Bola. Biola. Be “Oh Là Là …”!

Bola. Biola. Be Oh La La.

Some people think football is a matter of life and death …. I can assure them it is much more serious than that.
—Bill Shankly

Ada masa-masa dulu ketika kekalahan Persib dalam pertandingannya bagi saya terasa menyakitkan. Benar-benar sangat menyakitkan. Seperti putus cinta.

Efeknya pun sama. Seperti efek putus cinta. Malas mandi, malas gosok gigi, malas cuci baju, malas ganti baju. Susah makan (terutama ketika berkoinsidensi dengan kondisi ketiadaan deungeun kéjo, alias lauk pauk). Susah tidur (terutama pas rombongan kerabat jauh dari luar kota yang jauh, yang datang untuk sowan ke hajatan tetangga yang juga saudara jauh, menginvasi setiap inci rumah kecil kami—sehingga saya harus terlempar keluar dan terdampar di pos ronda yang fasilitasnya rada barbar, suasananya sedikit liar, dan tongkrongannya jelas sangar).

Yang paling menyebalkan, saya jadi malas atau susah tertawa. Paling-paling cuma bisa tersenyum kecut, bahkan bila membaca lelucon jorok bertema klasik “Venusians v. Martians” seperti ini:

HER SIDE OF THE STORY

He was in an odd mood when I got to the bar. I thought it might have been my fault, because I was a bit late, but he didn`t say anything much about it.

The conversation was quite slow going, so I thought we should go off somewhere more intimate, so we could talk more privately. We went to this restaurant, and he was STILL acting a bit funny. I tried to cheer him up and started to wonder whether it was me or something else. I asked him, and he said no. But I wasn`t really sure.

So anyway, in the cab on the way back to his house, I said that I love him, and he just put his arm around me. I didn`t know what the h*** that meant, because, you know, he didn’t say it back or anything.

We finally got back to his place, and I was wondering if he was going to dump me! So I tried to ask him about it, but he just switched on the TV. Reluctantly, I said I was going to go to sleep. Then after about ten minutes, he joined me and we made love.

But, he still seemed really distracted, so afterwards I just wanted to leave, but I just cried myself to sleep. I dunno, I just don`t know what he thinks anymore. I mean, do you think he’s met someone else?

HIS SIDE OF THE STORY

My team lost. Felt kinda tired. Got laid though.

Tapi itu agak jauh di masa lalu. Saya kemudian merasakan antusiasme saya sedikit demi sedikit memudar. Persib memang tetap menjadi bagian dari obrolan keseharian saya dengan hampir siapa pun yang saya temui di Bandung. (Bagaimana pun, saya masih tetap orang Bandung, dan orang Bandung yang tidak sempat mendengar kata “Persib” terkait dengan kata “Bandung,” serta turut mengucapkannya dengan semacam percikan sentimentalisme, patut diragukan “kebandungannya.”) Tetapi kemenangan, kekalahan, atau hasil seri pertandingan-pertandingannya lambat laun bagi saya menjadi agak mirip dengan gosip pernikahan, perceraian, atau rujuk pasangan selebriti—sebagai sesuatu yang menarik, tetapi “’nggak usah pake terharu juga, kali, ya ….”

Pudarnya antusiasme saya terjadi bukan saja terhadap Persib, tapi juga terhadap sepak bola secara umum. Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan sepak bola. Bukan cuma kompetisi di liga tanah air, tapi juga liga-liga Eropa—apalagi liga-liga Amerika Latin. Hanya turnamen Piala Eropa dan Piala Dunia saja yang masih saya tonton. Itu pun tidak semua pertandingan. Padahal, tetangga-tetangga, teman-teman, dan saudara-saudara saya, seperti kebanyakan orang, bukan cuma menonton setiap pertandingan, tapi juga menggelar jadwal turnamen serta daftar pemain, pelatih, dan official; menyimak komentar-komentar dan analisis-analisis; dan bahkan mewacanakan analisis serta prediksi mereka sendiri. Kontan saja, bila saya sedang ngariung bersama mereka, sayalah yang tampak paling bego.

Namun demikian, fenomena Timnas yang gegap-gempita di ajang Piala AFF akhir tahun lalu mengusik kembali minat saya terhadap sepak bola. Maka bagi fans berat si kulit bundar, barangkali, saya akan tampak sebagai bagian dari “korban” tren pusaran pesona Irfan Bachdim serta flamboyansi Timnas. Saya berada di antara deretan fans dadakan bersama mungkin jutaan orang lainnya—meskipun di antara jutaan orang itu berdiri juga figur-figur high-profile seperti Tina Talisa dan Kiki Amalia. Harus saya akui dalam hal ini, awalnya (meskipun awal yang kedua, mungkin) bagi saya daya tarik sepak bola muncul bukan dari faktor primer sepak bola itu sendiri, tetapi dari faktor sekunder efek sepak bola dalam satu atau lain aspek. Seperti juga halnya mungkin bagi Tina Talisa dan Kiki Amalia. Bagi Tina Talisa, faktor itu barangkali adalah the “public” side of Timnas. Bagi Kiki Amalia, barangkali, the “private” side of Markus Maulana Horison. Saya tentu saja berada di kubu Tina Talisa. (Wah, saya tidak mau bahkan sekadar berpikir sekalipun untuk berada di kubu Kiki Amalia.)

Dalam retrospeksi, saya mencoba menelaah kembali apa yang menyebabkan sepak bola sempat saya rasakan melempem gregetnya. Mungkinkah itu adalah skandal Calciopoli yang membikin Liga Serie A terdepak dari posisi bergengsinya sebagai liga sepak bola di Eropa yang sempat “berstatus” paling elit? Ataukah masalah ruwet dan berkepanjangan yang membekap PSSI, yang memunculkan antipati yang mendalam di kalangan publik seperti yang “termanifestasikan” oleh foto “Crop Circle”—entah di dunia mana—yang berbentuk logo PSSI dengan teks slogan, “Turunkan Nurdin Halid!”? Bukan, sih. Rasanya bukan itu. Mestinya itu malah membuat dunia sepak bola jadi lebih seru. Lagipula, itu baru santer terjadi belakangan ini saja. Yang jelas, banyak fakta terperi, tapi saya gagal menjadikannya sebagai alasan pasti. Masalahnya sepertinya bukan ada pada sepak bola, tapi pada diri saya sendiri.

Belakangan minat dan perhatian saya memang banyak tersita oleh hal-hal yang bahkan jauh lebih “sepele” dari sepak bola. Seperti, misalnya, kenapa keponakan saya yang masih kanak-kanak ketika ditanya, “satu ditambah satu jadi berapa?” dia menjawab bukan dengan, “dua,” “sepuluh,” “sejuta,” atau “banyak,” tetapi, misalnya, “bakso,” atau malah, “pohon mangga yang banyak semutnya.” Atau kadang saya juga bertanya-tanya, kenapa kalau dua puluh itu sama dengan dua kali sepuluh, dua ratus itu sama dengan dua kali seratus, dan dua tamparan perempuan cantik itu sama dengan dua kali satu tamparan perempuan cantik atau satu kali tamparan masing-masing dari dua perempuan cantik—kok dua belas tidak sama dengan dua kali sebelas?

Hal lain lagi, apa jadinya kalau kaki ayam itu menekuk bukan ke belakang, tapi ke depan? Apakah dengan begitu mereka kalau berkelahi akan harus saling membelakangi? Apakah itu akan menyebabkan kokok ayam jantan menjadi lebih panjang karena mungkin akan lebih gampang mengambil posisi tegak? Kenapa juga binatang berkaki empat tidak seragam dalam hal arah tekuk kaki-kakinya? Kucing, baik kaki depan maupun kaki belakang kedua-dua pasangnya menekuk ke belakang. Kuda, kaki belakangnya menekuk ke belakang; kaki depannya menekuk ke depan. Kalau manusia bergerak dengan merangkak dan bukan berjalan tegak, maka arah tekuk kaki dan tangannya persis kebalikan dari kuda. Kenyataan itu membuat gerakan merangkak manusia menjadi kikuk dan canggung, dan kalau diadu lomba dengan kuda? Out of the question. Hanya saja, seandainya manusia membuat petisi kepada Sang Pencipta untuk dianugerahi keistimewaan kuda dalam hal arah tekuk kaki-kakinya, dan petisi itu dikabulkan, bayangkan betapa ribetnya bentuk furnitur kita.

