Merah Biru Kaftan, Rok Mini, dan Jambul Syahrini

Efek-Kupu-kupu Syahrini

Di balairung dunia,
tangkai rumput yang sederhana itu
duduk sepermadani
dengan sinar matahari dan bintang-bintang tengah malam.
—Rabindranath Tagore

Antara “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” barangkali tidak harus selalu ada benang merah. Tidak juga benang biru.

Meskipun begitu, dalam satu kasus, benang merah dan benang biru bisa ditenun menjadi sehelai kain; kemudian, kain yang dihasilkannya itu dijahit. Menjadi kaftan. Dalam gaun itu Syahrini melenggang di satu pentas. Dia tampil untuk membawakan lagu hit religinya, “Ya Robbi,” untuk intermède sebuah acara dakwah.

“Alhamdulillah yah,” komentar Syahrini selepas pentas, untuk menjawab pujian para pewarta infotainment. Dengan gaya yang “setengah spiritual, setengah sensual.”

Sedangkan dalam kasus lain, dari pentas tadi Syahrini lompat bergegas ke pentas berikutnya. Benang merah dan benang biru pada kesempatan ini dijalin menjadi seuntai jumbai-jumbai. Untuk rok mini. Syahrini mengenakan rok mininya itu ketika tampil untuk membawakan lagu hitnya yang lain, “Pusing Setengah Mati.” Dan dia mempersembahkan penampilannya itu sebagai performance gist untuk acara peluncuran sebuah produk komersial.

“Sesuatu banget,” jawab pasti Syahrini, ketika ditanya oleh para pewarta infotainment apa komentarnya untuk sambutan para penonton yang antusias. Kali ini dengan gaya yang “sepersepuluh intelektual, sembilan persepuluh sensual.”

Kedua kasus di atas itu hipotetis, tentu saja, meski semua orang tahu kalau kata-kata “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” itu genuine dan faktual kata-katanya Syahrini. Seenerjik-enerjiknya Syahrini, terdengar agak melebih-lebihkan juga bila diandaikan Syahrini benar-benar lompat bergegas dari satu pentas ke pentas lain; lepas kaftan, pasang rok mini; secara drastis menekuk cengkok Melayu-Arab yang meratap-menghiba menjadi House-R&B yang mendentam-mendesah; lalu ber-“alhamdulillah yah” dan -“sesuatu banget.” Kalau demikian halnya yang terjadi, kita dapat membayangkan: Barangkali Syahrini akan tiba-tiba pingsan.

Sementara itu, barangkali tidak semua orang akan setuju bila Syahrini selalu dikaitkan dengan kaftan atau rok mini. Khususnya, dengan kaftan yang berkombinasi-warna merah-biru. Karena mungkin yang lebih pas adalah warna hitam-putih dalam corak-bercak kulit macan tutul. Atau juga khususnya dengan rok mini yang berhiaskan jumbai-jumbai warna merah-biru. Karena, mungkin, bila dipasangkan pada rok-mini warna putih yang dikenakan oleh Syahrini, jumbai-jumbai itu tidak akan mengesankan pertautan dengan gaun pengantin Kate Middleton (Princess Catherine, the Duchess of Cambridge). Tetapi malah akan lebih mengisyaratkan tema warna bendera Amerika.

Bahkan, barangkali lebih restriktif lagi, tidak semua orang akan setuju bila Syahrini selalu dikaitkan dengan kaftan atau rok mini sama sekali. Karena mungkin yang lebih lekat dengan sosok Syahrini adalah gaun Puteri Duyung.

Akan tetapi tulisan ini bukanlah tulisan tentang Puteri Duyung. Juga bukan tentang bendera Amerika atau macan tutul. Ini adalah tulisan tentang benang merah dan benang biru (di samping tentang Syahrini, tentu saja). —Atau…. Okelah, barangkali ini adalah tulisan tentang Puteri Duyung dan macan tutul juga, meskipun tetap bukan tulisan tentang bendera Amerika. Atau mungkin nyerempet-nyerempet bendera Amerika juga? … Entahlah. Yang pasti, untuk saat ini, bolehlah kita katakan dengan tandas bahwa ini adalah tulisan tentang benang merah dan benang biru.

Mengenai kata “benang merah,” rasanya tidak perlu ada penjelasan lagi. Idiom “benang merah” sudah beken dipahami sebagai metafor “standar” untuk menunjukkan keterkaitan tematik antarteks atau antarkonsep. Bahkan “Dalang” Parto pun menggunakannya sebagai “koridor hukum.” Dan ia tak segan menjadikannya sebagai justifikasi untuk menyambit Sule, Andre, Azis, atau Nunung, dengan gada styrofoam, bila ia menganggap “wayang-wayang”-nya tersebut melenceng dari “pakem sakral” Opera van Java itu dalam dalam setiap pementasannya. Dengan atau tanpa Syahrini sebagai bintang tamunya.

