mempunyai makna, maka imperatif-kategoris kendali-atas-hasrat, dalam bentuk-bentuk yang direpresentasikan oleh konsep-konsep Freudian mengenai alam-bawah-sadar (atau “das Unbewußte,” yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis sebagai “l’inconscient,” dan ke dalam bahasa Inggris sebagai “the unconscious”), seperti “represi” (“Verdrängung”) atau “sublimasi” (“Sublimierung”), biasanya dipahami sebagai syarat mutlak.

Akan tetapi, Marcuse, misalnya, berpendapat lain. Bila kita menarik benang merah antara dua buku Marcuse, Eros and Civilization dan One-Dimensional Man, barangkali kita dapat mengikhtisarkan salah satu tesis pentingnya begini: Bagi Marcuse, seharusnya masyarakat justru tidak terlalu bersikap represif terhadap hasrat atau naluri, karena bukanlah hasrat yang membuat kapitalisme “mengasingkan” subjek-subjeknya. Penyebab semua kekalutan ini, bagi Marcuse, adalah kultus terhadap produktivitas, dan yang lebih fundamental lagi, adalah cara berpikir instrumental teknokratis, atau “rasionalitas teknologis” (“technological rationality”), yang akarnya, menurut Marcuse, bisa dilacak sampai ke “perpecahan-epistemologis” Aristoteles dari Plato. Gregory Bateson menyuarakan hal senada ketika ia mengatakan bahwa epistemologi kebudayaan Barat dipicu oleh kerangka berpikir teleologis, “means-to-an-end driven,” yang menurutnya menyempitkan persepsi, dan membuat data bagi kesadaran menjadi terbatas. Dan Alain Badiou mengemukakannya dengan sedikit lebih romantis: “Dunia kontemporer,” kata Badiou, “bermuka-dua” kepada “prosedur-prosedur kebenaran.” Di mana satu “prosedur kebenaran” seharusnya berlaku, di situ “prosedur kebenaran” lainnya—yang represif terhadapnya—datang mendepaknya. Tetrad “seni-sains-politik-cinta” selalu dihardik dan disingkirkan oleh tetrad yang lain: “budidaya-teknologi-manajemen-seksualitas.”

Kembali kepada Marcuse: Adalah di dalam perjalanan historis yang akhirnya memunculkan kapitalisme sebagai sistem yang digdayalah, menurut Marcuse, letak akar permasalahan itu seharusnya dipindai. Singkatnya, yang lebih pantas disebut “biang-kerok”—demikian, barangkali, dalam pandangan Marcuse—adalah kondisi yang dipersyaratkan oleh sistem kapitalisme, ketimbang sifat dasar hasrat yang, paling banter, berfungsi sebagai pendorong akselerasinya.

Pandangan yang lebih radikal datang dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam buku mereka yang terkenal, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. (Ini adalah buku gila—mungkin dengan kata “gila” yang boleh diartikan benar-benar secara harfiah.) Selain lebih radikal, berkenaan dengan seluk-beluk bekerjanya hasrat dalam realitas “alamiah,” subjektif, maupun sosial, serta bagaimana realitas yang demikian itu secara simultan mendasari “petualangan” kapitalisme beserta konsekuensi-konsekuensinya, rasanya Deleuze dan Guattari juga lebih fasih dan lebih lantang menguraikannya.

Di bab pembukaannya yang sangar-sangar-slengean, jorok-jorok-funky, “mabok,” dan “kesurupan” itu, Deleuze dan Guattari menggambarkan betapa apa yang mereka sebut “mesin-mesin penghasrat,” “les machines désirantes,” adalah motor yang menggerakkan segala proses. “Unit” dari “mesin penghasrat” itu, atau “si-itu” (“ça”), yang merujuk kepada konsep “id”– atau “das Es”-nya Freud, menurut Deleuze dan Guattari, bertebaran di mana-mana—meresap, menjadi pokok pangkal segala hal. “Betapa kelirunya,” kata mereka lagi, “menyebutnya ‘si-itu.’”

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Hal pertama: Deleuze dan Guattari melepaskan “das Es”-nya Freud itu dari “Subjek.” Kalau Lacan memfatwakan bahwa subjek itu hakikatnya adalah formasi (dalam perkembangan seorang manusia sejak masa kanak-kanaknya) sebagai “pusat yang tergeser keluar” dari diri individu—dalam perian Žižek: sebagai sebuah “retakan” dalam medan semesta pengada—dan yang wujud-wungkulnya kemudian dikonstitusikan oleh “Yang Lain” (atau “l’Autre,” dengan ‘A’ besar—semesta sosio-linguistik dari si individu), maka bagi Deleuze dan Guattari, subjek adalah “entitas” yang bahkan keberadaannya pun problematik.

Bagi mereka, subjek, sebagai “entitas” antropologis-filosofis, adalah tak lebih dari titik-singgah sesaat—sebuah residu berdimensi psikologis, pengejawantahan dari ekses yang mereka sebut “voluptas,” yang berasal dari sintesis semiotik di ranah simbolik. Dan pada gilirannya, sintesis semiotik itu merupakan ritus dalam sebuah dimensi prosesional-paradigmatik “pencatatan” (“enregistrement”) sebagai operasionalisasi dari apa yang mereka sebut “numen,” ekses dari proses sintesis produktif dari “libido” dalam “mesin-mesin penghasrat.”

Hal berikutnya: Bagi Deleuze dan Guattari, “Yang Virtual” (ranah kemenjadian, di mana “mesin-mesin penghasrat” itu bekerja) dan “Yang Aktual” (ranah pengada, di mana realitas dikonstitusikan) adalah sama-sama riil dan “material.” Bahkan, “virtualitas-riil”(bukan “realitas-virtual”)-nya Deleuze dan Guattari, bagi mereka, adalah apa yang membuat segala yang aktual menjadi mungkin—ia barangkali adalah semacam pelintiran dari “le Réel”-nya Lacan.

Dalam “pergerakan” signifikansi ke arah “Yang Virtual” ini, Deleuze dan Guattari “meleburkan” dua ranah ontologis tersebut (—satu hal yang disoroti secara kritis oleh Žižek), dan mereka mengaitkannya dengan oposisi produksi–representasi (—satu hal yang menjadi sasaran kritik tajam dari Žižek; Žižek mencurigai hal itu sebagai “pengaruh jelek” Guattari atas Deleuze). Deleuze dan Guattari mengecam Freud dan Psikoanalisis yang, menurut mereka, menggunakan “model teater” untuk menggambarkan bekerjanya hasrat, dan dengan demikian, masih menurut mereka, mengelirukan produksi dengan representasi; Deleuze dan Guattari memandang bahwa bekerjanya hasrat harus diterangkan dengan “model pabrik.”

Hal lainnya lagi: Bila dalam dimensi “natural,” hasrat itu, menurut Deleuze dan Guattari, beroperasi di ranah tubuh (individu), maka dalam dimensi “sosial,” hasrat beroperasi di ranah “tubuh sosial” yang oleh Deleuze dan Guattari disebut “socius.” Deleuze dan Guattari menegaskan bahwa setiap “aktualisasi kuasa” yang bermatra libidinal harus dipandang bersifat sosial secara langsung.

Tanpa tedeng aling-aling dan “tanpa belas kasihan,” Deleuze dan Guattari mencerca Freud dengan pengerangkaan “Ödipus-Komplex”-nya: segitiga “Ayah-Ibu-Aku,” struktur inti keluarga sebagai kerangka fundamental yang, menurut Freud, menjadi “arsitektur kunci” bagi perkembangan psike manusia. (Deleuze dan Guattari tampaknya menganggap skema teoretis Freud itu sebagai “bibit” dari fasisme, yang barangkali dapat dikatakan sebagai musuh terbesar mereka—“Dan bukan saja fasisme historis, fasismenya Hitler dan Mussolini […] tetapi juga fasisme di dalam diri kita semua […],” kata Michel Foucault dalam Pengantar-nya.)

Maka bagi Deleuze dan Guattari, untuk menjadi energi propulsif bagi dinamika sosial-ekonomik-politis, hasrat (lebih tegasnya, libido) tidak perlu mengalami transubstansiasi apa pun, seperti, sebagai contoh par excellence, melalui proses “sublimasi.”

Kekenesan Syahrini ketika mengucapkan “alhamdulillah yah,” misalnya, mungkin akan dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai “sesuatu banget”: itu adalah hal yang material, “natural,” sekaligus sosial. Orang juga mungkin akan memberikan kualifikasi kesan, “sensual” atau bahkan “seksual”—tapi itu hanya tepat bila “sensualitas” atau “seksualitas” di sini dipahami dalam kerangka “seksualitas universal”-nya Deleuze dan Guattari, yaitu seksualitas non-(atau mungkin pasca-)biner di dalam realitas Deleuzean, atau “virtualitas riil,” dari “mesin-mesin penghasrat” yang “tanpa subjek.”

Untuk menjabarkannya, pertama-tama Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa kekenesan Syahrini itu adalah sebuah “objek parsial”—konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Melanie Klein—sebuah “pusat” yang terhadapnya, “dorongan,” realisasi parsial dari hasrat, berpuntal-puntal mengitari tanpa henti. Kemudian mereka mungkin akan menyitir Lacan dalam Seminar tentang “La lettre volée” (drama terjemahan Charles Baudelaire, dari cerita pendek Edgar Allan Poe, “The Purloined Letter”). Apa yang oleh Lacan dikatakan sebagai “rantai-rantai pemaknaan” (“chaines signifiantes”), yang dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai entitas mendasar di “ranah kode alam-bawah-sadar,” mungkin akan mereka tunjukkan sebagai prinsip yang secara partikular dicontohkan oleh ekses dari proses sirkulasi hasrat di sekitar “objek parsial kekenesan Syahrini” itu—dan yang barangkali dapat diilustrasikan dengan kejadian seperti berikut ini:

Seseorang menirukan Syahrini dengan berkata, “Alhamdulillah yah.” Ia katakan itu kepada orang kedua yang sama-sama mengetahui fenomena Syahrini. Sementara itu, orang ketiga yang juga terlibat dalam komunikasi itu, tetapi yang tidak tahu-menahu tentang Syahrini, tidak menyadari bahwa ia menjadi “kambing budeg”; ia melewatkan sebuah makna yang tidak tertransmisikan oleh ungkapan “alhamdulillah yah,” bila ungkapan itu dilihat sebagai pernyataan harfiah semata. Apa yang “terlewatkan” inilah yang oleh Lacan dipandang berpotensi untuk menarik sejumlah takhingga subjek untuk berhimpun: di mana komunikasi satu sama lain menjadi dapat ditangkap sebagai bermakna, hanya bila komunikasi itu dipandang dalam relasinya dengan sebuah “objek,” dan—untuk secara lebih verbal mengutip Lacan—“tetap-berlangsung diperantarai, secara tak-tereduksikan, oleh relasi yang tak terperikan kata-kata (par rapport ineffable).”

“Lalu perhatikan apa yang terjadi,” demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan bergaya menirukan Mario Teguh, “bila sang Kapitalisme yang awas dan cekatan itu mulai mengendus ‘apa yang terlewatkan’ tersebut.” Melalui proses “sintesis disjungtif” dari “enregistrement,” begitu mungkin Deleuze dan Guattari akan mengartikulasikannya, “objek parsial kekenesan Syahrini,” produk proses “sintesis konektif” dari “mesin-mesin penghasrat” Syahrini itu, akan di-“de-teritorialisasi”-kan dari tubuh Syahrini, untuk kemudian di-“re-teritorialisasi”-kan kepada “tubuh kapital.”

Maka demikianlah kisah itu berlanjut: Suara Syahrini ketika mengucapkan kata-kata “alhamdulillah yah” itu direkam, dan dijadikan “nada dering-balik” (“ring-back tone”). Bayangkan bila seorang penunggak cicilan kredit sepeda motor dengan terpaksa harus mengontak nomor telepon genggam seorang debt-collector (mungkin helem barunya yang imut tertukar dengan helem gahar milik si debt-collector, dengan sehelai stiker bertulisan, “Pegang daku, kau kubacok!” melekat di atasnya), dan alih-alih mendapat hardikan suara sangar di ujung sana, ia malah mendengar suara kenes Syahrini. Boleh jadi ia akan dibuat cekikikan—biarpun mungkin cuma sesaat.

Dan bila “RBT Alhamdulillah-Yah”-nya Syahrini yang dijual kepada para pengguna telepon genggam itu menghasilkan berkah finansial yang “sesuatu banget” bagi para operator jaringan telepon seluler, Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa itu sama sekali tidak ada urusannya dengan apa yang oleh “si Borjuis Freud” itu disebut “sublimasi.”

Lantas bagaimanakah kiranya Deleuze dan Guattari akan menafsirkan “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’”? Sepertinya arah yang paling pas untuk menebaknya adalah dengan melihat “perbenturan,” di satu pihak: Deleuze dan Guattari, dengan, di lain pihak: Freud. Freud mungkin akan menafsirkan “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” sebagai sebuah bentuk dominasi “prinsip realitas” (“Realitätprinzips”) atas “prinsip kesenangan” (“Lustprinzips”). Betapapun “upaya penaklukan” itu, dalam pandangan Freud, mengakibatkan “pengalaman traumatik” bagi individu (bila hal itu tidak begitu tampak dalam kasus Syahrini, mungkin kita bisa melihatnya dengan jelas dalam kasus Inul Daratista), pada prinsipnya, hal itu juga mutlak penting bagi integritas masyarakat (dalam hal ini, keberagamaan kita pandang sebagai norma sosial). Sementara Freud beranggapan bahwa pada hakikatnya masyarakat itu memang selalu represif—dan mempunyai alasan mendasar untuk bersifat demikian—Deleuze dan Guattari mungkin akan mencibir penafsiran “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” seperti itu.

Mereka mungkin akan mengatakan bahwa bukan saja “alhamdulillah yah” itu adalah bentuk keterlibatan langsung opresi sosial atas represi psikis (posisi teoretis-politis yang sebelumnya dideklarasikan oleh Wilhelm Reich), tetapi juga bahwa “sesuatu banget” itu adalah bentuk subjugasi “socius” kapitalisme—melalui “mesin-mesin pemukjizatan”-nya—atas “mesin-mesin penghasrat” di dalam diri Syahrini: Meskipun si “Tubuh Kapitalisme” itu, di satu sisi, (tampak) membebaskan “mesin-mesin penghasrat” Syahrini, di sisi lain, serentak dengan itu, ia juga justru mengasingkannya dari interkoneksi alamiah dan sosialnya. Kemewahan fashion, popularitas, status bergengsi sebagai selebritas, pemujaan oleh fans karena promosi oleh media—dan hal-hal lain yang “sesuatu banget” itu, demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan menyoroti, lebih merupakan konstruksi simbolik kapitalisme ketimbang sintesis produktif “mesin-mesin penghasrat” Syahrini.

Jadi kalau Syahrini sampai harus pingsan karena kelelahan ketika didera oleh jadwal pentas yang berjibun, Deleuze dan Guattari mungkin akan berujar, “Nah, lho!” Berlainan dengan alur logika kita pada paragraf-paragraf di atas mengenai dromologi hasrat dalam kaitannya dengan proses komodifikasi di dalam sistem kapitalisme, pandangan Deleuze dan Guattari mengenai hasrat antara lain adalah bahwa sofistikasi itu bukanlah bahasa hasrat, melainkan bahasa “pengorganisasian molar” dari subjek dan “socius”; bahwa meskipun hasrat itu seturut hakikatnya memang tak dapat diredam, dan bahkan bersifat “revolusioner,” bahasa hasrat itu pada dasarnya adalah netral, natural-mekanistik, “sederhana.”

Hasrat, kata mereka, hanya “membutuhkan” sedikit hal saja. “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang,” kata Ebiet G. Ade—begitu juga, kira-kira, kata Deleuze dan Guattari: Rumput yang bergoyang itu hanya butuh mineral, air, karbon dioksida, dan sinar matahari, untuk berfotosintesis—dan tiupan angin sepoi-sepoi, untuk bergoyang. Itulah, kata Deleuze dan Guattari lagi, sejatinya bahasa hasrat. Dan realitas yang sama, mereka mungkin akan menambahkan, bekerja dengan cara yang sama, baik pada Syahrini maupun pada rumput yang bergoyang: pemisahan manusia dengan alam itu hanyalah ilusi filosofis Subjek. “Homo natura,” begitu menurut Deleuze dan Guattari, adalah sejatinya hakikat manusia; hakikat itulah yang membentuk manusia menjadi “homo historia.”

Maka, “homo natura” datang lebih dulu, baru kemudian “homo historia.” Dalam urutan seperti itulah, menurut Deleuze dan Guattari, semestinya kita memandang kaitan antara matra fisiologis-psikis dengan matra sosial: “produksi sosial” merupakan derivasi dari “produksi penghasrat.” Meskipun begitu, kita juga harus mengatakan, demikian Deleuze dan Guattari menegaskan, bahwa “produksi penghasrat” itu, pertama dan terutama, pada hakikatnya bersifat sosial—untuk menyatakan dengan kata lain bahwa “homo historia” datang lebih dulu, baru kemudian “homo natura.” Lingkaran “Setan Ayam Petelur” ayam–telur, memang.

Dalam sekuensi paradigmatik “homo-historia”–“homo-natura,” bila hasrat itu diibaratkan seekor ayam jago, maka Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa kita akan melihat seorang maling ayam yang menggenggam erat kedua kaki si Ayam Jago dengan tangannya, mendekap badan si Ayam Jago dengan lengannya, sambil mengepit leher si Ayam Jago di bawah ketiaknya. Kita akan melihat satu sisi dari karakter si Ayam Jago: seekor ayam jago yang kalem dan pendiam (mungkin sedang rileks? atau sedang stres?), entah manis entah melankolis, entah berkeinginan untuk menjerit dan berontak entah merasa nyaman dan menikmati dekapan hangat si Maling—atau mungkin menyukai bau ketiaknya?

Dalam sekuensi paradigmatik sebaliknya, “homo-natura”–“homo-historia,” demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan menunjukkan, kita akan melihat seekor ayam jago yang ekornya diikat dengan ujung dari seutas tali yang panjang, dan di ujung lain dari tali itu, adalah tangan seorang anak badung yang iseng menghentak-hentakkan tali itu tanpa henti. Kita akan melihat sisi lainnya dari karakter si Ayam Jago: seekor ayam jago yang berekspresi “seluas-luasnya,” yang menggelepar, melompat, berkeok-keok, atau mungkin bahkan berkesempatan untuk berkokok, menghajar seekor ayam jago lain yang datang mendekat, atau mungkin mengejar seekor ayam betina untuk “dikawininya”—dengan izin (atau sponsor?) si Anak Badung, tentunya.

Dengan itu pula, sepertinya, Deleuze dan Guattari memandang sejarah dalam perspektif aktualisasi hasrat. (—Meskipun, sejarah, dalam pandangan Deleuze dan Guattari, adalah sejarah yang serba-kontingen, bukan sejarah yang berkeharustujuan seperti dalam Materialisme-Historis-nya Marxisme klasik.) Kalau feodalisme adalah si Maling Ayam, maka kapitalisme adalah si Anak Badung. Paradoks terbesar dari kapitalisme, dalam pandangan Deleuze dan Guattari, adalah—seperti yang kita lihat dalam paragraf-paragraf di atas mengenai quasi-komedi RBT Syahrini dan quasi-tragedi pingsannya Syahrini—bahwa kapitalisme “memproduksi akumulasi schizophrenic yang mencengangkan dari energi atau muatan, yang terhadap produksi akumulasi itu ia membawa sekian besar semua kekuatan represi untuk ditanggungkan, namun yang, betapapun begitu, terus berlanjut belaku sebagai batas yang dipancangkan oleh kapitalisme.”

Maka bila di bawah feodalisme, bagi Deleuze dan Guattari, neurosis adalah gejala umum masyarakatnya, di bawah kapitalisme, tipologi patologi-mental klinis yang dapat dipandang sebagai model untuk melihat bekerjanya “produksi penghasrat” di dalam realitas sosial masyarakatnya adalah schizophrenia. Lalu Deleuze dan Guattari pun kembali menyerang Psikoanalisis. “Model yang tepat itu,” demikian kira-kira kata Deleuze dan Guattari lagi, “bukanlah seorang neurotic yang terbaring di atas dipan seorang terapis, sambil curcol segala galau—melainkan seorang schizo, yang diam-diam keluyuran tengah malam.”

Dengarlah sang Schizo meracau: “Organ-organku hilang! Tubuhku jadi sebutir telur! Ada lintah di tubuhku!” Dari mana datangnya lintah, Schizo? “Dari sawah turun ke kali.” Akan tetapi dari mana datangnya lintah darat, Schizo? “Dari sawah disparitas-kuasa sosial turun ke kali distribusi-eksploitatif ekonomi.” Kombinasi aneh dari halusinasi-cum-delirium sang Schizo dengan logika Marxian seperti itulah, tampaknya, yang melatari asersi Deleuze dan Guattari seputar paradoks kapitalisme yang dikemukakan di atas. Dalam pandangan Deleuze dan Guattari, “klaim” oleh “socius,” sebagai “produksi sosial,” atas produksi oleh “mesin-mesin penghasrat,” terjadi dalam fase-fase stasis ketika di ranah “virtualitas riil,” “tubuh sosial” itu menjelma menjadi apa yang mereka sebut “tubuh tanpa organ” (“le corp sans organes”) yang berbentuk, kata mereka, “sebutir telur.” Di atas “tubuh” itulah, inskripsi simbolik, melalui proses “sintesis disjungtif,” secara berulang-ulang “dicatatkan.”

Terdengar gila, barangkali. Tapi cobalah kita simak: Masyarakat “primitif,” kata Deleuze dan Guattari, melakukan berbagai ritual untuk menyematkan simbolisasi sebagai penahbisan genealogis bahwa semua kegiatan produksi dirunut-balikkan kepada “pemilik sesungguhnya,” yang darinya semuanya berasal: Ibu Bumi. (Dan bukankah bumi kita ini bentuknya mirip dengan sebutir telur?) Dengan demikian, “produksi penghasrat” itu mengalami “teritorialisasi.” Masyarakat yang berada di bawah kekuasaan despotik (atau imperialisme), kemudian, men-“de-teritorialisasi”-kan semua kegiatan produksi itu dari “tubuh Bumi,” dan me-“re-teritorialisasi”-kannya kepada “tubuh” si Despot atau si Imperialis.

Lalu datanglah sang Kapitalisme Moderen. Semua ikatan “sakral” melalui simbol-simbol itu dirampasnya, dan semua produksi pun di-“teritorialisasikan”-kan kepada “tubuh kapital.” Namun demikian—dan “fakta” berikut inilah yang tampaknya dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai sumber terkuat bagi paradoks kapitalisme itu—kapitalisme menggantikan bentuk “pencatatan” simbolik yang sarat akan pemaknaan elaboratif yang “sakral” dan “mistis” itu dengan seperangkat aturan kalkulasi sederhana yang oleh Deleuze dan Guattari disebut dengan istilah “axiomatique.” Dan apakah “axiomatique” itu? Ia tak lain adalah apa yang dengan lantang, dengan segenap energi, gairah, dan kerinduan, diteriakkan oleh “Mbah Dukun” Endang Kurnia, sesaat setelah ia mengorbitkan Alam: “Duuiiit… Duit!”

Maka, kini, kita berurusan dengan sesuatu yang sangat seksi: duit. (Tapi apakah duit juga lebih seksi dari Syahrini? “Arguably,” jawab sebagian orang. “Debatably,” jawab sebagian lagi.) Dari sini, barangkali kita sebaiknya berpisah jalan dengan Deleuze dan Guattari—dengan buku mereka yang kata Žižek “arguably Deleuze’s worst book” itu. (Žižek memang, kendatipun debatably, adalah seorang “penggemar” Deleuze, tapi arguably bukan “penggemar” Guattari.) Sebenarnya, Deleuze dan Guattari juga berbicara ngalor-ngidul tentang duit. Akan tetapi, arah yang sedikit berbeda, sepertinya, perlu kita tempuh sendiri dalam pendekatan kita untuk urusan ini. Urusan apa, tadi? O, ya: duit.

Ya. Duit, hepeng, uang—“pelacur universal, mucikari manusia dan bangsa-bangsa,” kata Marx (dan Friedrich Engels). Dan di balik uang, adalah relasi-relasi kuasa. Atau, kata-kata “di balik” itu pun barangkali tidak tepat, karena sesungguhnya uang itu sendiri adalah relasi-relasi kuasa. Uang kartal, atau, dalam batas-batas “bukti material” dimensi pencatatannya, juga uang giral serta uang kuasi—kita sebut saja semua itu sebagai “uang,” dalam tanda petik—hanyalah representasinya. Siapa di dunia ini yang benar-benar mencintai “uang,” yang memeluk, mencium, membelai, dan bersumpah setia kepadanya sambil berkata, “tak ada yang mampu memisahkan kita, Sayang”? Rasanya, tidak seorang pun. —Kecuali, mungkin, Tuan Krab, bosnya Spongebob. Semua orang memperlakukan “uang” seperti bola golf—sesuatu yang, “dikejar, setelah didapat: dihajar.” Daya-beli- atau, barangkali, kuasa-beli- (purchasing-power)-nyalah yang penting, bukan “barang”-nya.

Pernyataan “uang adalah relasi-relasi kuasa” barangkali terdengar terlampau tajam, karena bahkan Marx pun tidak secara persis mengatakan demikian. Marx “hanya” mengatakan bahwa uang adalah “sebuah relasi sosial” (“ein gesselschaftliches Verhältnis”). Dalam perspektif sosio-historis, seperti yang juga dikemukakan oleh Marx, uang memang muncul secara alamiah dari aktivitas transaksi ekonomik. Kendati demikian, rasanya tidak berlebihan bila kita melangkah lebih jauh ke pernyataan seperti itu, karena saat ini kita hidup di zaman ketika kapitalisme telah menjadi semakin canggih: zaman ketika “uang komoditas” telah digantikan oleh “uang fiat.” Konsekuensi dari fakta ini, tampaknya, adalah bahwa relasi-relasi kuasa dalam relasi-relasi sosial menjadi lebih tajam mengemuka.

Untuk lebih eksplisitnya, kita ajukan pertanyaan-dan-jawaban sebagai berikut: Dari manakah datangnya kuasa yang “dimiliki” uang itu? Di bawah rezim uang fiat dalam sistem kapitalisme mutakhir, jawabannya menjadi jelas (dan sebenarnya hal ini juga terimplikasikan dalam pernyataan Marx): dari struktur kekuasaan dalam masyarakat. Uang menjadi bernilai hanya bila relasi-relasi kuasa dalam masyarakat terlembagakan dengan baik: ada pemerintahan dengan sumber-sumber legitimasinya, dan ada perangkat hukum dengan hak monopolinya atas kekerasan—dengan kata lain, ada sebuah negara yang berjalan atau berfungsi, yang menjamin kebernilaian uang itu.

Lakon hidup uang fiat dimulai dengan kelahirannya dari rahim “ruang hampa”—bukan dari ekuivalensi terhadap barang atau jasa, tetapi terhadap rencana, proyeksi, atau ekspektasi—yaitu sebagai “utang masyarakat kepada masyarakat.” (Bank Sentral membeli obligasi atau saham untuk portofolionya, dan membayarnya “hanya” dengan “mencatatnya” dalam rekening yang dibuka untuk bank komersial, yang menjadi underwriter atau custodian, dari penerbit obligasi atau saham tersebut—proses yang dikenal sebagai “moneterisasi utang,” yang menciptakan “basis moneter”; bank-bank umum kemudian mengembangkan cakupan dari “basis moneter” itu dengan memberikan kredit komersial: uang sebagai “multiple expansion of bank deposits.”) Dan siapakah yang berhak untuk memproklamirkan diri sebagai representasi masyarakat yang laik tampil untuk mendapatkan akses kepada konsesi atas utang-utang itu? Struktur dan proses-proses kekuasaanlah yang menentukan.

“Apalah artinya merampok bank bila dibandingkan dengan mendirikan bank?” kata sebuah baris-dialog terkenal dari drama Bertolt Brecht, Die Dreigroschenoper. —Sebuah baris-dialog sinis yang membikin kita merinding karena ngeri, bahkan bila kita tidak menganggapnya sebagai pernyataan tentang kebenaran, melainkan hanya sebagai humor belaka; humor gelap, tentu saja. Namun demikian, bila rezim politik yang berkuasa itu korup, derajat kebenaran dari pernyataan itu bisa sangat mendekati seratus persen.

Cerita-cerita seputar Krisis Moneter 1997 (yang meluas menjadi krisis multiwajah di negeri kita itu) jelas berbicara: Tentang cukong-cukong besar yang, bermodalkan koneksi politis berbasis nepotisme dan kroniisme, dan yang dimanjakan oleh iklim kebijakan deregulasi perbankan yang ekstra-longgar karena didorong oleh optimisme maniak-narsisistik tentang pertumbuhan ekonomi, berlomba-lomba mendirikan bank; mengucurkan kredit (yang berarti menciptakan uang) secara besar-besaran kepada (untuk) kelompok usaha mereka sendiri; menarik rente dengan berbagai spekulasi; ber-cincay-ria dengan sekelumit praktek suap, sogok, manipulasi; sementara tetap bego dalam urusan profesionalisme dan efisiensi.

Sisanya, kemudian, adalah sejarah. Badai finansial datang; kebernilaian uang tak dapat lagi ditopang dengan tunak; bank-bank itu ambruk, menyisakan tunggakan ratusan trilyun Rupiah yang menjadi beban bagi Negara; harga-harga kebutuhan pokok terbang; masyarakat resah dan panik; tatanan politik terburai; integritas sosial retak-pecah, kemudian remuk. Dan berapa jumlah korban jiwa serta harta benda karena pembunuhan, pembakaran gedung, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dalam Peristiwa Mei 1998 sebagai akibat dari—atau, setidaknya, yang salah satu andil bagi akibatnya adalah—semua itu? Silakan bertanya kepada Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengetahui angka persis(?)-nya. Namun demikian, setiap kali orang mengatakan ungkapan klise, “uang adalah akar dari segala kejahatan,” kita jadi dibuat berpikir, “jangan-jangan betul juga.” —Meskipun, itu tidak mengherankan juga, karena bila uang itu identik dengan kuasa, maka, seperti kata Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop Creighton—ungkapan yang tak habis-habisnya dikutip—“kuasa [itu sendiri] cenderung untuk korup.”

Dalam bukunya, Libidinal Economy, Jean-François Lyotard membedakan dua pengertian mengenai kuasa: “si maskulin” “le pouvoir,” yang terkait dengan pengertian-pengertian tentang potensial, gaya (force), atau kekuatan; dan “si feminin” “la puissance,” yang terkait dengan pengertian-pengertian tentang kapasitas atau kemampuan. Di dalam uang, sepertinya, kedua jenis kuasa itu “dikawinkan.” (Itulah salah satu sebab, barangkali, mengapa uang dapat beranak-pinak.) “Legal tender,” “nota bank,” atau “kredit pajak yang dapat digunakan sebagai alat tukar atau alat pembayaran” adalah beberapa istilah atau pengertian lain untuk uang. Di dalam pengertian-pengertian itu, kita lihat bagaimana “le pouvoir” dari struktur dan fungsi institusi-institusi serta aparat-aparat hukum dan negara berpadu dengan “la puissance” dari kapasitas-kapasitas ekonomi tentang daya-guna serta kalkulasi dan daya-simpan nilai.

Sekarang, marilah kita membuat sedikit, katakanlah, “eksperimen teoretis.” Pandanglah uang, dengan inspirasi dari Deleuze dan Guattari, sebagai sebuah sistem tanda; juga, dengan meminjam terminologi mereka, kita sebut saja sistem itu sebagai “enregistrement.” Dari Lyotard, kita ambil idenya tentang “circonversion,” sebuah proses di mana institusi-institusi ekonomi, politik, hukum, pendidikan, atau media, misalnya, terbentuk sebagai “konsentrasi dan konsolidasi” dari arus intensitas-intensitas libidinal yang terbangun dari disposisi hasrat yang oleh Lyotard disebut “dispositif”—dan yang berputar menapaki “tubuh teoretis” yang oleh Lyotard digambarkan dengan pita Möbius. Sampai di sini, kita mendapati sebuah sistem sibernetika dengan “le pouvoir” dan “la puissance” membentuk lingkar-balik antara “enregistrement” dengan “circonversion.” Kemudian, kita gandengkan sistem kita itu dengan “sistem sibernetika” kedua, yang kita dapatkan dari paparan Louis Althusser tentang ideologi: yaitu bahwa setiap subjek dikonstitusikan oleh ide-ide yang termanifestasikan dalam praktek-praktek atau perilakunya, dan perilakunya itu diatur oleh ritual-ritual, yang, pada gilirannya, didefinisikan oleh “perangkat-perangkat ideologis” (institusi-institusi seperti dalam “circonversion” —yang, dengan demikian, menjadi interseksi dari kedua sistem sibernetika kita itu), dan dari institusi-institusi itulah, ide-ide tersebut diderivasikan.

Apa yang dapat kita simpulkan dari eksperimen kita itu? Identitas ini, barangkali: Uang adalah bahasa ideologi. —Ideologi kapitalisme, tentu saja. Ini memang bukan sebuah simpulan yang mengejutkan; bahkan, tidak juga istimewa. Akan tetapi, bila kita renungkan, kita akan menyadari bahwa betapa dalam, implikasi dari simpulan eksperimen kita itu.

Setidaknya ada dua tataran di mana hal itu dapat kita petakan: Pertama, konsekuensi dari identitas antara uang dengan bahasa adalah bahwa uang bisa merasuk jauh ke dalam alam-bawah-sadar subjek yang berada di bawah sistem kapitalisme. Selain itu, sebagai bahasa, uang memang bahkan seringkali “berbicara” lebih lancar dan lebih efektif daripada argumen lewat kata-kata, sebagus apapun argumen itu. “Money talks, bullsh*t walks,” kata tokoh yang diperankan Danny DeVito kepada karakter saudara kembarnya yang diperankan Arnold Schwarzenegger dalam filem Twins. Kedua, konsekuensi dari keterkaitan antara uang dengan ideologi, dan dalam hal ini, ideologi yang dipahami dalam perspektif “pratique” Athusserian, yaitu sebagai praktek-praktek atau perilaku keseharian—bukan wangsit, bukan erudisi, bukan pula naskah manifesto politik—adalah bahwa tak seorang pun, di bawah kapitalisme, bisa lepas—atau, setidaknya, bisa dengan mudah melepaskan diri—dari jerat kuasa uang.

Kita rehat sejenak. Ini adalah saat yang tepat untuk sebuah kilas-balik.

Di titik ini, kita lihat bahwa kita telah bertabrakan dengan sebuah, katakanlah, “dinding epistemologis” yang pejal—sehingga kita dipaksa untuk mengevaluasi kembali konstruksi penafsiran kita atas teks Syahrini dalam simpulan kita tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu. Apa yang kita paparkan tentang kondisi kapitalisme mutakhir, yang kita maksudkan sebagai elaborasi untuk paruh kedua pada proposisi simpulan kita itu, dalam perjalannya, ternyata menjadi seperti seekor anak kucing yang imut, yang kita rawat serta kita besarkan, dan kemudian berubah menjadi seekor macan tutul yang gahar. Dan ia berbalik untuk siap mengerkah paruh pertama dari proposisi tersebut—sebuah sibernetika Bourdieusian “agen-sosial vis-à-vis struktur,” sesosok puteri duyung yang kita duga tangkas serta penuh percaya diri, yang kini tampak ringkih serta rapuh.