Saya tahu, banyak orang menganggap itu semua adalah hal-hal yang paling konyol untuk dipikirkan. Barangkali mereka memang benar. Tapi saya keukeuh menganggap hal-hal seperti itu juga layak menjadi objek perhatian. Ada yang mengatakan bahwa seandainya Tuhan menganugerahkan akal budi atau pikiran itu kepada harimau dan bukannya manusia, maka harimaulah, dan bukannya manusia, yang akan menguasai planet bumi ini. Manusia dengan cepat akan terancam punah; harimau akan membangun peradaban besar. Saya kok tidak terlalu yakin.

Bahwa manusia akan dengan cepat terancam punah, itu masuk akal. Tapi harimau akan membangun peradaban besar? Nanti dulu. Peradaban tidak hanya dibangun oleh pikiran, tetapi juga tangan. Empat jari tangan manusia yang relatif panjang, telapak tangan yang relatif lebar, dan satu jempol tangan yang arah tekuknya berlawanan dengan arah tekuk keempat jari lainnya—itulah yang meninggalkan jejak bentang peradaban di muka bumi ini, dan di ruang yang “sedikit” meluas ke arah luarnya, yaitu angkasa. Karena, bentuk tangan yang seperti itulah yang memungkinkan manusia dapat menggenggam benda dengan luwes, dan yang lebih penting lagi: menciptakan alat. Betapa pun cerdas dan inteleknya seekor harimau, saya ragu ia akan bisa melakukan hal itu. Dan kalaupun bisa, pisau, jarum, gunting, kapak, tombak, cangkul, tungku, dandang, pedati, pensil, keyboard, atau keypad yang bentuknya seperti apa yang bisa cocok dengan bentuk tangan harimau (kalau kaki-kaki depan harimau itu dianggap sebagai tangan) yang “culun” seperti itu?

Pentingnya tangan dalam peradaban demikian besarnya, sehingga kata “tangan” telah menjadi penanda metaforis serta simbol kultural bagi setiap tindakan atau manifestasi kehendak dan eksekusi kekuasaan dari manusia. Meskipun begitu, kita pahami bersama bahwa sebenarnya subjek sejatinya tentu bukan “sekadar” tangan, tetapi tubuh manusia secara keseluruhan. Dan bagi saya, tubuh itu bukanlah alat bagi pikiran. Saya cenderung setuju dengan Maurice Merleau-Ponty yang menggagas konsep “tubuh-subjek”—tubuh dan pikiran bersama-sama mendefinisikan keberadaan manusia sebagai keberadaan-di-dunia.

Sejarah peradaban bukanlah melulu sejarah filsafat atau gagasan-gagasan, tetapi juga adalah sejarah biomekanika tubuh manusia. Torehan mural di kamar-kamar pemakaman peninggalan Mesir kuno dari masa 4000 tahun silam semarak mendepiksikan bentuk-bentuk tubuh manusia dalam aktivitas-aktivitas ragawi yang dinamis—seperti misalnya “adegan-adegan” pertandingan gulat—dalam rangkaian gambar-gambar yang ilustratif dan teliti. Di Cina, artefak-artefak dan struktur-struktur fisik arkeologis mengindikasikan bahwa kegiatan olah raga tercatat lebih tua lagi, sekira 6000 tahun yang lalu. Demikian juga di Pulau Kreta. Sudah setidaknya 2700 tahun sebelum Masehi (SM), kegiatan olah raga menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Yunani Kuno, seperti yang terdokumentasikan dalam karya-karya seni Minoan dari Kreta pada Zaman Perunggu. Orang-orang Romawi di awal-awal abad Masehi mewariskan peninggalan, antara lain, patung perunggu “pelempar cakram” yang merupakan miniatur dari Discobolos karya pematung Yunani, Myron, dari abad ke-5 SM. Bukti-bukti itu terus berlanjut meliputi sebaran luas dari tempat-tempat di bumi, dan sepanjang sejarah umat manusia.

Seperti yang terekam dalam bukti-bukti sejarah itu, dalam kegiatan berolah raga, kemampuan-kemampuan fisik dasar manusia diasah dan dikembangkan. Di samping untuk terus-menerus melakukan penyempurnaan kemampuan-kemampuan itu demi tujuannya sendiri, proses itu juga sangat vital untuk aplikasi di luar kegiatan berolah raga—dengan kata lain, bagi aktivitas-aktivitas tubuh manusia yang menopang kehidupannya. Itu merupakan satu hal yang dalam kehidupan moderen, demikian dipahami tapi sekaligus demikian sering dilupakan. Barangkali itu karena teknologi telah merasuk jauh ke lekuk-liku paling trivial dari kehidupan kita saat ini.

Tidak ada kegiatan penting dalam kehidupan manusia, baik itu berburu maupun bercocok tanam, bertukang maupun berdagang, memancing ikan maupun mengoperasikan terminal kendali peluncuran pesawat luar angkasa, yang tidak mensyaratkan—setidaknya taraf minimal tertentu—dari daya tahan (endurance), kelenturan (flexibility), serta kelincahan gerak (agility) dari tubuh orang-orang yang menjalaninya.

Namun demikian, hal yang paling penting dari kegiatan berolah raga dalam konteks perubahan sosial dan perkembangan peradaban barangkali adalah keterkaitannya dengan fenomena perang. Banyak jenis aktivitas olah raga dalam catatan sejarahnya merupakan demonstrasi keterampilan-keterampilan mendasar dalam peperangan. Banyak juga yang berupa bentuk-bentuk permainan yang men-simulasikan fenomena itu. Monumen-monumen yang dipersembahkan kepada para Firaun di Mesir Kuno, misalnya, menunjukkan bahwa olah raga yang matang berkembang kala itu antara lain adalah lempar lembing, gulat, dan lompat tinggi. Di Persia Kuno, yang tercatatkan dalam prasasti adalah Zourkhaneh (semacam olah raga bela diri), polo, dan jousting—duel senjata semacam tombak panjang antara dua kstaria yang mengendarai kuda. Di Cina, ada juga cuju yang menyerupai sepak bola.

Perang telah lama diidentifikasi oleh para sejarawan sebagai salah satu fakta terpenting dalam sejarah umat manusia. Motivasi di balik tindakan individu-individu atau kelompok-kelompok individu, serta kondisi masyarakat yang akhirnya membawa akibat berhantamnya dua kubu dalam peperangan, telah menjadi kajian para ilmuwan. Berbagai teori telah dikemukakan dari disiplin-disiplin yang berbeda: ekonomi, sosiologi, psikologi evolusioner, teori perilaku, demografi, teori rasional, dan ilmu politik. Akan tetapi, akibat peperangan sepertinya selalu dapat disimpulkan dengan dua fakta yang bertabrakan, tetapi terjalin dalam tenunan yang saling berpagut: di satu sisi, korban jiwa yang berjatuhan serta keporakporandaan; di sisi lain, bergeraknya peradaban ke depan seiring zaman. Setidaknya ada dua faktor yang bermain di sisi terakhir dari fakta tadi. Pertama, perang mendorong inovasi teknologi, dan kedua, reorganisasi sosial-ekonomi-politik dari wilayah-wilayah geografis/demografis pascaperang menggerakkan dinamika sosial-ekonomi-politik baru.

Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia teknologi, keteknikan, atau ilmu terapan, agaknya telah sampai pada kesimpulan bahwa Perang Dunia II, misalnya, merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah disiplin-disiplin mereka itu. Banyak sekali perkembangan sains dan teknologi yang penting—dari penemuan transistor hingga teori serta implementasi teknologis artificial intelligence (AI); dari game theory hingga operations research (OR)—muncul sebagai “by-products” dari inovasi yang didorong oleh kebutuhan kritis akibat kondisi peperangan dalam Perang Dunia II. Akan tetapi, kajian ilmiah dari sisi antropologi budaya mengenai korelasi antara fenomena perang dengan perkembangan kebudayaan, sepertinya hingga saat ini pun masih terlalu dini untuk disimpulkan dalam sebuah tesis besar yang konklusif.