Akan halnya kata “benang biru,” sedikit penjelasan sepertinya perlu dikemukakan di sini. Kita pinjam saja, metafor “benang biru” ini, dari kata-kata almarhum Meggy Z dalam penggalan syair sebuah lagunya (atau, lebih tepatnya, kata-kata Fazal Dath via suara tenor dengan timbre quasi-parau yang keluar dari cangkem-nya Meggy Z): “Kalau hanya untuk mengejar laki-laki lain, buat apa, sih, benang biru kau sulam menjadi kelambu?”

Tebakan sekelebatan untuk makna dari kata “benang biru” dalam penggalan syair itu tentu saja adalah “cinta”—dalam pengertiannya yang paling threadbare sebagaimana yang secara intuitif kita pahami sebagai perasaan ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Namun demikian, barangkali kita bisa mengembangkan metafor “benang biru” ini lebih lanjut. Barangkali kita bisa menjadikannya sebagai semacam indikator untuk sesuatu yang substansial, elemental, atau komponensial, karena “benang biru” ini, seperti kata Meggy Z, dapat “kau sulam menjadi kelambu.” Dan pada gilirannya, “kelambu” dari “benang biru” inilah yang mendefinisikan eksistensi hubungan Meggy Z dengan si-“Kau”-nya.

Lalu, kembali ke fenomena Syahrini, adakah benang biru dalam kata-kata Syahrini, “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”? Dan adakah benang merah antara keduanya?

Kegandrungan orang akan dua ungkapan yang dipopulerkan oleh Syahrini itu, yang bahkan hampir-hampir selalu dibawa-bawa orang ke dalam setiap percakapan belakangan ini, menarik untuk disimak. Juga, barang sekadarnya, untuk ditelaah. “Alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget.” Dua frase buzz. Atau mungkin juga sekadar dua frase hype. Tetapi buzz atau hype, dua ungkapan yang dengan kenesnya meluncur dari bibir Syarini itu tetap mengandung “sihir.”

Memang, di tengah derasnya arus perputaran isu di media saat ini, dua frase itu bisa saja hanya akan menjadi phraseological fad yang tak terlalu lama juga akan berlalu. —Seperti juga halnya banyak catch-phrases lain (yang sempat populer lewat media) yang datang dan pergi. Kendati demikian, mar-ki-sa: mari kita sama-sama sadai-sadai sambil sabet sirup markisa, sembari menyigi elusidasi—betapapun dengan harpoon yang culunnya, “minta ampun!”—bagi “sensasi” Syahrini ini.

April 2011 lalu, keluarga Kerajaan Inggris menggelar upacara pernikahan pewaris tahta, Pangeran William, dengan Kate Middleton. Event ini, kita ingat saat itu, membangkitkan kegenitan dan kehebohan media yang luar biasa—boleh jadi di seluruh dunia. Media seakan-akan terserap sempurna ke dalam kemeriahan itu. Dengan lahapnya mereka memunguti setiap keping kecil informasi terkait, lalu memajangnya dengan tergopoh. Kemudian mereka tak henti-hentinya memutar “coverage carousel” itu dengan khusyuk dan takzim.

Dalam satu tayangan dari rangkaian liputan tersebut, seorang pemerhati fashion merangkum tampilan gaun pengantin yang dikenakan oleh Kate Middleton dengan kata-kata kunci, “something new, something blue, and something borrowed.”

Agaknya kata-kata kunci itu bisa juga kita gunakan untuk memberikan sedikit eksplikasi terhadap fenomena “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”-nya Syahrini. Bahwa dua ungkapan itu menjadi populer karena datang dari seorang Syahrini yang merupakan seorang sosok-khalayak, itu tentu saja sudah jelas. Tetapi bahwa hal tersebut menjadi fenomena, itu karena di situ memang ada “something new,” “sesuatu yang baru,” karena ada derajat orisinalitas dalam inovasi Syahrini itu. Akan tetapi, seperti lazimnya di setiap inovasi, di situ juga ada “something borrowed,” “sesuatu yang dipinjam”: yaitu, dalam hal ini, diktum teologis Islam, kalimah ţayyibah hamdalah, untuk ihwal “alhamdulillah yah,” dan idiom informal bahasa Inggris “quite something” atau “really something” untuk ihwal—pun yang diterjemahkan menjadi—“sesuatu banget.”