Seberapa bermakna, sebenarnya, simpulan kita dalam pernyataan, “upaya memperdamaikan ‘habitus’ keberagamaan dengan superposisi berbagai ‘field’ dari realitas kehidupan saat ini” itu, bila semesta logika-proposisional untuk pernyataan itu, yaitu, “di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang,” adalah “jerat kuasa uang”? Kelihatannya kita seperti menempatkan si Puteri Duyung bersama si Macan Tutul di dalam sebuah ruangan yang sempit. Apakah si Macan Tutul akan memakan habis tubuh si Puteri Duyung? Sangat boleh jadi. (Macan tutul, lho, ini; bukan kucing. Kalau kucing, sih, yang dimakannya mungkin cuma bagian bawah saja dari tubuh si Puteri Duyung.) Atau apakah akan terjadi jalinan asmara di antara mereka? “Puteri Duyung memang fiksi, Coy. Tapi kalau ceritanya sampai harus pacaran sama macan tutul, kebangetan, itu, namanya.”

Baiklah. Apa boleh buat, konstruksi penafsiran kita itu barangkali memang harus kita akui retak di atas fondasinya.

Di awal, kita berangkat dari asumsi—dengan menggunakan instrumen paradigmatik ala Bourdieu—bahwa, dalam pandangan kita, di negeri kita saat ini, “field” keberagamaan harus diberi bobot sama kuat dengan “field” ekonomik. Tetapi benarkah demikian kenyataannya? Jawaban atas pertanyaan inilah yang barangkali memang belum dapat kita putuskan dengan jelas-tegas. Dengan demikian, proposisi Althusser tentang “surdétermination” (yang diilhami oleh “Überdeterminierung”-nya Freud), yaitu multidimensionalitas sebab-struktural dalam determinasi dinamika perubahan sosial, menjadi relevan dalam hal ini (—betapapun proposisi itu dipandang kabur oleh G. A. Cohen). Dalam pandangan Althusser, “struktur dominan” (“structure à dominante”) dalam sebuah masyarakat bisa saja berganti-ganti locus—satu saat ada di lapangan ekonomi, saat lainnya ada di kehidupan keberagamaan—tetapi ujung-ujungnya, dinamika perubahan sosial secara riil “ditentukan dalam hal-tunggal pengata-akhir” (“determiné en dernié instance”) oleh perekonomian.

Hal di atas itu, barangkali, secara tepat terefleksikan dalam kata-kata Buya Syafi’i Ma’arif belum lama ini. “Saya heran,” demikian kira-kira pernyataannya, “tiap tahun antrian jemaah haji kita selalu panjang. Tapi kenapa korupsi tetap menjadi gejala yang masif di negeri ini?” “Keheranan” Buya Syafi’i di sini tentu saja adalah sebuah retorika: pesan yang disampaikannya lebih merupakan kritik deontologis-etis, ketimbang demonstrasi ketakpahaman kognitif. Buya Syafi’i pasti tahu, bahwa menyangkut urusan korupsi, pertama-tama masalahnya adalah, bahkan mungkin bagi orang yang paling saleh sekalipun di negeri kita saat ini, uang tetaplah terlalu seksi, dan di saat yang sama, terlalu perkasa. Kemudian, masalahnya menjadi serba-buruk karena deru kapitalisme yang mendapat momentum dahsyat di dua abad terakhir ini menyeret ke dalam pusarannya, negeri kita yang tergagap-gagap dengan segala kelemahan dan kekarut-marutannya, terutama di sisi pranata-serta-budaya politik dan hukum—plus, untuk saat ini dalam pandangan tidak sedikit orang, juga di sisi kepemimpinan Nasional.

Kita tentu dapat mengajukan keberatan atas pandangan yang tampak deterministik-strukturalistik seperti itu. Kita dapat bertanya: “Bukankah manusia itu mempunyai kehendak-bebas? Bukankah seorang manusia selalu dapat memutuskan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam sebuah perkara? Lagipula, selemah itukah peran moralitas yang mungkin merupakan inti dari semangat keberagamaan itu? Bukankah orang yang beriman dan saleh akan mampu melepaskan diri dari pengaruh buruk bagi akhlak, seperti, dalam hal ini, ‘godaan’ uang?” Memang tidak ada yang salah dengan semua keberatan itu. Hanya saja, barangkali, keyakinan seperti itu hanya berterima pada level subjek atau individu. Tetapi kita kemudian dapat bertanya lagi: “Bukankah bila setiap individu adalah individu yang beriman dan saleh, pada akhirnya kita akan mendapati sebuah ‘masyarakat yang beretika dan bermoral baik’?” Logika inilah, barangkali, yang tidak dapat kita terima begitu saja, tanpa kita cerna atau kita refleksikan terlebih dahulu.

Di sini kita menemui hal yang paling mendasar dalam setiap problem-struktural: bahwa struktur mempunyai dinamikanya sendiri, dan bahwa masyarakat tidaklah identik dengan penjumlahan elemen-elemennya. Itulah sebabnya, barangkali, seperti yang dapat kita petik dari tafsir Cak Nur (Nurcholish Madjid) atas surat Al-Ăşr, mengapa Al-Quran menyebutkan bahwa bagi umat manusia, agar terlepas dari kategori “berada dalam kerugian,” kriteria “beriman dan beramal saleh” saja tidak cukup—tetapi juga harus ada “deontologi struktural” “saling-mengingatkan dalam perihal kebenaran,” yang dalam pandangan Cak Nur, untuk era moderen, tak dapat tidak, harus pula diartikan sebagai “sistem hukum serta kendali atau perimbangan-kekuatan politis (check and balance) yang dilembagakan serta dibudayakan.” Masih ada satu kriteria lagi yang harus dipenuhi, kita tahu: yaitu adanya “saling-mengingatkan dalam perihal kesabaran,” yang barangkali dapat kita pahami sebagai “solidaritas sosial,” atau mungkin, bagi mereka yang meyakini keharusan adanya keterlibatan langsung dari negara dalam urusan kesejahteraan masyarakat, sebagai “konsep negara-kesejahteraan (welfare-state).” Bukan kebetulan, tentunya, bila surat Al-Ăşr dibuka dengan, “Demi masa”—yang seolah mengatakan kepada kita, “Belajarlah dari sejarah. Lihatlah betapa komunitas-komunitas sosial-ekonomik-politis yang gagal mentransformasikan prinsip-prinsip etika dan moralitas ke dalam tata-kelola struktural yang adil dan berkeadaban, membuat mereka akhirnya runtuh dan luluh-lantak—tak jarang dengan disertai serentetan episode debacle yang brutal dan berdarah-darah.”

Transformasi—atau kerap juga transubstansiasi—ini perlu, karena prinsip-prinsip etika dan moralitas pada level individu (atau kelompok individu) tidak selalu kompatibel dengan imperatif “deontologi struktural” pada level masyarakat secara keseluruhan.

Dalam sebuah kesempatan, Alwi Shihab pernah bercerita tentang pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Seseorang bertanya, demikian seturut penuturannya, “apakah seorang politisi boleh berbohong?” Pak Alwi menjawab, masih seturut penuturannya, bahwa berbohong itu memang “tidak boleh”; namun demikian, lanjutnya, khusus bagi politisi, hukumnya menjadi “boleh.” “Tapi saya dikoreksi oleh Duta Besar Yaman,” tutur Pak Alwi lagi, “Menurut beliau, bagi seorang politisi, berbohong itu hukumnya bukan ‘boleh,’ tetapi ‘wajib.’” Orang tentu boleh setuju atau tidak, dengan “logika hukum” dari pernyataan Pak Alwi itu. Tapi Pak Alwi bisa juga benar. Hanya saja, coba kita perhatikan konsekuensinya, bila “logika hukum” dari pernyataan Pak Alwi itu memang sahih: Jika khusus bagi para politisi, berbohong itu hukumnya menjadi “boleh,” atau bahkan “wajib,” maka bukankah, kemudian, khusus kepada para politisi, berprasangka-buruk itu hukumnya juga menjadi “boleh,” atau bahkan “wajib”?

Contoh inkompatibilitas antara prinsip etika dan moralitas pada level individu dengan imperatif “deontologi struktural” pada level masyarakat, seperti dalam kasus Pak Alwi tadi, mungkin, oleh sebagian orang, akan dianggap terlalu samar karena bersifat subjektif-ideal. Tetapi di bidang yang bersifat objektif-material, yaitu ekonomi, contoh-contoh seperti itu bahkan lebih jelas kentara, dan bertebaran di banyak kasus. Kita hadirkan satu contoh elementer saja di sini: Apa yang akan terjadi, umpamanya, bila setiap orang mendadak “sadar” akan pentingnya etika hidup sederhana, dan semua orang serentak mewujudkannya, “dengan langkah kecil saja,” misalnya dengan mengurangi total belanja kebutuhan mereka separuh dari jumlah biasanya? Mimpi buruk bagi ekonomi-makro. Satu-satunya hal baik barangkali adalah inflasi akan menjadi lebih jinak. Tetapi hal-hal lainnya? Bila konsumsi menyumbang dua pertiga bagian kepada total produk domestik bruto (PDB), maka ceteris paribus keluaran ekonomi akan berkontraksi sepertiganya. Dengan angka PDB nominal, katakanlah, enam ribu trilyun Rupiah, maka barang dan jasa senilai dua ribu trilyun Rupiah akan raib dari peredaran. Kita dapat membayangkan: Sejumlah besar perusahaan akan gulung tikar; PHK merajalela—dengan segala dampak sosialnya.

Dan itulah soal krusialnya. Agaknya kenyataan “vulgar” yang paling keras menampar kesadaran semua orang saat ini adalah bahwa sekali wahana perekonomian itu bergulir, maka ia tak bisa berhenti. Tak boleh berhenti. Kenyataan ini sering membuat segala argumen etika dan moralitas menjadi tersudut tak berdaya, terbata-bata dicecar oleh omelan fasih argumen material-ekonomik. Karena perut yang lapar memang tak dapat menunuggu. Dan siapapun berjudi dengan taruhan tinggi bila meremehkan perut yang lapar. Lalu akan halnya etika dan moralitas? Etika dan moralitas itu serupa maskara dan bulu-mata panjang milik Syahrini: Ia bisa saja “tahan-badai” (rasanya lebih tepat daripada “anti-badai,” byword versi orisinal Syahrini), tetapi patut diragukan, apakah ia juga akan tahan terhadap air-mata yang meluap ketika sang Empunya terpuruk dirundung galau? Etika dan moralitas bisa saja tetap bergeming, kokoh, tak tergoyahkan, oleh “propaganda kafir” dengan segala “muslihat keji” dari “konspirasi jahat”-nya, tetapi patut diragukan, apakah ia juga akan tahan terhadap perut-yang-lapar?

Larut bersama-sama di dalam gemasing-kemincir, rementak, dan lemuncur wahana perekonomian—dengan interkoneksi komponen-komponennya yang berajut-temenun, berjulur-lintang, berumpan-balik, dan berujuk-silang itu—bahkan urusan pembinaan kesalehan akhlak, di satu bilah, secara struktural, turut bergantung kepada urusan maksiat, di bilah lain. Bukankah dakwah dan syiar agama juga butuh biaya? Dari mana, misalnya, Pemerintah membiayai sosialisasi budaya “Maghrib Mengaji”? Dari pajak, salah satunya (boleh jadi porsi terbesar dari sumber pembiayaannya). Akan tetapi kapan atau dalam hal apa Pemerintah dapat memperoleh pemasukan dari pajak? Bila perekonomian bergerak dan menghasilkan surplus. Dari sektor mana? Sektor mana saja. Hotel-hotel, salon-salon, dan spa-spa dengan prostitusi terselubung, serta panti-panti pijat plus-plus juga ikut berkontribusi. Kemudian, kita bicara besaran dan jumlah: bukankah, supaya efektif, misi luhur dan mulia itu kadang mempersyaratkan ketersediaan uang yang tidak sedikit? Di bawah perkonomian libidinal-kapitalistik seperti halnya saat ini, “sufi” yang paling zuhud kadang membutuhkan “pelacur” yang paling genit.

Lebih tragisnya lagi, barangkali, di bawah sistem yang sama, urusan perut yang lapar pada orang-orang yang terpinggirkan, juga sering bergantung kepada urusan kosmetika gaya-hidup, gengsi, atau hura-hura pada orang-orang yang berada di pusat-pusat kuasa (ekonomi, dan boleh jadi juga politik). Hajat hidup orang banyak bergantung kepada hajat kuasa dan prestise segelintir elit. Maka ketika perekonomian tiba-tiba terpelanting ke lembah terdepresif dari siklus bisnis, yang selalu terjadi adalah bahwa entitas-entitas bisnis raksasalah yang “harus diselamatkan.” Mereka itu, “too big to fail.” Banyak orang yang merasa sebal dengan retorika “too big to fail” ini, tetapi retorika tersebut menjadi menyebalkan, justru karena validitas logikanya sulit dibantah. Dan “to let fail” apa yang “too big to fail” akan mengakibatkan “too big a failure,” yaitu “systemic failure.”

Yang terhormat, para anggota Dewan di Senayan, dengan segala retorika “prediksi post hoc” mereka di keriuhan Pansus Kasus Bank Century beberapa waktu lalu, boleh saja, kalau hanya sebatas retorika, dengan enteng menafikan kemungkinan terjadinya “kegagalan sistemik” pada dunia perbankan kita, yaitu ketika, beberapa waktu sebelumnya, Krisis Ekonomi 2008, yang bermula dari krisis sub-prime mortgages di Amerika Serikat itu, menunjukkan tanda-tanda imbasnya kepada perekonomian kita. Tetapi sikap seperti itu, selain kehilangan perspektif, juga bisa berbahaya kalau dijadikan basis kebijakan publik. (Bahwa kebijakan Jaring Pengaman Sektor Keuangan kemudian menjadi “kesempatan-dalam-kesempitan”—dimanfaatkan oleh orang-orang culas dengan keterlibatan figur-figur sentral dalam lingkaran kekuasaan?—yang kemudian memunculkan Kasus Bank Century tersebut: itu soal lain.)

Diakui atau tidak, “kegagalan sistemik,” di dalam sistem kapitalisme, bukanlah omong kosong; ia adalah cacat bawaannya. Kendatipun “tak tampak” dalam kondisi “normal,” ia sewaktu-waktu dapat muncul dalam rupa yang teramat menyedihkan, sekaligus menakutkan. (Para ekonom Keynesian, dari Simon Kuznets hingga Paul Krugman, memang menyumbangkan kerangka teoretis penting bagi kebijakan stabilisasi, tetapi dua kritik atas problem paling mendasar dalam ekonomi, yaitu, pertama, yang datang dari Marx, tentang kemustahilan pencapaian keadaan-tunak dalam hal kesetimbangan antara penawaran dan permintaan, dan kedua, yang datang dari Amartya Sen, tentang rigiditas struktural yang menyebabkan disparitas antara efisiensi ekonomik dengan efektivitas distribusi sumberdaya ekonomik, sepertinya akan tetap relevan sampai kapan pun.)

Jadi, misalnya, dalam rangka “penyehatan” terhadap kondisi perbankan yang remuk-redam dihajar Krisis Moneter 1997, Negara, dalam hal ini: Bank Indonesia, ketika itu, harus menggelontorkan dana penanggulangan krisis yang konon jumlahnya total lebih dari enam ratus trilyun Rupiah (terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, Obligasi Rekapitalisasi, dan Obligasi Penjaminan). Dan konon, sampai saat ini pun tingkat pengembalian atas dana yang menggelontor itu masih sangat rendah, mungkin belum sampai setengahnya. Sisanya masih belum jelas juntrungannya. Namun poinnya adalah, betapapun gusarnya publik akan hal itu, publik sulit membantah bahwa langkah darurat yang melatari kondisi tersebut tetap perlu diambil. Argumen moral mengutuknya; argumen material meniscayakannya. Itulah antinominya. Itulah ironinya.

Maka seandainya para motivator beralih fungsi menjadi para budayawan, sepertinya pertaruhan terbesar kita adalah ketika kita mentakzimi nasehat mereka tentang upaya memperdamaikan, di satu pihak: agama, etika, atau moralitas, dengan, di lain pihak: uang. Karena ada perseteruan abadi di antara kedua pihak itu. —Kecuali, tentu saja, kalau uang juga dianggap sebagai sistem etika, moralitas, atau bahkan, mungkin, “agama” terendiri: “etika uang,” “moralitas uang,” atau “agama uang.” “Uang tidak menentukan segalanya, tetapi segalanya akan menjadi tidak menentu tanpa uang.” Di dalam peri-kehidupan masyarakat kapitalistik, tidakkah terlihat bahwa dalam kondisi normal, segalanya ditentukan oleh uang? dan dalam kondisi krisis, justru uanglah yang membuat segalanya menjadi tidak menentu? “Kita harus mengendalikan uang, bukan dikendalikan oleh uang.” Harus. Tapi mampukah? Optimisme mereka—keyakinan mereka akan kemampuan untuk “menguliti macan tutul, dan menjadikan kulitnya sebagai kaftan untuk kemudian dipakaikan kepada Puteri Duyung”—yang menyejukkan dan membesarkan hati, pada level kehidupan pribadi itu, dapat menjadi blunder yang fatal pada level tataran struktural kehidupan masyarakat.

Macan tutul memang kadang-kadang tampak serupa kucing. Atau, barangkali, macan tutul pada dasarnya memang sejenis kucing juga, sih. Tapi bagaimanapun, macan tutul tetaplah macan tutul. Ketika agama, etika, atau moralitas, dijadikan roh deontologis-etis untuk melegitimisasi signifikansi (atau, mungkin, “superioritas”) uang dan peri-kegiatan ekonomik, maka agama, etika, atau moralitas, akan selalu berada dalam risiko untuk terposisikan pada sebentuk peran sebagai apa yang oleh Žižek disebut “vanishing mediator.”

Seperti gaun pengantin—begitulah barangkali hakikat “vanishing mediator” itu. Gaun pengantin tampil di saat-saat menentukan dalam kehidupan, di sebuah ritus prosesional yang sakral, yang menandai sebuah perubahan penting. Ia dinanti, disambut, dipuji, dikagumi. Tetapi semua gaun pengantin bernasib sama. Ujung-ujungnya—tak peduli secantik, se-elegan, dan semewah gaun yang sempat dikenakan dengan manisnya oleh Kate Middleton—ia tetap akan direnggut, diurai, dilepas, ditanggalkan (dan mungkin bahkan dilempar ke lantai?) dalam sebuah ritus lain yang penuh hasrat: prosesi “malam pertama.”

Salah satu tesis tentang genealogi kapitalisme yang diyakini secara luas keberterimaan teoretisnya adalah proposisi Weber—seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini—tentang “Etika Protestantisme.” Menurut Weber, kapitalisme lahir dari pergeseran etika, dengan pemaknaan ulang terhadap “kesalehan akidah” agama Kristen, melalui penahbisan “panggilan duniawi” (peri-kegiatan ekonomik) sebagai “ekspresi ketaatan kepada Tuhan.” Dalam prosesnya, semangat “rasionalisasi” dan “intelektualisasi” itu kemudian memunculkan penilaian bahwa hal-hal duniawi dirasakan lebih penting dan tak cocok lagi dengan hal-hal religius. Maka agama pun akhirnya dicampakkan.

Žižek memandang proses tersebut terjadi dalam dua fase, atau—dalam istilah Žižek—dua “pasase”(“passages”) yang melibatkan dimensi “konten” (substansi) dan “forma” (bentuk): Pada pasase pertama, “konten” berubah, tetapi perubahan itu terjadi dalam “forma” lama—peri-kegiatan ekonomik mengedepan, tetapi signifikansinya tetap dimaknai dalam kerangka imperatif kesalehan religius. Pada pasase kedua, yang terjadi adalah murni perubahan “forma”—setelah peri-kegiatan ekonomik mengedepan, agama disisihkan begitu saja. Agama di sini hanya berperan sebagai semacam “katalis,” yang hadir untuk kemudian terusir, di persinggahan antara transubstansiasi dan transformasi, atau—dalam paparan Žižek—agama di sini berperan sebagai “vanishing mediator.”

Itukah yang terjadi di negeri kita saat ini? Sulit untuk memberikan jawaban pasti. “Indonesia ini luas, jumlah penduduknya besar, dan modus kehidupan masyarakatnya pun beragam,” kita katakan. Tetapi rasanya kita dapat menengarai kuatnya kecendrungan seperti itu, dan mengatakan bahwa, setidaknya, gejala-gejala transubstansiasi-transformasi peri-kehidupan (yang melibatkan aspek-aspek keberagamaan dan aspek-aspek perekonomian) itu, kini tampak tengah berlangsung dalam bentuk bertetarikannya wacana-wacana dan praktek-praktek dalam interrelasi sosial saat ini. Barangkali cukup aman untuk kita katakan bahwa, di negeri kita saat ini, pertarungan antara imperatif-deontologis “moralitas keberagamaan” dengan keniscayaan-material “pragmatisme ekonomik” masih belum selesai.

Setidaknya, pertarungan itu belum selesai bagi Syahrini. Bagi sebagian orang, barangkali, Syahrini akan selalu “dikutuk” untuk menjadi “Puteri Duyung,” sesosok “makhluk jadi-jadian” yang alim-alim-kenes, persilangan antara “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”: separuh “sosok”-nya adalah tubuh puteri cantik yang beraura magis (etika, moralitas, keberagamaan, dst.), separuhnya lagi adalah tubuh ikan yang bau amis (hasrat duniawi, uang, “material girl,” dst.). Tetapi “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” boleh jadi hanya tampak mesra di permukaan. Di dasar dan kedalaman, yang biasanya merupakan tempat yang lebih cocok untuk bersemayamnya konflik, bukan tidak mungkin terdapat pula pergulatan—yang memeram kagalauan tersendiri—untuk sebuah metamorfosis: kerinduan untuk menjadi sesosok “princess” yang “sesungguhnya.”

Berikut ini kita simak “resolusi antigalau” dari Syahrini—kita tafsirkan sebagai respon subjektif terhadap pertarungan itu—yang dapat kita tuai dari kolase petikan-petikan lirik beberapa lagunya (dengan sedikit bantuan dari interpretasi etika Lacanian):

Dalam “Tatapan Cinta,” Syahrini berkata, “Cinta… Mengapa kau siksa aku, saat hidupku baik-baik saja? Ku hanya inginkan satu cinta. Hindarkanlah aku.” Neurosis: Ada sedikit histeria, ada sedikit paranoia. Ada sedikit halusinasi, ada sedikit delirium. Apa yang membuat Syahrini begitu galau sampai-sampai Syahrini meratapi “kenyataan” bahwa “cinta” yang dia katakan, “kau siksa aku,” itu, juga sekaligus sebagai “cinta” yang dia “inginkan”? “Barred subject”: Syahrini terbelah—separuh berada di dalam alam-bawah-sadar, separuh lagi di dalam kesadaran. Dan “cinta,” yang dipanggil-panggil oleh Syahrini itu, boleh jadi adalah dua “objek-hasrat” yang berbeda, yang dikira identik oleh Syahrini. Kita simak lagi “ratapan” Syahrini tadi berikut ini, kali ini dengan menambahkan tafsiran tengil kita yang dicantumkan dalam tanda kurung-siku:

“Cinta… [Uang…] Mengapa kau siksa aku [‘…sampai aku harus pingsan, segala’], saat hidupku baik-baik saja [‘—Dulu aku hanya seorang gadis lugu dari Bogor. Hidupku sederhana, tapi bahagia’]? Ku hanya inginkan satu cinta [kebahagiaan—apa pun itu, definisinya]. [‘Tuhan, tolong…’] Hindarkanlah aku [‘…dari karir yang membunuh kehidupan pribadiku, dari sorotan kamera dan kilatan lampu blitz para paparazzi yang usil dan menggangu itu, dari olok-olok para presenter acara infotainment yang mulutnya bawel-bawel itu, dari tuntutan berat para produser yang sok ngatur-ngatur itu, dari tudingan masyarakat yang sok benar-sendiri dan sering tak berperasaan itu—sampai bikin black-campaign pakai bilang aku lady-escort, segala…’].”

Kemudian, dalam “Tak Memilih,” Syahrini berkata, “Ku harus lupakan; ku harus tinggalkan; ku harus menghapus semua duka yang telah kau beri—di akhir cerita kita…” Apakah gerangan, sebenarnya, “duka yang telah kau beri” itu? Apakah “cinta” memberi Syahrini “duka”? Tetapi “duka” adalah reaksi subjektif Syahrini. Syahrini menegaskan, “ku harus…”—dia semakin sadar akan dirinya sebagai Syahrini yang berhadapan dengan “bukan Syahrini.” Syahrini tengah menatap cermin. Dia melihat gambaran dirinya yang sedang “berduka.” Dan sebagaimana layaknya dalam cermin, logika yang berlaku adalah logika kebalikan. “Castration”: “duka yang kau beri” adalah “kebahagiaan yang kau rampas dariku.”

Tetapi “kebahagiaan” juga adalah reaksi subjektif Syahrini. Syahrini telah mengira bahwa “sesuatu” akan mengembalikan “cinta” yang dia kira dulu dia “miliki”—“saat hidupku baik-baik saja”—namun kini dia sadar bahwa baik “cinta yang terampas dariku” oleh “sesuatu,” maupun “sesuatu” itu sendiri, adalah hasrat dari “Yang Lain.” Maka Syahrini merasa yakin, “ku harus lupakan; ku harus tinggalkan; ku harus menghapus…”—“cinta” yang “terampas dariku,” kemudian, Syahrini tegaskan sebagai “tiada.” “Traversing the fantasy”: “objek-hasrat yang hilang” sebenarnya tak pernah hilang, karena tak pernah ada. Syahrini pun menyimpulkan, “di akhir cerita…”—pergulatan itu terlewati. Dia tidak lagi berbicara “kau” dan “aku,” tetapi “kita”: Syahrini berdamai dengan “Yang Lain.” Sebagai seorang muslimah, Syahrini berada selangkah lagi ke arah doa yang “benar-benar doa.”

Maka, “akhirnya,” dalam “Ya Robbi,” Syahrini berkata, “Ya, Allah, tabahkan diri; kuatkan iman—kuatkan iman,” serta dalam “Taubatlah Taubat” (dan dua kata “taubat” di sini tentu saja merupakan repetisi, bukan berarti perintah taubat kepada taubat itu sendiri), Syahrini berkata, “Jangan terbuai; jangan terlena. Jangan terbuai, dan sadarilah.” Syahrini tidak lagi memohon untuk “dihindarkan” dari realitas yang “menyiksa,” karena realitas yang “menyiksa” adalah realitas yang sama yang juga menjanjikan “sesuatu,” sehingga dapat membuatnya “terbuai” dan “terlena.” “Jouissance”: “Akan kunikmati kegalauanku.” Syahrini berfokus kepada “kesadaran,” kepada “ketabahan” dan “kekuatan iman” di dalam “diri”-nya. Persoalannya adalah, bahwa doa Syahrini yang meminta “ditabahkan diri” dan “dikuatkan iman” itu sendiri menunjukkan bahwa “diri” bisa saja menjadi tidak “tabah,” dan “iman” menjadi tidak “kuat.” Semakin bertumbuh, “kesadaran,” semakin besar, peluang bagi Syahrini untuk “menyadari” bahwa akan selalu ada “sesuatu” yang membuat “diri”-nya “terbuai” dan “terlena.”

Namun demikian, barangkali, sebenarnya tidaklah terlalu buruk bila Syahrini kemudian menjadi “terbuai” atau “terlena” oleh “sesuatu.” Boleh jadi Syahrini malah akan tambah “sukses”—meskipun Syahrini mungkin akan semakin rentan terhadap galau: Akan semakin banyak orang yang melancarkan “black-campaign” tentangnya, akan semakin ketat jadwal pentasnya (yang berakibat meningkatnya peluang timbulnya kondisi traumatik yang memungkinkan Syahrini untuk pingsan), atau mungkin akan lebih sering dalam setahun Syahrini harus menginap beberapa hari di rumah sakit karena terserang tifus—lalu tiba-tiba berat badannya bertambah dalam masa pemulihan. Yang akan menjadi sangat buruk adalah bila masyarakat ikut-ikutan “terbuai” dan “terlena” oleh “sesuatu.” Dan yang dimaksudkan dengan “masyarakat” di sini adalah masyarakat sebagai sebuah kesatuan struktural, serta “sesuatu” di sini adalah peri-kehidupan materialistik, yang beroperasi di bawah sistem perekonomian libidinal-kapitalistik, dalam setting kekarut-marutan institusional-kultural sistem politik dan hukum, seperti halnya di negeri kita saat ini—sebuah arus besar yang sepertinya pratiquement menjadi “ideologi dominan.”

“Resolusi antigalau”-nya Syahrini adalah sebuah pertaruhan eksistensial: Bila berhasil, ia barangkali akan menjadi apa yang dikatakan oleh Roberto Unger sebagai “kapabilitas negatif” (“negative capability”), yang dalam paparan Unger berarti, kira-kira, transendensi peran keagenan-sosial, kemampuan pemberdayaan-diri, yang melampaui keterdampakan oleh struktur—atau, kapasitas subjek yang tidak tereduksikan ke dalam kepatuhan atau penentangan semata. Sebaliknya, bila gagal, ia tampaknya akan menjadi apa yang dikatakan oleh Žižek sebagai “disidentifikasi ideologis” (“ideological disidentification”), yang barangkali dapat dijelaskan begini: Sebuah ideologi dominan selalu memberikan keleluasaan kepada subjek-subjeknya untuk seolah-olah bergerak dalam kendalinya sendiri, menjaga jarak, dan bahkan mungkin mendemonstrasikan penentangan terhadap garis-garis haluan eksplisit yang diresepkan oleh ideologi dominan tersebut; namun demikian, pada akhirnya, totalitas praktek yang dijalani oleh si subjek akan tetap mengukuhkan dominasi dari si ideologi itu. Subjek yang berperilaku dalam bingkai diskursif inilah yang dikatakan oleh Žižek sebagai melakukan “disidentifikasi ideologis.”

Telah kita lihat konsekuensi dari pertaruhan “resolusi antigalau” ini bagi teks Syahrini dalam interpretasi kita atas wajah publiknya sebagai sosok-khalayak. Bagaimana hal itu lebih lanjut akan berdampak pada kehidupan pribadi Syahrini, tidak perlulah dijelaskan di sini. Bagaimanapun, kehidupan pribadi Syahrini adalah milik Syahrini sendiri.

Yang lebih patut untuk menjadi concern kita, tentunya, adalah—seperti yang kita simak sejauh ini di sini—bagaimana fenomena Syahrini ini menjadi penunjuk kepada “pergulatan batin-struktural di dalam peri-kehidupan sosial” masyarakat kita saat ini—kalau saja boleh, frase demikian dipandang bermakna. Sekurang-kurangnya, pernyataan yang dikemukakan oleh Hasyim Muzadi baru-baru ini, menunjukkan hal itu. Banyak hal telah kehilangan substansinya, kata Pak Hasyim: “Ekonomi kehilangan kemakmuran; politik kehilangan amanah; pendidikan kehilangan karakter; bahkan agama pun kehilangan etika,” katanya. Pertemuan para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu, yang kemudian melahirkan deklarasi bersama sebagai sikap resistensi moral mereka terhadap “kenyataan buruk” dalam berbagai persoalan yang menjadi perhatian dan topik kritik berbagai kalangan belakangan ini, juga menyuarakan concern yang sama. Dan sudah bukan lagi berita bila persoalan korupsi menjadi salah satu isu penting (atau bahkan mungkin terpenting) dalam pernyataan sikap mereka itu.

Pertaruhan yang lebih menentukan, terkait “pergulatan batin-struktural” seperti yang dikemukakan di atas, barangkali, adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika, dalam sebuah pidatonya beberapa waktu lalu, Pak SBY mengatakan bahwa ia akan “berdiri di depan,” untuk memimpin “jihad melawan korupsi.” Pak SBY tentunya tidak memilih kata “jihad,” dalam pernyataannya itu, dengan membuat daftar kata yang disalin dari tesaurus, mengurutkannya, lalu memilih salah satunya dengan melempar dadu. Kata “jihad”—barangkali terminologi paling “berat” dalam kehidupan keberagamaan—tentu adalah pilihan kata yang diputuskan dengan kesadaran. Sesadar-sadarnya kesadaran. Kita dapat menangkap implikasi dari tafsir atas pilihan kata tersebut dalam, setidaknya, dua hal: Pertama, bahwa Pak SBY mengakui, betapa korupsi saat ini telah menjadi fakta yang lugas, keras menohok kesadaran. Kedua: bahwa Pak SBY sadar, betapa korupsi saat ini sudah bukan lagi sekadar problem penegakan hukum; tetapi lebih mendasar lagi, yaitu bahwa persoalan korupsi telah mengusik atau bahkan mengancam keyakinan beragama, beretika, bermoralitas, bernurani—hakikat paling inti dari kehidupan bermasyarakat, filosofi yang bahkan menjadi roh yang, dengannya, segala skriptur dan prosedur hukum dilahirkan dan dihidupkan.

Konsekuensinya, argumen yang sering dikemukakan oleh para politisi yang menjadi “tameng” bagi posisi Pak SBY dari kritik publik, dalam isu pemberantasan korupsi, yaitu bahwa sikap terbaik bagi Pak SBY sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam pemberantasan korupsi, adalah dengan “menyerahkan semuanya kepada mekanisme hukum, menghormati hukum dengan tidak melakukan ‘intervensi,’” serta bahwa Pak SBY telah menyelenggarakan “upaya sungguh-sungguh” dalam isu pemberantasan korupsi tersebut, tampaknya membutuhkah dekonstruksi—karena argumen itu menjadi tidak lagi klop dengan tafsir atas “jihad melawan korupsi”-nya Pak SBY.

“Jihad” itu berbeda dengan “ijtihad” atau “mujahadah,” meskipun semua kata itu kurang lebih mengandung pengertian yang sama, yaitu “konsistensi” dan “upaya sungguh-sunggguh.” Inti dari “jihad” adalah “melawan struktur” dan “pasang badan.” Dengan demikian, retorika “jihad melawan korupsi”-nya Pak SBY dapat diterima sebagai bermakna, hanya bila retorika itu dibuktikan sebagai sebuah “kapabilitas negatif” yang mempersetankan semua biaya politis yang menyangkut jabatan Pak SBY sebagai Presiden, dan posisi-tawar partai-partai politik pendukung Pak SBY sebagai kekuatan transaksional dalam percaturan pertarungan kekuasaan. Bila tidak, retorika tersebut dengan mudah akan jatuh ke dalam “disidentifikasi ideologis.”

Yang sangat buruk dari “disidentifikasi ideologis,” lebih buruk dari sekadar “pencitraan” (atau “pencitraan disinformatif,” yaitu memberi kemasan citra yang baik kepada konten yang buruk), adalah bahwa bila dengan “pencitraan,” realitas buruk—berurat-berakarnya praktek korupsi, misalnya, dalam hal ini—menjadi seolah tertutupi, maka dengan “disidentifikasi ideologis,” realitas buruk itu menjadi seolah termaafkan, atau bahkan terabsahkan. Bandingkan saja, misalnya, mana yang lebih buruk: laporan keuangan yang penuh dengan manipulasi, atau laporan keuangan yang sama, kali ini dengan kualifikasi audit yang beropini “wajar” untuk itu?