Namun demikian, ada sebuah perspektif yang paradoksikal dan menarik untuk disimak dari studi yang dilakukan oleh Samuel Bowles dari the Santa Fe Institute di New Mexico, Amerika Serikat, yang dipublikasikan Juni tahun 2009 lalu, seperti yang dilansir oleh The Economist. Bowles menjaring data mengenai peperangan antara kelompok-kelompok yang bertikai dari studi-studi etnografis dan bukti-bukti arkeologis—secara lebih tepat barangkali bukan “peperangan” melainkan “pertikaian-pertikaian berdarah dan mematikan,” mungkin seperti penyergapan atau penyerangan yang diilustrasikan dalam filem garapan Mel Gibson, Apocalypto. Ini merupakan data yang besar karena menyangkut 12–16% kematian dari populasi teramati, yang merupakan angka yang lebih besar dari, misalnya, total jumlah kematian akibat gabungan dua Perang Dunia, di Eropa. Dengan menggunakan kerangka teori “seleksi kelompok” (“group selection”), Bowles kemudian membuat model matematis, dan mendapati hasil bahwa individu-individu dengan gen, katakanlah, “gen altruistik”—yang memungkinkan seseorang mau mengorbankan diri untuk kepentingan kelompoknya—dan yang mengimplikasikan “biaya” berupa terbunuhnya hingga 3% populasi, secara umum, dalam keadaan tanpa peperangan, jumlah penyandangnya menurun dari 90% ke 10% dari total populasi selama 150 genreasi. Tetapi, model Bowles memprediksikan bahwa jumlah itu akan meningkat ke level 13% bila kelompok-kelompok teramati berada dalam kondisi peperangan. Kesimpulannya: perang membuat munculnya individu-individu “heroik” yang berakibat perkuatan kelompok—mengefektifkan kolaborasi dan meningkatkan sinergi.

Meskipun begitu, fenomena perang tentu saja bukan semata-mata isu diskusi ilmiah atau wacana tentang objektivitas. Perang juga menyangkut masalah moral dan etika. Berbeda dengan di masa-masa lalu ketika perang dianggap sebagai hal yang baik, di masa kita saat-saat ini, perang umumnya dipandang buruk. Pengalaman pahit akibat perang yang dirasakan bersama oleh sebagian besar umat manusia terutama di abad ke-20 dan berlanjut hingga saat ini, sepertinya telah membentuk arus utama persepsi masyarakat dunia seperti itu. Apa yang dulu dalam perang dianggap kesetiakawanan kelompok yang baik dan efektif serta heroisme yang romantis, saat ini bisa menjadi dianggap primordialisme destruktif yang mematikan dan, secara etis, sangat buruk.

Sepertinya itu adalah catatan yang penting bagi kita ketika kita menengok problem etika publik yang muncul dalam khazanah keolahragaan, terutama untuk jenis olah raga yang merupakan adu tanding, melibatkan kontak fisik secara langsung, dan antara dua kubu yang masing-masing merupakan tim—dengan kata lain, yang men-simulasikan situasi peperangan—seperti sepak bola. Maka beralasan bila, misalnya, George Orwell, dalam The Sporting Spirit, memandang pertandingan olah raga secara negatif. Orwell menunjuk suasana panas di antara bangsa-bangsa dalam Olimpiade Musim Panas 1936 ketika, menurut Orwell, kontestasi olah raga membawa publik antarbangsa ke dalam “orgies of hatred.” Lebih lanjut Orwell mengatakan:

[…] as soon as the question of prestige arises, as soon as you feel that you and some larger unit will be disgraced if you lose, the most savage combative instincts are aroused.

Terus terang, saya tidak sependapat dengan Orwell. Menurut saya, Orwell melakukan dua kesalahan mendasar dalam hal ini. Pertama, seperti umumnya seseorang yang mengambil suatu kesimpulan deduktif, Orwell hanya melihat alur kausalitas satu arah dalam kasus yang ditunjukkannya. Observasi Orwell memang tepat, namun Orwell hanya melihat problem “kebencian” yang muncul, sebagai variabel takbebas, dan pertandingan olah raga, sebagai variabel bebas. Tidak mungkinkah ada juga kemungkinan, bahwa hal yang sesungguhnya terjadi bergerak dalam arah yang sebaliknya? Bukankah, misalnya, situasi panas dan kebencian antarbangsa saat itu sudah cukup matang menyeruak karena kontestasi antarbangsa dalam bidang diplomasi, politik, dan dominasi ekonomi? Kedua, Orwell melupakan satu hal penting: Bahwa terkait dengan kontestasi teatrikal olah raga, dalam satu hal, prinsip terpenting adalah apa yang dalam kehidupan “normal” justru merupakan sesuatu yang “tidak penting,” yaitu konsep “bermain.” Fakta antropologis mengenai keberadaan fenomena olah raga itu sendiri menunjukkan bahwa sesungguhnya—seperti yang dikatakan oleh Johan Huizinga—manusia adalah “homo ludens”: “manusia bermain.”

Aktivitas olah raga selalu menunjukkan ciri teatrikal, dalam pengertian bahwa proses yang berlangsung adalah proses yang, dalam dirinya sendiri, bersifat engineered, semu, “bukan realitas sebenarnya,” penuh dengan peniruan atas kualitas-kualitas dunia nyata (mimicry), cenderung “berputar dalam dunianya sendiri” (dromological), dan melibatkan permainan faktor kemungkinan/peluang (aleatory). Kalaulah ada unsur yang benar-benar penting dan serius dalam olah raga, itu bukanlah hal menyangkut dirinya sendiri, tetapi adalah konsistensi aturan-aturan mainnya, dan prinsip-prinsip etika yang merupakan peta dari kesadaran akan kepatutan atau kepantasan di dalam realitas sosial sebenarnya. (Dan itu bukan saja menyangkut aturan-aturan terkait langsung dengan praktek di arena atau sekitar arena, tetapi juga prinsip-prinsip pengelolaan penyelenggaraan kompetisi, misalnya, serta pengelolaan sistem keorganisasian olah raga secara umum. Sekali lagi, itu adalah urusan serius.) Perubahan-perubahan atau perkembangan dalam hal bagaimana masyarakat memandang kualitas-kualitas itu baik atau buruk, juga mempengaruhi, dan pada gilirannya tercermin dalam, aturan-aturan main dan prinsip-prinsip kepatutan dalam olah raga.

Kata dalam bahasa Inggris untuk “olah raga,” yaitu “sport,” sepertinya mengilustrasikan dengan baik fenomena itu. Berbeda dengan, misalnya, bahasa Mandarin, di mana kata untuk “olah raga” adalah “tiyu,” yang artinya kira-kira sama dengan kata “olah raga” dalam bahasa Indonesia, yaitu “latihan jasmani”; atau juga berbeda dengan, misalnya, bahasa Yunani, di mana kata untuk “olah raga” adalah “athlitismos” yang kira-kira berarti “hal mengenai orang-orang yang berkompetisi untuk meraih hadiah”; kata dalam bahasa Inggris untuk “olah raga” atau “sport” mengambil sumber dari kata dalam bahasa Perancis “desport” yang kira-kira berarti “kegiatan waktu senggang” atau “kegiatan rekreasional”—sebuah istilah yang lebih menekankan konsep “bermain.” Jadi, makna kata “sport” dalam bahasa Inggris telah mengalami pergeseran dari makna akarnya, yaitu kata dalam bahasa Persia, “bord,” yang kira-kira berarti “meraih kemenangan.” Meskipun begitu, kata turunannya, “sportsmanship”—yang sering diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “sportivitas”—adalah istilah yang serius. Dalam kata tersebut terkandung nilai-nilai etika atau etos, seperti misalnya, fair play, kejujuran, kepatuhan kepada aturan main, sikap lapang dada ketika mengalami kekalahan, pengakuan dan penghormatan terhadap keunggulan pihak lawan, dan kesungguhan serta semangat dalam menghadapi pertandingan yang dijaga sampai akhir.