Dan biar adil, bidik-telisik sikap kritis kita juga harus kita tujukan kepada para politisi dari kubu yang menjadi lawan politik dari kubu Pak SBY—baik itu “lawan yang terang-terangan” maupun “lawan yang malu-malu kucing” (atau mungkin lebih pas kalau kita katakan, “lawan yang malu-malu macan-tutul”). Secara konvensional, mereka biasanya digolongkan ke dalam kekuatan politik institusional non-penguasa. Jadi barangkali bolehlah kepada mereka kita terapkan imperatif-kriterial yang sedikit lebih ringan dalam hal pertaruhan “kapabilitas negatif” dan “disidentifikasi ideologis.”

Segala kritik dan langkah politis mereka yang ditujukan untuk “menyerang” Pak SBY—dengan retorika “amar ma’ruf, nahyi munkar,” “anti-neoliberalisme,” “pembelaan terhadap wong cilik,” “populisme perekonomian,” “suara hati nurani,” atau apa pun—harus kita terima sebagai kontrol politis yang baik dan perlu, sebagai aktualisasi awal dan minimal dari “kapabilitas negatif,” bahkan bila tujuan sejatinya di balik semua itu adalah tujuan pragmatis menaikkan pamor mereka, sekaligus merebut posisi hegemonik dalam percaturan wacana, atau malah menggeser dan mengambil-alih kekuasaan riil kendali atas Negara. Itu lumrah dalam politik. Langkah-langkah mereka itu kita katakan jatuh ke dalam “disidentifikasi ideologis” apabila peningkatan posisi-tawar mereka, sebagai raihan dari upaya-upaya itu, mereka gunakan sebagai “alat tukar” dalam bertransaksi politis yang bersifat, misalnya, bagi-bagi jatah kekuasaan semata, atau lebih buruk lagi, misalnya, saling-menutupi praktek-praktek kotor yang sama-sama mereka lakukan, dengan memanfaatkan keterpaparan posisi lawan tentang hal itu sebagai kartu truf yang masing-masing mereka pegang.

Meskipun demikian, sedikit catatan mengenai partai-partai politik—semua partai politik—sepertinya perlu kita tambahkan di sini. Bahwa sistem politik kita saat ini—sistem kepartaian, pemilihan umum (pemilu), susunan dan kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara, dan seterusnya—cenderung memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada partai politik. Paradoksnya adalah, bahwa kekuasaan yang terlalu besar itu bukannya membuat partai politik menjadi kuat secara inistitusional, tetapi malah rapuh, karena hal itu membuat partai politik yang hakikat das-Sollen-nya adalah organisasi massa berbasis kader dan berkarakter bottom-up menjadi lebih mirip dalam realitas das-Sein-nya dengan korporasi berbasis elitisme hirarkis dan berkarakter top-down. Dan distribusi kuasa menjadi bias kepada para elit partai. Maka di dalam sistem seperti ini, rekrutmen politik menjadi sebuah proses sirkulasi kuasa yang berputar di kalangan elit partai, acap lepas dari proses intermediasi aspirasi bagi kepentingan konstituensi.

Yang disebut “pimpinan partai” biasanya adalah kader-kader pilihan para elit yang “dipersiapkan” untuk maju dalam pertarungan kuasa, bukan manajer atau administrator yang memfasilitasi langkah maju kader-kader terbaik. Sedangkan yang sering disebut “kader-kader terbaik” hampir selalu identik dengan “les-élites-du-dessus partai,” yang nyaris selalu mirip para avonturir Machiavellian yang tengah menggalang dukungan bagi diri mereka (dan hampir selalu dapat dipastikan: mereka harus membidik posisi-posisi strategis di dalam partai terlebih dahulu sebagai sasaran antara)—ketimbang para politisi yang melangkah dari bawah, dan membangun reputasinya bertahun-tahun dengan berpeluh-peluh bersalaman dengan kaum buruh, petani, nelayan, atau pedagang kaki lima, menyusun petisi-petisi yang memperjuangkan kepentingan mereka.

Politik biaya-tinggi adalah realitas yang diproduksi oleh sistem seperti itu. Karena, kandidat pejabat publik yang disodorkan oleh partai politik biasanya mempunyai karakter yang khas: laku di kalangan elit partai, tapi tidak laku di kalangan pemilih. Untuk mencapai target jual, dengan demikian, dibutuhkan upaya pemasaran yang ekstra-agresif. Dan dibutuhkan dana yang besar bahkan “sekadar” untuk membuat kandidat yang disodorkan itu menjadi dikenal. Efek subsider dari kenyataan ini adalah, rekrutmen para artis ke dalam partai politik, atau ke sisi kandidat yang didorong oleh partai politik untuk maju dalam pemilu—yang tentunya dipandang sebagai pilihan strategi yang masuk akal, karena hal itu dianggap dapat menolong untuk mendongkrak popularitas partai politik atau kandidat peserta pemilu—menjadi gejala yang marak. Strategi pamungkas yang sering dianggap paling mangkus, tentu saja, adalah politik-uang. Dan bila hal ini terjadi, rusaklah satu simpul tatanan politik, yaitu otentisitas aspirasi. Tapi kerusakan tidak berhenti di situ saja. Distorsi terhadap otentisitas aspirasi adalah disfungsi fatal yang memberikan “umpan-balik positif” bagi degenerasi tatanan politik secara keseluruhan.

Di percabangan sistemik lain, kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki partai-partai politik, serta politik biaya-tinggi sebagai implikasinya, telah menempatkan partai-partai politik pada posisinya sebagai “loci standorum” yang sangat rentan terhadap intensi dan inisiasi praktek-praktek korupsi. Singkatnya: Partai sangat butuh uang. Sumber-sumber pembiayaan lazim tak bisa diandalkan. (Dapatkah iuran dari para anggota di ujung-bawah hirarki dan sumbangan dari para simpatisan di akar-rumput—yang potensinya sangat besar seandainya saja loyalitas emosional-ideologis itu masih ada—diharapkan menjadi sumber pendanaan yang memadai? Tapi, “Buat apa mati-matian berkorban untuk partai, kalau yang diuntungkan cuma para elitnya saja?” Maka untuk menyebar spanduk, baliho, atau stiker saja, “Mereka suka menagih, ‘Pak/Bu, uang-kopinya, dong.’”) Sementara, “Pemilu makin hari makin dekat, makin dekat, Saudara-saudara!” Senyampang semua itu, “keren”-nya, partai mempunyai “tangan sakti”—pejabat-pejabat publik beserta kebijakan-kebijakan publik di bawah kuasa-kelola mereka “berada di dalam genggamannya” (sebagian kendalinya, setidaknya). Lalu, “Sst! Ini gosip resmi: Akan ada proyek besar. Proyek besar, Saudara-saudara! Trilyunan!”— …

Menilik kondisi seperti itu, berprasangka buruk kepada para politisi rasanya memang pantas difatwakan wajib. Dan di dalam pertaruhan di antara “kapabilitas negatif” dengan “disidentifikasi ideologis,” retorika mereka patut dicurigai lebih berat bertendensi akan jatuh ke dalam hal kedua. Sistem yang ada, barangkali by design, tampaknya cenderung untuk melanggengkan status quo. Logikanya adalah, “dapatkah diharapkan terjadinya perubahan mendasar yang muncul dari tangan para politisi, khususnya para elit partai-partai politik itu, bila perubahan mendasar tersebut berarti pemangkasan kekuasaan mereka, ‘amputasi’ terhadap tangan mereka sendiri?”

Bukan saja menyedihkan, tetapi juga mengerikan, sebenarnya, bila kondisi seperti saat ini terus berlanjut. Jalinan proses-proses distribusi kuasa politik dan ekonomi yang bertemali, dengan bias kepentingan para elit, rasanya patut dipersalahkan untuk fakta yang menyayat nurani saat ini: bahwa pangsa terbesar dari nilai kekayaan pribadi di negeri kita sekarang terakumulasi di sepangsa kecil orang-orang atau kelompok. Dan lebih mengerikan lagi, ternyata pangsa terbesar dari nilai kekayaan yang terakumulasi di situ itu adalah dalam bentuk penguasaan atas tanah. Tidakkah Kasus Mesuji dan kasus-kasus sengketa tanah di wilayah-wilayah lain, yang melibatkan orang banyak berhadapan dengan korporasi yang ditamengi oleh Negara, tersebar di berbagai tempat di negeri kita, terdengar bak teriakan suara sirine yang meraung, melengking nyaring?

Ada masalah sistemik dalam tata-kelola struktural kita; itu satu hal. Namun demikian, andaikanlah masalah itu teratasi, dan perbaikan mendasar yang “sesuatu banget” terhadap institusi-institusi serta budaya politik dan hukum terjadi, tetapi perbaikan itu masih berlangsung dalam bingkai-ideologis kapitalisme—akankah semuanya kemudian menjadi “baik-baik saja,” sehingga kita dapat bernapas lega dan berkata, “alhamdulillah yah”? Atau barangkali kita harus mengubah pertanyaannya menjadi begini: Apakah sebuah keniscayaan bahwa kita harus memilih secara hitam-putih, dengan logika “exclusive-or,” salah satu pihak dalam diskursus kapitalisme versus sosialisme? Itu adalah pertanyaan besar yang masih merupakan isu dalam sebuah perdebatan besar, tentu saja. Dan barangkali akan tetap menjadi isu besar sepanjang sejarah.

Žižek, misalnya, tampaknya adalah salah seorang yang tidak percaya akan perbaikan sistemik apapun, selama jantung kapitalisme masih berdetak. Krisis ekonomi yang datang berulang, dan kian hari kian kompleks itu (seperti yang sampai saat ini masih menggantung di Eropa dan Amerika Serikat), bagi Žižek, adalah bukti bahwa kapitalisme sudah tak dapat lagi mempertahankan argumen-argumennya. Salah satu versi Žižek untuk kata-kata Marx dan Engels yang tersohor, yaitu bahwa “kalangan borjuis”—kita asumsikan saja, itu identik dengan kapitalisme itu sendiri—“menciptakan bagi diri mereka, para penggali kuburnya sendiri” (“produziert vor allem ihren eigen Totengräber”), tampaknya adalah alegori unyu yang kerap diceritakannya tentang adegan dalam filem-filem kartun: Seekor kucing (barangkali bisa juga kita ganti dengan seekor macan tutul) berlari kencang di atas sebuah dermaga, bablas hingga ke ujungnya. Saking kencangnya berlari, ia tidak menyadari bahwa landasan yang dipijaknya sudah habis, dan kini ia menggantung di udara. Ia tidak jatuh, semata karena logika filem-kartun: bahwa ia belum melihat ke bawah. Nah, kata Žižek, si Kucing (atau si Macan Tutul) itu adalah kapitalisme. “Tugas kita sekarang,” kata Žižek pada sebuah kesempatan, “hanyalah memaksanya untuk melihat ke bawah.”

Hanya saja, saran Žižek tentang cara memaksa si Kucing (atau si Macan Tutul) itu untuk melihat ke bawah barangkali terdengar agak mengerikan. Bagi Žižek yang seorang Hegelian tulen, sekaligus juga, mungkin, seorang Deleuzean, dialektika antara “tak ada yang baru di bawah matahari” dengan “pembaruan dan kebaruan berlangsung setiap saat” adalah bahwa, “hal-hal ‘yang benar-benar Baru’ hanya dimungkinkan oleh pengulangan.” Dan Žižek pun acap berbicara dengan khidmat tentang Revolusi Rusia, tentang Revolusi Perancis, tentang “keilahian teror.”

“Himbauan” Žižek untuk mengulang revolusi sosial—yang berkali-kali gagal di masa lalu karena, “faktor-faktor sejarah mengkhianatinya”—barangkali membikin alergi sebagian besar kita. Tetapi kelirukah apa yang dikatakannya tentang keniscayaan “keruntuhan kapitalisme,” seperti Marx juga keliru dalam beberapa hal tentang tesis yang satu itu? Žižek adalah seorang ateis, tapi kadang-kadang ia terdengar mirip dengan seorang agamawan yang paling konservatif. Misalnya, ketika ia mengatakan bahwa semangat egalitarian yang dibawa oleh agama (Kristen, dalam hal ini) adalah jawaban bagi, katakanlah, “kegalauan struktural” sebagai gejala kronis dari “solidaritas semu” yang dikhotbahkan demokrasi liberal. Dapatkah agama atau semangat keberagamaan menjadi pendorong perubahan? Bila ya, dalam bentuk yang seperti apa? Bagaimana hal itu bisa direalisasikan atau diaktualisasikan di negeri kita, bila kecenderungannya di sini saat ini adalah bahwa semangat keberagamaan sering terjebak dalam ritualisme dan simbol-simbol?

Biarkanlah pertanyaan-pertanyaan besar itu tetap menjadi porsi para tokoh yang mempunyai kapasitas untuk menjawabnya. Kita sekarang, di sini, mempunyai pertanyaan yang lebih sederhana, tetapi yang tak kalah terasa “mengganggu” untuk dijawab: Bagaimana nasib konstruksi penafsiaran kita atas teks Syahrini tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu?

Seperti di saat-saat lain, ketika kita dihantui oleh berbagai pertanyaan dan kita menduga-duga jawaban tanpa sekalipun merasa yakin akan jawaban yang kita kemukakan, barangkali sebaiknya kita sekali lagi mencoba bertanya kepada rumput yang bergoyang. —Meskipun, jangan-jangan, kali ini rumput yang bergoyang pun mulai bosan atau enggan dibombardir terus dengan pertanyaan-pertanyaan, sehingga akhirnya memberikan jawaban seperti yang dituliskan Carl Sandburg dalam petikan puisinya: “Pile the bodies high at Austerlitz and Waterloo. Shovel them under and let me work— I am the grass; I cover all.”

Tetapi barangkali memang itu yang kita butuhkan: membiarkan konstruksi penafsiran kita itu terkubur di bawah bentangan rumput ke-“hijau”-an kita. Barangkali kita memang sebaiknya merobohkannya, dan dengan itu, kita menjadikannya sama sementaranya dengan kehadiran kita di dunia—seperti pahatan mentega yak Tibet, yang meleleh-melekang di bawah sinar matahari terang sesaat setelah terpasang; seperti lukisan pasir di hogan Navajo, yang berterbang-pencar disapu angin memancar sesaat setelah terhampar; seperti sebuah Fender Stratocaster putih, yang hangus dibakar Jimi Hendrix yang seolah tak letih biarpun peluh meretih, sesaat setelah penampilannya di sebuah konser di London, Juni 1967, ketika psychedelic rock menderu-menggeratih.

Kemudian mar-ki-mar: mari kita markakan kejadian ini sebagai satu mata-rantai pada Markov-chain sebuah alur stokastik sejarah keculunan yang akan membawa kita ke mata-rantai berikutnya, di mana, siapa tahu, kita akan dipertemukan dengan wawasan bermakna yang tak terduga, biarpun itu setipis marquisette, atau sesamar kepak camar dalam temaram suluh damar. —Dan biarpun barangkali Žižek akan menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Dasar antek-antek obscurantists!”

Dan marilah kita berlindung kepada Badiou dari kecaman Žižek yang menusuk. Meskipun semua ini tentu saja tidak layak disebut sebagai bagian dari apa yang oleh Badiou dikatakan sebagai upaya “memberi putusan atas apa yang tak dapat diputuskan,” setidaknya barangkali ini adalah bagian dari apa yang oleh Badiou dikatakan sebagai upaya “memberi nama atas apa yang tak dapat dipahami.” —Atau sebagai geliat resah, jawaban atas “diam yang merisaukan” yang timbul dari apa yang dikatakan oleh Ludwig von Wittgenstein: “Apa yang memang dapat dikatakan, harus dapat dikatakan dengan jelas. Dan tatkala kita tak dapat berkata-kata, di situ kita harus diam.”

Sebagai the last resort, bagaimana kalau kita serahkan pertanyaan-pertanyaan kita tadi itu sebagai pe-er kepada Syahrini sendiri yang memulai semua kegalauan ini? Tapi kemungkinan besar, sih, itu akan dijawab oleh Syahrini dengan, “Plis, dong, ah. Jangan lebay, yah.” Dan memang beralasan bagi Syahrini untuk menjawab seperti itu. Yang terpikirkan oleh Syahrini barangkali sederhana saja: Sementara dia merasa bahwa dia adalah seorang muslimah yang taat, dia juga ingin menjadi seorang artis. —Sebuah keinginan yang tentu saja absah, tak pernah kalah absahnya dengan keinginan setiap kita akan ketentraman rohani dan penghidupan yang layak.

Akhir-akhir ini kita sering ikut-ikutan mengucapkan kata-kata “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget.” Sebagian kita bahkan mengatakannya sembari menirukan mimik dan intonasi Syahrini sepersis mungkin. Betapapun menggelikan jadinya. Kita lakukan itu, kadang untuk menunjukkan bahwa kita tak ketinggalan tren informasi; kadang untuk sekadar bergaya atau ber-unyu-ria; kadang untuk mencemooh, mengejek, atau bahkan mencela. Di balik itu, faktanya adalah bahwa kata-kata sederhana dari Syahrini itu telah membuat kita “tersihir.” Dan jangan-jangan, diam-diam kita mengamini semiotika kedua ungkapan itu dengan segenap hati.

Kalau kita sampai sedemikian “tersihir,” dan alih-alih berusaha untuk mengusir “sihir Syahrini” itu, kita malah “menahbiskannya” dalam hati, apa, sih, yang membikin kita begitu beguiled and bowled-over seperti itu? Entahlah. Tapi jawabannya barangkali, kali ini, dapat kita temukan bukan pada rumput yang bergoyang, melainkan pada jambul Syahrini—bukan “Jambul Khatulistiwa,” yang barangkali lebih fenomenal (dan lebih artistik?), tetapi “Jambul Terowongan Casablanca.”

Siapa berani bertaruh bahwa para fashion-pundits, les connaisseurs de mode, akan menganggap “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini itu sebagai sebuah mahakarya seni? —Tapi kenapa para pewarta infotainment tetap tampak antusias menanyakan perihal jambul Syahrini yang satu itu kepada sang Empunya? (Dan, mengingat tingginya rating komersial acara infotainment di dunia pertelevisian kita, rasanya kita dapat mengatakan bahwa antusiasme para pewarta infotainment itu juga mewakili keingintahuan publik.) Jawabannya: Mungkin itu karena “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini mempunyai kemiripan karakter dengan filem Casablanca.

Filem garapan sutradara Michael Curtiz itu telah menjadi bahan kajian dalam studi kasus yang cukup serius yang dipresentasikan oleh beberapa teoretisi. —Oleh Richard Maltby, misalnya, yang menyoroti adegan “tiga-setengah detik yang hilang,” seperti yang juga dikaji kembali oleh Žižek ketika ia mengulas konsep “ego ideal” (“Idealich”) dan “superego” (“Überich”) dalam pskioanalisis Lacanian. Adegan yang menjadi sorotan adalah ketika tokoh Ilsa Lund (diperankan Ingrid Bergman) dan Richard Blaine (diperankan Humphrey Bogart) terlibat dalam sebuah “le conflit amoureux,” di kamar Rick, ketika Ilsa hendak mengambil surat transit untuk keluar dari Casablanca. Pertengkaran/kasih-mesra mereka kemudian dipotong oleh jeda tiga-setengah detik yang diisi dengan visualisasi menara bandara dengan lampu suarnya yang berputar memindai. Ketika rangkaian gambar tersebut berlalu, “cekcok asmara” Rick–Ilsa tampaknya telah melawati fase resolusi.

Jeda-adegan itu—seperti yang dipaparkan oleh Žižek—boleh jadi hanyalah taktik klise sebagai sebuah bentuk self-censorship. Namun demikian, apa yang muncul sebagai efek yang ditimbulkannya menjadi sebuah teka-teki, sebuah ambiguitas diegesis, karena fakta nonkonformalitas waktu antara dunia nyata dengan dunia filem (apakah 3½ detik itu waktu nyata? ataukah waktu diegetik saja, yang berarti mewakili lalu-waktu yang lebih panjang?), kemudian, memunculkan pesan cerita yang membuka peluang bagi penafsiran ganda—dan tafsir-tafsir tersebut bisa sekaligus valid, kedua-duanya. Problem hermeunetik-semiologis ini mungkin tidak pernah disadari oleh para pembuat filem Casablanca. Dan secara keseluruhan, filem Casablanca sendiri bukanlah filem yang mendapat apresiasi tinggi dari para pengamat filem.

Interpretasi atas filem Casablanca yang barangkali lebih relevan dengan kasus “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini datang dari ulasan Umberto Eco. Menurut Eco, filem Casablanca menjadi menarik (dan populer, tentu saja) memang bukan karena sofistikasi artistik yang lahir dari deliberasi proses penggarapan yang cermat serta kualitas kepakaran yang mumpuni, tetapi malah sebaliknya, yaitu karena dalam filem itu, kepiawaian artistik tersebut justru absen. Absennya kepiawaian artistik itulah yang membuat serombongan hal klise menyelinap untuk kemudian menyeruak. Dan anehnya, hal itu malah menguatkan si filem. “Ketika segala archetypes,” kata Eco, “tanpa malu-malu masuk-menggerutus, kita menyentuh kedalaman ala Homer.” (Di sini, konsep “archetypes”– dan “the collective unconscious”-nya Jung, yang kita campakkan pada paragraf terdahulu dari tulisan ini, tampaknya sebaiknya kita pungut kembali.)

Untuk lebih lanjut memparafrase Eco: Satu dua hal klise sangat mungkin bisa menjadi dagelan. Tapi serombongan hal-hal klise? Itu mengusik relung batin kita—kemungkinan besar dengan tanpa kita sadari—karena kita merasakan, betapapun samar, bahwa betapa hal-hal klise itu berkongko sambil bermain pingpong, dalam sebuah acara, katakanlah, perayaan reuni “archetypes” di arena “the collective unconscious.” Yang senantiasa tinggal, membandel, tak-terhapuskan, dalam alam-bawah-sadar kita, jaringan makna primordial dalam bentuk relasi-relasi penanda yang tertulis sejak zaman-baheula-nya spesies manusia, dengan “acara reuni” itu, menjadi hadir-bagi-kita, bukan “sekadar” tinggal-di-dalam-kita: diam-diam kita dilempar mendekat ke arah “Yang Lain.”

Bila seluruh kisah keartisan Syahrini, teks Syahrini, dimampatkan ke dalam “Jambul Terowongan Casablanca”-nya, rasanya si Jambul tidak akan berkeberatan untuk memikul beban “tanggung-jawab semiologis” itu. Dengan permohonan maaf kepada (para) penata-rambut Syahrini, si Jambul sepertinya lebih pantas disebut sebagai sebuah produk craft ketimbang art (lebih karena konteks peruntukan-tampilnya—sebuah gala untuk perayaan ulang tahun sebuah stasiun televisi ketimbang sebuah pentas fashion per se—bukan karena kualitas artistiknya yang, barangkali, selalu saja dapat menjadi materi debat antara Rudy Hadisuwarno dengan Johnny Andrean).

Akan tetapi pandanglah konstruksi-geometris si Jambul, terutama irisan penampang-lintangnya. Ia adalah sebuah “mathematical attractor”: rambut Syahrini yang ditarik naik itu kemudian membentuk lengkungan melingkari ruang kosong—“sesuatu banget” yang hilang dan sekaligus tak pernah hilang karena tak pernah ada dan sekaligus selalu ada—ia mungkin adalah sebuah meta-penanda untuk “objet petit a”-nya Lacan, “sebab-objek dari hasrat.” Atau, ia mungkin juga sekaligus adalah sebuah meta-topeng untuk “le Symbolique”-nya Lacan, adalah sebuah medan repetisi kinesis dan drainase energi yang dapat dimaknai sebagai “naluri kembali-ke-ketiadaan,” dan yang dalam cermin wacana teologis mungkin dapat dimaknai sebagai kedamaian religius seperti terungkapkan dalam “alhamdulillah yah.” Semiotika dialektis Eros dan Thanatos—itulah barangkali yang ditampilkan oleh jambul “Terowongan Casablanca”-nya Syahrini.

Jambul-qua-jambul tidak berarti banyak dalam dunia tata-rambut serta fashion. Dan das-Jambul-an-sich (karena, rasanya, istilah “das-Büschel-an-sich” itu tidak bermakna) telah menjadi hal klise di dalam dirinya sendiri. Seperti itu juga, kiranya, fenomena-keartisan-Syahrini di dalam dirinya sendiri: setiap untaian jalinan “benang merah” dan “benang biru” yang bertemali merajut cerita “sensasi” Syahrini, pada dasarnya, adalah hal klise seklise-klisenya.

Kita kenal betul detak-degup hasrat yang menjadi irama alur-liku perjalanan para selebritas, tak terkecuali Syahrini, dalam upaya mereka menggapai hal-hal yang “sesuatu banget.” Pertunjukan utilisasi-eksplorasi-eksploitasi “erotic capital”; beragam “media stunt,” dari yang paling datar “business as usual” sampai yang paling melambung sensasional; serentetan jurus manajemen-peluang dan senarai strategi “market engagement”; dan sebagainya dan seterusnya, seakan dipaparkan secara beruntun langsung ke dalam palung terdalam alam-bawah-sadar kita, sehingga kita seolah dapat memahaminya tanpa ba-bi-bu, dan dapat mengkomunikasikannya tanpa ta-ti-tu, karena kita tahu-sama-tahu.

Demikian juga, kita memaklumi betapa para selebritas itu, sekali lagi: tanpa terkecuali Syahrini, bukanlah semata adalah (kebanyakan) para “socialites” yang serba-“glamour,” tetapi juga adalah para agen-sosial yang baik, yang tahu bagaimana berkompromi dengan norma sosial, seperti yang terlihat, misalnya, dalam referensi religius dari hampir semua mereka untuk segala hal-ihwal menyangkut states-of-affairs keartisan mereka, yang sering mereka kaitkan, entah sebagai ekspresi tulus entah sebagai sekadar praktek standar kehumasan, dengan ungkapan frase yang sudah menjadi hal klise, kepada “Yang di Atas.” Ungkapan “alhamdulillah yah”-nya Syahrini, tentu saja, tak lain adalah frase variannya.

Namun demikian, suka atau tidak suka, di dalam lubuk hati kita, rasanya kita harus jujur mengakui bahwa kesuksesan mereka memukau kita. —Meskipun keterpukauan kita itu kadang kita artikulasikan dengan hal-hal yang berbeda secara diametral: dengan puja atau cela. Dan kalau hal-hal klise itu sampai menebar medan keterpukauan seperti itu, apakah gerangan yang terjadi? Inilah barangkali jawabannya: Efek resonanasi. —Karena, hal-hal klise itu juga tertanam di dalam diri kita: sebagai hasrat, atau sebagai kerinduan akan ketentraman rohani. Betapapun kedua hal itu tidak selalu dapat berkoeksistensi dengan akur.

Bagaimanapun, kita hidup—seperti kata petikan sebuah puisi Rabindranath Tagore dalam terjemahan Hartojo Andangdjaja—“di balairung dunia”: sebuah gelanggang besar tempat “tangkai rumput yang sederhana itu, duduk sepermadani dengan sinar matahari dan bintang-bintang tengah malam.” Di atas dunia ini, hal-hal “sederhana,” yang menjadi motif eksistensial kita, seperti animo ketubuhan, hasrat duniawi, kebutuhan akan pemenuhan aktualisasi diri, keinginan akan kehidupan yang lebih baik, akan kesuksesan karir, akan status sosial, akan penghargaan, akan penghormatan, selalu harus “duduk” berapat, berdialog, berdebat, berselisih, bersitegang, bertenggang, berkompromi, berdamai, berangkulan, dengan “gemerlap-dan-kemilau” nilai-nilai etika, moralitas, dan agama.

Syahrini—atau lebih tepatnya barangkali bukan Syahrini, tetapi “Syahrini” (dalam tanda petik)—dengan kaftan, rok mini, “alhamdulillah yah,” “sesuatu banget,” dan seri jambulnya, dalam hal ini hanyalah lambang. Dan pribadi Syahrini bukanlah satu-satunya yang terujuk olehnya. Bahkan bukan pula semata begini: Syahrini adalah salah satu dari deretan selebritas kita yang harus berakrobat dengan “modus kaftan” dan “modus rok-mini” untuk tetap eksis; karenanya, para selebritas itu—dan hanya mereka sajalah yang—terhimpun menjadi satu entitas fenomenal yang terujuk oleh lambang itu. Bukan demikian, tampaknya.

Melainkan bahwa “Syahrini,” pada gilirannya, adalah dunia hiruk-pikuk dan riuh-rendah kita semua.

Bola. Biola. Be “Oh Là Là …”!

Bola. Biola. Be Oh La La.

Some people think football is a matter of life and death …. I can assure them it is much more serious than that.
—Bill Shankly

Ada masa-masa dulu ketika kekalahan Persib dalam pertandingannya bagi saya terasa menyakitkan. Benar-benar sangat menyakitkan. Seperti putus cinta.

Efeknya pun sama. Seperti efek putus cinta. Malas mandi, malas gosok gigi, malas cuci baju, malas ganti baju. Susah makan (terutama ketika berkoinsidensi dengan kondisi ketiadaan deungeun kéjo, alias lauk pauk). Susah tidur (terutama pas rombongan kerabat jauh dari luar kota yang jauh, yang datang untuk sowan ke hajatan tetangga yang juga saudara jauh, menginvasi setiap inci rumah kecil kami—sehingga saya harus terlempar keluar dan terdampar di pos ronda yang fasilitasnya rada barbar, suasananya sedikit liar, dan tongkrongannya jelas sangar).

Yang paling menyebalkan, saya jadi malas atau susah tertawa. Paling-paling cuma bisa tersenyum kecut, bahkan bila membaca lelucon jorok bertema klasik “Venusians v. Martians” seperti ini:

HER SIDE OF THE STORY

He was in an odd mood when I got to the bar. I thought it might have been my fault, because I was a bit late, but he didn`t say anything much about it.

The conversation was quite slow going, so I thought we should go off somewhere more intimate, so we could talk more privately. We went to this restaurant, and he was STILL acting a bit funny. I tried to cheer him up and started to wonder whether it was me or something else. I asked him, and he said no. But I wasn`t really sure.

So anyway, in the cab on the way back to his house, I said that I love him, and he just put his arm around me. I didn`t know what the h*** that meant, because, you know, he didn’t say it back or anything.

We finally got back to his place, and I was wondering if he was going to dump me! So I tried to ask him about it, but he just switched on the TV. Reluctantly, I said I was going to go to sleep. Then after about ten minutes, he joined me and we made love.

But, he still seemed really distracted, so afterwards I just wanted to leave, but I just cried myself to sleep. I dunno, I just don`t know what he thinks anymore. I mean, do you think he’s met someone else?

HIS SIDE OF THE STORY

My team lost. Felt kinda tired. Got laid though.

Tapi itu agak jauh di masa lalu. Saya kemudian merasakan antusiasme saya sedikit demi sedikit memudar. Persib memang tetap menjadi bagian dari obrolan keseharian saya dengan hampir siapa pun yang saya temui di Bandung. (Bagaimana pun, saya masih tetap orang Bandung, dan orang Bandung yang tidak sempat mendengar kata “Persib” terkait dengan kata “Bandung,” serta turut mengucapkannya dengan semacam percikan sentimentalisme, patut diragukan “kebandungannya.”) Tetapi kemenangan, kekalahan, atau hasil seri pertandingan-pertandingannya lambat laun bagi saya menjadi agak mirip dengan gosip pernikahan, perceraian, atau rujuk pasangan selebriti—sebagai sesuatu yang menarik, tetapi “’nggak usah pake terharu juga, kali, ya ….”

Pudarnya antusiasme saya terjadi bukan saja terhadap Persib, tapi juga terhadap sepak bola secara umum. Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan sepak bola. Bukan cuma kompetisi di liga tanah air, tapi juga liga-liga Eropa—apalagi liga-liga Amerika Latin. Hanya turnamen Piala Eropa dan Piala Dunia saja yang masih saya tonton. Itu pun tidak semua pertandingan. Padahal, tetangga-tetangga, teman-teman, dan saudara-saudara saya, seperti kebanyakan orang, bukan cuma menonton setiap pertandingan, tapi juga menggelar jadwal turnamen serta daftar pemain, pelatih, dan official; menyimak komentar-komentar dan analisis-analisis; dan bahkan mewacanakan analisis serta prediksi mereka sendiri. Kontan saja, bila saya sedang ngariung bersama mereka, sayalah yang tampak paling bego.

Namun demikian, fenomena Timnas yang gegap-gempita di ajang Piala AFF akhir tahun lalu mengusik kembali minat saya terhadap sepak bola. Maka bagi fans berat si kulit bundar, barangkali, saya akan tampak sebagai bagian dari “korban” tren pusaran pesona Irfan Bachdim serta flamboyansi Timnas. Saya berada di antara deretan fans dadakan bersama mungkin jutaan orang lainnya—meskipun di antara jutaan orang itu berdiri juga figur-figur high-profile seperti Tina Talisa dan Kiki Amalia. Harus saya akui dalam hal ini, awalnya (meskipun awal yang kedua, mungkin) bagi saya daya tarik sepak bola muncul bukan dari faktor primer sepak bola itu sendiri, tetapi dari faktor sekunder efek sepak bola dalam satu atau lain aspek. Seperti juga halnya mungkin bagi Tina Talisa dan Kiki Amalia. Bagi Tina Talisa, faktor itu barangkali adalah the “public” side of Timnas. Bagi Kiki Amalia, barangkali, the “private” side of Markus Maulana Horison. Saya tentu saja berada di kubu Tina Talisa. (Wah, saya tidak mau bahkan sekadar berpikir sekalipun untuk berada di kubu Kiki Amalia.)

Dalam retrospeksi, saya mencoba menelaah kembali apa yang menyebabkan sepak bola sempat saya rasakan melempem gregetnya. Mungkinkah itu adalah skandal Calciopoli yang membikin Liga Serie A terdepak dari posisi bergengsinya sebagai liga sepak bola di Eropa yang sempat “berstatus” paling elit? Ataukah masalah ruwet dan berkepanjangan yang membekap PSSI, yang memunculkan antipati yang mendalam di kalangan publik seperti yang “termanifestasikan” oleh foto “Crop Circle”—entah di dunia mana—yang berbentuk logo PSSI dengan teks slogan, “Turunkan Nurdin Halid!”? Bukan, sih. Rasanya bukan itu. Mestinya itu malah membuat dunia sepak bola jadi lebih seru. Lagipula, itu baru santer terjadi belakangan ini saja. Yang jelas, banyak fakta terperi, tapi saya gagal menjadikannya sebagai alasan pasti. Masalahnya sepertinya bukan ada pada sepak bola, tapi pada diri saya sendiri.

Belakangan minat dan perhatian saya memang banyak tersita oleh hal-hal yang bahkan jauh lebih “sepele” dari sepak bola. Seperti, misalnya, kenapa keponakan saya yang masih kanak-kanak ketika ditanya, “satu ditambah satu jadi berapa?” dia menjawab bukan dengan, “dua,” “sepuluh,” “sejuta,” atau “banyak,” tetapi, misalnya, “bakso,” atau malah, “pohon mangga yang banyak semutnya.” Atau kadang saya juga bertanya-tanya, kenapa kalau dua puluh itu sama dengan dua kali sepuluh, dua ratus itu sama dengan dua kali seratus, dan dua tamparan perempuan cantik itu sama dengan dua kali satu tamparan perempuan cantik atau satu kali tamparan masing-masing dari dua perempuan cantik—kok dua belas tidak sama dengan dua kali sebelas?