Maka menurut hemat saya, jika misalnya ada pertandingan sepak bola yang rusuh dan berbuntut tawuran, tidaklah berarti bahwa itu karena sifat destruktif terdapat secara inheren di dalam sepak bola atau pertandingan sepak bola. (Selain itu, mungkin harus dibedakan pula, mana peristiwa rusuh sepak bola yang benar-benar merupakan kerusuhan, mana yang merupakan ekspresi wajar suasana festivitas.) Peristiwa kerusuhan selalu merupakan interplay dari banyak faktor. Barangkali secara faktual pertandingan sepak bola memang turut menjadi pemicu, tapi menuduh pertandingan sepak bola sebagai biang kerusuhan, itu tidak fair. Saya selalu menduga bahwa penyebab di balik kasus-kasus tindakan destruktif dan ekspresi kebencian dari para suporter sepak bola berada di luar sepak bola itu sendiri. Pihak-pihak yang bertikai dalam kasus sengketa tanah, misalnya, masuk akal bila menganggap posisinya adalah harga mati, karena sengketa tanah adalah urusan serius yang menyangkut terancamnya hajat hidup. Tapi untuk sebuah pertandingan olah raga seperti sepak bola, orang, meskipun tetap merasakan pahitnya kekalahan tim favoritnya, selalu bisa berkata, “Yah, namanya juga pertandingan.” Kalau tidak demikian halnya, maka itu bertentangan dengan hakekat olah raga sebagai “pentas” dari proses “bermain.”

Kalaulah ada kritik yang mungkin boleh dikatakan lebih tepat atau lebih relevan terhadap sepak bola atau olah raga pada umumnya, mestinya itu ditujukan kepada kemungkinan konsekuensial dari olah raga sebagai aktivitas ketubuhan—singkatnya, kritik terhadap pemujaan yang berlebihan terhadap “kesempurnaan” tubuh. Ini lebih logis, mengingat kenyataan bahwa olah raga sebagai kegiatan rekreasional memang bersifat terbuka bagi partisipasi siapa saja, tetapi dewasa ini olah raga telah menjadi industri, dan karena sifatnya yang demikian, terhadap para pelaku utama olah raga, yaitu para atlet (profesional, dalam hal ini), selalu dituntut syarat “kesempurnaan tubuh” tertentu. (“Penjaga gawang harus tinggi. Pemain belakang juga harus tinggi,” kata Pelatih Timnas Alfred Riedl suatu ketika. Dan Marco van Basten yang mengalamai cedera panjang pun akhirnya harus gantung sepatu.) Tapi lagi-lagi faktanya tidak mendukung kekhawatiran seperti itu. Yang menembak mati orang-orang yang cacat-tubuh atau dianggap lemah itu bukanlah Ade Rai atau Lance Armstrong, melainkan tentaranya Adolf Hitler.

Kenyataan yang melegakan tentang hal “kesempurnaan tubuh” adalah bahwa baik para atlet profesional yang mempunyai keunggulan fisik, maupun orang-orang yang kurang beruntung karena memiliki keterbatasan fisik, sama-sama menjadi inspirasi bagi kebanyakan orang, yaitu kita yang berada di rentang tengah dari kurva normal. Kita tertegun menyimak kisah keteguhan hati Stephen Hawking atau Helen Keller, yang keterbatasan fisiknya tidak dijadikan alasan senoktah kecilpun untuk berhenti bertindak, seperti juga kita terpesona menyaksikan performa prima Carl Lewis atau Serena Williams, yang keunggulan fisiknya tidak disia-siakan segaris tipispun untuk berkinerja.

Bahkan kita juga mengenal sosok seperti Django Reinhardt—bukan atlet, memang, melainkan seniman; gitaris jazz, tepatnya—yang dikenal karena kehebatannya untuk performanya dalam bidang yang justru menuntut “kesempurnaan” fisik tepat di titik keterbatasan atau kecacatan fisiknya itu berada. Django, gitaris Gypsy asal Belgia, mengalami kecelakaan saat karavannya terbakar, yang membuat kelingking dan jari manis tangan kirinya “menyatu” dan mengeras-kaku, sehingga praktis ia hanya bisa memainkan solo gitar dengan telunjuk dan jari tengahnya, serta chords gitar dengan telunjuk, jari tengah, dan jempolnya (meskipun kelingking dan jari manisnya yang cacat kadang-kadang juga membantu). Meskipun begitu, ia dikenal sebagai gitaris dengan solo-lines terbaik sepanjang masa. Django bukan saja menjadi ikon terbesar dari subgenre jazz manouche, tetapi juga salah satu tokoh gitar jazz terpenting. (Dalam sejarah gitar jazz, barangkali cuma ada dua orang yang bisa dikatakan sebagai pelopor yang sebenar-benarnya pelopor, yang gaya permainannya menjadi basis bagi gitaris jazz manapun yang muncul setelah mereka. Kedua orang itu adalah Charlie Christian dan Django Reinhardt.)

Dan ingat Django Reinhardt, ingat pula Stéphane Grappelli. Dialah yang mendirikan Quintette du Hot Club de France, grup musik gypsy jazz tempat Django bernaung. Namun Grappelli bukan cuma pendiri; ia juga memainkan alat musik yang bagi genre jazz saat itu tidak lazim, yaitu biola.

Entah kenapa, ketika berbicara tentang bola, saya selalu juga ingin berbicara tentang biola. Kedekatan lafal antara kedua kata itu—cuma selisih satu huruf—tentu tidak serta-merta mengindikasikan adanya keterkaitan etimologis atau semantik. Dalam hal ini, keterkaitan itu sama sekali tidak ada, dan kedekatan lafal antara kata “bola” dengan kata “biola” hanya terdapat dalam bahasa Indonesia. Tapi bagi saya, bola dan biola sama-sama sexy. Keduanya bisa membangkitkan letupan-letupan passion estetika yang kadang-kadang hanya bisa dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan kabur serta surealistis seperti, “serpihan-serpihan kesadaran,” “aliran-aliran liar dari hasrat dan rindu-dendam,” atau “deru petir di kejauhan.” Lebay juga, sih. Tapi saya penasaran kalau tidak mengatakan hal itu.

Dan yang menjadikan bola atau biola sebagai suguhan seni yang menggugah, dalam konteks tulisan ini, tentu saja bukan bendanya itu sendiri, melainkan fenomena-permainannya, di samping juga terutama, performa serta segala aspek dan kondisi humanitas dari “the person behind the bola/biola”—atau para punggawanya. Kinematika dan dinamika bola, misalnya, sebagai wujud fisik—momen inersianya, girasinya, momentum sudutnya, kecepatan liniernya, percepatan angularnya, dan seterusnya—meskipun bisa juga menjadi artistik barangkali hanya akan menarik bagi para fisikawan, khususnya penggemar fanatik Isaac Newton. Seperti juga halnya, misalnya, pernak-pernik biola Stradivarius, la Rouse Boughton—konstruksi soundboard-nya, desain scroll dan pegbox-nya, material pembentuk fingerboard dan tuning-pegs-nya, pola dekoratif bridge-nya, dan seterusnya—yang barangkali hanya akan menarik bagi para kolektor alat-alat musik antik, khususnya penggemar fanatik Antonio Stradivari.

Hal yang pertama (dan bagi tidak sedikit dari kita, juga terutama) kita perhatikan dalam mengapresiasi bola ataupun biola biasanya adalah para pemainnya. Masing-masing kita punya satu atau lebih pemain favorit.

Bagi saya, misalnya, maestro terbesar sepak bola sepanjang sejarah adalah Zinedine Zidane. Entah kapan sejarah sepak bola akan melahirkan pemain sehebat dia lagi. Barangkali tidak akan pernah. Zidane untuk sepak bola, bagi saya adalah seperti halnya Niccolò Paganini bagi biola. Tentu saja saya tidak tahu bagaimana Paganini memainkan biola (Paganini hidup di Italia ketika Italia diduduki oleh pasukan Napoleon: Digital gadgets dan situs-situs Web video sharing belum ada waktu itu). Saya cuma tahu sedikit karya-karya komposisinya, misalnya Cappricci, yang dimainkan antara lain oleh Ruggiero Ricci—atau dalam bentuk interpretasi musik rock yang gahar dalam permainan gitar elektrik Steve Vai (dalam hal ini, interpretasi “Caprice No. 5” yang oleh Vai diberi judul “Eugene’s Trick Bag”).

Kapasitas teknik yang dimiliki Zidane dalam mengolah bola, keterampilannya dalam melakukan dribbling, passing, maupun goal-targeted shooting, juga kelihaiannya dalam menempatkan posisi dirinya dalam pergerakan tanpa bola, serta kecerdasannya dalam membaca permainan seperti yang tampak dalam aksinya ketika mendistribusikan bola, memperlihatkan bahwa Zidane benar-benar seorang virtuoso. Kemampuan Zidane dalam permaianan bertahan pun dapat dikatakan cukup tajam. Ketika Zidane “menari”—meliuk-liuk, berputar, melompat ringan dengan anggun, mencondongkan badannya ke arah yang mengejutkan, lalu tiba-tiba menghentak dengan menendang bola untuk menyodorkan throughpass yang empuk bagi siapa pun striker yang menjadi target-man—saya seakan-akan bukan melihat Zidane—melainkan mendengarkannya. Saya mendengar slur-slur dari Capricci-nya Paganini dalam permainan Ricci yang kadang bisa lembut mendayu di tengah ketangkasan dan kelincahan yang bergelora, passionate, membara, menghentak, dan menghunjam—bertukar sul tasto dengan sul ponticello, kadang collé kadang ricochet, kemudian tiba-tiba sautillé, lalu martelé dengan spiccato yang tajam. Lalu legato yang lembut. Lalu double-stop yang menghempas.

Lain lagi halnya Der Kaiser, Herr Franz Beckenbauer. Kalau diibaratkan permainan biola, bagi saya gaya permainan Beckenbauer adalah gaya permainan biola Baroque. Biola Baroque kerap ditala lebih rendah dan dimainkan dengan posisi lurus ke depan (arah rentang senar tegak lurus dengan arah lintang bahu si pemain), yang membuat “tangan-nada” si pemain menjadi terlihat lebih serius, tapi “tangan-busur”-nya justru lebih rileks. Dalam hal permainan Beckenbauer, sebagai seorang libero (meskipun awalnya ia adalah seorang pemain tengah), Beckenbauer memperlihatkan pergerakan yang rileks, kalem, namun efisien dan tetap fokus—penuh konsentrasi. Akan tetapi, itu tidak berarti ia terus terpaku di posisinya; justru posisinya yang berada di belakang itulah yang membuat kejenuisannya membaca konstelasi para pemain dari tim lawan kadang berbuah gebrakan yang cemerlang—seperti misalnya ketika ia kemudian melakukan overlapping ke depan, menyusuri lapangan dengan solo-run, dan bahkan mencetak gol.

Tema biola untuk Beckenbauer, bagi saya, adalah permainan biola Baroque Reinhard Goebel yang meskipun kalem dan santai, tetap terdengar berdisiplin. Dan gaya historically-informed performance-nya menunjukkan bahwa ia benar-benar berwawasan. Semangat juang Goebel yang menakjubkan yang diperlihatkannya ketika ia mengalami kelumpuhan tangan kirinya, dan ia “memaksa” dirinya sendiri untuk beralih menjadi pemain biola “kidal,” mengingatkan saya kepada cerita tentang partai semifinal Piala Dunia 1970 ketika Jerman berhadapan dengan Italia dalam sebuah pertandingan yang disebut-sebut sebagai “the Game of the Century.” Kala itu tulang-kerah (clavicle) bahu Beckenbauer retak setelah diganjal keras. Namun ia tetap bertahan di lapangan. Kubu Jerman tak lagi bisa memasukkan pemain pengganti karena telah melakukan dua penggantian sebelumnya. Beckenbauer pun berjibaku—dengan sling yang mengikat dan menahan lengannya yang nyaris lepas itu. Ia bekerja mati-matian, dan di bawah “komando”-nya di lapangan, tim Jerman memaksa tim Italia harus menempuh perpanjangan waktu, meskipun akhirnya Italia dapat menundukkan Jerman 4-3.

Roberto Baggio—bagi saya dia adalah seorang pertapa Zen dalam sepak bola. Ada sesuatu yang mistis dalam performanya di lapangan hijau ketika ia berada di masa-masa keemasannya—seperti mistisisme yang saya rasakan dalam getaran-getaran nada Sonata Biola No. 10 karya Ludwig von Beethoven yang dimainkan oleh, misalnya, Friedrich “Fritz” Kreisler. Tenang, dan misterius. Trillo dalam karya Sonata Biola terindah dari Beethoven ini selalu terngiang ketika saya melihat video rekaman Baggio di mana Baggio secara tiba-tiba, juga “misterius”—seolah-olah menyembul dari keheningan yang meledak—bergerak dengan tenang dari lini kedua. Allegro moderato Beethoven dalam gesekan biola Kreisler pun mengalun; Baggio menyambut bola, kemudian dengan tenang ia melakukan dribbling serta satu, atau paling banter, dua wall-pass dengan rekan-rekannya, sambil menyelusup makin dalam ke jantung pertahanan lawan. Lalu ia mengelabui—masih dengan tenang—stopper dan libero lawan yang datang menghadang. Kemudian ia menaklukkan bek lawan yang terpaksa harus pontang-panting dan gelagapan; Baggio tetap tenang. Berikutnya, Baggio berhadap-hadapan dengan penjaga gawang; untuk kesekian kalinya, Baggio tetap tenang. Dan ketika penonton berharap Baggio menendang bola ke arah gawang, Baggio malah “memeluk” bola rapat-rapat dengan dribbling-nya, mengelak dari si penjaga gawang seperti seorang master Aikido, dan menggiring bola jauh, dan jauh lagi, seakan-akan ia akan membawanya terbang ke Nirwana—semua itu lagi-lagi ia lakukan dengan tenang …. Di garis putih akhir, barulah Baggio melesakkan tendangannya—dan bola pun meluncur menyusuri rumput, melesat, mendesing, sebelum akhirnya tipis melampaui garis gawang, dan bersarang tepat di belakang tiang jauh. Poco allegretto Beethoven dalam ketegasan ekspresi Kreisler membahana. Molto sereno, ma proprio intenso.

Sementara Stéphane Grappelli-nya sepak bola barangkali adalah Senhor Edison “Edson” Arantes do Nascimento, atau Pelé. Seperti halnya bagi Grappelli, bagi Pelé improvisasi mungkin adalah segalanya. Tak peduli yang dimainkannya itu adalah sebuah sonata atau sebuah concerto, Grappelli selalu menginterpretasikannya dengan caranya sendiri. Demikian pula bagi Pelé; ia bisa demikian kreatif dengan olah bolanya sendiri tanpa kehilangan harmoni dalam situasi permainan tim. Bola bagi Pelé adalah seperti halnya biola bagi Grappelli—menyatu dengan setiap desah nafas yang menghidupi ruhnya dan setiap tetes darah yang mengalir di tubuhnya. Tema biola untuk keindahan “akrobat” bola Pelé bagi saya adalah kolaborasi Grappelli dengan pianis Michel Petrucciani untuk sebuah nomor jazz standar “Flamingo.” Kombinasi antara beat-beat irama swing dengan aksen-aksen montuno yang “berjingkat-jingkat” dalam lagu ini mengingatkan saya kepada gerakan casual dari seekor flamingo—juga kepada gaya walking-football-nya Pelé.