Hal lain lagi, apa jadinya kalau kaki ayam itu menekuk bukan ke belakang, tapi ke depan? Apakah dengan begitu mereka kalau berkelahi akan harus saling membelakangi? Apakah itu akan menyebabkan kokok ayam jantan menjadi lebih panjang karena mungkin akan lebih gampang mengambil posisi tegak? Kenapa juga binatang berkaki empat tidak seragam dalam hal arah tekuk kaki-kakinya? Kucing, baik kaki depan maupun kaki belakang kedua-dua pasangnya menekuk ke belakang. Kuda, kaki belakangnya menekuk ke belakang; kaki depannya menekuk ke depan. Kalau manusia bergerak dengan merangkak dan bukan berjalan tegak, maka arah tekuk kaki dan tangannya persis kebalikan dari kuda. Kenyataan itu membuat gerakan merangkak manusia menjadi kikuk dan canggung, dan kalau diadu lomba dengan kuda? Out of the question. Hanya saja, seandainya manusia membuat petisi kepada Sang Pencipta untuk dianugerahi keistimewaan kuda dalam hal arah tekuk kaki-kakinya, dan petisi itu dikabulkan, bayangkan betapa ribetnya bentuk furnitur kita.

Saya tahu, banyak orang menganggap itu semua adalah hal-hal yang paling konyol untuk dipikirkan. Barangkali mereka memang benar. Tapi saya keukeuh menganggap hal-hal seperti itu juga layak menjadi objek perhatian. Ada yang mengatakan bahwa seandainya Tuhan menganugerahkan akal budi atau pikiran itu kepada harimau dan bukannya manusia, maka harimaulah, dan bukannya manusia, yang akan menguasai planet bumi ini. Manusia dengan cepat akan terancam punah; harimau akan membangun peradaban besar. Saya kok tidak terlalu yakin.

Bahwa manusia akan dengan cepat terancam punah, itu masuk akal. Tapi harimau akan membangun peradaban besar? Nanti dulu. Peradaban tidak hanya dibangun oleh pikiran, tetapi juga tangan. Empat jari tangan manusia yang relatif panjang, telapak tangan yang relatif lebar, dan satu jempol tangan yang arah tekuknya berlawanan dengan arah tekuk keempat jari lainnya—itulah yang meninggalkan jejak bentang peradaban di muka bumi ini, dan di ruang yang “sedikit” meluas ke arah luarnya, yaitu angkasa. Karena, bentuk tangan yang seperti itulah yang memungkinkan manusia dapat menggenggam benda dengan luwes, dan yang lebih penting lagi: menciptakan alat. Betapa pun cerdas dan inteleknya seekor harimau, saya ragu ia akan bisa melakukan hal itu. Dan kalaupun bisa, pisau, jarum, gunting, kapak, tombak, cangkul, tungku, dandang, pedati, pensil, keyboard, atau keypad yang bentuknya seperti apa yang bisa cocok dengan bentuk tangan harimau (kalau kaki-kaki depan harimau itu dianggap sebagai tangan) yang “culun” seperti itu?

Pentingnya tangan dalam peradaban demikian besarnya, sehingga kata “tangan” telah menjadi penanda metaforis serta simbol kultural bagi setiap tindakan atau manifestasi kehendak dan eksekusi kekuasaan dari manusia. Meskipun begitu, kita pahami bersama bahwa sebenarnya subjek sejatinya tentu bukan “sekadar” tangan, tetapi tubuh manusia secara keseluruhan. Dan bagi saya, tubuh itu bukanlah alat bagi pikiran. Saya cenderung setuju dengan Maurice Merleau-Ponty yang menggagas konsep “tubuh-subjek”—tubuh dan pikiran bersama-sama mendefinisikan keberadaan manusia sebagai keberadaan-di-dunia.

Sejarah peradaban bukanlah melulu sejarah filsafat atau gagasan-gagasan, tetapi juga adalah sejarah biomekanika tubuh manusia. Torehan mural di kamar-kamar pemakaman peninggalan Mesir kuno dari masa 4000 tahun silam semarak mendepiksikan bentuk-bentuk tubuh manusia dalam aktivitas-aktivitas ragawi yang dinamis—seperti misalnya “adegan-adegan” pertandingan gulat—dalam rangkaian gambar-gambar yang ilustratif dan teliti. Di Cina, artefak-artefak dan struktur-struktur fisik arkeologis mengindikasikan bahwa kegiatan olah raga tercatat lebih tua lagi, sekira 6000 tahun yang lalu. Demikian juga di Pulau Kreta. Sudah setidaknya 2700 tahun sebelum Masehi (SM), kegiatan olah raga menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Yunani Kuno, seperti yang terdokumentasikan dalam karya-karya seni Minoan dari Kreta pada Zaman Perunggu. Orang-orang Romawi di awal-awal abad Masehi mewariskan peninggalan, antara lain, patung perunggu “pelempar cakram” yang merupakan miniatur dari Discobolos karya pematung Yunani, Myron, dari abad ke-5 SM. Bukti-bukti itu terus berlanjut meliputi sebaran luas dari tempat-tempat di bumi, dan sepanjang sejarah umat manusia.

Seperti yang terekam dalam bukti-bukti sejarah itu, dalam kegiatan berolah raga, kemampuan-kemampuan fisik dasar manusia diasah dan dikembangkan. Di samping untuk terus-menerus melakukan penyempurnaan kemampuan-kemampuan itu demi tujuannya sendiri, proses itu juga sangat vital untuk aplikasi di luar kegiatan berolah raga—dengan kata lain, bagi aktivitas-aktivitas tubuh manusia yang menopang kehidupannya. Itu merupakan satu hal yang dalam kehidupan moderen, demikian dipahami tapi sekaligus demikian sering dilupakan. Barangkali itu karena teknologi telah merasuk jauh ke lekuk-liku paling trivial dari kehidupan kita saat ini.

Tidak ada kegiatan penting dalam kehidupan manusia, baik itu berburu maupun bercocok tanam, bertukang maupun berdagang, memancing ikan maupun mengoperasikan terminal kendali peluncuran pesawat luar angkasa, yang tidak mensyaratkan—setidaknya taraf minimal tertentu—dari daya tahan (endurance), kelenturan (flexibility), serta kelincahan gerak (agility) dari tubuh orang-orang yang menjalaninya.

Namun demikian, hal yang paling penting dari kegiatan berolah raga dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan peradaban barangkali adalah keterkaitannya dengan fenomena perang. Banyak jenis aktivitas olah raga dalam catatan sejarahnya merupakan demonstrasi keterampilan-keterampilan mendasar dalam peperangan. Banyak juga yang berupa bentuk-bentuk permainan yang men-simulasikan fenomena itu. Monumen-monumen yang dipersembahkan kepada para Firaun di Mesir Kuno, misalnya, menunjukkan bahwa olah raga yang matang berkembang kala itu antara lain adalah lempar lembing, gulat, dan lompat tinggi. Di Persia Kuno, yang tercatatkan dalam prasasti adalah Zourkhaneh (semacam olah raga bela diri), polo, dan jousting—duel senjata semacam tombak panjang antara dua kstaria yang mengendarai kuda. Di Cina, ada juga cuju yang menyerupai sepak bola.

Perang telah lama diidentifikasi oleh para sejarawan sebagai salah satu fakta terpenting dalam sejarah umat manusia. Motivasi di balik tindakan individu-individu atau kelompok-kelompok individu, serta kondisi masyarakat yang akhirnya membawa akibat berhantamnya dua kubu dalam peperangan, telah menjadi kajian para ilmuwan. Berbagai teori telah dikemukakan dari disiplin-disiplin yang berbeda: ekonomi, sosiologi, psikologi evolusioner, teori perilaku, demografi, teori rasional, dan ilmu politik. Akan tetapi, akibat peperangan sepertinya selalu dapat disimpulkan dengan dua fakta yang bertabrakan, tetapi terjalin dalam tenunan yang saling berpagut: di satu sisi, korban jiwa yang berjatuhan serta keporakporandaan; di sisi lain, bergeraknya peradaban ke depan seiring zaman. Setidaknya ada dua faktor yang bermain di sisi terakhir dari fakta tadi. Pertama, perang mendorong inovasi teknologi, dan kedua, reorganisasi sosial-ekonomi-politik dari wilayah-wilayah geografis/demografis pascaperang menggerakkan dinamika sosial-ekonomi-politik baru.

Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia teknologi, keteknikan, atau ilmu terapan, agaknya telah sampai pada kesimpulan bahwa Perang Dunia II, misalnya, merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah disiplin-disiplin mereka itu. Banyak sekali perkembangan sains dan teknologi yang penting—dari penemuan transistor hingga teori serta implementasi teknologis artificial intelligence (AI); dari game theory hingga operations research (OR)—muncul sebagai “by-products” dari inovasi yang didorong oleh kebutuhan kritis akibat kondisi peperangan dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, kajian ilmiah dari sisi antropologi budaya mengenai korelasi antara fenomena perang dengan perkembangan kebudayaan, sepertinya hingga saat ini pun masih terlalu dini untuk disimpulkan dalam sebuah tesis besar yang konklusif.

Namun demikian, ada sebuah perspektif yang paradoksikal dan menarik untuk disimak dari studi yang dilakukan oleh Samuel Bowles dari the Santa Fe Institute di New Mexico, Amerika Serikat, yang dipublikasikan Juni tahun 2009 lalu, seperti yang dilansir oleh The Economist. Bowles menjaring data mengenai peperangan antara kelompok-kelompok yang bertikai dari studi-studi etnografis dan bukti-bukti arkeologis—secara lebih tepat barangkali bukan “peperangan” melainkan “pertikaian-pertikaian berdarah dan mematikan,” mungkin seperti penyergapan atau penyerangan yang diilustrasikan dalam filem garapan Mel Gibson, Apocalypto. Ini merupakan data yang besar karena menyangkut 12–16% kematian dari populasi teramati, yang merupakan angka yang lebih besar dari, misalnya, total jumlah kematian akibat gabungan dua Perang Dunia, di Eropa. Dengan menggunakan kerangka teori “seleksi kelompok” (“group selection”), Bowles kemudian membuat model matematis, dan mendapati hasil bahwa individu-individu dengan gen, katakanlah, “gen altruistik”—yang memungkinkan seseorang mau mengorbankan diri untuk kepentingan kelompoknya—dan yang mengimplikasikan “biaya” berupa terbunuhnya hingga 3% populasi, secara umum, dalam keadaan tanpa peperangan, jumlah penyandangnya menurun dari 90% ke 10% dari total populasi selama 150 genreasi. Tetapi, model Bowles memprediksikan bahwa jumlah itu akan meningkat ke level 13% bila kelompok-kelompok teramati berada dalam kondisi peperangan. Kesimpulannya: perang membuat munculnya individu-individu “heroik” yang berakibat perkuatan kelompok—mengefektifkan kolaborasi dan meningkatkan sinergi.

Meskipun begitu, fenomena perang tentu saja bukan semata-mata isu diskusi ilmiah atau wacana tentang objektivitas. Perang juga menyangkut masalah moral dan etika. Berbeda dengan di masa-masa lalu ketika perang dianggap sebagai hal yang baik, di masa kita saat-saat ini, perang umumnya dipandang buruk. Pengalaman pahit akibat perang yang dirasakan bersama oleh sebagian besar umat manusia terutama di abad ke-20 dan berlanjut hingga saat ini, sepertinya telah membentuk arus utama persepsi masyarakat dunia seperti itu. Apa yang dulu dalam perang dianggap kesetiakawanan kelompok yang baik dan efektif serta heroisme yang romantis, saat ini bisa menjadi dianggap primordialisme destruktif yang mematikan dan, secara etis, sangat buruk.

Sepertinya itu adalah catatan yang penting bagi kita ketika kita menengok problem etika publik yang muncul dalam khazanah keolahragaan, terutama untuk jenis olah raga yang merupakan adu tanding, melibatkan kontak fisik secara langsung, dan antara dua kubu yang masing-masing merupakan tim—dengan kata lain, yang men-simulasikan situasi peperangan—seperti sepak bola. Maka beralasan bila, misalnya, George Orwell, dalam The Sporting Spirit, memandang pertandingan olah raga secara negatif. Orwell menunjuk suasana panas di antara bangsa-bangsa dalam Olimpiade Musim Panas 1936 ketika, menurut Orwell, kontestasi olah raga membawa publik antarbangsa ke dalam “orgies of hatred.” Lebih lanjut Orwell mengatakan:

[…] as soon as the question of prestige arises, as soon as you feel that you and some larger unit will be disgraced if you lose, the most savage combative instincts are aroused.

Terus terang, saya tidak sependapat dengan Orwell. Menurut saya, Orwell melakukan dua kesalahan mendasar dalam hal ini. Pertama, seperti umumnya seseorang yang mengambil suatu kesimpulan deduktif, Orwell hanya melihat alur kausalitas satu arah dalam kasus yang ditunjukkannya. Observasi Orwell memang tepat, namun Orwell hanya melihat problem “kebencian” yang muncul, sebagai variabel takbebas, dan pertandingan olah raga, sebagai variabel bebas. Tidak mungkinkah ada juga kemungkinan, bahwa hal yang sesungguhnya terjadi bergerak dalam arah yang sebaliknya? Bukankah, misalnya, situasi panas dan kebencian antarbangsa saat itu sudah cukup matang menyeruak karena kontestasi antarbangsa dalam bidang diplomasi, politik, dan dominasi ekonomi? Kedua, Orwell melupakan satu hal penting: Bahwa terkait dengan kontestasi teatrikal olah raga, dalam satu hal, prinsip terpenting adalah apa yang dalam kehidupan “normal” justru merupakan sesuatu yang “tidak penting,” yaitu konsep “bermain.” Fakta antropologis mengenai keberadaan fenomena olah raga itu sendiri menunjukkan bahwa sesungguhnya—seperti yang dikatakan oleh Johan Huizinga—manusia adalah “homo ludens”: “manusia bermain.”

Aktivitas olah raga selalu menunjukkan ciri teatrikal, dalam pengertian bahwa proses yang berlangsung adalah proses yang, dalam dirinya sendiri, bersifat engineered, semu, “bukan realitas sebenarnya,” penuh dengan peniruan atas kualitas-kualitas dunia nyata (mimicry), cenderung “berputar dalam dunianya sendiri” (dromological), dan melibatkan permainan faktor kemungkinan/peluang (aleatory). Kalaulah ada unsur yang benar-benar penting dan serius dalam olah raga, itu bukanlah hal menyangkut dirinya sendiri, tetapi adalah konsistensi aturan-aturan mainnya, dan prinsip-prinsip etika yang merupakan peta dari kesadaran akan kepatutan atau kepantasan di dalam realitas sosial sebenarnya. (Dan itu bukan saja menyangkut aturan-aturan terkait langsung dengan praktek di arena atau sekitar arena, tetapi juga prinsip-prinsip pengelolaan penyelenggaraan kompetisi, misalnya, serta pengelolaan sistem keorganisasian olah raga secara umum. Sekali lagi, itu adalah urusan serius.) Perubahan-perubahan atau perkembangan dalam hal bagaimana masyarakat memandang kualitas-kualitas itu baik atau buruk, juga mempengaruhi, dan pada gilirannya tercermin dalam, aturan-aturan main dan prinsip-prinsip kepatutan dalam olah raga.

Kata dalam bahasa Inggris untuk “olah raga,” yaitu “sport,” sepertinya mengilustrasikan dengan baik fenomena itu. Berbeda dengan, misalnya, bahasa Mandarin, di mana kata untuk “olah raga” adalah “tiyu,” yang artinya kira-kira sama dengan kata “olah raga” dalam bahasa Indonesia, yaitu “latihan jasmani”; atau juga berbeda dengan, misalnya, bahasa Yunani, di mana kata untuk “olah raga” adalah “athlitismos” yang kira-kira berarti “hal mengenai orang-orang yang berkompetisi untuk meraih hadiah”; kata dalam bahasa Inggris untuk “olah raga” atau “sport” mengambil sumber dari kata dalam bahasa Perancis “desport” yang kira-kira berarti “kegiatan waktu senggang” atau “kegiatan rekreasional”—sebuah istilah yang lebih menekankan konsep “bermain.” Jadi, makna kata “sport” dalam bahasa Inggris telah mengalami pergeseran dari makna akarnya, yaitu kata dalam bahasa Persia, “bord,” yang kira-kira berarti “meraih kemenangan.” Meskipun begitu, kata turunannya, “sportsmanship”—yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “sportivitas”—adalah istilah yang serius. Dalam kata tersebut terkandung nilai-nilai etika atau etos, seperti misalnya, fair play, kejujuran, kepatuhan kepada aturan main, sikap lapang dada ketika mengalami kekalahan, pengakuan dan penghormatan terhadap keunggulan pihak lawan, dan kesungguhan serta semangat dalam menghadapi pertandingan yang dijaga sampai akhir.

Maka menurut hemat saya, jika misalnya ada pertandingan sepak bola yang rusuh dan berbuntut tawuran, tidaklah berarti bahwa itu karena sifat destruktif terdapat secara inheren di dalam sepak bola atau pertandingan sepak bola. (Selain itu, mungkin harus dibedakan pula, mana peristiwa rusuh sepak bola yang benar-benar merupakan kerusuhan, mana yang merupakan ekspresi wajar suasana festivitas.) Peristiwa kerusuhan selalu merupakan interplay dari banyak faktor. Barangkali secara faktual pertandingan sepak bola memang turut menjadi pemicu, tapi menuduh pertandingan sepak bola sebagai biang kerusuhan, itu tidak fair. Saya selalu menduga bahwa penyebab di balik kasus-kasus tindakan destruktif dan ekspresi kebencian dari para suporter sepak bola berada di luar sepak bola itu sendiri. Pihak-pihak yang bertikai dalam kasus sengketa tanah, misalnya, masuk akal bila menganggap posisinya adalah harga mati, karena sengketa tanah adalah urusan serius yang menyangkut terancamnya hajat hidup. Tapi untuk sebuah pertandingan olah raga seperti sepak bola, orang, meskipun tetap merasakan pahitnya kekalahan tim favoritnya, selalu bisa berkata, “Yah, namanya juga pertandingan.” Kalau tidak demikian halnya, maka itu bertentangan dengan hakekat olah raga sebagai “pentas” dari proses “bermain.”

Kalaulah ada kritik yang mungkin boleh dikatakan lebih tepat atau lebih relevan terhadap sepak bola atau olah raga pada umumnya, mestinya itu ditujukan kepada kemungkinan konsekuensial dari olah raga sebagai aktivitas ketubuhan—singkatnya, kritik terhadap pemujaan yang berlebihan terhadap “kesempurnaan” tubuh. Ini lebih logis, mengingat kenyataan bahwa olah raga sebagai kegiatan rekreasional memang bersifat terbuka bagi partisipasi siapa saja, tetapi dewasa ini olah raga telah menjadi industri, dan karena sifatnya yang demikian, terhadap para pelaku utama olah raga, yaitu para atlet (profesional, dalam hal ini), selalu dituntut syarat “kesempurnaan tubuh” tertentu. (“Penjaga gawang harus tinggi. Pemain belakang juga harus tinggi,” kata Pelatih Timnas Alfred Riedl suatu ketika. Dan Marco van Basten yang mengalamai cedera panjang pun akhirnya harus gantung sepatu.) Tapi lagi-lagi faktanya tidak mendukung kekhawatiran seperti itu. Yang menembak mati orang-orang yang cacat-tubuh atau dianggap lemah itu bukanlah Ade Rai atau Lance Armstrong, melainkan tentaranya Adolf Hitler.

Kenyataan yang melegakan tentang hal “kesempurnaan tubuh” adalah bahwa baik para atlet profesional yang mempunyai keunggulan fisik, maupun orang-orang yang kurang beruntung karena memiliki keterbatasan fisik, sama-sama menjadi inspirasi bagi kebanyakan orang, yaitu kita yang berada di rentang tengah dari kurva normal. Kita tertegun menyimak kisah keteguhan hati Stephen Hawking atau Helen Keller, yang keterbatasan fisiknya tidak dijadikan alasan senoktah kecilpun untuk berhenti bertindak, seperti juga kita terpesona menyaksikan performa prima Carl Lewis atau Serena Williams, yang keunggulan fisiknya tidak disia-siakan segaris tipispun untuk berkinerja.

Bahkan kita juga mengenal sosok seperti Django Reinhardt—bukan atlet, memang, melainkan seniman; gitaris jazz, tepatnya—yang dikenal karena kehebatannya untuk performanya dalam bidang yang justru menuntut “kesempurnaan” fisik tepat di titik keterbatasan atau kecacatan fisiknya itu berada. Django, gitaris Gypsy asal Belgia, mengalami kecelakaan saat karavannya terbakar, yang membuat kelingking dan jari manis tangan kirinya “menyatu” dan mengeras-kaku, sehingga praktis ia hanya bisa memainkan solo gitar dengan telunjuk dan jari tengahnya, serta chords gitar dengan telunjuk, jari tengah, dan jempolnya (meskipun kelingking dan jari manisnya yang cacat kadang-kadang juga membantu). Meskipun begitu, ia dikenal sebagai gitaris dengan solo-lines terbaik sepanjang masa. Django bukan saja menjadi ikon terbesar dari subgenre jazz manouche, tetapi juga salah satu tokoh gitar jazz terpenting. (Dalam sejarah gitar jazz, barangkali cuma ada dua orang yang bisa dikatakan sebagai pelopor yang sebenar-benarnya pelopor, yang gaya permainannya menjadi basis bagi gitaris jazz manapun yang muncul setelah mereka. Kedua orang itu adalah Charlie Christian dan Django Reinhardt.)

Dan ingat Django Reinhardt, ingat pula Stéphane Grappelli. Dialah yang mendirikan Quintette du Hot Club de France, grup musik gypsy jazz tempat Django bernaung. Namun Grappelli bukan cuma pendiri; ia juga memainkan alat musik yang bagi genre jazz saat itu tidak lazim, yaitu biola.

Entah kenapa, ketika berbicara tentang bola, saya selalu juga ingin berbicara tentang biola. Kedekatan lafal antara kedua kata itu—cuma selisih satu huruf—tentu tidak serta-merta mengindikasikan adanya keterkaitan etimologis atau semantik. Dalam hal ini, keterkaitan itu sama sekali tidak ada, dan kedekatan lafal antara kata “bola” dengan kata “biola” hanya terdapat dalam bahasa Indonesia. Tapi bagi saya, bola dan biola sama-sama sexy. Keduanya bisa membangkitkan letupan-letupan passion estetika yang kadang-kadang hanya bisa dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan kabur serta surealistis seperti, “serpihan-serpihan kesadaran,” “aliran-aliran liar dari hasrat dan rindu-dendam,” atau “deru petir di kejauhan.” Lebay juga, sih. Tapi saya penasaran kalau tidak mengatakan hal itu.

Dan yang menjadikan bola atau biola sebagai suguhan seni yang menggugah, dalam konteks tulisan ini, tentu saja bukan bendanya itu sendiri, melainkan fenomena-permainannya, di samping juga terutama, performa serta segala aspek dan kondisi humanitas dari “the person behind the bola/biola”—atau para punggawanya. Kinematika dan dinamika bola, misalnya, sebagai wujud fisik—momen inersianya, girasinya, momentum sudutnya, kecepatan liniernya, percepatan angularnya, dan seterusnya—meskipun bisa juga menjadi artistik barangkali hanya akan menarik bagi para fisikawan, khususnya penggemar fanatik Isaac Newton. Seperti juga halnya, misalnya, pernak-pernik biola Stradivarius, la Rouse Boughton—konstruksi soundboard-nya, desain scroll dan pegbox-nya, material pembentuk fingerboard dan tuning-pegs-nya, pola dekoratif bridge-nya, dan seterusnya—yang barangkali hanya akan menarik bagi para kolektor alat-alat musik antik, khususnya penggemar fanatik Antonio Stradivari.

Hal yang pertama (dan bagi tidak sedikit dari kita, juga terutama) kita perhatikan dalam mengapresiasi bola ataupun biola biasanya adalah para pemainnya. Masing-masing kita punya satu atau lebih pemain favorit.

Bagi saya, misalnya, maestro terbesar sepak bola sepanjang sejarah adalah Zinedine Zidane. Entah kapan sejarah sepak bola akan melahirkan pemain sehebat dia lagi. Barangkali tidak akan pernah. Zidane untuk sepak bola, bagi saya adalah seperti halnya Niccolò Paganini bagi biola. Tentu saja saya tidak tahu bagaimana Paganini memainkan biola (Paganini hidup di Italia ketika Italia diduduki oleh pasukan Napoleon: Digital gadgets dan situs-situs Web video sharing belum ada waktu itu). Saya cuma tahu sedikit karya-karya komposisinya, misalnya Cappricci, yang dimainkan antara lain oleh Ruggiero Ricci—atau dalam bentuk interpretasi musik rock yang gahar dalam permainan gitar elektrik Steve Vai (dalam hal ini, interpretasi “Caprice No. 5” yang oleh Vai diberi judul “Eugene’s Trick Bag”).

Kapasitas teknik yang dimiliki Zidane dalam mengolah bola, keterampilannya dalam melakukan dribbling, passing, maupun goal-targeted shooting, juga kelihaiannya dalam menempatkan posisi dirinya dalam pergerakan tanpa bola, serta kecerdasannya dalam membaca permainan seperti yang tampak dalam aksinya ketika mendistribusikan bola, memperlihatkan bahwa Zidane benar-benar seorang virtuoso. Kemampuan Zidane dalam permaianan bertahan pun dapat dikatakan cukup tajam. Ketika Zidane “menari”—meliuk-liuk, berputar, melompat ringan dengan anggun, mencondongkan badannya ke arah yang mengejutkan, lalu tiba-tiba menghentak dengan menendang bola untuk menyodorkan throughpass yang empuk bagi siapa pun striker yang menjadi target-man—saya seakan-akan bukan melihat Zidane—melainkan mendengarkannya. Saya mendengar slur-slur dari Capricci-nya Paganini dalam permainan Ricci yang kadang bisa lembut mendayu di tengah ketangkasan dan kelincahan yang bergelora, passionate, membara, menghentak, dan menghunjam—bertukar sul tasto dengan sul ponticello, kadang collé kadang ricochet, kemudian tiba-tiba sautillé, lalu martelé dengan spiccato yang tajam. Lalu legato yang lembut. Lalu double-stop yang menghempas.

Lain lagi halnya Der Kaiser, Herr Franz Beckenbauer. Kalau diibaratkan permainan biola, bagi saya gaya permainan Beckenbauer adalah gaya permainan biola Baroque. Biola Baroque kerap ditala lebih rendah dan dimainkan dengan posisi lurus ke depan (arah rentang senar tegak lurus dengan arah lintang bahu si pemain), yang membuat “tangan-nada” si pemain menjadi terlihat lebih serius, tapi “tangan-busur”-nya justru lebih rileks. Dalam hal permainan Beckenbauer, sebagai seorang libero (meskipun awalnya ia adalah seorang pemain tengah), Beckenbauer memperlihatkan pergerakan yang rileks, kalem, namun efisien dan tetap fokus—penuh konsentrasi. Akan tetapi, itu tidak berarti ia terus terpaku di posisinya; justru posisinya yang berada di belakang itulah yang membuat kejenuisannya membaca konstelasi para pemain dari tim lawan kadang berbuah gebrakan yang cemerlang—seperti misalnya ketika ia kemudian melakukan overlapping ke depan, menyusuri lapangan dengan solo-run, dan bahkan mencetak gol.

Tema biola untuk Beckenbauer, bagi saya, adalah permainan biola Baroque Reinhard Goebel yang meskipun kalem dan santai, tetap terdengar berdisiplin. Dan gaya historically-informed performance-nya menunjukkan bahwa ia benar-benar berwawasan. Semangat juang Goebel yang menakjubkan yang diperlihatkannya ketika ia mengalami kelumpuhan tangan kirinya, dan ia “memaksa” dirinya sendiri untuk beralih menjadi pemain biola “kidal,” mengingatkan saya kepada cerita tentang partai semifinal Piala Dunia 1970 ketika Jerman berhadapan dengan Italia dalam sebuah pertandingan yang disebut-sebut sebagai “the Game of the Century.” Kala itu tulang-kerah (clavicle) bahu Beckenbauer retak setelah diganjal keras. Namun ia tetap bertahan di lapangan. Kubu Jerman tak lagi bisa memasukkan pemain pengganti karena telah melakukan dua penggantian sebelumnya. Beckenbauer pun berjibaku—dengan sling yang mengikat dan menahan lengannya yang nyaris lepas itu. Ia bekerja mati-matian, dan di bawah “komando”-nya di lapangan, tim Jerman memaksa tim Italia harus menempuh perpanjangan waktu, meskipun akhirnya Italia dapat menundukkan Jerman 4-3.

Roberto Baggio—bagi saya dia adalah seorang pertapa Zen dalam sepak bola. Ada sesuatu yang mistis dalam performanya di lapangan hijau ketika ia berada di masa-masa keemasannya—seperti mistisisme yang saya rasakan dalam getaran-getaran nada Sonata Biola No. 10 karya Ludwig von Beethoven yang dimainkan oleh, misalnya, Friedrich “Fritz” Kreisler. Tenang, dan misterius. Trillo dalam karya Sonata Biola terindah dari Beethoven ini selalu terngiang ketika saya melihat video rekaman Baggio di mana Baggio secara tiba-tiba, juga “misterius”—seolah-olah menyembul dari keheningan yang meledak—bergerak dengan tenang dari lini kedua. Allegro moderato Beethoven dalam gesekan biola Kreisler pun mengalun; Baggio menyambut bola, kemudian dengan tenang ia melakukan dribbling serta satu, atau paling banter, dua wall-pass dengan rekan-rekannya, sambil menyelusup makin dalam ke jantung pertahanan lawan. Lalu ia mengelabui—masih dengan tenang—stopper dan libero lawan yang datang menghadang. Kemudian ia menaklukkan bek lawan yang terpaksa harus pontang-panting dan gelagapan; Baggio tetap tenang. Berikutnya, Baggio berhadap-hadapan dengan penjaga gawang; untuk kesekian kalinya, Baggio tetap tenang. Dan ketika penonton berharap Baggio menendang bola ke arah gawang, Baggio malah “memeluk” bola rapat-rapat dengan dribbling-nya, mengelak dari si penjaga gawang seperti seorang master Aikido, dan menggiring bola jauh, dan jauh lagi, seakan-akan ia akan membawanya terbang ke Nirwana—semua itu lagi-lagi ia lakukan dengan tenang …. Di garis putih akhir, barulah Baggio melesakkan tendangannya—dan bola pun meluncur menyusuri rumput, melesat, mendesing, sebelum akhirnya tipis melampaui garis gawang, dan bersarang tepat di belakang tiang jauh. Poco allegretto Beethoven dalam ketegasan ekspresi Kreisler membahana. Molto sereno, ma proprio intenso.

Sementara Stéphane Grappelli-nya sepak bola barangkali adalah Senhor Edison “Edson” Arantes do Nascimento, atau Pelé. Seperti halnya bagi Grappelli, bagi Pelé improvisasi mungkin adalah segalanya. Tak peduli yang dimainkannya itu adalah sebuah sonata atau sebuah concerto, Grappelli selalu menginterpretasikannya dengan caranya sendiri. Demikian pula bagi Pelé; ia bisa demikian kreatif dengan olah bolanya sendiri tanpa kehilangan harmoni dalam situasi permainan tim. Bola bagi Pelé adalah seperti halnya biola bagi Grappelli—menyatu dengan setiap desah nafas yang menghidupi ruhnya dan setiap tetes darah yang mengalir di tubuhnya. Tema biola untuk keindahan “akrobat” bola Pelé bagi saya adalah kolaborasi Grappelli dengan pianis Michel Petrucciani untuk sebuah nomor jazz standar “Flamingo.” Kombinasi antara beat-beat irama swing dengan aksen-aksen montuno yang “berjingkat-jingkat” dalam lagu ini mengingatkan saya kepada gerakan casual dari seekor flamingo—juga kepada gaya walking-football-nya Pelé.

Pesona para pemain sepak bola seakan-akan tak ada habisnya. Daftar pun bisa semakin panjang. Kita bisa mencatat juga, misalnya, tendangan-tendangan bola mati jarak jauh dari Luis Figo, dan lebih teristimewa lagi, David Beckham, yang meninggalkan jejak-jejak “balistik” yang ajaib—jejak dari lintasan bola yang melengkung, berputar, bergirasi, seperti nada-nada panjang dalam Sonata Biola L.140 dalam G- karya Achille-Claude Debussy, yang sarat oleh legato ekstrem dan hemiola. Juga seperti halnya Intermède dalam Sonata Biola karya Debussy itu, di mana permainan scherzando yang lepas dalam intensitas nada-nada kromatik yang “expressif et sans rigueur” berakhir dengan luapan nada-nada yang berakhir tiba-tiba, kinematika bola yang rumit tapi indah dari Figo atau Beckham itu terjadi dalam letupan energi yang tiba-tiba, dan berakhir juga secara tiba-tiba, sehingga kita kadang dibuat terpana—butuh waktu sejenak untuk menyadari sepenuhnya apa yang terjadi.

Tapi kemudian tidak butuh waktu terlalu lama bagi seseorang yang telah jatuh cinta kepada sepak bola, untuk memuja sepak bola seperti halnya Oliver Wendell Holmes, Sr. memuja biola, seperti yang “dilantunkannya” dalam bukunya, The Autocrat of the Breakfast Table, dengan gaya yang nyerempet-nyerempet gaya “Her Side of the Story” dalam anekdot di bagian awal tulisan ini—seperti dalam petikan berikut ini:

Violins, too. The sweet old Amati! the divine Stradivari! played on by ancient maestros until the bow hand lost its power, and the flying fingers stiffened. Bequeathed to the passionate young enthusiast, who made it whisper his hidden love, and cry his inarticulate longings, and scream his untold agonies, and wail his monotonous despair. Passed from his dying hand to the cold virtuoso, who let it slumber in its case for a generation, till, when his hoard was broken up, it came forth once more, and rode the stormy symphonies of royal orchestras, beneath the rushing bow of their lord and leader. Into lonely prisons with improvident artists; into convents from which arose, day and night, the holy hymns with which its tones were blended; and back again to orgies, in which it learned to howl and laugh as if a legion of devils were shut up in it; then, again, to the gentle dilettante, who calmed it down with easy melodies until it answered him softly as in the days of the old maestros; and so given into our hands, its pores all full of music, stained like the meerschaum through and through with the concentrated hue and sweetness of all the harmonies which have kindled and faded on its strings.

Analogi dan paralelisme bola dengan biola ini barangkali membuat sepak bola menjadi terkesan gemulai dan feminin. Sebagian orang mungkin akan merasa jengah dengan kata-kata rumit segambreng dalam upaya penjelasan yang mungkin akan dianggap menjelas-jelaskan sesuatu yang sederhana dan telah jelas—dan yang mungkin akan dianggap mirip dengan setumpuk fashion items hasil belanja seorang lady shopaholic yang baru ketiban pulung. Tapi bagi saya, itu tidak menjadi masalah. Jika memang sepak bola itu harus dianggap sebagai olah raga kaum laki-laki, maka toh laki-laki sendiri selalu mempunyai sisi feminin. Konon, secara genetis perempuan akan selalu menjadi perempuan, karena hanya memiliki satu jenis kromosom: kromosom-x. Sedangkan dalam tubuh seorang laki-laki, kromosom kelaki-lakiannya—kromosom-y—hanyalah separuh dari total materi genetis yang membangun cetak biru gendernya; separuhnya lagi, ya kromosom-x.