Pesona para pemain sepak bola seakan-akan tak ada habisnya. Daftar pun bisa semakin panjang. Kita bisa mencatat juga, misalnya, tendangan-tendangan bola mati jarak jauh dari Luis Figo, dan lebih teristimewa lagi, David Beckham, yang meninggalkan jejak-jejak “balistik” yang ajaib—jejak dari lintasan bola yang melengkung, berputar, bergirasi, seperti nada-nada panjang dalam Sonata Biola L.140 dalam G- karya Achille-Claude Debussy, yang sarat oleh legato ekstrem dan hemiola. Juga seperti halnya Intermède dalam Sonata Biola karya Debussy itu, di mana permainan scherzando yang lepas dalam intensitas nada-nada kromatik yang “expressif et sans rigueur” berakhir dengan luapan nada-nada yang berakhir tiba-tiba, kinematika bola yang rumit tapi indah dari Figo atau Beckham itu terjadi dalam letupan energi yang tiba-tiba, dan berakhir juga secara tiba-tiba, sehingga kita kadang dibuat terpana—butuh waktu sejenak untuk menyadari sepenuhnya apa yang terjadi.

Tapi kemudian tidak butuh waktu terlalu lama bagi seseorang yang telah jatuh cinta kepada sepak bola, untuk memuja sepak bola seperti halnya Oliver Wendell Holmes, Sr. memuja biola, seperti yang “dilantunkannya” dalam bukunya, The Autocrat of the Breakfast Table, dengan gaya yang nyerempet-nyerempet gaya “Her Side of the Story” dalam anekdot di bagian awal tulisan ini—seperti dalam petikan berikut ini:

Violins, too. The sweet old Amati! the divine Stradivari! played on by ancient maestros until the bow hand lost its power, and the flying fingers stiffened. Bequeathed to the passionate young enthusiast, who made it whisper his hidden love, and cry his inarticulate longings, and scream his untold agonies, and wail his monotonous despair. Passed from his dying hand to the cold virtuoso, who let it slumber in its case for a generation, till, when his hoard was broken up, it came forth once more, and rode the stormy symphonies of royal orchestras, beneath the rushing bow of their lord and leader. Into lonely prisons with improvident artists; into convents from which arose, day and night, the holy hymns with which its tones were blended; and back again to orgies, in which it learned to howl and laugh as if a legion of devils were shut up in it; then, again, to the gentle dilettante, who calmed it down with easy melodies until it answered him softly as in the days of the old maestros; and so given into our hands, its pores all full of music, stained like the meerschaum through and through with the concentrated hue and sweetness of all the harmonies which have kindled and faded on its strings.

Analogi dan paralelisme bola dengan biola ini barangkali membuat sepak bola menjadi terkesan gemulai dan feminin. Sebagian orang mungkin akan merasa jengah dengan kata-kata rumit segambreng dalam upaya penjelasan yang mungkin akan dianggap menjelas-jelaskan sesuatu yang sederhana dan telah jelas—dan yang mungkin akan dianggap mirip dengan setumpuk fashion items hasil belanja seorang lady shopaholic yang baru ketiban pulung. Tapi bagi saya, itu tidak menjadi masalah. Jika memang sepak bola itu harus dianggap sebagai olah raga kaum laki-laki, maka toh laki-laki sendiri selalu mempunyai sisi feminin. Konon, secara genetis perempuan akan selalu menjadi perempuan, karena hanya memiliki satu jenis kromosom: kromosom-x. Sedangkan dalam tubuh seorang laki-laki, kromosom kelaki-lakiannya—kromosom-y—hanyalah separuh dari total materi genetis yang membangun cetak biru gendernya; separuhnya lagi, ya kromosom-x.

Bukan itu yang merisaukan saya. Satu hal yang bagi saya terasa mengganggu adalah anggapan yang memandang bahwa keindahan sepak bola harus selalu diartikan sebagai keindahan sepak bola menyerang. Itu kiranya yang membuat gaya sepak bola bertahan seperti catenaccio-nya tim Azzurri Italia diberi label “sepak bola negatif.” Menyerang untuk menciptakan gol memang adalah tujuan pertandingan sepak bola. Kemenangan akan menjadi mustahil bagi sebuah tim sepak bola yang bertanding bila tim itu hanya bergerombol di daerah pertahanannya sendiri. Bahkan salah satu adagium sepak bola yang juga menjadi adagium universal situasi persaingan, dan yang sudah menjadi pepatah klasik, yaitu bahwa “pertahanan terbaik adalah dengan menyerang,” sepertinya telah diyakini secara umum kebenarannya. Tetapi adalah keyakinan umum juga bahwa kemenangan pun akan menjadi rapuh bila sebuah tim sepak bola yang bertanding larut dalam keasyikan melakukan penyerangan, sementara pertahanan dibiarkan kacau dan goyah.

Dan seperti banyak hal dalam kehidupan, keindahan sesuatu tidak hanya terdapat dalam produk yang dihasilkan atau situasi final yang tersaji matang, tetapi juga terutama terletak dalam proses pembentukan produk atau penciptaan situasi itu dari peluang-peluang mentah. Bagi saya, dalam sebuah pertandingan sepak bola yang saya tonton, sebuah upaya penciptaan gol dari serangan balik yang spontan namun tertata rapi dari situasi bertahan, bahkan bila itu tidak membuahkan gol karena pihak lawan berdisiplin dan sigap dalam mengantisipasinya—dengan zone-marking yang cerdas dan man-marking yang ketat dari para pemain bertahannya—jauh lebih indah daripada gol yang tercipta karena para pemain belakang lengah dalam menjaga daerah atau pemain lawan, misalnya, atau karena clearence seorang stopper yang tidak bersih, karena bek yang telat turun setelah melakukan overlapping, atau karena penjaga gawang mengambil posisi yang salah dalam mengantisipasi pergerakan penyerang lawan, atau melakukan blunder dengan secara gegabah maju menjemput bola padahal sang libero masih dapat mengawal pergerakan penyerang lawan serta hendak memotongnya dengan melakukan back-pass.

Dan bagi saya, kepiawaian Paolo Maldini dalam melakukan tackling yang halus dan bersih ketika A. C. Milan berada dalam posisi bertahan, misalnya, yang kerap ditunjukkannya bahkan ketika penyerang lawan tengah menyisir lapangan nyaris di tepian garis samping, sementara dengan akurasi dan presisi gerakan serta timing yang sangat tepat Maldini meluncur menyodorkan kakinya persis ke arah bola, dan ajaibnya bola itu kemudian lekat menempel di kakinya, lalu dengan sigap Maldini bangkit untuk menguasai bola sepenuhnya, adalah sebuah pertunjukan keahlian yang tidak kalah indah dibandingkan dengan atraksi gocekan bola Raúl atau Ronaldo, misalnya, ketika menghindari tackling pemain lawan pada saat Real Madrid C. F. berada dalam posisi menyerang.

Di ajang putaran final Piala Dunia 1994 yang diselenggarakan di Amerika Serikat, 24 tim sepak bola dari 24 negara berlaga. Selama sebulan penuh perhelatan itu digelar, jumlah total penonton yang hadir di stadion-stadion waktu itu mencapai angka 3,6 juga jiwa—sebuah rekor yang bahkan sampai saat ini pun masih bertahan. Namun ketika itu orang-orang Amerika sendiri banyak yang tetap tidak begitu antusias. Para penggemar olah raga Amerika, yang rata-rata adalah fans fanatik baseball, bola basket, hockey es, atau American football, berkongko-kongko di kafe-kafe atau bar-bar sambil “mengintip” keriuhan yang bagi masyarakat dunia barangkali adalah keriuhan sebuah hajatan olah raga terbesar. FIFA saat itu baru saja membuat beberapa kebijakan baru, seperti misalnya perubahan peraturan mengenai offside, yang lebih berpihak kepada tim yang menerapkan permainan memenyerang, yang kemungkinan akan mendorong lebih banyak terciptanya gol, sehingga diharapkan publik Amerika akan menjadi lebih tertarik kepada sepak bola. Namun tetap saja banyak dari orang-orang Amerika itu yang menganggap sepak bola sebagai permainan yang “lucu.” “Republik Irlandia versus Norwegia: 0-0,” kata seorang dari mereka dengan senyum geli sambil melirik ke layar televisi. “Kenapa para pemain itu tidak diperbolehkan menggunakan tangan mereka saja?“ katanya lagi.