Bukan itu yang merisaukan saya. Satu hal yang bagi saya terasa mengganggu adalah anggapan yang memandang bahwa keindahan sepak bola harus selalu diartikan sebagai keindahan sepak bola menyerang. Itu kiranya yang membuat gaya sepak bola bertahan seperti catenaccio-nya tim Azzurri Italia diberi label “sepak bola negatif.” Menyerang untuk menciptakan gol memang adalah tujuan pertandingan sepak bola. Kemenangan akan menjadi mustahil bagi sebuah tim sepak bola yang bertanding bila tim itu hanya bergerombol di daerah pertahanannya sendiri. Bahkan salah satu adagium sepak bola yang juga menjadi adagium universal situasi persaingan, dan yang sudah menjadi pepatah klasik, yaitu bahwa “pertahanan terbaik adalah dengan menyerang,” sepertinya telah diyakini secara umum kebenarannya. Tetapi adalah keyakinan umum juga bahwa kemenangan pun akan menjadi rapuh bila sebuah tim sepak bola yang bertanding larut dalam keasyikan melakukan penyerangan, sementara pertahanan dibiarkan kacau dan goyah.

Dan seperti banyak hal dalam kehidupan, keindahan sesuatu tidak hanya terdapat dalam produk yang dihasilkan atau situasi final yang tersaji matang, tetapi juga terutama terletak dalam proses pembentukan produk atau penciptaan situasi itu dari peluang-peluang mentah. Bagi saya, dalam sebuah pertandingan sepak bola yang saya tonton, sebuah upaya penciptaan gol dari serangan balik yang spontan namun tertata rapi dari situasi bertahan, bahkan bila itu tidak membuahkan gol karena pihak lawan berdisiplin dan sigap dalam mengantisipasinya—dengan zone-marking yang cerdas dan man-marking yang ketat dari para pemain bertahannya—jauh lebih indah daripada gol yang tercipta karena para pemain belakang lengah dalam menjaga daerah atau pemain lawan, misalnya, atau karena clearence seorang stopper yang tidak bersih, karena bek yang telat turun setelah melakukan overlapping, atau karena penjaga gawang mengambil posisi yang salah dalam mengantisipasi pergerakan penyerang lawan, atau melakukan blunder dengan secara gegabah maju menjemput bola padahal sang libero masih dapat mengawal pergerakan penyerang lawan serta hendak memotongnya dengan melakukan back-pass.

Dan bagi saya, kepiawaian Paolo Maldini dalam melakukan tackling yang halus dan bersih ketika A. C. Milan berada dalam posisi bertahan, misalnya, yang kerap ditunjukkannya bahkan ketika penyerang lawan tengah menyisir lapangan nyaris di tepian garis samping, sementara dengan akurasi dan presisi gerakan serta timing yang sangat tepat Maldini meluncur menyodorkan kakinya persis ke arah bola, dan ajaibnya bola itu kemudian lekat menempel di kakinya, lalu dengan sigap Maldini bangkit untuk menguasai bola sepenuhnya, adalah sebuah pertunjukan keahlian yang tidak kalah indah dibandingkan dengan atraksi gocekan bola Raúl atau Ronaldo, misalnya, ketika menghindari tackling pemain lawan pada saat Real Madrid C. F. berada dalam posisi menyerang.

Di ajang putaran final Piala Dunia 1994 yang diselenggarakan di Amerika Serikat, 24 tim sepak bola dari 24 negara berlaga. Selama sebulan penuh perhelatan itu digelar, jumlah total penonton yang hadir di stadion-stadion waktu itu mencapai angka 3,6 juga jiwa—sebuah rekor yang bahkan sampai saat ini pun masih bertahan. Namun ketika itu orang-orang Amerika sendiri banyak yang tetap tidak begitu antusias. Para penggemar olah raga Amerika, yang rata-rata adalah fans fanatik baseball, bola basket, hockey es, atau American football, berkongko-kongko di kafe-kafe atau bar-bar sambil “mengintip” keriuhan yang bagi masyarakat dunia barangkali adalah keriuhan sebuah hajatan olah raga terbesar. FIFA saat itu baru saja membuat beberapa kebijakan baru, seperti misalnya perubahan peraturan mengenai offside, yang lebih berpihak kepada tim yang menerapkan permainan memenyerang, yang kemungkinan akan mendorong lebih banyak terciptanya gol, sehingga diharapkan publik Amerika akan menjadi lebih tertarik kepada sepak bola. Namun tetap saja banyak dari orang-orang Amerika itu yang menganggap sepak bola sebagai permainan yang “lucu.” “Republik Irlandia versus Norwegia: 0-0,” kata seorang dari mereka dengan senyum geli sambil melirik ke layar televisi. “Kenapa para pemain itu tidak diperbolehkan menggunakan tangan mereka saja?“ katanya lagi.

Mungkin bagi mereka, pertandingan olah raga baru disebut “seru” bila dalam pertandingan itu ada banyak, sebanyak-banyaknya, skor yang dihasilkan. Untuk itu, pelarangan penggunaan tangan dalam sepak bola mungkin menjadi “aneh” bagi mereka. Maka dalam filem Escape to Victory, misalnya, yang bercerita tentang tim sepak bola yang terdiri dari para tawanan Perang Dunia II, yang di dalamnya turut bermain juga bintang-bintang sepak bola terkenal seperti Pelé, Osvaldo Ardiles, dan Bobby Moore, pemeran utama filem ini, bintang Amerika, Sylvester Stallone, berperan sebagai seorang penjaga gawang—satu-satunya pemain dalam sebuah tim sepak bola yang diperkenankan bermain menggunakan tangannya pada saat bola dalam keadaan “hidup.”

Menyerang, menyerang, dan menyerang. Dan mencetak skor sebanyak-banyaknya. Rupanya itu yang lebih menarik bagi orang-orang Amerika. Meskipun begitu, bahkan bagi para penggemar sepak bola yang bukan orang Amerika pun, di era sepak bola mutakhir saat ini, sepertinya tipe permainan seperti itu lebih disukai.

Harus saya akui, biasanya bagi saya juga seperti itu. Tapi buat saya, sepak bola yang atraktif tidak harus selalu demikian. Salah satu pertandingan favorit saya sepanjang masa adalah partai semifinal Piala Eropa tahun 2000, yang mempertemukan Italia dengan Belanda dalam sebuah laga yang penuh drama. Seolah menentang “the spirit of the era,” tim Azzurri tampak tegar dan garang sejak “Tre Colore” berkibar dan “Il Canto degli Italiani” berkumandang—dan siap bukan untuk unjuk seni permainan cantik berseri dalam sepak bola menyerang, tapi untuk pertarungan adu otot dan urat syaraf dalam sepak bola bertahan. Dino Zoff, pelatih tim Italia di tahun 2000 itu, menjadi simbol kembalinya catenaccio, yang mencapai puncak kejayaannya di tahun 1982 ketika Italia menjadi Juara Dunia, dan Zoff—yang saat itu bertindak sebagai penjaga gawang sekaligus kapten kesebelasan—tampil bak Hector di depan gerbang kota saat lima puluh ribu pasukan Yunani yang datang dengan seribu kapal merapat di pantai Troy. Hanya saja, kali ini sang Hector bukan berada di depan benteng Troy, tetapi di sarang “Singa Oranye” yang kini menjadi lawan yang harus dihadapinya.

Saat itu Fabio Cannavaro sedang ganas-ganasnya. Ia tampil seperti seekor srigala abu-abu dari Parma. Matanya yang jeli, gerakannya yang tangkas namun hemat, nyalinya yang menyala-nyala dengan keberanian yang membara dan mental sekeras baja, dan lompatannya yang lepas tinggi menjulang—ketika menghadang dan menghentikan pergerakan lawan—kerap membuat Dennis Bergkamp, Patrick Kluivert, dan kawan-kawan, limbung, mati langkah, terpental, dan tak berkutik. Alessandro Nesta yang terampil, cerdas, luwes, namun tetap taktis dan lugas, berdiri sebagai jangkar pertahanan tim Italia. Sementara para pemain belakang dan gelandang bertahan Italia lainnya—Ciro Ferrara, Paolo Maldini, Gianluca Pessotto, Gianluca Zambrotta—seolah berbicara kepada para penyerang tim asuhan Frank Rijkaard itu dengan kata-kata tokoh Dirty Harry yang diperankan Clint Eastwood dalam sebuah filemnya, “Go ahead. Make my day.” Bahkan Francesco Totti dan kemudian Alessandro del Piero yang menggantikannya pun sering turun untuk mengentalkan kegarangan benteng pertahanan tim Italia. Mereka mengundang tim Oranye untuk masuk ke daerah pertahanan mereka, bahkan mereka membiarkan wilayahnya dikurung dan digempur, seolah tak peduli bahaya. Lalu setiap kali pasukan Londo itu berada di wilayah pertahanan mereka, mereka akan melumat dan mematahkannya—secara taktis, biasanya; dengan kontak fisik yang keras, kadang-kadang; bahkan dengan aksi jegal yang bengis, kalau perlu. Negatif? Terserah. Tapi dengan permohonan maaf kepada para penggemar sepak bola dari kalangan perempuan (sebagian di antaranya barangkali penganut berat feminisme?), “Ini adalah permainan laki-laki, Bung!”

Berisiko, memang. Di menit ke-34, tim Azzurri harus kehilangan Zambrotta yang didepak ke luar lapangan oleh wasit asal Spanyol, José Garcia Aranda, dengan akumulasi dua kartu kuning. Kemudian tim Italia harus dihukum tendangan penalti karena Nesta menarik lengan Kluivert untuk menghentikan lajunya. Tapi sial bagi tim Belanda, tendangan Frank De Boer kandas dalam halauan penjaga gawang tim Italia, Francesco Toldo. Bertanding dengan sepuluh pemain, tak menyurutkan semangat tim Azzurri. Bahkan mereka menjadi semakin kokoh dan “liar.” Ketika dua kali lima belas menit masa perpanjangan waktu yang menegangkan (antara lain karena diterapkannya aturan “the golden goal”) berakhir, mereka keluar dari tekanan situasi layaknya prajurit-prajurit Giuseppe Garibaldi yang berbaris kembali memasuki Roma dengan semangat yang berkobar-kobar meskipun didera haus dan lapar. Bergandengan lengan, bahu-membahu, mereka menyaksikan dengan tegar tendangan demi tendangan dalam adu penalti yang menguji mental dan menguras energi emosi. Kekuatan catenaccio tegas dan tajam mengguncang ketika Toldo berhasil memblok tendangan Paul Bosvelt—tre-uno a favore d’Italia.

Sekali lagi, bagi saya, (dan kembali dengan permohonan maaf saya kepada para penggemar sepak bola dari kalangan perempuan,) permainan tim Italia kala itu menegaskan bahwa sepak bola adalah permainan yang macho, manly, laki-laki. Namun demikian, kalau harus dituntut juga dikemukakannya versi “His Side of the Story” untuk mendeskripsikan sepak bola, kata-kata dari William “Bill” Shankly, tokoh sepak bola asal Skotlandia yang pernah menjabat sebagai pelatih tim Liverpool F. C. selama lima belas tahun di era 1950-an itu—yang petikannya tercantum di awal tulisan ini—rasanya lebih jitu menusuk. Saya kutipkan lagi berikut ini:

Some people think football is a matter of life and death …. I can assure them it is much more serious than that.

Dan bagi saya itu ada benarnya. Bahwa sesungguhnya, baik apabila kita menganggap hidup itu sebuah tanggung jawab yang serius dan kematian itu sebuah akhir yang menghendaki pertanggungjawaban yang juga serius, maupun apabila kita memandang hidup itu sebagai kesempatan bermain dan kematian itu sebuah trik chaos dari hujan peluang dalam sebuah permainan, hidup dan mati adalah hidup dan mati—dua fakta yang given. Karena takdir Tuhan tidak bisa dilawan. Yang lebih serius dari hidup dan mati adalah bagaimana kita menyikapi kedua fakta itu. Menurut hemat saya, itulah yang membedakan kita sebagai manusia dengan koloni bakteri dalam sebuah sediaan penelitian di laboratorium, atau sekelompok pohon asem di belakang rumah Ki Dadap atau Ki Waru. (Mereka semua itu juga hidup dan mati, toh?) Dan sepak bola banyak mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi hidup dengan gaya dari modus keberadaan kita sebagai makhluk Tuhan yang unik. Sepak bola adalah salah satu hadiah terindah dari kemanusiaan yang membuat kita menjadi manusia yang memang manusia.

Adalah sisi kemanusiaan kita yang tersentuh ketika, misalnya, kita menyaksikan betapa ujung tombak Manchester United F. C., Wayne Rooney, melakukan tendangan salto yang indah untuk mencetak gol ke gawang Manchester City F. C. baru-baru ini. Kekaguman kita yang tulus kepada talenta dan kerja kerasnya—menarik, mendorong, melempar, menekuk, dan membesut tubuhnya sendiri yang agak gempal itu ke dalam gerak dan posisi yang seolah menentang baik hukum gravitasi maupun metabolisme tubuh—pada dasarnya adalah pengakuan terhadap keterbatasan kita sebagai manusia: Kita sadar bahwa kita sangat sulit atau malah barangkali mustahil bisa bergerak seperti itu. Dan juga adalah sisi kemanusaan kita yang tersentuh ketika, misalnya, kita menyimak gol demi gol Lionel Messi di akhir tahun lalu, yang tak jarang memperlihatkan aksi-aksi yang brilian—di beberapa pertandingan ia malah membukukan hat-trick—padahal sebelumnya Messi sempat didera cedera ankle yang parah setelah diganjal dengan “brutal” (meskipun tentu bukan merupkan kesengajaan) oleh pemain belakang Club Atlético de Madrid, S.A.D., Tomáš Ujfaluši. Messi menyadarkan kita bahwa seorang manusia ternyata bisa membuat keajaiban, dan bahwa pencapaian prestasi itu nilainya jauh lebih tinggi ketimbang pemujaan terhadap dendam. Demikian juga halnya ketika kita, misalnya, menyaksikan bagaimana Cristiano Ronaldo memberikan assist kepada Kaká untuk mempersembahkan gol pertamanya di La Liga setelah kembali merumput dari cedera—padahal Ronaldo tengah panas-panasnya menjadi mesin gol bagi Real Madrid C. F. Sisi kemanusiaan kita tersentuh karena kita menyadari bahwa manusia ternyata bisa mengesampingkan egonya untuk kepentingan bersama yang lebih besar, dan bahwa adalah suatu hal yang indah mendukung dan meneguhkan orang lain itu dalam sebuah persahabatan.

Dan adalah rasa persahabatan dalam sepak bola juga yang kerap memunculkan paradoks-paradoks yang aneh tapi cantik. Seraya mempertegas batas-batas kekamian dan kemerekaan dalam ikatan-ikatan yang dibentuk oleh dukungan terhadap sebuah tim sepak bola, batas-batas lain sering kali malah pudar dan pupus. Penduduk kota Milan di Italia menaruh hormat yang mendalam kepada trio asal Belanda—Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard—karena mereka bertiga menyumbangkan jasa yang sangat besar bagi kejayaan A. C. Milan di tahun 1990-an. Penduduk kota Firenze, masih di Italia, malah mendirikan patung Gabriel Omar Batistuta, yang asal Argentina, sebagai wujud rasa terima kasih mereka kepada Batistuta, karena sang Batigol sempat membawa ACF Fiorentina ke posisi bergengsi tinggi pada masanya di pertengahan tahun 1990-an. Kemudian, orang-orang Catalan, penduduk Barcelona, Spanyol, begitu mencintai Johan Cruyff, maestro total football Belanda, sampai-sampai Cruyff sepertinya enggan pulang ke negeri Kincir Angin tempat kelahirannya itu. Tentu wajar bila Spanyol berterima kasih kepada Cruyff, karena Cruyff-lah yang boleh dikatakan master-mind di balik kesuksesan tim Spanyol meraih tempat sebagai Juara Dunia di ajang Piala Dunia 2010 lalu. Kerangka tim nasional Spanyol adalah kerangka FC Barcelona, yang basis-basis konstruksinya, dengan gaya permainan yang dikenal dengan sebutan “tiki-taka,” diletakkan secara saksama oleh Cruyff.

Hal ini juga mengingatkan kita akan betapa pentingnya peran seorang pelatih dalam sebuah tim sepak bola. Kalau Senhor José Mourinho, misalnya, dianggap arogan karena menjuluki dirinya sendiri sebagai “the Special One,” maka itu adalah hak siapa pun untuk menilai. Demikian juga, misalnya, bila ada orang yang menganggap Sir Alex Ferguson itu otoriter, atau Don Fabio Capello itu terlalu percaya diri, atau Meneer Guus Hiddink itu keras kepala. Tapi siapa pun rasanya akan sulit untuk tidak merasa terpukau dalam kekaguman bila menyimak cerita tentang ketika seorang pelatih—yang visioner, cerdas, peduli, empatis, egaliter tapi tetap berwibawa, tegas, mampu “membakar” motivasi anak-anak asuhannya, dan juga tegar, tak retak baik oleh tekanan publik maupun oleh tekanan situasi kompetisi atau turnamen yang bertensi tinggi—datang kepada tim yang moralnya porak-poranda karena kekalahan yang terus-menerus menghantam, lalu dengan ulet ia membenahinya, detail kecil demi detail kecil, sampai akhirnya tim itu menjadi besar dan disegani. Selalu ada pelajaran kepemimpinan dan manajemen yang kaya dari sepak bola.

Sebaliknya, absennya kepemimpinan dan manajemen justru adalah sebuah keajaiban sepak bola bila kita melihat sepak bola dari sisi yang lain: para suporter. Di kalangan para suporter—setidaknya ketika berada di stadion dan sama-sama menyaksikan pertandingan—barangkali tidak akan pernah ada yang benar-benar merupakan primus inter pares, karena setiap orang adalah primus dan semua orang adalah pares. Yang ada hanyalah ikatan emosional yang intens. Ketika nyaris tanpa komando para suporter Liverpool F. C. bergandengan tangan di Spion Kop di Anfield sambil menyanyikan “You’ll Never Walk Alone,” mereka mengajarkan kepada kita arti solidaritas dan kesetiaan. Dan ekspresi yang sarat emosi itu menggugah serta menular. Bahkan Roger Waters—pemain bas dan vokalis Pink Floyd—yang adalah seorang pendukung Arsenal F. C. pun, sempat membuat komposisi lagu yang didedikasikan khusus untuk mereka. “Fearless”—demikian judul komposisi itu, yang merupakan istilah para pendukung The Reds untuk kata “awesome.”

Dalam sepak bola, sesuatu yang “fearless” memang bisa menjadi “awesome,” dan sesuatu yang “awesome” hanya dapat diraih dengan sikap yang “fearless,” karena momentum tidak pernah terulang. Ini juga mengajarkan kepada kita tentang kesementaraan. Dalam pertandingan sepak bola, setiap saat pada dasarnya adalah titik it’s-now-or-never serta to-be-or-not-to-be. Hanya bagi mereka yang tak gentar menghadapi risikolah, peluang itu akan datang, dan hanya mereka yang berani mengeksekusi peluang yang datang itulah, yang mampu mengubah kesementaraan menjadi keabadian. Keabadian karya, tentu, bukan keabadian diri. Karena, untuk keabadianlah karya itu dicatat, tapi karena kesementaraan dirilah, kita seharusnya melakukan sesuatu yang layak untuk dicatat. Dan sementara apa-apa yang indah bersemayam di keabadian, kesementaraanlah yang membuat semuanya menjadi indah.

Sepak bola adalah salah satu hal yang membuat kita tersentak oleh kesadaran akan keindahan-dalam-kesementaraan itu, dan juga akan kekayaan hidup. Kita menjadi lebih peka akan kehalusan nuansa hidup ketika memandang orang lain, dan juga diri kita sendiri. Permaianan sepak bola—apa yang “tidak penting” itu, akhirnya membuat kita merasakan apa yang dirasakan penting oleh orang lain, dan kemudian kita sadari juga, kita rasakan penting bagi diri kita sendiri. Dalam prosesnya, kita kemudian bisa larut dalam keriangan perayaannya, ataupun dalam kepiluan dramanya. Dan kita menghayati semua itu dengan segenap naluri, akal, dan rasa.

Di antara lafal-lafalnya yang sengau, orang Perancis punya setelau frase kemilau untuk ungkapkan kondisi terpantau—dalam pukau ataupun galau. Ketika merasakan keajaiban sepak bola, dengan serta-merta mereka akan berkata, “Oh là là ….”

(Tentang Ketika Kita Berkutat) Di Kota Berketi Juta Kata

Di Kota Berketi Juta Kata

To dwell is to garden.
—Martin Heidegger

Jejaring sosial di Dunia Maya bisa se-charming sekaligus sekontroversial Luna Maya. Maka apakah dengannya kita sebagai netizens sebaiknya berjalan seiring ataukah percaya itu penuh tipu daya?

Jawabannya barangkali sebaiknya kita tunda. Sementara ini, kita lihat dulu serangkaian fakta.

Adalah fakta bahwa Facebook, misalnya, dalam kurun kurang dari tujuh tahun sejak kemunculannya 2004 silam, mampu “menyatukan” lebih dari 600 juta pengguna, atau sepersepuluh umat manusia di bumi, dalam satu jaringan pertemanan virtual tunggal. Dan orang-orang dalam di Facebook berpikir, itu baru awal.

TIME, dalam artikel utamanya pada edisi akhir Desember 2010 yang baru lalu, yang menobatkan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, sebagai Person of the Year 2010, mendeskripsikan betapa di Silicon Valley akhir-akhir ini—di mana perusahaan-perusahaan teknologi informasi (TI) tak henti-hentinya berkelahi satu sama lain, dan di mana para pekerja TI dengan mudahnya “berpindah tangan” seperti “poker chips”—markas Facebook hadir sebagai gudang mantra pemikat baru bagi sejumlah profesional TI yang bisa dikatakan “bintang” di bidangnya. “… Right now Facebook has the best hand at the table,” tulis TIME.

Uang pun berduyun-duyun terjun ke pundi-pundi Facebook. Saat ini Facebook memang belum go public—meskipun langkah itu sudah cukup lama santer dibicarakan, dan menjadi salah satu isu yang paling diantisipasi di dunia investasi dan TI. Bagi sebagian orang barangkali agak mengherankan, Facebook kelihatannya malah jungkir balik menghindari “pinangan rombongan” dari senarai investor yang datang berderai. Itu terlihat dari upaya kerasnya sampai saat ini untuk mempertahankan jumlah investornya di bawah angka lima ratus. Menurut aturan Securities and Exchange Commission (SEC), perusahaan pribadi dengan jumlah investor yang melampaui angka itu diwajibkan untuk membuka laporan keuangannya kepada publik—satu hal yang tidak disukai Zuckerberg dan Facebook.

Itulah sebabnya mengapa proses penjualan saham perusahaan situs Web dengan jumlah kunjungan tertinggi nomor dua di dunia (menurut situs analitika Web, Alexa) itu kepada Goldman Sachs berlangsung lama dan bertele-tele. Meskipun begitu, akhir Januari tahun ini Facebook akhirnya mengakui telah meraup dana USD 1,5 milyar pada valuasi USD 50 milyar dari Goldman Sachs. Sebelumnya, para investor lain yang juga berkocek tebal seperti Accel Partners, Mail.ru (Digital Sky Technologies), Greylock Partners, Meritech Capital Partners, dan Microsoft—yang bak ABG gaul di tengah gaung Bieber-fever juga tak ketinggalan turut menari dalam Facebook-frenzy—dengan “mata jelalatan” dan dengan penuh semangat sekaligus dengan royal juga telah menyokong Facebook secara finansial.

Sheryl Sandberg, Chief Operations Officer (COO) Facebook, yang pernah menjabat kepala staf di Departemen Keuangan Amerika Serikat—di mana dan ketika Lawrence Summers sempat berkantor—dan yang juga sempat menjadi salah seorang tokoh penting di lingkaran elit Google, dengan pede-nya “sesumbar,” “I think it’s totally fair to say we are a very good business. Not ‘we will be,’ but ‘we are.’”

Twitter tak kalah mengesankan. Twitter memang tak se-raksasa dan segagah-perkasa Facebook. Kendati demikian, sejak diluncurkannya oleh Jack Dorsey, Evan Williams, dan Biz Stone 2006 lalu, Twitter berhasil merangkul pengguna dalam jumlah yang terus bertambah dengan laju yang fantastis. Saat ini Twitter mencatatkan 190 juta pengguna terdaftar, dan menangani 65 juta tweets dalam sehari, serta lebih dari 800.000 pencarian per hari.

Januari tahun ini juga, Twitter telah merampungkan putaran terakhir pembiayaan senilai USD 200 juta pada valuasi USD 3,7 milyar dari Kleiner Perkins Caufield Byers. Twitter telah mendapat dukungan finansial sebelumnya dari sejumlah investor seperti Institutional Venture Partners, Benchmark Capital, Union Square Ventures, Spark Capital, Insight Venture Partners, Digital Garage, dan Bezos Expeditions.

Seperti halnya Facebook, Twitter juga menarik perhatian orang-orang penting di dunia TI untuk masuk nimbrung dan urun peran. Chief Executive Officer (CEO) Twitter, Dick Costolo, baru-baru ini mengumumkan bergabungnya Mike McCue, pendiri Flipboard, dan David Rosenblatt, yang sebelumnya mengelola DoubleClick yang kemudian dijual kepada Google, ke dalam skuad Twitter. Selama dua belas bulan hingga Januari tahun ini, tim Twitter berkembang dari 130 menjadi 350 orang.

Internet tentu tidak bisa direduksikan menjadi hanya kumpulan situs-situs jejaring sosial, apalagi bila direduksikan menjadi Facebook dan Twitter. Sebenarnya, bahkan mengidentikkan Internet dengan Web (World Wide Web) juga merupakan ketidakakuratan yang bisa menyesatkan (setidaknya, dalam perspektif teknikalitas dunia TI).

Meskipun begitu, tak dapat disangkal bahwa fenomena jejaring sosial—seperti yang diepitomisasikan oleh revolusi Facebook yang memunculkan istilah the Facebook effect—adalah gelombang baru yang sangat menentukan dalam sejarah Internet dan TI pada umumnya. Kemudian mengingat dampaknya yang cukup besar kepada cara orang-orang berinteraksi serta berekspresi, dan untuk sebagian orang juga kepada cara mereka berbelanja serta berbisnis, membuat keputusan-keputusan politik, dan bahkan keputusan-keputusan hukum (meskipun untuk yang terakhir ini jumlah kasusnya barangkali masih sangat sedikit), perkembangan monumental ini akhirnya juga berpengaruh cukup besar terhadap sejarah sosial, politik, dan kebudayaan—atau barangkali bahkan dapat secara singkat dikatakan, terhadap sejarah umat manusia. Terdengar agak bombastis, memang, Tapi menilik situasinya, sepertinya itu tidak terlalu mengada-ada.

Dan justru di situlah letak persoalannya. Juga kontroversinya. Kali ini kita kembali mengambil kasus Facebook sebagai contoh yang paling representatif.

“You don’t get to 500 million friends without making a few enemies,” kata tagline filem The Social Network, garapan sutradara David Fincher, yang bererita tentang sejarah berdirinya Facebook. Kata-kata itu tentu saja lebih tepat dibaca sebagai rujukan kepada alur cerita filem tersebut. (Skenario dari The Social Network didasarkan kepada buku Ben Mezrich, The Accidental Billionaires: The Founding of Facebook, A Tale of Sex, Money, Genius, and Betrayal—yang judulnya saja sudah memberikan sebuah petunjuk.) Namun demikian, kata-kata itu juga menjadi semacam konfirmasi atas kenyataan bahwa kesuksesan Facebook, seperti halnya kisah sukses dalam skala besar yang mana pun, juga menuai dampak-dampak ikutan negatifnya sendiri.

Artikel utama TIME edisi akhir Desember 2010 dibuka dengan eulogium berbunga:

For connecting more than half a billion people and mapping the social relations among them, for creating a new system of exchanging information and for changing how we live our lives, Mark Elliot Zuckerberg is TIME’s 2010 Person of the Year.

Di halaman yang sama, seseorang seakan-akan langsung menyambar dengan komentar yang gahar:

TIME Magazine has no credibility. There is a big box with Facebook user recommendations right above the box teasing the Zuckerberg/Facebook editorial package on TIME’s “person of the year” page. […]

Komentar pedas yang sarat kecurigaan ini tidak saja menggugat TIME atas apa yang dipersepsikan sebagai distorsi independensi dalam kebijakan pemberitaannya, tetapi juga menggugat Facebook atas apa yang dipersepsikan sebagai distorsi integritas di tengah-tengah concern publik akan terjaminnya keadilan dan objektivitas dari informasi yang tersaji kepada publik. Singkatnya, dalam kasus ini: TIME bermitra dengan Facebook dalam bisnis. TIME perusahaan media; Facebook perusahaan situs Web jejaring sosial. Bagaimana publik bisa yakin TIME tidak menggunakan Facebook sebagai mesin pemasaran dan Facebook tidak menjadikan TIME sebagai mesin humas, dan dalam kedua kepentingan bisnis itu mereka tidak mengabaikan tanggung jawab mereka kepada publik?

Komentar ini juga mengarahkan perhatian kita kepada kemungkinan “pengkhianatan” Facebook kepada the-ultimate-stakeholders-nya, yaitu para pengguna. Dalam sebuah wawancara di tahun 2007, Zuckerberg menjawab pertanyaan mengenai alasan keengganannya menjual Facebook, ketika tawaran itu datang dari sejumlah raksasa TI, dengan mengatakan, “… the most important thing is that we create an open information flow for people. Having media corporations owned by conglomerates is just not an attractive idea to me.” Kini, setelah Facebook menjadi “raksasa” dalam wujudnya sendiri, Facebook tak dapat mengelak dari tuduhan mengenai kemungkinan pencederaan, di satu sisi, atau penyalahgunaan, di sisi lain, akan “open information flow for people” yang selalu didengung-dengungkan oleh Zuckerberg itu.

Banyak orang yang curiga, misalnya, bahwa TIME sengaja “menyingkirkan” pendiri Wikileaks, Julian Assange—yang menurut mereka lebih pantas menyandang gelar “Person of the Year” tahun 2010 lalu itu ketimbang Zuckerberg—dari penobatan gelar tersebut dengan menggesernya ke posisi runner-up. Pertimbangannya? “Apa lagi kalau bukan ‘urusan duit,’”—di samping (juga menurut keyakinan mereka,) “adanya tekanan kuat dari Pemerintah Amerika Serikat.” TIME, dan bukan Facebook, tentu saja, yang dituduh menanggung “dosa” itu. Tapi mereka menengarai “kasak-kusuk” Facebook juga ikut andil.

Tuduhan yang sangat serius kepada Facebook adalah bahwa Facebook “habis-habisan menghisap setiap helai informasi pribadi dari para penggunanya untuk dijual kepada para pengiklan.” TIME juga menyadari adanya tuduhan seperti itu dan memberikan “pembelaan” dengan mengatakan bahwa Facebook memang menggunakan agregasi statistik dari jutaan penggunanya untuk membidik secara efektif target pasar bagi para pengiklan yang menggunakan jasa Facebook, tapi, masih menurut TIME, itu bukanlah hal yang sama dengan menjual data pribadi pengguna. “And he [Zuckerberg] doesn’t force anybody to share anything,” tulis TIME lagi, “The idea would genuinely, honestly horrify him.”

Namun demikian, isu privacy masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Facebook. Bahkan TIME juga turut menggugat Facebook dalam soal ini. Sebenarnya harus secara fair kita katakan bahwa TIME tidak begitu saja berbicara sebagai corong Facebook. Selain itu, TIME juga mengemukakan analisis dan interpretasi sosio-historis yang menarik dari Internet serta hadirnya Facebook dalam lansekap ini (meskipun patut diragukan apakah TIME, atau dalam hal ini, Lev Grossman sebagai penulis artikel “Mark Zuckerberg, Person of the Year 2010” ini, memiliki pemahaman yang memadai terhadap aspek teknis dari TI dan komunikasi-data serta computer-internetworking—yang secara tak terhindarkan seharusnya menjadi basis bagi upaya seperti itu).

TIME memberikan kredit kepada Facebook yang, menurut TIME, telah menjadikan Internet sebagai “replikasi” dari dunia nyata, sebagai ruang realitas yang lebih “beradab” (“civilized”) kendatipun “membosankan” (“dull”). Dan itu, kata TIME lagi, karena “jasa” Facebook yang mengadvokasi penggunaan identitas nyata—beserta segala “patok, tali-temali, dan unting-unting”-nya—dari pribadi para pengguna Facebook. (“… all the trappings of ordinary bourgeois existence—your job, your family, your background? On Facebook, you take it with you”). Namun demikian, TIME “menyanggah” sindiran Zuckerberg, “Having two identities for yourself is an example of a lack of integrity,” dengan mengatakan, “Just because you present a different face to your co-workers and your family doesn’t mean you’re leading a double life. That’s just normal social functioning, psychology as usual.”

Salah satu bagian yang paling menarik dari artikel TIME itu barangkali adalah refleksi atas betapa kasar dan kakunya dunia Facebook bila itu dianggap sebagai model dari dunia nyata. Facebook, kata TIME, menaruh baik wajah-privat maupun wajah-publik, baik pribadi-kini maupun pribadi-lampau dari para penggunanya—semuanya tumplek-blek—ke dalam satu kancah “single generic extruded product.” Facebook juga membabat semua kompleksitas dan subtilitas relasi antarpribadi di dunia nyata dan menggantinya dengan satu relasi tunggal: “pertemanan.” “You’re friends with your spouse, and you’re friends with your plumber.”

Masih ada beberapa isu lain terkait kontroversi Facebook, seperti masalah “kecanduan,” dan penggunaan Facebook oleh pelaku kriminal untuk mengontak calon korbannya. Selain itu, ada kabar bahwa seorang direktur biro kesehatan masyarakat di Inggris, yang para stafnya melakukan penelitian mengenai sifilis, mengaitkan peningkatan kasus sifilis di kawasan Britania (Inggris, Skotlandia, dan Wales) dengan Facebook, yang tentu saja ditampik validitasnya oleh pihak Facebook. Namun demikian, di Amerika dan Eropa, sampai saat ini, masalah-masalah terkait privacy-lah yang sepertinya paling dominan menjadi sumber keprihatinan para pengguna layanan situs jejaring sosial, terutama mereka yang gigih mengadvokasi isu ini. Dan itu tidak hanya terjadi pada Facebook. Twitter, misalnya, juga mengadapi masalah yang sama, meskipun, bagi Twitter, kendala utamanya lebih bersifat teknis (apa yang oleh Costolo, dalam sebuah wawancara, diakui sebagai “technical debts”) ketimbang masalah filosofis-cum-teknis seperti yang menimpa Facebook.

Sebagian—atau barangkali seluruhnya dalam skala dan intensitas yang berbeda—dari masalah-masalah di atas, terjadi juga di negeri kita ini, Indonesia. Namun, selain itu, kita juga mempunyai masalah yang tentunya spesifik bagi kita sendiri, di satu sisi, serta di sisi lain, lebih merupakan masalah TI secara umum, daripada masalah yang secara spesifik terkait dengan isu-isu yang berkembang di seputar jejaring sosial.

Isu “digital divide,” misalnya, jelas mengemuka. Tentu saja, masalah itu ada di belahan bumi mana pun, bahkan di negara-negara maju sekalipun. Namun demikian, kesenjangan yang tinggi antarkelas sosial, antarwilayah, antara kota dan pedesaan, dan antara orang-orang dengan tingkat pendidikan yang berbeda di negeri kita ini, membuat isu ini tampak bak jurang menganga. (Maka dalam hal ini, rasanya sangat beralasan bila banyak pihak mempertanyakan keseriusan Pemerintah, khususnya Kementrian Komunikasi dan Informatika, Kemenkominfo, dalam menyikapi masalah ini. Dan untuk itu, rasanya beralasan pula bila banyak pihak menganggap bahwa manuver-manuver yang ditingkahi gebrakan-gebrakan dari Menkominfo, Tifatul Sembiring—seperti memunculkan polemik soal RIM dan BlackBerry, soal WordPress, soal rancangan peraturan yang mengimplikasikan diharuskannya para penyelenggara koneksi internet, atau Internet Service Provider, ISP, untuk membuka e-mail klien-kliennya, dan seterusnya—sebagai langkah yang kehilangan fokus.)

Betapa pun secara absolut jumlah pengguna Internet di Indonesia terbilang cukup tinggi di dunia (data akhir-Januari tahun ini bahkan menunjukkan bahwa Indonesia telah menyalip Inggris untuk menempati urutan kedua dalam hal jumlah pengguna Facebook di dunia), secara relatif, sebut saja, “rasio internetifikasi” kita masih bisa dikatakan minim. Dan betapa pun gaya hidup ber-Facebook-ria terlihat masif dan bahkan tampaknya telah menjadi bagian dari budaya di negeri kita ini, wabah Facebook atau Twitter tetap saja dominan merupakan fenomena kelas menengah atau kota (meskipun itu tidak bisa juga dikatakan seratus persen benar.)

Rendahnya level implementasi TI di lembaga-lembaga milik Negara serta pemanfaatannya bagi pelayanan publik juga menjadi masalah. Ini juga sepertinya patut dipertanyakan kepada Pemerintah. Kita bisa mengamati, sebagai contoh, layanan publik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang sering mencitrakan dirinya sebagai institusi Negara dengan penguasaan TI yang hebat. Kenyataanya, misalnya, seorang wajib pajak yang sempat tinggal di Cimahi dan kemudian pindah ke Jambi, bila ia ingin meminta informasi tentang objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari tanah dan rumah yang ia tinggalkan di Cimahi, tetap harus datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di Cimahi dan mengajukan formulir permohonan untuk mendapatkan salinan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

Bila dalam Undang-Undang (UU) No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disebut-sebut istilah-istilah “informasi elektronik,” “transaksi elektronik,” “dokumen elektronik,” “sistem elektronik,” “penyelenggaraan sistem elektronik,” “jaringan sistem elektronik,” “agen elektronik,” “sertifikat elektronik,” “peneyelenggara sertifikasi elektronik,” “kontrak elektronik,” “tanda-tangan elektronik,” serta “kode akses,” maka rasanya sulit menemukan sesuatu yang pantas dibanggakan dari Negara dengan tercantumnya semua hal itu di dalam UU yang dibuat oleh Negara, sementara Negara sendiri tidak berada di garda depan dalam implementasinya.

Masalah berikutnya sedikit terkait dengan filosofi budaya bangsa kita mengenai seberapa serius, sebenarnya, kita memandang atau menilai informasi. Gambarannya, barangkali, bisa kita lihat di tempat lain: Berapa besar, misalnya, dukungan kita sebagai bangsa, terhadap penelitian di bidang ilmu-ilmu dasar (basic sciences) dibandingkan dengan dukungan kita terhadap penelitian di bidang ilmu-ilmu terapan (applied sciences)? Sepertinya tidak begitu besar.

Semua faktor di atas ini menyebabkan informasi seolah-olah tercerabut dari keterkaitan struktural dan fungsionalnya dengan kehidupan nyata, ibarat pertukaran aset-aset finansial yang tanpa didasarkan kepada keberadaan underlining physical assets-nya—atau kebijakan moneter yang dibiarkan menari dengan iramanya sendiri tanpa memperhitungkan lagu-langgam sektor ekonomi riil yang bergerak dengan irama yang sering berbeda.

Akhirnya, yang muncul adalah adanya kecenderungan bawha aktivitas apa pun yang terkait dengan pertukaran informasi, dalam hal ini, di Internet—kecuali, barangkali, yang dilakukan oleh lembaga formal atau orang-orang dengan peran formal dalam konteks sosial yang juga formal—akan dipandang tidak serius, alias sekadar main-main—“main Facebook,” “main Twitter,” “main Internet.” (Di sini, kita harus menggeser lingkup bahasan kita, dari “jejaring sosial” kepada “media sosial” yang cakupannya lebih luas, yaitu meliputi, namun tidak terbatas pada, jejaring sosial, blog, wiki, Internet forum, mashup, social bookmarking, atau social news. Pendeknya, semua jenis pertukaran informasi, atau kolaborasi, yang berfitur “user-genrated content” di Internet, yang dimungkinkan oleh teknologi Web 2.0—lepas dari segala kontroversi mengenai keakuratan istilah “user-generated content,” serta apakah istilah Web 2.0 itu benar-benar mempunyai signifikansi arti dari sisi teknologi, atau sekadar hype belaka.)

Bagi kita, para netizens, kritik seperti itu tentu saja adalah tantangan yang mungkin harus dijawab—dengan bukti konkret, dan secara serius. Meskipun, sebetulnya, kita mempunyai jawaban yang paling telak dan paling jitu untuk menjawab segala jenis kritik. Yaitu panasea sapujagat Proteus, resep dari para alay yang paling lebay, yang bunyinya, “Terbang dari Washington DC ke New Delhi ke Jakarta Obama datang cuma buat teriak ‘bakSOoo!’ brb gtg beli kawat tujuh kilo buat bikin gerobak bakso yang digerakkan mesin uap James WATt fyi GImana bisa tujuh itu ‘tujuh’ padahal kamus Jawa bilang ‘pitu’ Tagalog ‘pito’ Maori ‘whiTU’? btw vis à vis SBY siapa lebih lihai memainkan tujuh jenis mesin yaitu mesin media mesin politik mesin hukum mesin bisnis mesin modal mesin sosial mesin pencitraan apakah Aburizal Bakrie ataukah Surya PaLOH?: so wat? gitu loh.”

Ya. So wat? gitu loh. Apa salahnya, sih, kita main-main? “Main-main” pada dasarnya sama saja dengan “bermain,” meskipun kepada kedua kata itu orang yang sangat serius barangkali akan bersikukuh untuk menisbatkan definisi yang berbeda. Namun, orang yang sangat serius akan menghantam bukan saja perilaku “main-main,” tetapi juga aktivitas “bermain.”

Maka seperti kata The Joker lewat seringai almarhum Heath Ledger, “Why so serious?” Justru di hadapan orang yang sangat serius kita mempunyai alasan yang sangat serius untuk menggugat balik: Apa salahnya bermain? Bahkan bila “bermain,” di sini, dipahami sebagai … ya, … “bermain”—dalam pengertiannya yang paling lugas dan sederhana seperti halnya anak kecil yang sedang bermain. Yaitu sebagai aktivitas yang tidak mempunyai arti dalam tujuannya, dan hanya mepunyai arti dalam prosesnya—seperti “the only possible non-stop flight” yang “tidak mendapat” dalam sebuah sajak Chairil Anwar. Seperti sebuah ekstase waktu, barangkali. Atau secara agak ekstrem, “bermain” seperti dalam kata-kata William Faulkner, “… merely luxuriating, in that supremely gutful lassitude of convalescence in which time, hurry, doing, [do] not exist ….”

Heidegger menunjuk anak kecil yang sedang bermain, lalu dengan menggaungkan kembali pertanyaan Heraclitus—yang ia sebut sebagai “the greatest child of the world-play”—berkata, “Mengapa ia bermain?” Heidegger menjawab sendiri pertanyaannya, “Ia bermain, karena ia bermain. Bermain itu tanpa mengapa.”

Sekali lagi, apa salahnya bermain? Apalagi, kalau objek permainan kita di Dunia Maya, “kota” berketi-keti juta kata ini, sebagian besar “hanyalah” kata-kata, yang untuk sementara, dapat kita asumsikan sebagai sesuatu yang tidak berbahaya—tidak seperti pisau dapur, korek api, kompor minyak tanah, tabung elpiji 3 kg, bubuk mesiu, AK-47, granat manggis, reaktor nuklir, atau barangkali sumpah jabatan dan amanat rakyat, yang jelas berbahaya untuk dijadikan sebagai lahan, sarana, atau objek permainan. Lagi pula, kata-kata ditakdirkan untuk hidup, tumbuh, dan beranak-pinak—meskipun sebagian layu dan mati—di sebuah arena permainan besar yang bernama “bahasa”: konstitusi keterhubungan manusia dengan manusia lain dan dengan alam. Dan adalah sebuah keniscayaan bahwa kata-kata hanya bisa hidup untuk memenuhi panggilan takdirnya itu, bila kata-kata “dimainkan.”

Jadi, kalau para pelukis diperbolehkan untuk bermain dengan objek-objek visual, mengapa kita tidak diperbolehkan untuk bermain dengan objek-objek verbal? Setidaknya, kepada mereka yang menuntut tanggung jawab logika dan makna dari kata-kata, kita bisa berargumen bahwa dalam hal ini, maaf-maaf kata, kata-kata hanya terkait dengan tindakan mengatakan kata-kata, dengan kekataan yang berkatakan keterkataan, dalam suatu pengataan yang keberkataannya di dalam perkataan, telah diperkatakan secara terkatakan dengan sekata-katanya—dengan kata lain, hanya sebagai relasi antarkata dalam dunia kata, dan bukan dalam relasinya dengan dunia nonkata, subkata, superkata, metakata, pascakata, atau antikata, sehingga memerlukan dekataisasi antikataistis terhadap artikulasi interkataisatif dari kataisme rekataisatif yang kataistis. Ha ha, apa pun artinya kalimat itu.

“Bermain” mempunyai perannya sendiri dalam kehidupan. Ketika kita bermain kita menanggalkan, barang sejenak, benteng pertahanan kita, dan membuka diri kepada reformulasi realitas untuk menjelajahi kemungkinan tatanan-tatanan baru. Maka dari itu, “bermain” adalah kata kunci penting dalam wacana tentang kreativitas atau pemikiran kreatif. Roger von Oech, penulis buku A Whack on the of the Head: How You Can Be More Creative, mengatakan, “If necessity is the mother of invention, play is the father.”

Bila objek kreativitas dalam proses bermain adalah benda-benda fisik, maka bukan tidak mungkin yang dihasilkan adalah inovasi produk. Mesin cetak, yang dampaknya kepada peradaban dunia begitu besar (barangkali jauh lebih besar dibanding World Wide Web?), ditemukan oleh Johann Gutenberg ketika ia bermain-main dengan menggabungkan fungsi pemeras anggur dengan penempa koin. Jadi tidaklah mengherankan bila bahkan Ludwig von Wittgenstein yang bisa sangat serius itu pun mengakui pentingnya menjadi culun: “If people never did silly things nothing intelligent would ever get done,” kata Wittgenstein.

Nah, apa yang bisa diharapkan bila yang menjadi objek kreativitas dalam proses bermain adalah kata-kata? Salah satu kemungkinannya barangkali adalah level-level baru dalam komunikasi. Sebuah perusahaan riset pasar, Pear Analytics, melakukan sebuah penelitian tentang konten tweets selama periode dua minggu di bulan Agustus 2009. Hasilnya? mereka mengelompokkan tweets tersebut ke dalam enam kategori: berita 4%, spam 4%, promosi diri 6%, nilai/kearifan yang dibagikan/diteruskan (pass-along value) 9%, percakapan 38%, dan sisanya, 40%, adalah apa yang mereka sebut dengan “pointless babble”—“omong-kosong yang main-main dan tak jelas juntrungannya.” Tetapi seorang peneliti media sosial, Danah Boyd, memberikan penafsiran lain. Menurutnya, apa yang dikatakan sebagai “pointless babble” itu sebaiknya dipahami sebagai ungkapan batin dari orang yang ingin mengetahui apa yang dipikirkan atau dirasakan orang-orang lain di sekitarnya—meskipun tanpa adanya kehadiran-bersama. Boyd mendandani konsepnya itu dengan istilah-istilah baru yang “mengkilap”: “social grooming” atau “peripheral awareness.”

Bila kita pandang dari sudut yang sedikit berbeda, dalam hal ini aspek semiotis dari bahasa, “peripheral awareness”-nya Boyd ini barangkali bisa kita baca sebagai pewarnaan psikologis terhadap kata-kata, atau mungkin bisa juga—seperti dalam linguistik Charles Sanders Peirce—dibaca sebagai konfirmasi bahwa dalam bahasa, kata-kata bisa menjadi sebuah symptom, tanda yang “tanpa maksud,” selain sebagaimana normalnya sebagai signal, tanda “dengan maksud.” Namun yang barangkali perlu diberi catatan adalah bahwa istilah “tanpa maksud,” untuk konteks ini, harus ditempatkan dalam pengertian bahwa makna konvensional dari kata-kata di sini menjadi tidak begitu penting; kondisi psikologis atau suara batin dari si penuturlah yang utama dalam hal ini.

Untuk menampilkan sebuah ilustrasi, kali ini kita akan berpaling sejenak dari Dunia Maya, dan menghadirkan sebuah contoh kasus dari dunia nyata. Di sini, kata-kata dilontarkan tidak dalam bentuk pulsa digital, dan ditampilkan dengan interpretasi visual melalui pixel-pixel grafis, melainkan dalam bentuk gelombang tekanan udara—lengkap dengan bumbu-bumbunya berupa emisi konvektif materi kimiawi seperti aroma semur jengkol atau obat asma. Selengkapnya, kita simak cerita berikut ini:

Sepasang kekasih yang baru saja meresmikan ikatan terdampar, di sebuah situasi yang bikin jantung berdebar: ritual kencan pertama. Celakanya (atau justru malah serunya), rupanya kedua makhluk ini termasuk kelompok varietas homo sapiens yang “mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara”—seperti yang diceritakan lirik sebuah lagu Jamrud. Duduk gugup dan canggung, mereka sesekali saling melirik dan menatap. Lalu diam. Mereka hanya berbisik dalam hati, “Tiga puluh menit kita di sini, tanpa bicara”—sampai akhirnya seekor cicak lewat.

“Cicak …,” kata si Perempuan.

“Cicak, ya?” tanya si Laki-laki.

“Iya, cicak,” jawab si Perempuan.

“Oh,” kata si Laki-laki. “Kirain bukan cicak.”

“Terus, apa?” tanya si Perempuan.

“Apa ‘aja, lah,” kata si Laki-laki, “Tapi bukan cicak.”

“Kalau memang cicak?” tanya si Perempuan lagi.

“Ya …, cicak,” jawab si Laki-laki.

—Sebuah dialog yang sungguh begitu alangkah amat sangat membosankan banget nian sekali. Tapi itu bagi orang lain. Kita tahu, tidaklah demikian halnya bagi mereka berdua. Kita bisa memahami bahwa kehadiran para penutur di sini menjadi lebih penting daripada kata-kata yang diucapkan. Bagi mereka, kata-kata hanyalah alat untuk saling bertukar pengakuan atas keberadaan Yang Lain, the exchange of acknowledgment on the existence of the Other.

Di dalam setiap “unit sajian” dari informasi di sebuah media sosial di Dunia Maya, sebuah posting, betapa pun absurd, atau narsistis, atau lebay, adalah sebuah simpul. Kata-kata (atau entitas informasi digital apa pun—teks, foto, video, patch piranti lunak) yang muncul dalam posting itu, pada dasarnya adalah pengakuan atas kehadiran orang lain. Dan “orang lain” itu benar-benar nyata. (Kalau hanya imajiner, maka bertentangan dengan definisi “media sosial” itu sendiri.) Hanya saja, memang, siapa itu “orang lain” yang sebenarnya secara pasti, tidak selalu bisa ditentukan. (Kepastian ruang dan waktu dari “orang lain” dalam realitas media sosial barangkali memang sebaiknya dibiarkan sebagai kondisi yang tidak pernah tercapai—yang mungkin mirip dengan teori ketidakpastian momentum dalam teori fisika kuantum Werner Heisenberg. Fleksibilitas yang timbul dari kondisi inilah yang justru menjadi keunggulan dari media sosial.)

Ketika posting itu berbalas, maka relasi telah terjadi. Event sederhana ini saja sebenarnya sudah berarti sesuatu. Setidaknya, jaringan interaksi sosial yang kompleks—dengan segala manfaat atau mudaratnya—baik di Dunia Maya maupun di dunia nyata, berawal dari hal elementer seperti itu. Memang, banyak sekali yang bahkan tidak mencapai tahap tersebut. Tetapi dengan demikian besarnya partisipasi para netizens, yang lolos dan mencapai simpul dasar itu juga tentu jumlahnya tidak sedikit. Kemudian bila frekuensi atau intensitas dari kejadian itu mencapai tahap tertentu yang signifikan, maka relasi yang terbentuk sudah mencapai apa yang oleh Clay Shirky, penulis buku Here Comes Everybody, dikatakan sebagai “anak-tangga pertama” dari “tangga dinamika-kelompok” dalam media sosial yang oleh Shirky diberi label “sharing.” Aktivitas ini bisa terus berlanjut, dan meningkat ke anak-anak tangga berikutnya yang, dalam perian Shirky, diklasifikasikan sebagai “cooperation” dan “collective action.”

Shirky menggunakan tesis ekonom pemenang Nobel, Ronald Coase, dalam buku Coase, The Nature of Firm, sebagai alat analisisnya. Yang menarik dari analisis Shirky terhadap fenomena ini, adalah bahwa orang-orang, bila diperlengkapi dengan perangkat yang tepat (dalam hal ini, teknologi Web 2.0 dalam media sosial), bisa membuat pencapaian yang luar biasa. Dan itu terjadi tanpa memerlukan struktur-struktur organsisasi tradisional.

Salah satu contoh proyek yang paling monumental yang menunjukkan hal ini barangkali adalah Wikipedia: situs ensiklopedia kolaboratif terbesar di Internet, yang de facto adalah sumber referensi utama di Dunia Maya. Januari tahun ini Wikipedia baru genap berusia sepuluh tahun. Namun dalam waktu sesingkat itu, jumlah artikel Wikipedia yang dalam bahasa Inggris saja sudah mencapai angka 3,5 juta. Memang, banyak sekali kritik yang ditujukan kepada Wikipedia, terutama di masa-masa awal berdirinya. Secara garis besar, kritik-kritik itu menyangkut masalah netralitas Wikipedia, serta akurasi atau kehandalannya. Meskipun begitu, skala cakupan dari Wikipedia, kecepatan update-nya, kecepatan koreksinya atas kesalahan (yang kadang-kadang serius mengingat sifatnya yang terbuka), menjadikan Wikipedia dalam hal tertentu sulit ditandingi bahkan oleh Encyclopaedia Britannica yang sudah ada sejak 1768 (17 tahun sebelum John Keats lahir) sekali pun. Seperti kata judul sebuah artikel yang ditulis Mathew Ingram dari GigaOM, “for all its flaws, Wikipedia is the way information works now.”

Faktanya, saat ini, informasi bekerja dengan cara-cara baru. Akses publik kepada media sosial menyebabkan perubahan dalam hal bagaimana informasi berdinamika dalam proses pembentukan gambaran tentang realitas. Dan pada akhirnya, acap kali itu juga mengubah bentuk gambaran tentang realitas itu sendiri.

Sebelum era media sosial, pers atau media “konvensional” hadir sebagai semacam “otoritas” informasi. Itu tentunya membawa konsekuensi tanggung jawab. Standar profesionalisme jurnalistik serta kedudukan pers sebagai subjek hukum yang high-profile, menyebabkan pers menerapkan kehati-hatian dalam penyajian informasinya. Faktor-faktor ini menyebabkan gambaran realitas yang terungkap menjadi relatif akurat, namun lambat tersaji dan pucat. Dan bila pers, baik dengan sengaja atau tidak, membuat kesalahan dengan menyampaikan informasi yang tidak objektif, distorsi informasi bisa meninggalkan gambaran realitas yang keliru. Dan itu bisa bertahan lama, karena proses koreksinya juga memerlukan waktu yang lama.

Dengan hadirnya media sosial, “semua” orang bisa menjadi sumber informasi. Maka sering kali kejadiannya seperti ini: ketika sebuah peristiwa terjadi atau sebuah isu terkuak, publik mendapati bahwa informasi secepat kilat muncul, bahkan membanjir, sebagai kebisingan yang nyaris chaotic. Mana fakta, mana opini, mana kejujuran, mana kebohongan, mana kejadian alami, mana kejadian rekayasa—pada awalnya sering sulit dibedakan. Tapi anehnya, kerumunan massa itu seperti mempunyai mekanisme korektif sendiri. Dengan berlalunya waktu—dan itu bisa berlangsung dalam periode yang tidak terlalu lama—sedikit demi sedikit kebisingan itu terfilter “dengan sendirinya,” menjadi sebuah sinyal yang koheren. Dan pada akhirnya, gambaran realitas yang terbentuk sering kali malah menjadi lebih kaya warna, kaya ragam, dan kaya perspektif.

Apakah itu berarti bahwa “kerumunan” orang-orang awam lebih bijak atau mungkin lebih cerdas daripada seorang cendikiawan, sebuah panel pakar, atau sekelompok profesional? Entahlah. Tapi James Surowiecki, penulis buku The Wisdom of Crowds: Why the Many Are Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies, Societies and Nations, sepertinya meyakini hal itu. Meskipun demikian, Surowiecki juga cukup berhati-hati dengan tidak serta-merta meng-gebyah-uyah dengan mengatakan bahwa semua kerumunan pasti lebih cerdas atau lebih bijak. Surowiecki memberikan empat kriteria untuk menarik batas dan membedakan kerumunan yang “bijak” dari yang “irasional.” Keempat kriteria itu adalah keberagaman pendapat, independensi, desentralisasi, serta mekanisme agregasi.

Dalam hal media sosial, tiga kriteria pertama tentu tidak bisa begitu saja diasumsikan sebagai terpenuhi dengan sendirinya. Lagi pula, itu lebih terkait dengan kondisi politik, hukum, ekonomi, sosial, dan budaya dari masyarakat atau segmen masyarakat yang berpartisipasi di dalam sebuah media sosial ketimbang media sosial sebagai “ruang” atau perangkat itu sendiri. Namun aspek teknis dari kriteria terakhir biasanya sudah melekat sebagai fitur dari media sosial—sebagai bagian standar dari aplikasi content-management.

Yang sepertinya tidak boleh dilupakan juga adalah bahwa karakteristik dari sebuah aplikasi atau sebuah layanan situs media sosial, juga berpengaruh terhadap proses yang membentuk agregasi informasi yang dihasilkan oleh partisipasi publik dalam media sosial tersebut; terhadap karakteristik dan bangun informasi yang dihasilkan; juga terhadap sifat, magnitude, intensitas, atau kualitas dari dampak yang ditimbulkannya.

Ambillah Twitter sebagai contoh. Di kalangan para pemrogram piranti lunak atau pengembang Web, Twitter barangkali lebih dikenal sebagai application program interface (API) yang menarik—yang sederhana dan elegan. Sedangkan bagi para pengguna yang telah memanfaatkan layanan media sosial lainnya, sekilas Twitter barangkali tidak bisa dikatakan menawarkan sesuatu yang baru—setidaknya, tidak sepenuhnya baru—khususnya bila fitur-fitur yang ditawarkan Twitter dipandang secara terpisah.

Buzz-words untuk Twitter adalah “SMS of the Internet.” Tapi sebenarnya Twitter lebih dari itu. Siapa pun yang telah bergaul intens dengan Twitter mungkin akan takjub dengan potensi dan kekuatan Twitter di balik kesederhanaannya. Timeline adalah core feature Twitter sebagai layanan micro-blogging. Namun juga, dengan @mentions, Twitter bisa mengemulasikan internet relay chat (IRC) (meskipun tentu tidak sempurna). Dengan retweets, Twitter bisa berfungsi sebagai social bookmarking. Dengan #hashtags, Twitter bisa membangun tidak hanya folksonomies, tapi juga sesuatu yang mirip internet forum. Dengan profile, follow, dan lists, Twitter tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai layanan jejaring sosial. Dan itu semua diakses dengan antarmuka yang konsisten dan satu input-field operasional tunggal.

Akan tetapi, yang membuat Twitter begitu powerful sebagai media sosial barangkali adalah “filosofi” atau ide dasarnya, yaitu sebagai protokol komunikasi data dari pesan teks “vanilla” dengan ukuran terbatas, di mana seseorang dapat mengirimkan pesan dengan penerima yang tidak ditentukan (unspecified recipient). Di Facebook, misalnya, seorang pengguna mengirimkan pesan publik atau komentar, (bukan private- atau direct-message, serta tergantung pengaturan privacy-nya,) atau ke wall akun-nya, atau ke wall akun orang lain. Ketersediaan publik dari pesan tersebut merupakan ide sekunder. Berkebalikan dengan hal Facebook, di Twitter, kemunculan tweet seorang pengguna di timeline orang lain, bahkan di timeline serta di profile-nya sendiri, justru adalah ide sekunder. By default, semua tweet di Twitter pada prinsipnya masuk ke, dan ditampung di, dalam satu “wadah” virtual besar bersama-sama. Puncaknya adalah mekanisme agregasi berupa proses indexing yang, bersama-sama dengan the real-time nature dari Twitter yang dimungkinkan oleh pembatasan “140 karakter,” memunculkan konsep trending topic.

Karakteristik Twitter seperti itu memberikan kemungkinan bagi Twitter untuk dijadikan semacam barometer instan mengenai apa yang sedang menjadi concern “publik,” “di Dunia Maya ini, saat ini.” Maka dapat dibayangkan apa kira-kira yang akan terjadi bila situasi psiko-sosial dari publik sebuah entitas politik yang resah dan nyaris putus asa, dan yang memang mendapat basis yang riil, kemudian muncul sebagai trending topic di Twitter: “bahaya” civil disobedience mengancam rezim yang berkuasa. Apakah itu yang dikhawatirkan oleh Menteri Pertahanan kita, Purnomo Yusgiantoro, dengan pernyataannya mengenai “ancaman Twitter terhadap keamanan Indonesia”? Apakah itu yang terjadi dengan the Jasmine Revolution di Tunisia, dan gerakan people power di Al-Tahrir Square yang saat ini terjadi di Mesir? Secara pasti: entahlah.

Internet dan media sosial hadir dan terpasang di tengah lansekap sosial global yang sangat kompleks dan centang-perenang. Keterkaitan antara media sosial dengan realitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya di sebuah entitas sosial-politik, sering tampak konvolutif, dan tak jarang memunculkan kasus-kasus yang spesifik dan ad hoc. Dalam kesadaran akan hal ini, pendekatan ilmiah yang cenderung ketat dan kaku seperti yang kita temukan dalam teori “collaborative action”-nya Shirky barangkali bukan saja tidak memadai, tetapi juga ahistoris. (Meskipun, tentu saja, sumbangan Shirky terhadap pemahaman kita, harus tetap diapresiasi.)

Apakah media sosial dapat dipandang sebagai subjek tersendiri yang dapat membuat perubahan besar dalam sebuah entitas sosial-politik, seperti menggulingkan sebuah pemerintahan? Debat mengenai isu ini masih berlangsung. Tapi satu hal tampaknya telah jelas: bahwa Internet dan media sosial adalah pilar-demokrasi baru dalam realitas politik dunia saat ini. Dan kekuatannya sangat tidak dapat dipandang sebelah mata. Perkembangan media sosial hingga saat ini yang telah mereposisikan unsur-unsur kekuatan politik dalam sebuah negara demokratis—pemerintahan, parlemen, peradilan, partai politik, pressure groups, dan terutama media massa—di satu sisi, telah memberi catatan tambahan penting terhadap signifikansi politis dari apa yang oleh Jürgen Habermas disebut “Öffentlichkeit” atau “public sphere,” atau “ruang publik.” Di sisi lain, perkembangan itu juga menuntut konsep “ruang publik”-nya Habermas untuk ditransformasikan ke dalam realitas politik dengan struktur teknologis baru ini.

Dalam bukunya yang terkenal—dan barangkali dapat dikatakan sebagai buku “wajib” dalam setiap studi tentang media—The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society (judul asli: Strukturwandel der Öffentlichkeit. Untersuchungen zu einer Kategorie der bürgerlichen Gesellschaft, terbit tahun 1962), Habermas antara lain menunjukkan bahwa public sphere, yang merupakan ruang di antara kehidupan privat dari inidividu/keluarga dengan otoritas pemerintahan atau negara—di mana orang-orang dapat bertemu untuk terlibat dalam debat-debat rasional-kritis mengengai masalah-masalah publik—merupakan kekuatan positif dan penting untuk menjaga agar penggunaan wewenang oleh otoritas negara berada dalam batas-batas yang tidak menelikung kebebasan dan menginvasi kepentingan publik.

Public sphere, menurut Habermas, dapat menjalankan fungsinya itu karena di dalamnya orang-orang yang terlibat dalam debat-debat itu, sepanjang menyangkut relevansinya terhadap pembicaraan mengenai kepentingan bersama, mengesampingkan atau bahkan meniadakan perbedaan status di antara mereka. Selain itu, public sphere bersifat inklusif. Isu-isu yang didiskusikan menjadi “isu umum” bukan saja karena signifikansinya, melainkan juga karena keberaksesannya: siapa pun harus bisa berpartisipasi di dalamnya. Dengan karakteristiknya seperti itu, public sphere membongkar selubung “representasional” dari otoritas kekuasaan pemerintahan/negara, dan mengembalikan kesejatian kepentingan dan kebaikan publik kepada genggaman publik itu sendiri.

The private people for whom the cultural product became available as a commodity profaned it inasmuch as they had to determine its meaning on their own (by way of rational communication with one another), verbalize it, and thus state explicitly what precisely in its implicitness for so long could assert its authority.

Habermas melacak akar keberadaan public sphere ke abad XVIII Eropa di mana kedai-kedai kopi dan salon-salon muncul sebagai tempat bagi masyarakat kelas borjuis untuk bersosialisasi dan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai masalah-masalah publik. Analisis dan interpretasi sosiologis-historis yang dipaparkan Habermas kemudian membawa argumentasinya kepada penjelasan mengenai “bubarnya” keberadaan public sphere di era moderen, serta membawanya kepada kritik mengenai kondisi demokrasi di era mutakhir ini. Menurut Habermas, ada beberapa faktor yang menyebabkan tergerusnya public sphere. Di antaranya adalah pertumbuhan media massa komersial yang mengubah publik yang kritis dan aktif menjadi publik-konsumen yang pasif, dan perkembangan negara-kesejahteraan (welfare state) yang meleburkan batas-batas antara negara dengan masyarakat.

Dengan hadirnya media sosial, kritik atau sanggahan terhadap tesis Habermas bertambah, setelah sebelumnya proposisi “counter public” seperti yang dilontarkan oleh kaum feminis serta para pengusung “proletarian public spheres,” “rhetorical public spheres,” dan “public spheres of production” juga memberi catatan kritis mengenai ketidaklengkapannya. Ada dua fakta penting dari fenomena media sosial dan Internet dalam kaitannya dengan public sphere, seperti yang diungkapkan oleh James Slevin dalam bukunya, The Internet and Society. Di satu sisi, Internet dan media sosial telah menyelesaikan beberapa problem struktural yang dilihat oleh Habermas menggelayuti media massa “konvensional.” Di sisi lain, media sosial di Internet cenderung terfragmentasi menjadi komunitas-komunitas yang terpaku kepada minat dan kepentingan sendiri-sendiri, tanpa adanya kewajiban terhadap masyarakat secara keseluruhan, dan tanpa kewenangan terpusat untuk menentukan pilihan-pilihan yang bertanggung jawab.

Untuk masalah ini, barangkali tidak ada solusi. Namun demikian, James Bohman, dalam artikelnya yang berjudul “Expanding dialogue: The Internet, the public sphere and prospects for transnational democracy,” di buku kompilasi buah pikiran tentang public sphere pasca-Habermas, mengajukan pertanyaan dari arah yang berbeda: ketimbang mempertanyakan cara mempertahankan tatanan publik di dalam realitas media yang baru, Bohman mengajukan pertanyaan, demokrasi seperti apa yang dimungkinkan untuk ada dalam situasi seperti ini? Bohman kemudian menyatakan bahwa setting teknologis baru ini menghendaki konsepsi baru mengenai entitas politik, di mana negara bangsa (nation-state) digantikan oleh apa yang disebutnya sebagai “public of publics.”

Sampai sekarang debat mengenai public sphere di era media sosial dan Internet ini belum selesai. Meskipun begitu, ada signifikansi isu yang terasa begitu penting bagi kita yang hidup di Indonesia, mengingat relevansinya dengan kondisi kita di sini saat ini. Sepertinya sudah menjadi kemafhuman bersama bahwa lebih dari selusin tahun setelah Gerakan Reformasi, perjalanan demokrasi kita menyisakan catatan runyam tentang lemahnya sendi-sendi demokrasi di nyaris semua lini. Kita melihat dan merasakan bersama keroposnya pilar-pilar demokrasi kita, dimulai dari sistem kepartaian yang memunculkan atau mempertahankan keberadaan partai-partai politik yang abai terhadap prinsip-prinisip meritokrasi dan kental dengan politik transaksional, sehingga gagal menjadi agen mediasi antara kepentingan publik dan Negara.

Kemudian sistem pemilu parlemen yang akomodatif terhadap bias kepentingan partai politik dan para calon legislatif, misalnya dengan menerapkan sistem proporsional berikut segala utak-atik eksploitatif terhadap perhitungan perolehan suara, yang—berbeda dengan sistem distrik yang berprinsip “the winner takes all”—menyuburkan oportunisme dan mental tak siap kalah di antara para calon. Maka tak mengherankan bila parlemen kita tidak pernah sepi dari para anggota yang patut kita curigai lebih menyerupai kelompok kepentingan yang bergelut, saling sikut, saling gertak, saling sandera, saling elus, dan saling jilat, dalam transaksi politik di belakang layar untuk menyelenggarakan “bancakan” kekuasaan—betapa pun di panggung publik mereka hampir selalu pasang muka puritan, sok bersih, sok peduli, dan sok peka terhadap kepentingan rakyat.

Sementra itu, Pemerintah juga tak kalah bikin jengah. Di tengah situasi sulit yang meniscayakan manajemen krisis dalam penanganan masalah, Pemerintah malah sering terlihat lamban, tidak peka terhadap urgensi, kacau dalam menentukan prioritas, miskin visi, dan kehilangan daya gugah.