Mungkin bagi mereka, pertandingan olah raga baru disebut “seru” bila dalam pertandingan itu ada banyak, sebanyak-banyaknya, skor yang dihasilkan. Untuk itu, pelarangan penggunaan tangan dalam sepak bola mungkin menjadi “aneh” bagi mereka. Maka dalam filem Escape to Victory, misalnya, yang bercerita tentang tim sepak bola yang terdiri dari para tawanan Perang Dunia II, yang di dalamnya turut bermain juga bintang-bintang sepak bola terkenal seperti Pelé, Osvaldo Ardiles, dan Bobby Moore, pemeran utama filem ini, bintang Amerika, Sylvester Stallone, berperan sebagai seorang penjaga gawang—satu-satunya pemain dalam sebuah tim sepak bola yang diperkenankan bermain menggunakan tangannya pada saat bola dalam keadaan “hidup.”

Menyerang, menyerang, dan menyerang. Dan mencetak skor sebanyak-banyaknya. Rupanya itu yang lebih menarik bagi orang-orang Amerika. Meskipun begitu, bahkan bagi para penggemar sepak bola yang bukan orang Amerika pun, di era sepak bola mutakhir saat ini, sepertinya tipe permainan seperti itu lebih disukai.

Harus saya akui, biasanya bagi saya juga seperti itu. Tapi buat saya, sepak bola yang atraktif tidak harus selalu demikian. Salah satu pertandingan favorit saya sepanjang masa adalah partai semifinal Piala Eropa tahun 2000, yang mempertemukan Italia dengan Belanda dalam sebuah laga yang penuh drama. Seolah menentang “the spirit of the era,” tim Azzurri tampak tegar dan garang sejak “Tre Colore” berkibar dan “Il Canto degli Italiani” berkumandang—dan siap bukan untuk unjuk seni permainan cantik berseri dalam sepak bola menyerang, tapi untuk pertarungan adu otot dan urat syaraf dalam sepak bola bertahan. Dino Zoff, pelatih tim Italia di tahun 2000 itu, menjadi simbol kembalinya catenaccio, yang mencapai puncak kejayaannya di tahun 1982 ketika Italia menjadi Juara Dunia, dan Zoff—yang saat itu bertindak sebagai penjaga gawang sekaligus kapten kesebelasan—tampil bak Hector di depan gerbang kota saat lima puluh ribu pasukan Yunani yang datang dengan seribu kapal merapat di pantai Troy. Hanya saja, kali ini sang Hector bukan berada di depan benteng Troy, tetapi di sarang “Singa Oranye” yang kini menjadi lawan yang harus dihadapinya.

Saat itu Fabio Cannavaro sedang ganas-ganasnya. Ia tampil seperti seekor srigala abu-abu dari Parma. Matanya yang jeli, gerakannya yang tangkas namun hemat, nyalinya yang menyala-nyala dengan keberanian yang membara dan mental sekeras baja, dan lompatannya yang lepas tinggi menjulang—ketika menghadang dan menghentikan pergerakan lawan—kerap membuat Dennis Bergkamp, Patrick Kluivert, dan kawan-kawan, limbung, mati langkah, terpental, dan tak berkutik. Alessandro Nesta yang terampil, cerdas, luwes, namun tetap taktis dan lugas, berdiri sebagai jangkar pertahanan tim Italia. Sementara para pemain belakang dan gelandang bertahan Italia lainnya—Ciro Ferrara, Paolo Maldini, Gianluca Pessotto, Gianluca Zambrotta—seolah berbicara kepada para penyerang tim asuhan Frank Rijkaard itu dengan kata-kata tokoh Dirty Harry yang diperankan Clint Eastwood dalam sebuah filemnya, “Go ahead. Make my day.” Bahkan Francesco Totti dan kemudian Alessandro del Piero yang menggantikannya pun sering turun untuk mengentalkan kegarangan benteng pertahanan tim Italia. Mereka mengundang tim Oranye untuk masuk ke daerah pertahanan mereka, bahkan mereka membiarkan wilayahnya dikurung dan digempur, seolah tak peduli bahaya. Lalu setiap kali pasukan Londo itu berada di wilayah pertahanan mereka, mereka akan melumat dan mematahkannya—secara taktis, biasanya; dengan kontak fisik yang keras, kadang-kadang; bahkan dengan aksi jegal yang bengis, kalau perlu. Negatif? Terserah. Tapi dengan permohonan maaf kepada para penggemar sepak bola dari kalangan perempuan (sebagian di antaranya barangkali penganut berat feminisme?), “Ini adalah permainan laki-laki, Bung!”

Berisiko, memang. Di menit ke-34, tim Azzurri harus kehilangan Zambrotta yang didepak ke luar lapangan oleh wasit asal Spanyol, José Garcia Aranda, dengan akumulasi dua kartu kuning. Kemudian tim Italia harus dihukum tendangan penalti karena Nesta menarik lengan Kluivert untuk menghentikan lajunya. Tapi sial bagi tim Belanda, tendangan Frank De Boer kandas dalam halauan penjaga gawang tim Italia, Francesco Toldo. Bertanding dengan sepuluh pemain, tak menyurutkan semangat tim Azzurri. Bahkan mereka menjadi semakin kokoh dan “liar.” Ketika dua kali lima belas menit masa perpanjangan waktu yang menegangkan (antara lain karena diterapkannya aturan “the golden goal”) berakhir, mereka keluar dari tekanan situasi layaknya prajurit-prajurit Giuseppe Garibaldi yang berbaris kembali memasuki Roma dengan semangat yang berkobar-kobar meskipun didera haus dan lapar. Bergandengan lengan, bahu-membahu, mereka menyaksikan dengan tegar tendangan demi tendangan dalam adu penalti yang menguji mental dan menguras energi emosi. Kekuatan catenaccio tegas dan tajam mengguncang ketika Toldo berhasil memblok tendangan Paul Bosvelt—tre-uno a favore d’Italia.

Sekali lagi, bagi saya, (dan kembali dengan permohonan maaf saya kepada para penggemar sepak bola dari kalangan perempuan,) permainan tim Italia kala itu menegaskan bahwa sepak bola adalah permainan yang macho, manly, laki-laki. Namun demikian, kalau harus dituntut juga dikemukakannya versi “His Side of the Story” untuk mendeskripsikan sepak bola, kata-kata dari William “Bill” Shankly, tokoh sepak bola asal Skotlandia yang pernah menjabat sebagai pelatih tim Liverpool F. C. selama lima belas tahun di era 1950-an itu—yang petikannya tercantum di awal tulisan ini—rasanya lebih jitu menusuk. Saya kutipkan lagi berikut ini:

Some people think football is a matter of life and death …. I can assure them it is much more serious than that.

Dan bagi saya itu ada benarnya. Bahwa sesungguhnya, baik apabila kita menganggap hidup itu sebuah tanggung jawab yang serius dan kematian itu sebuah akhir yang menghendaki pertanggungjawaban yang juga serius, maupun apabila kita memandang hidup itu sebagai kesempatan bermain dan kematian itu sebuah trik chaos dari hujan peluang dalam sebuah permainan, hidup dan mati adalah hidup dan mati—dua fakta yang given. Karena takdir Tuhan tidak bisa dilawan. Yang lebih serius dari hidup dan mati adalah bagaimana kita menyikapi kedua fakta itu. Menurut hemat saya, itulah yang membedakan kita sebagai manusia dengan koloni bakteri dalam sebuah sediaan penelitian di laboratorium, atau sekelompok pohon asem di belakang rumah Ki Dadap atau Ki Waru. (Mereka semua itu juga hidup dan mati, toh?) Dan sepak bola banyak mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi hidup dengan gaya dari modus keberadaan kita sebagai makhluk Tuhan yang unik. Sepak bola adalah salah satu hadiah terindah dari kemanusiaan yang membuat kita menjadi manusia yang memang manusia.