Barangkali semua itu paling banter hanya akan menyebabkan perjalanan kita menjadi mandeg, diam di tempat, atau sedikit setback, seandainya kita memiliki para penegak hukum yang berintegritas, bersih, cakap, dan berani. Celakanya, seperti yang kita lihat selama ini dengan terungkapnya kasus-kasus besar yang seolah menelanjangi sistem penegakan hukum kita dan menyingkap borok-boroknya yang menjijikkan, rasanya kita tidak dapat lagi merangkum cerita tentang buruknya penegakan hukum dengan diktum “harap maklum.” Lebih buruk lagi adalah kemungkinan tentang berurat-berakarnya praktek kongkalikong, cincay, kolusi di antara para penyelenggara negara, para penegak hukum, dan kalangan pebisnis besar atau pemodal seperti yang diperlihatkan dalam kasus Bank Century dan kayus Gayus Tambunan.

Kenyataan itu membuat kita kemudian menyandarkan harapan kepada media massa, yang sering disebut “the fourth estate,” pilar demokrasi di luar institusi penyelenggaraan negara dan penegakan hukum, untuk mengartikulasikan suara civil society, dan dengan harapan akan mentransformasikannya menjadi isu yang dapat ditindaklanjuti oleh unsur-unsur politik yang mempunyai wewenang dan akses kepada formulasi kebijakan publik. Sialnya, kita tidak mempunyai media publik seperti BBC, yang dimiliki oleh publik (bukan oleh pemerintah atau swasta), sehingga terus dituntut untuk berpegang kepada kebijakan pemberitaan dan editorial yang mengedepankan prinsip objektvitas dan kebaikan publik.

Seseorang menulis di wall akun Facebook sahabat online saya, “With the media, it’s not what they tell you. It’s what they leave out.” Kalau kita menangkap suara keprihatinan dalam menyikapi problematika media yang khas Amerika dalam kalimat-kalimat itu, itu karena ia adalah orang Amerika. Sinisismenya juga sinisime Amerika. Pernyatannya itu barangkali mengingatkan kita kepada kata-kata William James, “Wisdom is knowing what to overlook.” Dan kalau kita merasakan bahwa kritiknya itu juga relevan untuk situasi kita, itu barangkali karena media massa kita terlalu berkiblat ke Amerika, di mana media massa—dalam hal ini, media massa non-pemerintah—seperti halnya entitas bisnis yang lain, juga tersituasikan di dalam hingar-bingar arus komersialisasi dan kapitalisme. Hanya saja, publik Amerika barangkali lebih beruntung daripada kita, dalam hal bahwa kultur demokrasi mereka beserta sistem dan tradisi penegakan hukum mereka—dengan mekanisme checks and balances yang sering elaboratif dan redundant itu—sudah teruji lama.

Itu tentu berbeda dengan yang terjadi di negeri kita ini. Kita perhatikan, misalnya, media televisi, yang sepertinya masih menjadi kekuatan utama dalam pembentukan opini publik. Bila kita berbicara mengenai media televisi dalam kaitannya dengan kehidupan politik di negeri kita saat ini, agaknya kita dapat sepakat bahwa METRO TV dan tvOne, yang memosisikan diri mereka sebagai televisi berita, berada di posisi terdepan dalam lansekap opini publik dan wacana politik di negeri ini. Maka, adalah sesuatu yang rasanya patut diwaspadai, kenyataan bahwa kedua stasiun berita itu dimiliki oleh dua tokoh (masing-masing, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie) yang terlibat dalam pusaran arus perpolitikan, serta dalam pertarungan kekuasaan di negeri kita saat ini. Pada prinsipnya, sepanjang fakta itu tidak menjadikan kebijakan pemberitaaan dan editorial mereka tersandera oleh kepentingan politik sempit kedua pemiliknya itu, kenyataan itu bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan. Akan tetapi, dalam prakteknya, hal itu tidak selalu terjaga.

Dapat kita lihat, sebagai contoh, pemberitaan METRO TV yang nyaris overkill ketika isu sidang banding kasasi kasus pajak perusahaan di bawah naungan Grup Bakrie mencuat ke permukaan, dan terlebih lagi ketika untuk kasus mafia pajak dan mafia hukum yang melibatkan Gayus Tambunan, dalam sidang kasusnya di pengadilan, Gayus memberikan testimoni bahwa uang senilai Rp 28 milyar di rekening miliknya berasal dari “fee” senilai total USD 3,5 juta dari tiga perusahaan Grup Bakrie: P.T. Kaltim Prima Coal, P.T. Arutmin, dan P.T. Bumi Resources. Di pihak seberang, dalam pemberitaan mengenai kasus Gayus sebelum vonis, tvOne tampaknya berusaha “membebankan” semua kesalahan kepada Gayus, dan “mengisolasi” Gayus dari segala tengara mengenai keterkaitannya dengan Aburizal Bakrie. Untuk isu terakhir yang tak terelakkan ada dalam persepsi publik, tvOne seakan-akan memasang topeng “muka lurus” dan sunyi senyap. Jelas kontras jauh dengan pemberitaannya yang nyaris euphoric ketika “sejumlah ilmuwan Rusia mengatakan bahwa bencana Lumpur Lapindo adalah fenomena alam,” lebih-lebih lagi dalam pemberitaannya untuk kasus Gayus ketika, sehabis menerima vonis, Gayus “bernyanyi lagu sumbang” tentang Satgas Anti-Mafia Hukum dan menyatakan penyangkalannya bahwa uang senilai Rp 40 milyar di rekeningnya itu berasal dari Bakrie, dan juga penolakannya terhadap tuduhan bahwa kepergiannya ke Bali dalam “petualangannya” ke luar tahanan, adalah untuk menemui orang nomor satu di Partai Golkar itu.

Tuduhan bahwa Bakrie terlibat dalam kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus tentu mempunyai konsekuensi hukum yang sangat serius, yang kebenarannya masih harus dibuktikan melalui proses hukum. Akan tetapi kebijakan pemberitaan tvOne untuk kasus Gayus, yang “selektif” dalam menyuguhkan fakta, dan bahkan dalam beberapa kesempatan mengesankan ketelanjangannya dalam berperan sebagai “public relations” untuk Bakrie, meskipun itu barangkali tidak dapat dikatakan sebagai disinformasi, rasanya terlalu enteng bila secara permisif kita anggap sebagai sekadar misinformasi. Sementara itu, kebijakan pemberitaan dan editorial METRO TV yang pemiliknya kebetulan saat ini berada di luar lingkaran utama kekuasaan, barangkali lebih dekat dengan kepentingan publik, dan kekritisannya sangat layak untuk diapresiasi. Namun demikian, gaya pemberitaan METRO TV yang cenderung berteriak dan terlalu bersemangat (yang sebetulnya sah-sah saja), menjadi problem ketika METRO TV sering terjebak dalam narasi berita yang sarat akan diksi yang dibebani penafsiran dan opini, dan ketika METRO TV kelihatannya lebih suka menampilkan tajuk yang cenderung bombastis dan tendensius. Bayangkan seandainya suatu saat Surya Paloh menempati posisi sentral dalam kekuasaan, dan “militansi” pemberitaan serta editorial METRO TV seperti itu ia gunakan untuk mem-backup posisinya untuk sebuah isu yang kebetulan berlawanan dengan kepentingan publik.

Dalam situasi yang karut-marut seperti itu, di mana kekokohan pilar-pilar tradisional dari demokrasi digerus oleh sejumlah masalah yang antara lain muncul karena konflik kepentingan, Internet dan media sosial menawarkan alternatif. Di sini, di Dunia Maya, kita, para netizens, dapat terlibat dalam pertarungan opini publik di medan pertaruhan masa depan demokrasi kita. Memang barangkali terlalu pagi bagi kita untuk berbicara tentang “online deliberation” dalam kerangka deliberative democracy. Itu bukan saja karena wacana deliberative democracy masih menyisakan sejumlah isu filosofis dalam perdebatannya yang antara lain menyangkut pertanyaan, “apakah deliberative democracy itu efektif?” tetapi juga karena kelemahan infrastruktur, kesenjangan kelas dan isu digital divide, serta kondisi demografis dan ketersebaran geografis dari negeri kita juga memunculkan pertanyaan, “apakah online deliberation itu mungkin?” Akan tetapi, kehidupan demokrasi dan politik kita saat ini sepertinya telah menjadikan Internet dan media sosial bukan sekadar sebagai pilihan, tetapi sebuah keniscayaan.

Itu memang akan membawa konsekuensi bahwa ruang publik yang telah riuh dan gaduh di “kota” beketi-keti juta kata ini akan semakin bising oleh kata-kata lagi, dan lagi. Sementara selama ini kita telah terlanjur percaya akan keutamaan tindakan di atas kata-kata. “No Action Talk Only,” sindir orang-orang yang sinis. “Talk less. Do more,” kata motto sebuah iklan rokok. Meskipun begitu, satu hal rasanya pantas untuk juga kita pikirkan: Yaitu bahwa siapa pun yang meyakini keutamaan tindakan di atas kata-kata, harus membuktikannya dengan tindakan. Bila ia ingin membuktikannya dengan argumen lewat kata-kata, maka apa boleh buat, ia juga telah masuk ke lingkaran jerat kata-kata, dan harus tunduk kepada kaidah kata-kata. Pada dasarnya, setiap kritik terhadap sebuah wacana akan menjadi bagian dari wacana tersebut. “Meta-wacana” adalah istilah yang absurd.

Ferdinand de Saussure memandang kata-kata sebagai simpul tempat bertautnya konsep dan makna. Jacques Derrida melompatinya dengan memandang totalitas makna sebagai permainan jaringan perbedaan dalam pembedaan elemen-elemen bahasa dalam struktur semiotika, serta penundaan finalisasi semantik atas rujukan penanda kepada petanda. Dalam pemahaman akan hal ini, di dalam pergulatan opini di ruang publik, kata-kata akan selalu menjadi medan pertarungan kekuatan. Pengamatan kita terhadap situasi di negara-negara lain meunjukkan bawa Internet dan media sosial digunakan baik oleh aktivis demokrasi maupun para diktator, dan sering kali kata-kata yang sama digunakan untuk kepentingan yang berbeda, atau bahkan berlawanan, berhadap-hadapan, bertentangan, dan bertabrakan. Di sini, kita diingatkan kembali, betapa penting dan mendasarnya, kebebasan berbicara dan berpendapat itu.

Kita bebas memberikan penilaian apa saja tentang Assange, tapi rasanya sulit untuk menyangkal pernyataannya menyangkut kebebasan berbicara:

[it is] not an ultimate freedom, however free speech is what regulates government and regulates law. That is why in the US constitution the bill of rights says that congress is to make no such law abridging the freedom of the press. It is to take the rights of the press outside the rights of the law because those rights are superior to the law because in fact they create the law. Every constitution, every bit of legislation is derived from the flow of information. Similarly every government is elected as a result of people understanding things.

Maka dengan kata-kata kita menyuarakan keprihatinan, dengan kata-kata kita menggugat, dengan kata-kata kita menentang tirani (dari pihak mana pun), dan dengan kata-kata juga, kalau perlu, kita meneriakkan revolusi.

Akan tetapi, dengan kata-kata juga kita mengukur dan mengakui keterbatasan diri.

Ada pelajaran indah dalam puisi karya Sutardji Calzoum Bachri, “Shanghai.” Di sini, dekonstruksi yang penuh gairah atas kode-kode leksikal dalam permainan morfem “ping” dan “pong,” yang oleh Ignas Kleden—seolah dengan menghadirkan arwah Jean-Paul Sartre—dimaknai secara hermeneutis sebagai “pingpong antara ada dan tiada,” berakhir dengan rekonstruksi semantik yang lirih dan pasrah serta kegamangan eksistensial yang pilu dan resah di hadapan daya pukau ilahiah, “sembilu jarakMu merancap nyaring”—juga dengan keberserahan diri kembali kepada konvensi atas makna: Keberanian diakhiri dengan kerendahan-hati.

Keberanian dan kerendahan-hati. Itu barangkali seharusnya menjadi perahu dan lentera kita dalam petualangan di Dunia Maya. Ada banyak wilayah-wilayah gelap dan berkarat, yang rusak, kotor, dan berantakan, di sisi-sisi kehidupan politik negeri ini yang memanggil keberanian kita untuk bersuara. Di lain pihak, di titik ini, kita juga harus menyadari bahwa memang benar, kata-kata juga bisa berbahaya. Maka seperti yang selalu berlaku di dunia ini, nurani harus senantiasa kita pedomani. Cukuplah konflik kejam dan berdarah di Rwanda di tahun 1994 menjadi pelajaran bagi kita. Saat itu, kita ingat, sebuah stasiun radio yang menyiarkan kata-kata kebencian dan propaganda pembersihan etnis, memicu pembunuhan besar-besaran—yang membuat sejarah kemanusiaan meratap sejadi-jadinya.

Internet saat ini telah berkembang menjadi demikian besar dan menggurita. Kadang-kadang kita tidak bisa lagi memandangnya sebagai semacam alat yang berada di bawah kendali kita. Struktur teknologis dari realitas sosial kadang-kadang malah berbalik mengondisikan kita di dalam keniscayaan-keniscayaannya sendiri. Akan tetapi, itu mengingatkan kita kepada kata-kata Sartre, “L’essentiel n’est pas ce qu’on fait de l’homme, mais ce qu’il fait de ce qu’on a fait de lui.” Agak ribet menerjemahkan secara harfiah kalimat ini, karena kata “on” dalam bahasa Perancis biasanya diterjemahkan menjadi “orang,” dan kata “homme” biasanya diterjemahkan menjadi “manusia.” Tetapi Sartre di sini sedang mengajukan kritik terhadap strukturalisme. Jadi, barangkali kata “on” di sini sebaiknya diterjemahkan menjadi “struktur-struktur sosial, ekonomi, politik, atau budaya.” Bila kita memasukkan Internet ke dalam pengertian “struktur-struktur” itu, dan lebih jauh lagi, mensubstitusikannya, serta menerjemahkan kata “homme” sebagai “kita,” maka kalimat Sartre di atas barangkali dapat diterjemahkan secara bebas menjadi proposisi sebagai berikut: “Yang penting bukanlah apa yang diperbuat oleh Internet terhadap kita, tetapi dengan apa yang telah diperbuat oleh Internet terhadap kita itu, apa yang lantas akan kita perbuat?”

Betapa pun tidak linier dan betapa Internet bukanlah peta konformal dari dunia nyata, Internet tetaplah sebuah ruang tempat jejaring makna berkelindan. Dan dengan Internet sebagai layaknya sebuah ruang, maka seperti halnya di laut atau di gurun, di lembah atau di ngarai, di mesjid atau di jalanan, di pasar atau di kuburan, di Internet pun kita bisa berburu makna kehidupan, bahkan “berburu Tuhan.” Memang terdengar seperti bualan. Tapi setidaknya adalah bualan yang pantas diperjuangkan. Memang bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi setidaknya adalah pungguk yang selalu dengan jaring Spongebob Squarepants siap di tangan.

Jadi, Netizens, barangkali ada saatnya Anda sebaiknya berpuasa berkata-kata di Dunia Maya. Misalnya, bila Anda sadar apa yang akan Anda katakan adalah sebuah pelanggaran hukum (hukum positif Negara, tentunya—bukan hukum tata-bahasa, hukum Archimides, Newton, Avogadro, Mendel, supply, demand, hukum rimba, atau hukum karma).

Itu pun, tentu saja, bila Anda memang merasa konsekuensi hukum dari apa yang akan Anda katakan terlalu mahal untuk Anda tanggung. Bila Anda merasa bahwa apa yang akan Anda katakan itu adalah panggilan jiwa Anda, dan Anda siap dengan segala konsekuensinya, maka pilihan sepenuhnya berada di tangan Anda. Saya sangat tidak menganjurkan Anda untuk melanggar hukum, tapi rasanya kita juga sadar bahwa semangat dan rasa keadilan kadang terasa begitu agung, begitu intens, begitu tangkas bergerak, tapi sekaligus begitu elusive sehingga luput dari sistematisasi tekstual kode-kode hukum dan mekanisasi prosedural proses peradilan, juga dari jaring kelola para perumus dan penegak hukum—hingga saatnya terjadi ledakan berarti dalam proses politik yang melahirkan tatanan hukum baru. Kalau tidak demikian halnya, maka tidak mungkin gerakan “Koin untuk Prita” bisa menyentuh hati sedemikian banyak orang.

Anda juga mungkin berpikir Anda sebaiknya berhenti berkata-kata di Dunia Maya bila Anda merasa senasib dengan Saykoji yang kecanduan online, siang malam “menatap layar terpaku” sampai mata belel, dan “jari dan keyboard beradu” sampai tangan keriting. Bahkan Anda merasa bahwa uang, waktu, tenaga, produktivitas, dan sumber-sumber daya vital Anda lainnya sudah di-hog sedemikian parahnya oleh Internet sehingga Anda ragu apakah bila terus begitu Anda masih akan tetap waras.

Atau misalnya bila Anda merasa Anda adalah seorang yang bukan saja extrovert tapi juga extra-outspoken yang cenderung terhadap isu apa pun akan berkata blak-blakan tanpa tedeng aling-aling, dan Anda bekerja di sebuah perusahaan yang berkultur seperti Virgin Atlantic yang mendorong para karyawannya untuk menggunakan Facebook sebagai sarana komunikasi, kooperasi, dan konsolidasi, tetapi yang juga berpucuk pimpinan seperti bos Virgin Atlantic, Richard Branson, yang meskipun tampak santai dan hangat, kenyataannya tanpa segan akan langsung memecat karyawannya atas dasar posting yang dianggap serampangan.

Atau misalnya bila Anda merasa Anda memang tidak punya sesuatu untuk dikatakan, sedangkan Anda begitu memuja Plato dan sangat percaya akan kearifannya ketika ia mengatakan, “Orang bijak adalah dia yang berkata-kata karena dia merasa punya sesuatu yang harus dikatakan. Orang dungu adalah dia yang berkata-kata karena dia merasa harus mengatakan sesuatu.” Dan Anda tidak mau tampak dungu, dan mencederai citra Anda sendiri—atau setidaknya, citra avatar Anda di Dunia Maya.

Atau misalnya bila Anda terhubung dengan Internet melalui sebuah Local Area Network (LAN), dan sang Administrator—entah atas dasar alasan yang logis atau hanya karena kheki sama Anda—memangkas jatah bandwidth Anda hingga level “titian serambut dibelah tujuh,” padahal Anda tahu traffic sedang membludak sepuncak-puncaknya, sehingga Anda menduga satu quad-byte atau satu octo-byte pun (tergantung prosesor dan OS komputer Anda, apakah 32-bit atau 64-bit) pesan yang Anda kirim hanya akan ditahan oleh network-daemon di komputer Anda—atau bila lolos, tetap akan dijegal di proxy-server oleh script administro-kratis sang Administrator LAN teriring pesan yang ramah dan sopan, “G****k, lu! Bikin gridlock ‘aja. Why don’t you go block yourself for a while!” dan hanya akan membuat Anda merasa stres.

Atau misalnya bila Anda ingin rahasia kisah cinta Anda dengan seorang pemain koto asal Kyoto, di balik pintu toko milik peternak tokek yang menjual teko, di Pantai Kuta diiringi “Sewu Kuto,” tetap tertutup seperti teka-teki—dan Anda takut kata-kata akan menguak fakta yang mendikte Anda untuk buka kartu, lalu mati kutu.

Akan tetapi bahwa sejatinya di luar semua itu: Berkata-katalah!

The Boastful Disgust and the Guilty Pleasure: How Indonesians Perceive America

Obama with Batik and Kecak

Surveillance by satellite, seismographic monitoring, ground-deformation measuring, volcanic gas and steam emission analysis. Those are some of the methods volcanologists would employ to study a volcano. But how would you probe Indonesians’ hearts and minds to get a clear and concise account on how Indonesians feel and think about the United States of America?

You could, of course, put some scientific approaches to use. Conduct a research—specify some decent, working, advisable samples; design some thoroughly-planned interviews; gauge some quantifiable measures and test them for their significance; and construct some heuristic, rigorously scientific, or meditatively philosophical interpretations. Chances are that you would grasp a broad sense of understanding, acceptable and sufficiently illuminating for academic purposes. But the probability of missing out on hard-to-pronounce subtleties and un-pigeonholed peculiarities is also high. Just as Merapi the volcano for the late Mbah Maridjan who not only spent his entire life with her but also surrendered his love and respect to her with unparalleled devotions, even for Americans who have lived long enough in Indonesia, expressed views of Indonesians concerning America may often be of befuddling surprises—or at least, of compellingly paradoxical stances.

Take Amien Rais for an example. He is the ex-chairman of the People’s Consultative Assembly, a highly respected statesman (frequently dubbed Mr. Clean for his honest, immaculate political career’s track record), one of the most important figures in Muhammadiyah (one of Indonesia’s largest religious mass organizations), and a bright scholar and influential opinion leader who acquired his PhD at the University of Chicago. But he is also a persistent, tough, fierce, piercing, I-shall-peel-off-your-sheaths critic when it comes to the United States’ foreign policies toward Indonesia (or to be more precise, the engagements of widely-observed-as-being-American multinational corporations in Indonesia’s economy, generally believed to be endorsed by the United States’ foreign policies), despite his laudation for American democracy and the United States’ system of government—and despite his unbridled usage of casual American idioms and formal American phrases (in English) that pepper his bahasa-Indonesia speeches. In his book, Selamatkan Indonesia! Agenda Mendesak Bangsa (Save Indonesia! The Nation’s Pressing Agenda), Pak Amien, among other things, urges Indonesian Government to re-negotiate concession deals granted to the multinationals in exploitation of Indonesia’s natural resources, namely oil and mines. He would refer to Venezuela’s opposing the United States as an exemplary case. While holding his populist conviction, shared by millions of Indonesians and firmly rooted in Indonesian ethics which hold aloft compassion for the marginalized wong-ciliks, he embraces Joseph Stiglitz’s purviews to corroborate his tenets. (Therefore, although he and Ex-President Megawati Soekarnoputri are customarily considered to be coming from different ideological camps, they share a common view in this respect.)

And Pak Amien is not alone. Tune in to Indonesian national television channels, and you will find analysts, politicians, activists, journalists, even, and bureaucrats falling out for their grips of the issues (and their prestiges in the theatrical stage of public opinion) of contemporary Indonesian politics. Bearing themselves in talk-shows, debates, news-analyses, and editorial commentaries, the former four (excluding those who are related to the Government’s political camp in one way or another) put forth their perpetual criticisms which are more or less toned with concerns similar to those of Pak Amien’s. There are titillating occurrences, however, amidst the hot proceedings: the programs are now and then intermitted by commercial breaks among which ExxonMobil present their cinematographic advertisement with a voice-over sweetly narrates—in Bahasa Indonesia—the company’s “commitments” to “close partnership with Indonesians,” to “producing more energy for Indonesia,” and to “supporting education for Indonesian children.”

The critical outlooks are quite an epidemic. Government officials and politicians supporting the Government often remark that those views are held by only certain elites or certain segments of Indonesian society. Pointing out the recent results of a series of polls run by leading research institutes, including Lingkaran Survey Indonesia (LSI), which show that more than sixty percent of Indonesians are in favor of President Susilo Bambang Yudhoyono, or SBY, administration (albeit the figure is a noteworthy decline from the robust eighty-five percent a year before), they assert that such views—which, on the offshoots, also assail the the Government that are repeatedly derided as “the agent of the West”—are a misleading token. And they might be right. But again, you could sense that the views are alive in the streets as well. Four things are in vogue among outspoken average Indonesians who proudly consider themselves well-informed citizens nowadays: marked disappointment of the economy, repugnance toward generally-thought-to-be self-interested politicians (especially members of the Parliament), derisive allegation of the perceived incompetence of the Government, and expression of some kind of suspicion and disgust toward “foreign controls of the nation’s interests”—the United States being on top of the list of those “controls.”

Even so, America is just too big and much too important for Indonesians to simply ignore—let alone to blatantly shove off. Settling on the two countries’ trade volume, you easily come to conclusion that the United States is more important to Indonesia than Indonesia is for the United States. The year 2009 statistic shows that Indonesia’s exports to the United States constituted 10.81% (3rd biggest) of its total exports, and imports from the United States 4.88% (6th biggest) of its total imports. The reverse view reveals a picture that is somewhat marginal, with the United States’ exports to Indonesia constituted 1.21% of its total exports, and imports from Indonesia 0.32% of its total imports.

It is no wonder, then, that whereas prior to President Obama’s India visit the White House vaunted business deals worth USD 10 billion with India, “supporting thousands of jobs in the United States”—made more ostentatious still by President Obama’s “promulgation” that the relationship between India and the United States is one of the “defining” relationships of the 21st century—the sense of yearning expectation of President Obama’s Indonesia visit came from the part of Indonesia. “We are reminded” said Indonesia’s Trade Under-Secretary, Mahendra Siregar, “that the United States is a big investor. We have to be careful as not to let our closeness to the region wipe out the strategic prospects of the relationship with the United States.” This led to some Indonesians’ jibes pointed mainly at the Government’s “inability to elevate the country’s bargaining power” in the face of the towering giant of the United States with its approaching bulky strides.

Nevertheless, President Obama’s coming was a huge event. It disrupted the long-running news-media coverage of the continuing eruptions of Merapi the volcano and the protracted, strenuous emergency-response to the Mentawai earthquake and tsunami—and the heart-breaking calamities the two bring about. For those who jeered and whimpered about Indonesia’s being “regarded less important” compared to India, President Obama’s compliment stating that he saw in Indonesia what he had not seen in India, that “democracy and prosperity can go hand in hand,” seemed to make up for all the hassles. —No, he stole Indonesians’ hearts already when he accepted President SBY’s stretching hand and said to President SBY, “Good to see you.” And more when on the next day in his speech at the University of Indonesia (UI) he said, “Pulang kampung, nih” (“It’s a home-coming”) and “Indonesia bagian dari diri saya” (“Indonesia is a part of me.”)—and his reference to well-known Indonesian food, to nasi goreng, bakso, sate, emping, kerupuk. “Semuanya enak.” (“All’s good.”)

Better educated Indonesians were enchanted by President Obama’s eloquent and knowledgeable asseveration of Indonesian values, hopes, ideals, progresses, and achievements. It was as though what these people usually criticized, namely piles of chronic and intricate problems pinning down the country, which span a wide range of aspects of life from politics to law-enforcement to the economy to religious practices, suddenly became a trifling issue. They were especially pleased by President Obama’s heartening parallelisms declaring that both Indonesia and the United States had fought for their respective independence, that both are of the world’s largest democracies (the United States being second, Indonesia third), and that both deal with and are strengthened by the fact that different cultures, ethnic groups, and faiths live together, symbolized by the philosophy “E pluribus unum” (“Out of many, one”) of the United States, and “Bhinneka tunggal ika” (“Unity in diversity”) of Indonesia.

Meanwhile, panning the monitor over to the other side, you see something worth noting. There were at least two rallies protesting President Obama’s coming to Indonesia spotted by the media during his delivering his speech at UI. One was reported as being held by students, and another by an Islamic pressure group called “Hizbut Tahrir Indonesia.” They seemed to be regarded as minor incidents, dwarfed by the cheers, the applause, and the flashlights of the flashy pomp. However, it will be a mistake to reckon that they are a mere paltry exception. On normal days, such as the days after when the lofty diplomatic stage is cleared and the sparkling curtain brought down, the concerns these people shouted out of their megaphones and sprawled over their flagging banners and waving posters, by degrees, will reverberate back to the minds of Indonesians, for though they occupy a rather narrow band of the spectrum of Indonesians in terms of political ideology—namely, what analysts call “Islamic revivalists”—most Indonesians are indeed Muslim in faith, and Muslims to some degree share the same interests, concerns, fear, or anger. The thorny United States-Muslim World relationship, nonetheless being earnestly addressed by President Obama with his promise to “repair” it, remains a steep issue, as admitted by President Obama himself. Political stability in Iraq, prospects of ending the war in Afghanistan, and clear and concrete directions toward a fair and just resolution of Israeli-Palestinian conflict may seem to be remote and disengaged for average Indonesians—they probably are—but since there are some measures of religious faith involved, they are inevitably hard to disregard.

At any rate, most Indonesian Muslims are moderate. This fact time and again helps shape fairly positive conceptions of the United States among Indonesians. The cases of Abdurrahman Wahid (better known by his friendly nickname, “Gus Dur”) and Nurcholish Madjid (or Cak Nur) epitomize this. For example, while there were (still are) disputes among scholars about whether parliamentary or presidential system of government suited Indonesia’s political realities best, Cak Nur, an acknowledged and revered Muslim scholar who—as did Amien Rais—had acquired his PhD at the University of Chicago, believed that the latter was of wiser preference. “It is a good thing,” he once said, “that our founding fathers adopted American wisdom.” He even would go as far as associating American government’s principle of checks-and-balances with the Quranic imperative of “tawaashau bi-l’haq” (“reciprocal reminding respecting truth”). As for Gus Dur, the Ex-President of Indonesia who for a long time led the Nahdlatul Ulama (Indonesia’s largest religious mass organization), was a controversial political activist and a well-known humanist who on an occasion succeeded in making President Bill Clinton laugh to tears with his American “dirty”-jokes.

You may remark that it is all very well with moderate Indonesian Muslims, but what about those “fundamentalists” and “jihadists”—those “hardliners”? Admittedly, those elements exist within the society. However, even the so-called “hardliners” can not be considered a monolithic entity. There are sort of schisms and rivalries among them. A few years ago, when Abu Bakar Ba’asyir called for mass resistance against the United States (the notion some interpreted as “including by means of violence”), for he believed that the United States was “Islam’s greatest enemy,” Ja’far Umar Thalib demonstrated his strong disagreement. And he is the founder of Laskar Jihad, whose band of followers once in 1999 (when Jakarta was intermittently swept with riotous rallies and civil atrocities) flocked the streets carrying swords and inflicting fear among the public. “Think of hundreds of thousands of Muslims who live in America,” he said in a televised interview.

Those are the case with leading figures. Basically, Indonesians look up to their patrons, so you may regard key figures in the society as a kind of a stem by which to assess the broader views. However, the 230 million of Indonesians are so diverse that any attempt at contriving sweeping abstractions runs the risk of oversimplification.

In spite of that, let us take an example and hear what happens in the streets. Suppose you were in Bandung, a city of about seven and half million people and another million more in its surroundings, some seventy miles south-east of Jakarta. Life in different parts of the region can be as different as you can imagine, but you could sense the presence of America almost everywhere. Up north in Dago and its vicinity, where lavish fashion stores and lush restaurants and cafés stand in a row on either sides of the streets, wealthy Jakartans’ cars, coupés, and SUVs swarm the streets where on weekends, it gets to the extent that there are intermittent gridlocks. In such situations, passangers within will either curse the traffic jam, or have their fingers mingled with their Androids and iPhones updating their Facebook statuses or tweeting messages with their Twitter accounts. Those who happen to get stuck in front of an outlet of MacDonald’s have another option: get out of their vehicles to grab some cheeseburgers, and having paid for them with their American Express cards, return. Down south in Ciwidey, a dozen or so miles away, farmers till the wet and muddy land in the stretching paddy-fields where not many years ago, they still rode their hoes which were pulled (respectively) by a pair of water-buffaloes (they use tractors now)—striking their whips against the puddles while chanting ancient Sundanese field-holler rhymes. But even then, some of them would take a break at noon to set about the noon-prayer, after having dropped by at a warung, a village canteen, to sip some Coca-Cola.

Back up north again, in Karang Layung, a couple of miles westward of Dago, a radio station, KLCBS, broadcasts jazz music—its selection ranging from Duke Ellington to Charlie Parker to John Coltrane to Miles Davis to Chick Corea to Wynton Marsalis to Jamie Cullum—interspersed by the voice of one of its announcers presenting stories from Islamic traditions mixed with short prayers and quotes of Quranic verses. Half a dozen or so miles south, in Soreang, another radio station, Mayapada, airs the preaching of a local Muslim scholar, succeeded by a music program playing popular Sundanese songs among which is a song sung by three lady singers mentioning Madonna and Demi Moore in the lyric. Downtown at Alun-alun, the city square, around the Great Mosque of Bandung, men in Muslims’ koko-and-sarung outfits blend with those who wear batik shirts and others with their Levi’s jeans (genuine or fake), gathering for the Friday-prayer. In the buildings that parade along the Asia-Afrika street, eastward of the mosque, white-collar workers are getting ready to do the same, leaving their offices of banks, financial services, and trading companies, where the release of the United States’ Department of Labor’s non-farm payroll data can be as hot a topic as the Merapi and Mentawai disasters, or the imprisonment of Ariel at the Kebon Waru penitentiary for his supposedly sex-video affair.

Not far from the heart of the city, on the Veteran street, bikers assemble at the headquarter of Harley Davidson Indonesia, Bandung branch. Down south-west in the outskirts of the city, in densely populated Cijerah, ojeg (commercial motorcycle ride) riders, with their bright-colored polyesther waistcoat over their worn-out t-shirts printed on which photographs of Bon Jovi or Kurt Cobain, huddle around the parking yard of the market. The pounding of the drumbeats of Rihanna’s “Only Girl (in the World)” playing in a store nearby mixes up in an ear-wrenching jumble with the heavily-synthesized tamtam throbs of the dangdut song “Keong Racun,” made a popular culture phenomenon by Shinta and Jojo with their lip-sync stunt on YouTube. Angkots (“angkutan kota” or “city transport,” minivans turned public transports) go hither and thither. One of them, a large sticker of Sylvester Stallone on the glass-pane of its door, pulls over in front of a street vendor’s batagor stand which displays on its wagon the Arabic text of “Basmalah,” the opening verse of the Quran. High school girls with their white-shirt-and-grey-skirt uniforms get off the angkot, still loudly gossiping about Justin Bieber and Robert Pattinson, leaving the staring of disbelief of factory workers inside, and a mother in jilbab and brownish khaki civil servant uniform, carrying a Tupperware lunch-box of her little boy who sits beside her, with his Scooby Doo t-shirt and Spongebob Squarepants backpack. Some two hundred yards out, somebody dries a washed bed-sheet in the sunlight, in front of a slightly dilapidated two-story house. It is of the design of the stars-and-stripes of American flag.

The late Marshall Green, the United States’ Ambassador to Indonesia during the turbulent years of President Soekarno (Indonesians refer to him as Bung Karno) era, prior to the downfall of the great leader, when the proudest boast was not “Civis Romanus sum,” or “Ich bin ein Berliner, ” but “Go to hell with your aid!” wrote this passage in his memoir, Indonesia: Crisis and Transformation: 1965-1968:

All along the way from the airport were graffiti and signs screaming “Green Go Home,” but under one of those signs someone had scrawled in lipstick, “and take me with you.”

And the song remains the same. Many Indonesians take a kind of pride in expressing their disgust toward the United States, ceaselessly pointing out that America is nothing but a list of a series of offenses. At the same time, most Indonesians, including those mentioned, cherish their adoration for America as a kind of guilty pleasure, now openly admitted now tacitly enjoyed.

Menjadi Orang Sunda Sebagai Amor Fati: Metamorfosis Kang Ibing

In Memoriam Kang Ibing

Sore hari. Hujan baru saja reda. Tanah dan rerumputan di bantaran sungai masih basah. Sejumput ilalang rebah berjuntai ke sungai, diayun dan dihempas oleh air yang mengalir deras.

Sebuah cukang awi, jembatan-bambu kecil, terjulur melintang di atas sungai. Kang Ibing berdiri di satu ujung cukang itu, hendak menyeberang. Di ujung yang lain, seorang tukang peuyeum, pedagang tape singkong, dengan pikulan peuyeum di pundaknya, tampak telah melangkah meniti cukang yang sama, berjalan ke arah Kang Ibing. Kang Ibing mengalah. Ia menunggu.