Adalah sisi kemanusiaan kita yang tersentuh ketika, misalnya, kita menyaksikan betapa ujung tombak Manchester United F. C., Wayne Rooney, melakukan tendangan salto yang indah untuk mencetak gol ke gawang Manchester City F. C. baru-baru ini. Kekaguman kita yang tulus kepada talenta dan kerja kerasnya—menarik, mendorong, melempar, menekuk, dan membesut tubuhnya sendiri yang agak gempal itu ke dalam gerak dan posisi yang seolah menentang baik hukum gravitasi maupun metabolisme tubuh—pada dasarnya adalah pengakuan terhadap keterbatasan kita sebagai manusia: Kita sadar bahwa kita sangat sulit atau malah barangkali mustahil bisa bergerak seperti itu. Dan juga adalah sisi kemanusaan kita yang tersentuh ketika, misalnya, kita menyimak gol demi gol Lionel Messi di akhir tahun lalu, yang tak jarang memperlihatkan aksi-aksi yang brilian—di beberapa pertandingan ia malah membukukan hat-trick—padahal sebelumnya Messi sempat didera cedera ankle yang parah setelah diganjal dengan “brutal” (meskipun tentu bukan merupkan kesengajaan) oleh pemain belakang Club Atlético de Madrid, S.A.D., Tomáš Ujfaluši. Messi menyadarkan kita bahwa seorang manusia ternyata bisa membuat keajaiban, dan bahwa pencapaian prestasi itu nilainya jauh lebih tinggi ketimbang pemujaan terhadap dendam. Demikian juga halnya ketika kita, misalnya, menyaksikan bagaimana Cristiano Ronaldo memberikan assist kepada Kaká untuk mempersembahkan gol pertamanya di La Liga setelah kembali merumput dari cedera—padahal Ronaldo tengah panas-panasnya menjadi mesin gol bagi Real Madrid C. F. Sisi kemanusiaan kita tersentuh karena kita menyadari bahwa manusia ternyata bisa mengesampingkan egonya untuk kepentingan bersama yang lebih besar, dan bahwa adalah suatu hal yang indah mendukung dan meneguhkan orang lain itu dalam sebuah persahabatan.

Dan adalah rasa persahabatan dalam sepak bola juga yang kerap memunculkan paradoks-paradoks yang aneh tapi cantik. Seraya mempertegas batas-batas kekamian dan kemerekaan dalam ikatan-ikatan yang dibentuk oleh dukungan terhadap sebuah tim sepak bola, batas-batas lain sering kali malah pudar dan pupus. Penduduk kota Milan di Italia menaruh hormat yang mendalam kepada trio asal Belanda—Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard—karena mereka bertiga menyumbangkan jasa yang sangat besar bagi kejayaan A. C. Milan di tahun 1990-an. Penduduk kota Firenze, masih di Italia, malah mendirikan patung Gabriel Omar Batistuta, yang asal Argentina, sebagai wujud rasa terima kasih mereka kepada Batistuta, karena sang Batigol sempat membawa ACF Fiorentina ke posisi bergengsi tinggi pada masanya di pertengahan tahun 1990-an. Kemudian, orang-orang Catalan, penduduk Barcelona, Spanyol, begitu mencintai Johan Cruyff, maestro total football Belanda, sampai-sampai Cruyff sepertinya enggan pulang ke negeri Kincir Angin tempat kelahirannya itu. Tentu wajar bila Spanyol berterima kasih kepada Cruyff, karena Cruyff-lah yang boleh dikatakan master-mind di balik kesuksesan tim Spanyol meraih tempat sebagai Juara Dunia di ajang Piala Dunia 2010 lalu. Kerangka tim nasional Spanyol adalah kerangka FC Barcelona, yang basis-basis konstruksinya, dengan gaya permainan yang dikenal dengan sebutan “tiki-taka,” diletakkan secara saksama oleh Cruyff.

Hal ini juga mengingatkan kita akan betapa pentingnya peran seorang pelatih dalam sebuah tim sepak bola. Kalau Senhor José Mourinho, misalnya, dianggap arogan karena menjuluki dirinya sendiri sebagai “the Special One,” maka itu adalah hak siapa pun untuk menilai. Demikian juga, misalnya, bila ada orang yang menganggap Sir Alex Ferguson itu otoriter, atau Don Fabio Capello itu terlalu percaya diri, atau Meneer Guus Hiddink itu keras kepala. Tapi siapa pun rasanya akan sulit untuk tidak merasa terpukau dalam kekaguman bila menyimak cerita tentang ketika seorang pelatih—yang visioner, cerdas, peduli, empatis, egaliter tapi tetap berwibawa, tegas, mampu “membakar” motivasi anak-anak asuhannya, dan juga tegar, tak retak baik oleh tekanan publik maupun oleh tekanan situasi kompetisi atau turnamen yang bertensi tinggi—datang kepada tim yang moralnya porak-poranda karena kekalahan yang terus-menerus menghantam, lalu dengan ulet ia membenahinya, detail kecil demi detail kecil, sampai akhirnya tim itu menjadi besar dan disegani. Selalu ada pelajaran kepemimpinan dan manajemen yang kaya dari sepak bola.

Sebaliknya, absennya kepemimpinan dan manajemen justru adalah sebuah keajaiban sepak bola bila kita melihat sepak bola dari sisi yang lain: para suporter. Di kalangan para suporter—setidaknya ketika berada di stadion dan sama-sama menyaksikan pertandingan—barangkali tidak akan pernah ada yang benar-benar merupakan primus inter pares, karena setiap orang adalah primus dan semua orang adalah pares. Yang ada hanyalah ikatan emosional yang intens. Ketika nyaris tanpa komando para suporter Liverpool F. C. bergandengan tangan di Spion Kop di Anfield sambil menyanyikan “You’ll Never Walk Alone,” mereka mengajarkan kepada kita arti solidaritas dan kesetiaan. Dan ekspresi yang sarat emosi itu menggugah serta menular. Bahkan Roger Waters—pemain bas dan vokalis Pink Floyd—yang adalah seorang pendukung Arsenal F. C. pun, sempat membuat komposisi lagu yang didedikasikan khusus untuk mereka. “Fearless”—demikian judul komposisi itu, yang merupakan istilah para pendukung The Reds untuk kata “awesome.”

Dalam sepak bola, sesuatu yang “fearless” memang bisa menjadi “awesome,” dan sesuatu yang “awesome” hanya dapat diraih dengan sikap yang “fearless,” karena momentum tidak pernah terulang. Ini juga mengajarkan kepada kita tentang kesementaraan. Dalam pertandingan sepak bola, setiap saat pada dasarnya adalah titik it’s-now-or-never serta to-be-or-not-to-be. Hanya bagi mereka yang tak gentar menghadapi risikolah, peluang itu akan datang, dan hanya mereka yang berani mengeksekusi peluang yang datang itulah, yang mampu mengubah kesementaraan menjadi keabadian. Keabadian karya, tentu, bukan keabadian diri. Karena, untuk keabadianlah karya itu dicatat, tapi karena kesementaraan dirilah, kita seharusnya melakukan sesuatu yang layak untuk dicatat. Dan sementara apa-apa yang indah bersemayam di keabadian, kesementaraanlah yang membuat semuanya menjadi indah.

Sepak bola adalah salah satu hal yang membuat kita tersentak oleh kesadaran akan keindahan-dalam-kesementaraan itu, dan juga akan kekayaan hidup. Kita menjadi lebih peka akan kehalusan nuansa hidup ketika memandang orang lain, dan juga diri kita sendiri. Permaianan sepak bola—apa yang “tidak penting” itu, akhirnya membuat kita merasakan apa yang dirasakan penting oleh orang lain, dan kemudian kita sadari juga, kita rasakan penting bagi diri kita sendiri. Dalam prosesnya, kita kemudian bisa larut dalam keriangan perayaannya, ataupun dalam kepiluan dramanya. Dan kita menghayati semua itu dengan segenap naluri, akal, dan rasa.

Di antara lafal-lafalnya yang sengau, orang Perancis punya setelau frase kemilau untuk ungkapkan kondisi terpantau—dalam pukau ataupun galau. Ketika merasakan keajaiban sepak bola, dengan serta-merta mereka akan berkata, “Oh là là ….”