Setengah jalan si Tukang Peuyeum meniti jembatan. Tiba-tiba, kakinya terpeleset. Ia limbung, terhempas, dan gujubar! ia jatuh ke sungai bersama pikulan peuyeum beserta, tentu saja, peuyeum yang berada di dalamnya.

Kang Ibing terkejut, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia sadar ia bukan seorang superhero seperti di filem-filem laga—yang mungkin akan dengan sigap langsung terjun ke sungai mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan si Emang Tukang Peuyeum. Kang Ibing hanya terpaku menyaksikan tragedi instan yang disisipi sedikit komedi itu. Si Tukang Peuyeum tampak papuket, bergumul dan bergelut dengan air sungai, pikulan peuyeum, dan peuyeum yang tumpah—semuanya palid, hanyut. Tak jelas apakah si Tukang Peuyeum hendak menyelamatkan diri, menyelamatkan peuyeum-nya, atau dua-duanya ….

Rupanya Tuhan berkenan menganugerahkan keajaiban kecil bagi si Tukang Peuyeum. Ia berhasil berenang ke tepi. Meskipun begitu, pikulan peuyeum dan peuyeum-nya raib—hanyut ditelan arus sungai.

Sadar dari keterpakuannya, Kang Ibing pun berjalan menghampiri si Tukang Peuyeum yang rancucut, basah kuyup.

“Aduh, Mang,” kata Kang Ibing sasadu, meminta maaf. “Punten, saja, saya tadi tidak menolong.”

“Ah, sawios, Cep.” jawab si Tukang Peuyeum. Nada bicaranya ringan dan tenang, meski tatapan matanya sesaat menyiratkan kekecewaan dan kesedihan. “Tak apa-apa. Yang penting Emang sudah selamat. Masih untung peuyeum yang palid, Emang yang selamat. Emang, ‘pan, masih bisa pulang. Lapor sama yang di rumah. Coba kalau Emang yang palid, peuyeum yang selamat. Atuh repot, Cep. Da peuyeum mah tidak akan bisa lapor.”

Kejadian itu rupanya meninggalkan kesan yang dalam pada diri Kang Ibing. Membekas, memberikan inspirasi. Bagi Kang Ibing, si Tukang Peuyeum adalah sosok yang pantas dijadikan representasi ikonis Orang Sunda. Jujur, sederhana, gigih, tulus, dan ikhlas meniti liku nasib hingga ke liang cocopét sekalipun. Manis, masam, asin, pedas, pahit, getir takdir disambut dengan hati ringan. Dan ketika sejumlah faktor kehidupan berkonspirasi untuk memusuhinya, ia bangkit menentang dan melawan. Dengan humor. Dengan heureuy. Dengan tawa.

“Pakaian kebesaran” si Tukang Peuyeum pun diadopsi oleh Kang Ibing. Celana cutbray, kemeja ketat berkerah lebar, rambut gondrong yang di-golep, disisir rapi—dandanan trendi anak muda Kota Kembang di era the Flower Generation—ditanggalkan (setidaknya untuk penampilan di panggung). Kang Ibing bermetamorfosis. Jangélék! ia menjadi jelmaan si Tukang Peuyeum. Celana pangsi, kaos oblong, baju kamprét, kain sarung yang diikatkan di pinggang, dan yang paling khas, peci hitam yang dipasangkan menyamping di kepala, sejak saat itu melekat pada diri Kang Ibing, dan menjadi trademark-nya untuk jangka waktu yang panjang.

Tergabung dalam kelompok De Kabayans bersama Aom Kusman, Suryana Fatah, Wawa Sofyan, dan Ujang, Kang Ibing menjadi maskot pelawak Sunda, dan salah satu pelawak yang serius diperhitungkan di jagat lawak Nasional yang didominasi para pelawak Jawa dan Betawi. Lawakannya yang orisinal, segar, witty, thought-provoking, kadang nakal, dan hampir selalu lepas tanpa dibebani pesan, di panggung Nasional, diterima oleh kalangan luas. Karakter pandir yang diam-diam menyimpan pedang kecerdasan di balik jubah kebloonannya dimainkan dengan pas oleh Kang Ibing. Meskipun demikian, bagi sebagian besar Orang Sunda, barangkali, lawakan Kang Ibing (dalam bahasa Indonesia) itu tetap tidak serenyah dan selegit banyolannya dalam bahasa Sunda.

Kang Ibing mengokohkan posisinya sebagai ikon Orang Sunda di panggung Nasional setelah membintangi filem garapan sutradara Sofyan Sharna, Si Kabayan, tahun 1975. Di situ Kang Ibing memainkan karakter utama, si Kabayan—tokoh masyhur dalam sebuah legenda Sunda yang oleh banyak orang Sunda dianggap sakral. Kang Ibing sendiri dalam sebuah kesempatan mengakui “kesakralan” itu, dan mengatakan bahwa ia sempat merasa gamang ketika diminta untuk memainkan perannya itu. Filemnya sendiri sebenarnya digarap dengan sentuhan populer, yang barangkali oleh sementara kritikus dari kalangan budayawan Sunda yang mengharapkan interpretasi saksama atas tokoh ini akan dinilai reduksionistis. Namun demikian, permainan Kang Ibing dalam filem tersebut sepertinya dinilai baik. Bahkan, kehadirannya cukup fenomenal dan begitu impresif sehingga bagi masyarakat luas—terutama dari kalangan non-Sunda—tokoh si Kabayan yang diperankan Kang Ibing itu menjadi semacam eksponen emblematis yang merepresentasikan karakter orang Sunda. Hal ini kemudian memunculkan problematika baru.

Bagi sebagian orang Sunda, mengidentikkan Orang Sunda dengan si Kabayan dirasakan menyinggung, bahkan mengolok-olok. Barangkali bukan tanpa alasan. Dalam berbagai okurensi, baik itu dalam bentuk wacana dalam forum-forum formal, tayangan media (terutama televisi), maupun sekadar obrolan warung kopi, bila ditampilkan sebuah karakter dengan rujukan identitas yang cukup kental kepada Orang Sunda dengan kesundaannya, maka yang muncul adalah sebuah sosok dengan suntikan fitur dari sifat-sifat si Kabayan—dengan dosis beragam, dari yang sebatas idiosyncrasies kecil yang sangat wajar sampai manifestasi personal yang gamblang si Kabayan dalam bentuk yang cenderung karikatural. Dalam hal ujung spektrum yang kedua, yang mendapat penekanan adalah sifat si Kabayan yang lugu, polos, kampung, easy-going, tak serius, pemalas, mediocre, tanpa motivasi dan ambisi, meskipun jujur dan tetap lucu.

Boleh jadi, si penyodor personifikasi si Kabayan itu menampilkan hal tersebut bukan dengan niat untuk menyinggung atau mengolok-olok. Barangkali stereotyping itu datang semata-mata dari kurangnya riset yang mendalam dan sungguh-sungguh, atau bahkan bisa saja justru dari penghormatan yang tulus kepada keunikan karakter si Kabayan sendiri. Namun demikian, tetap saja cukup banyak orang Sunda yang merasa tidak nyaman dengan hal itu—ketidaknyamanan yang mungkin mirip dengan yang dirasakan oleh kalangan muda kulit hitam di Amerika di tahun 1960-an ketika musik blues—yang menjadi la chose à la mode bagi dan digandrungi oleh orang-orang kulit putih—diatribusikan kepada mereka. Seperti halnya kaum muda kulit hitam di Amerika pada era yang hectic, gegap-gempita, dan penuh warna itu, yang lebih memilih musik soul yang ceria dan optimistis ketimbang musik blues yang muram dan pesimistis, yang memuja Martin Luther King, Malcolm X, dan Muhammad Ali, dan yang merindukan sosok Orang Kulit Hitam yang tampil di panggung Nasional yang dapat memberikan inspirasi bagi mereka untuk mendaki tangga sosial, cukup banyak orang Sunda yang lebih menyukai interpretasi kultural terhadap kesundaan yang lebih optimistis, beretika kerja, intelek, terberdayakan oleh pencerahan, dan sedikit ambisius, yang dianggap lebih sesuai dengan Zeitgeist di kekinian di dunia yang bukan saja makin sarat dengan persaingan, tetapi juga makin gaduh karena setiap individu, setiap kelompok, setiap entitas sosial, seolah berteriak lantang untuk menyatakan bahwa mereka ada. Banyak orang Sunda yang mendambakan lahirnya kembali Otto Iskandardinata, Ir. H. Djuanda, atau R. E. Martadinata baru.

Sementara itu, si Kabayan tetap luput dari uluran batin pemahaman. Di antara penyederhanaan karakter yang cenderung dangkal dan tanpa disadari berpotensi untuk menyinggung dan mengolok-olok, dan pernyataan sikap ketersinggungan sebagian orang Sunda yang cenderung reaktif dan kehilangan perspektif serta marwah budaya Sunda untuk “naliti nastiti, landung kandungan, laér aisan, masing asak-asak nénjo,” si Kabayan terdesak ke dalam tragedinya sendiri yang ironis—ibarat piramid ber-hieroglif yang terkubur oleh timbunan batu Rosetta. Si Kabayan terjepit di antara kabayanisasi dan antikabayanisme.

Ketika manusia merindukan hadirnya sesosok figur untuk merepresentasikan dirinya atau kaumnya, pada dasarnya manusia juga—setidaknya sampai derajat tertentu—mendambakan seseorang untuk dipuja. Sehatkah itu? Untuk memberikan jawaban “ya” atau “tidak” kepada pertanyaan itu kita bisa berdebat. Tetapi, Fédor Mikhaìlovitch Dostoīevsky mengatakana bahwa seperti itulah kondisi manusia itu adanya. “Selama manusia itu bebas,” tulis Dostoīevsky dalam novelnya, The Brothers Karamazov, “tidak ada yang lebih diperjuangkannya dengan begitu tak kenal lelah dan dengan begitu menyakitkan, selain menemukan seseorang untuk dipuja.” Anggaplah Dostoīevsky benar, dan misalkan si Kabayan adalah benar-benar seseorang—dalam pengertian bahwa ia adalah tokoh sejarah yang riil, bukan sekadar mitos—pantaskah bila ia dipuja? Jawabannya barangkali adalah, “kenapa tidak?” Sejarah tidak hanya mencatat Alexander yang di usianya yang ke-18 sudah menjadi panglima perang pasukan Macedonia mewarisi tahta ayahnya, Philip, dan yang di usianya yang ke-26, tujuh tahun menjelang ajalnya, wilayah taklukannya membentang dari Mesir hingga perbatasan Afghanistan, tetapi sejarah juga mencatat Diogenes, yang ketika ia, dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping, tengah nongkrong berjemur di bawah sinar matahari, kemudian Alexander menyapanya dan menanyakan adakah yang dibutuhkannya, ia menjawab, “Ya. Tolong minggir. Anda menghalangi matahari.”

Seperti halnya alegori dalam novel The Brothers Karamazov, representasi “ideal” yang dicari orang Sunda mungkin adalah sosok manusia utuh yang merupakan produk dari pergulatan dua belahan karakter yang bertentangan—hanya saja, dalam hal ini, dengan dikotomisasi yang berbeda: bukan “baik” versus “buruk,” melainkan “konstruktif” versus “dekonstruktif.” Pada kubu konstruktif kita mengenali karakter yang giat, gigih, berdaya juang, terencana, terkonsep, tersistematisasi, terstruktur, rapi, efisien, berpakem, teramalkan, kuat, persisten, tenacious, ambisius, utilitarian, finalistis, sedikit intoleran, berorientasi kekuasaan. Pada kubu dekonstruktif: rileks, lay-back, merenung, lirih, spontan, acak, kreatif, penuh kejutan, peka, kritis, menggugat konsep, anti-kemapanan, mengalir, sedikit amburadul, kadang urakan, toleran, jujur, sederhana, apresiatif, berorientasi kebaikan. Si Kabayan berada di kubu kedua.

Kang Ibing benar, bukanlah si Kabayan yang pantas dijadikan representasi ikonis Orang Sunda—Si Kabayan hanya separuh Orang Sunda—melainkan si Tukang Peuyeum. Di dalam dirinya, kita menemukan bahwa dialektika konstruktif-dekonstruktif, Alexander-Diogenes, analitis-Gestalt, dalam pergulatan batinnya, muncul sebagai personal traits yang membentuk karakternya yang jembar. Ia memandang hidup sebagai sebuah tanggung jawab, tetapi juga sekaligus sebuah permainan. Ia berjalan dan bekerja, tetapi juga sekaligus menyanyi dan menari. Ia mengenali logika perencanaan dan kendali, tetapi juga sekaligus membuka mata, pikiran, dan hati untuk ketidakpastian dan misteri. Ia menyapa Tuhan. Ia menerima hidup—dengan takdir dan finalitasnya yang menampar—dengan tegar, bahkan bersyukur. Ia berkata “ya!” kepada hidup dengan tegas, bahkan penuh gelora—suatu sikap yang oleh Goenawan Mohamad dalam catatannya untuk dan dalam sebuah buku yang mengulas Nietzsche (sebagai emphasizing interpretation yang menggarisbawahi istilah yang dipopulerkan oleh Nietzsche) disebut “amor fati”: “cinta kepada takdir.”

Akan tetapi, bukankah itu adalah ciri karakter yang tidak spesifik untuk atau hanya dimiliki oleh orang Sunda? Apa boleh buat, itu adalah konsekuensi dari keinginan akan representasi citrawi yang merujuk kepada apa-apa yang baik, karena kebaikan itu universal. Dan barangkali itu tidak menjadi soal.

Tantangan yang lebih penting untuk dijawab adalah bagaimana menjadi bangga sebagai orang Sunda dan dengan kesundaan tanpa terjebak ke dalam etnosentrisme sempit atau fanatisme buta. Kecenderungan kepada primordialisme dan bigotry ada di mana saja pada siapa saja di kelompok manusia yang mana saja. Sejak awalnya, barangkali, itu adalah fitur inheren manusia yang pada level individu ada kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri—yang oleh Daniel Goleman dalam bukunya, Emotional Intelligence, bahkan dikaitkan dengan organ anatomis dan proses fisiologis pada otak manusia. Goleman menyebut reaksi yang dihasilkan dari gejala ini sebagai respon “resist or retreat” ketika manusia berhadapan dengan sesuatu yang asing yang berada di luar dirinya. Orang Sunda tentu tidak bisa dikecualikan. Boleh jadi, bahkan, ada orang Sunda yang masih meratapi kematian Dyah Pitaloka dan menyimpan luka dan dendam Perang Bubat.

Namun demikian, seperti halnya naluri manusia yang tidak hanya bisa menghadirkan bencana tetapi juga rahmat, akal manusia juga tidak hanya bisa menciptakan kesombongan peradaban tetapi juga kearifan budaya. Dalam budaya Sunda, misalnya, kearifan itu tampak pada dualisme makna atau ambiguitas semantik kata “batur.” Dalam bahasa Sunda, kata “batur” bisa berarti “orang lain,” bisa juga berarti “sahabat.” (Kata dalam bahasa Sunda untuk “teman” adalah “babaturan,” yang mungkin bisa diartikan sebagai replika dari “batur.”) Jadi, “imah batur” berarti “rumah orang lain,” tetapi “batur keueung” berarti “sahabat pelipur rasa getir dan ketakutan dalam kesepian atau kesendirian.” Dalam frase “akur jeung batur salembur” (“hidup rukun dengan ‘batur’ sekampung”), kata batur menjadi ambigu, dan hasilnya adalah sebuah petunjuk sikap bijak di dalam menghadapi realitas kebersamaan dan perbedaan. Meskipun barangkali tidak sedalam dan se-elaborate altruisme ekstrem ala Emmanuel Levinas, dalam prakteknya, sikap bijak ini bisa menghasilkan kebaikan yang menyentuh hati. Bila “orang lain”—sesuatu yang asing, yang berada di luar diri seorang manusia, yang bisa saja mengancam, yang sering harus dilawan atau dihindari—dipandang sebagai “sahabat,” maka di situ ditunjukkan jiwa besar. Dan bila sikap ini dihayati dan dipraktekkan oleh banyak orang, maka yang dihasilkan adalah inklusivisme yang merangkul dan meneguhkan. Inilah barangkali yang membuat Sam Ratulangi yang adalah orang Minahasa merasa terpanggil untuk dengan demikian gigihnya memperjuangkan kepentingan orang-orang Sunda ketika ia menjadi anggota Gemeenteraad di Bandung di tahun 1923—sampai-sampai seorang Belanda merasa perlu untuk “mengingatkan” dengan mengatakan, “Dr. Ratulangi is geen Sundanees” (“Dr. Ratulangi bukan orang Sunda”). Ini juga barangkali yang membuat Himawan Sutanto, mantan Panglima Kodam Siliwangi, menceritakan dengan haru pengalaman masa mudanya ketika, dalam sebuah operasi di pedesaan, ia mendapat kiriman makanan dari penduduk setempat dengan pesan, “kanggo urang Jawa anu bageur” (“buat orang Jawa yang baik hati”).

Kang Ibing juga menunjukkan sikap itu. Dalam dua kesempatan terpisah, Kang Ibing menyebut dua orang pelawak yang dikagumi dan dihormatinya. Untuk yang dikagumi, Kang Ibing menyebut Bing Slamet; untuk yang dihormati, Kang Ibing menyebut Ateng. Dua-duanya bukan orang Sunda. Dari nama “Bing Slamet”-lah, Kang Ibing, yang bernama asli R. Aang Kusmayatna Kusumadinata itu, mengambil nama “Ibing” sebagai nama bekennya. Sedangkan Ateng, yang bersamanya Kang Ibing bermain dalam filem garapan sutradara Ahmad Jamal, Ateng the Godfather, tahun 1976, turut membawa Kang Ibing ke panggung popularitas di tingkat nasional. Persahabatan mereka bertahan hingga wafatnya Ateng.

Sunda Kang Ibing memang bukan Sunda yang ditumbuhkan dari benih eksklusivisme chauvinistic dan dipupuk oleh prasangka-prasangka primordial, bukan juga Sunda yang diikat, dipagari, diberi label, untuk kemudian dikendarai dalam upaya menggapai tujuan-tujuan kekuasaan dalam kerangka politik kepentingan. Sunda Kang Ibing adalah Sunda yang semata-mata mewujud dari keniscayaan bahwa setiap individu terlahir di suatu tempat dan kepada sebuah komunitas—serta rasa cinta yang tumbuh sebagai respon terhadapnya yang merupakan konsekuensi dari fitrah manusia. Kang Ibing merasakan bahwa sebagai orang Sunda, tidak saja ia menjadi bagian dari komunitas orang Sunda, tetapi juga bahwa komunitas orang Sunda—dengan budayanya, kecenderungan-kecenderungannya, modus-modus eksistensinya—telah menjadi bagian dari dirinya. Dalam kata-kata José Ortega y Gasset, “Yo soy yo y mi circunstancia, y si no la salvo a ella no me salvo yo.” (“Aku adalah aku ditambah sekelilingku, dan bila aku tidak dapat mempertahankan apa yang melingkungiku, maka aku tidak dapat mempertahankan diriku.”)

Kini Kang Ibing telah tiada. Lengkap sudah perjalanan hidupnya. Ia barangkali memang bukan orang kuat dengan pencapaian-pencapaian yang hebat. Selain itu, seperti halnya kita semua, ia juga seorang manusia biasa dengan segala kekurangan, keterbatasan, kelemahan, kesalahan, ego, bias, dan miskonsepsinya. Kang Ibing menjadi istimewa bukan karena ia mempunyai akhlak yang sempurna tanpa cela, bukan pula karena ia mempunyai watak yang luar biasa dan kapabilitas yang mumpuni yang ditunjukkan dengan kepemimpinannya dalam proyek perubahan besar dalam masyarakat yang menentukan wajah sejarah. Justru kontras dari itu: Kang Ibing menjadi istimewa karena ia membangkitkan inspirasi bagi kita untuk berkaca dan melihat ke dalam, dan meneliti kembali hal-hal kecil dalam hidup untuk kemudian menyadarinya sebagai anugerah. Ia mendorong kita untuk membuat setiap saat dalam hidup itu bermakna, serta menghayatinya sebagai berkah yang patut disyukuri. Kang Ibing mengajak kita untuk berkata seperti halnya tokoh Jack Dawson yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dalam filem Titanic berkata, “ … I figure life’s a gift, and I don’t intend on wasting it. You don’t know what hand you’re gonna get dealt next. You learn to take life as it comes at you—to make each day count.”

Dan bila selama ini kita beranggapan bahwa kemuliaan itu hanya kita dapati di dalam diri seorang ilmuwan, misalnya, yang mendedikasikan kerja keras, kepiawaian, dan kejeniusannya untuk mencari pemahaman terhadap dunia agar umat manusia bisa menarik manfaat darinya, atau di dalam diri seorang negarawan, misalnya, yang mendedikasikan kharisma, kapabilitas, dan kompetensinya untuk mencari konsep dan praktek berbangsa bernegara yang baik dan efektif agar rakyat dapat hidup aman sejahtera, maka Kang Ibing mengajarkan kepada kita bahwa kemuliaan juga ada di dalam diri Kang Maman yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari si Gadis Jujur.

Selamat jalan, Kang Ibing.

(Bral, Kang. Akang ngadeuheus kawelas Gusti Allah Nu ka tungkebing alam Nunggal Nyanghiyang. Akang ngantunkeun garwa palaputra putu katut dulur baraya satatar Sunda nu bakal ngaheuyeuk aweuh ku katineung kamelang. Nanging tong salempang, Kang. Akang miang nyandang dangiang. Mitapak sapalastrana Akang sumirat béntang ti karuhun urang, nu nyéngcélak dina kujang. Pimustikaeun pikeun ngagurat natrat sapaparat mangsa kebat pangjejer pikeun urang Sunda dina hirup jeung huripna rumingkang.

Pileuleuyan, Kang.)

Pledoi Lelaki Keong Racun

Pledoi Lelaki Keong Racun

We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars.
—Oscar Wilde

Bagi laki-laki seperti saya, kalau sampai diperkarakan ke Pengadilan dengan tuduhan pelecehan, itu baru serius. Tapi kalau sekadar disebut keong racun, kucing garong, buaya darat, kadal buntung, landak ngangkang, ular jerawatan, nyingnying nyengir, berang-berang bersubsidi, paramecium linglung, brontosaurus ngeyel, … atau sebut saja nama generiknya “satwa berpredikat,” itu mah kecil, Neng.

Kalau agresivitas saya dituduh sebagai perilaku yang norak, yang “’nggak sopan santun” dan “tak tahu malu,” saya anggap itu satu calculated risk. (Namanya juga orang usaha. Iya ‘nggak, Jek?)

Kalau “mulut kumat-kemot, matanya melotot,” itu namanya style. Dan menyangkut soal style, kalau ada yang tidak suka, itu mah biasa. Wajar. Bagi sebagian orang, bergaya seperti gentlemen itu cool. Bagi yang lainnya, itu dull. Ada yang mengira pakaian yang blink blink dan asesoris yang clink clink itu stylish. Ada juga yang mengira itu snobbish. Dan omongan gaul yang trendi dan funky itu buat sementara orang posh. Sementara buat yang lainnya, itu bosh.

Kalau “lihat bodi semok, pikiranmu jorok,” itu namanya kodrat—anugerah kehidupan dari Tuhan. Kita ini hanya setitik debu di alam semesta yang mahadahsyat luasnya, Neng. Kita cuma sekelompok partikel iseng yang bertabrakan dan terperangkap di dalam ruang dan waktu. Kalaulah ada bagian dari diri kita yang cukup berharga untuk bisa menggapai keluasan itu, atau mungkin malah melampauinya, itu adalah pikiran kita. Dan Eneng boleh saja berpendapat bahwa adalah pikiran yang bersih dan khidmat yang menjadikan kita sebagai makhluk mulia. Tetapi Eneng tidak bisa memungkiri bahwa pikiran joroklah yang membuat kita bertahan. Tonggak-tonggak kebudayaan bisa saja muncul lewat percikan cahaya dari kancah jiwa yang bergelora para cendikia, atau dari kamar batin yang hening para pertapa. Tetapi peradaban lahir dari dan tumbuh bersama pikiran jorok orang-orang biasa seperti kita.

Jika laki-laki pikirannya tidak jorok, maka di dunia ini tidak akan pernah ada internet, ponsel, mobil, pemerintahan, parlemen, industri, tradisi, silaturahmi, musik, puisi, …. Kaum eksistensialis mungkin malah akan dengan tandas mengatakan, “tidak akan pernah ada apa-apa.”

Manusia itu umurnya pendek, dan kemampuannya terbatas. Tidak ada seorang pun dari kita yang mampu melakukan sesuatu yang besar sendirian, dalam masa hidup kita yang hanya sekejap.

Ambillah contoh penciptaan mobil. Objek yang kita sebut “mobil” itu tidak tercipta dalam semalam. Menurut catatan arkeologi, manusia sudah mengenal penggunaan roda setidaknya lima ribu tahun yang lalu. Manusia mengenal penggunaan api, itu jauh lebih tua lagi—sekira empat ratus ribu tahun yang lalu. Lalu, manusia menggunakan api untuk memanaskan air sampai menjadi uap, dan uapnya digunakan untuk menggerakkan piston yang kemudian ditransmisikan untuk menggerakkan roda kereta—dengan kata lain, prototipe otomotif pertama—itu baru muncul di Perancis pada abad ke-18, kira-kira sezaman dengan diformulasikannya prinsip-prinsip termodinamika di Inggris. Mobil pertama—dengan motor bakar internal dan sistem kerja yang lengkap dan terintegrasi—baru muncul di Jerman di penghujung abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dan manusia membutuhkan setidaknya seratus tahun lagi untuk mengembangkan mobil menjadi mobil seperti yang kita kenal sekarang.

Jadi, penciptaan mobil itu terjadi dalam rentang waktu yang sangat panjang, dan untuk itu dibutuhkan keterlibatan banyak sekali orang—dengan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman, yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Sekarang pertanyaannya begini: Dengan cara bagaimana manusia itu bisa jadi banyak, dan dapat melahirkan keturunan dari generasi ke generasi? Ya, dengan cara bagaimana lagi kalau bukan dengan cara yang jorok itu. Maka dari itu, Neng, kalau ada laki-laki yang pikirannya jorok—bawaannya mupeng dan ngeres melulu—harusnya Eneng respek sama dia, karena dia itu sebetulnya sedang menjalankan tugasnya yang paling sakral, yaitu menjaga keberlangsungan peradaban.

Soal “kau anggap aku ayam kampung” dan “aku dianggap jablay,” pertama-tama saya meminta maaf. Saya sedih dan prihatin kalau Eneng merasa tersinggung. Tetapi, itu semua kesimpulan yang Eneng buat sendiri. Kalau pun sempat ada anggapan nakal dari saya tentang Eneng, itu lebih karena physical attractiveness Eneng yang “hmmm, … ck ck ck,” yang membuat saya mengasosiasikan Eneng dengan metafor-metafor berwarna seperti yang Eneng katakan tadi. Jadi kalau itu dianggap sebagai sebuah kesalahan, itu lebih merupakan kesalahan asosiasi, bukan kesalahan esensi. Seperti juga Eneng yang salah mengira saya orang berduit ketika Eneng mengatakan, “mentang-mentang kokay.” (Eneng tidak tahu, ya, mobil di belakang saya ini sebetulnya punya bos saya—yang saya bawa naar boven selagi dia ada meeting. Dan jaket yang saya pakai ini sebetulnya punya bos teman saya—yang dititipkan ke tantenya yang buka laundry.)

Jadinya kita saling menyalahkan, ya, Neng. Ah, Neng, kita memang selalu menuntut diterapkannya standar etika yang tinggi terhadap perilaku orang lain. Sementara kita sering berapologia dan permisif terhadap kelakuan kita sendiri. Atau mungkin itu karena kita tahu betul kekurangan, kesalahan, dan keburukan kita, sehingga kita mendambakan keberlimpahan, kebenaran, dan kebaikan yang berkilau—nun di luar sana—untuk hadir di hadapan kita. Seorang karakter Don Juan yang patah hati dalam drama Oscar Wilde, Lady Windermere’s Fan berkata, “We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars.”

Kemudian soal “tanpa basa-basi, kamu ngajak hepi-hepi,” “ngajak cek-in,” dan “baru kenal, ‘udah ngajak tidur” …. Begini, Neng. Masih ingat kasus video “mesra” seorang pejabat negara bersama seorang penyanyi dangdut beberapa tahun yang lalu? Rasanya saya berani taruhan, Neng, sang Pejabat tidak ujug-ujug begitu kenal langsung tanpa basa-basi ngajak hepi-hepi, ngajak cek-in, dan ngajak tidur. Pasti ada periode basa-basi. Mungkin, basa-basi mereka melibatkan obrolan politik—mungkin menyangkut kata-kata bertuah yang oleh para Pendiri Bangsa kita dulu ditorehkan dalam Undang-undang Dasar negara kita, tentang upaya “memajukan kesejahteraan umum” atau “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Mungkin juga sempat muncul obrolan tentang teori-teori canggih yang menawan dari para ilmuwan. Atau mungkin juga kadang terlontar kata-kata bijak yang memesona dari para pujangga …. Entahlah. Yang jelas, pasti ada proses basa-basi yang cukup panjang dan intens yang membuat mereka demikian dekat. Kalau sudah begitu, kata-kata eksplisit tentang ajakan ke tempat tidur barangkali malah tidak pernah terucapkan sama sekali. Semua mengalir begitu saja. Dengan sendirinya.

Nah, kasus yang serius itu seperti begitu, Neng. Kalau baru kenal tanpa basa-basi ngajak hepi-hepi, lalu mengajukan “the indecent proposal” (yang cuma serius terjadi dalam sebuah filem yang dibintangi Robert Redford dan Demi Moore), alias “ngajak tidur,” itu namanya bercanda. Jangan terlalu diambil hati, lah. Tidak usah dianggap serius karena memang tidak serius, dan tidak akan pernah menjadi ajakan yang serius. (Kecuali, sih, kalau Eneng juga memberikan respon positif secara serius. Ha ha ha ha ha—“Hus!”)

Masih tetap dianggap norak? Oke, saya juga tidak berusaha mengelak. Tetapi sekadar mengingatkan saja, Neng, apa yang norak itu biasanya tidak berbahaya. Sebaliknya, apa yang elegan, rapi, manis, dan necis, bisa menjelma menjadi monster yang dingin dan kejam. Misalnya saja, pandangan (yang berawal dari niat baik) yang beranggapan bahwa perempuan itu seperti intan permata yang harus disimpan di atas beludru hitam di dalam kotak kaca yang tertutup rapat—dijaga dan dibebaskan dari debu dan noda. Dalam pandangan ini, hiruk-pikuk dunia luar yang penuh dengan orang-orang yang saling sikut dan saling jegal, yang kotor dan kadang garang, dan yang kadang tak berperasaan, bukanlah tempat yang pantas bagi perempuan. Perempuan itu tempatnya di kenyamanan rumah, dan dunianya berputar di sekitar—untuk mengutip kata-kata bahasa Jerman yang digunakan oleh Bung Karno untuk menyindir—“Kirche, Küche, Kinder, Kleider.” Pendidikan pun dirasakan menjadi tidak ada gunanya, karena bukanlah ilmu pegetahuan yang dibutuhkan oleh perempuan, tetapi—seperti yang secara sinis dikatakan oleh R. A. Kartini—“yang penting adalah tampak cemerlang.” Dengan begitu, “kamu bisa memikat Den Mas Fulan yang ningrat dan kaya raya itu, lho, ‘Nduk.”

Semua itu barangkali tidak terlalu buruk bila alam anugerah Tuhan masih memanjakan manusia dengan berkah yang melimpah, dan masyarakat masih tertata dalam pola-pola hubungan yang meskipun terlihat rumit dalam aspek sosial dan budaya, pada dasarnya bersahaja dalam aspek ekonomi. Akan tetapi, bila keadaannya seperti di negeri ini sekitar dua dekade silam, misalnya, ketika sumber daya mulai menjadi amat langka, jumlah penduduk melonjak pesat, rejeki semakin sulit dicari justru ketika tuntutan hidup yang kian beragam datang bertubi-tubi, sementara Negara gagal memberikan kesejahteraan yang merata bagi rakyatnya, padahal deru industrialisasi tengah meraung-raung, ngebut dan full-steam, maka di situ mulailah timbul masalah. Kaum laki-laki tidak bisa lagi dengan pongah memonopoli gelar “pencari nafkah,” dan kaum perempuan pun ke luar rumah, berbondong-bondong untuk mengais kue ekonomi yang kebanyakan cuma remah-remah. Statistik sederhana tentang rata-rata tingkat pendidikan mereka menampakkan wajah yang muram pada realitasnya: kebanyakan mereka hanya mampu merebut posisi sebagai buruh berpenghasilan rendah.

Dalam setting seperti itu, seorang perempuan bernama Marsinah tampil dalam sebuah unjuk rasa buruh yang panas di tempat kerjanya di Porong, Sidoarjo—yang membuat sementara pihak terperangah. Rupanya mereka baru tersadarkan bahwa perempuan ternyata mempunyai kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ketakutan akan gangguan terhadap keamanan, ketertiban, dan kenyamanan, mengental, dan diperburuk oleh kebencian yang disulut oleh apa yang barangkali oleh kaum feminis akan disebut “prasangka patriarkis”—yang menuntut bahwa perempuan itu harus lembut, yang berarti harus manut, “swarga turut, neraka katut.” Orang-orang itu merasa terancam. Demikian paranoidnya mereka, sehingga mereka memutuskan, Marsinah harus dilenyapkan. Malang dan sangat tragis bagi Marsinah. Dia dibunuh dengan kejam, dan mayatnya dicampakkan di sebuah parit di pinggir jalan ….

Itu adalah bahaya sesungguhnya yang dihadapi oleh perempuan, di sini dan di mana pun. Jelas itu bukan bahaya dari keong racun.

Keong racun mah harmless, Neng. —Barangkali perlu dicatat juga bahwa di Perancis, keong racun “dibaptis” dengan nama “escargot.” Dan di satu petang di penghujung musim semi, di satu sudut kota Paris yang flamboyan, ketika semburat merah sinar matahari baru saja lenyap dari permukaan air, dan lampion-lampion mulai dinyalakan di tepi Sungai Seine yang kemayu, sang Keong Racun, setelah berendam bersama les tranches d’ail dan le beurre de persil, berbaring dengan anggunnya di atas l’assiette en la porcelaine d’Italie, di antara les pommes de terre, le gigot de mouton à la boulangère, la salade à vinaigrette, dan le vin de Bordeaux. Berkas cahaya yang jatuh di atas gelas-gelas kristal berpendar membiaskan warna-warni gemerlap yang mistis—seperti hipnotisme yang dimantrakan Monet di atas kanvasnya. Sementara di sekeliling meja, di antara semilir le parfum du petit jasmin dan semerbak l’arôme de l’orchidée blanche, les mesdemoiselles de Paris berbalut l’haute couture duduk manis sambil saling melempar kerling mata dan tawa tertahan. Mereka berbincang tentang Degas, Debussy, Voltaire, dan Guy de Maupassant—dan sejumlah hal kecil yang indah yang masih tersisa dari kehidupan.

Jadi, sori sori sori, Neng. Keong racun juga bukan barang murahan.