Yang rasanya perlu kita telisik adalah bahwa dalam dua ungkapan Syahrini itu, barangkali juga ada “something blue”: Bahwa dalam ungkapan “alhamddulillah yah” dan “sesuatu banget,” ada “benang biru” dalam pengertian seperti yang dikemukakan pada paragraf-paragraf di atas—yaitu, “semacam indikator untuk sesuatu yang substansial, elemental, atau komponensial.” Jadi, apa yang berlaku secara literal pada kasus Princess Catherine barangkali boleh kita duga berlaku secara metaforis untuk kasus “Princess” Syahrini.

Kita mulai dari ungkapan “sesuatu banget.” “Quite something” atau “really something” adalah salah satu idiom yang tampaknya mencerminkan tradisi empirisisme yang berakar kuat dalam kebudayaan Anglo-Saxon. (Contoh lain yang lebih tepat untuk itu adalah ungkapan “I see” yang berarti “I understand.”) Dalam bahasa Inggris, idiom informal “quite something” atau “really something” berarti “something impressive or notable.”

Dengan berfokus kepada versi Syahrini: Mau tak mau, actus mental-verbal meleburkan qualifier “mengesankan, menonjol, mengemuka, atau layak-catat” ke dalam ekspresi tunggal “sesuatu”—itu mempunyai konsekuensi filosofis yang cukup serius. Dan actus mental-verbal menambahkan modifier “banget” mempertegas hal itu. Bila “sesuatu yang mengesankan” menjadi “sesuatu”—saja—apalagi “banget”—maka akibatnya adalah, yang tidak memenuhi kualifikasi “mengesankan” akan menjadi “bukan sesuatu”—“tidak ada apa-apanya,” atau “bukan apa-apa”: yang imaterial menjadi yang noneksisten. Itu berarti bahwa yang lain selain “sesuatu yang mengesankan” bukan saja menjadi “tidak penting,” tetapi juga “ternafikan ke dalam ketiadaan.” Dan kini, setelah semuanya “tak ada lagi” selain “sesuatu yang mengesankan” itu, maka relasi atributif dari “yang mengesankan” dengan “sesuatu” menjadi korespondensi (dua arah): Hanya “yang mengesankan”-lah yang adalah “sesuatu,” dan hanya “sesuatu”-lah yang adalah “mengesankan.” Things menjadi identik dengan “being.” Benda-benda, atau yang dibendakan, menjadi identik dengan “ada.” Dengan kata lain, “sesuatu banget” adalah anggukan koroboratif yang, dengan hangat dan penuh gelora, mengiyakan materialisme.

Di sini, kata “materialisme” memang sebaiknya diartikan sebagaimana lazimnya kata ini diartikan dalam filsafat, yaitu kira-kira, pandangan yang menganggap bahwa materi fisis itu, kalau bukan satu-satunya kenyataan, maka setidaknya ia adalah kenyataan fundamental. Namun demikian, sepertinya akan menjadi lebih “jreng!” bila terhadapnya kita gunakan juga pengertian populer dari kata “materialisme” ini, yaitu kira-kira, sebuah kecenderungan untuk memandang bahwa nilai satu-satunya, atau tertinggi, atau objektif dalam kehidupan itu adalah kepemilikan materi atau kesejahteraan material. Oleh karena kedua pengertian itu sejatinya memiliki keterkaitan yang cukup erat, maka untuk kepentingan eksplorasi gagasan dan penafsiran, kita anggap sajalah, untuk selanjutnya dalam tulisan ini, kedua pengertian itu sebagai dua sisi dari satu mata-uang yang sama.

Jadi, barangkali kita bisa juga mengatakannya begini: “Sesuatu banget” adalah versi fraseologis-semiologis Syahrini untuk chorus lagu “Material Girl”-nya Madonna: “We are living in the material world, and I am a material girl.”

Dengan itu, kita kemudian dapat mengajukan beberapa pertanyaan mengenai “benang merah”: Bila “alhamdulillah yah” disematkan kepada “sesuatu banget,” maka bagaimana seharusnya kita memaknai hal ini? Apakah sebaiknya kita berpaling kepada Max Weber untuk berusaha membaca hal ini sebagai sebuah tengara tentang gejala pergeseran etika di dalam kehidupan kita di tengah hingar-bingar kapitalisme dewasa ini? Dapatkah kita katakan bahwa Syahrini di sini menjadi representasi untuk, katakanlah, sebuah arus—untuk meminjam isitlah-istilah Weber—rasionalisasi, intelektualisasi, dan kemudian “disenchantment of the world”? Mungkinkah kita simpulkan bahwa terdapat kesejajaran antara etika Islam dalam masyarakat Indonesia kontemporer dengan etika Protestan dalam masyarakat Jerman pada eranya Weber, di mana, seturut telaah Weber, “kesalehan akidah” dalam aspek keberagamaan masyarakat telah digeser atau dimaknai-ulang menjadi atau sebagai usaha-usaha ke arah penggapaian raihan ekonomik (economic gain)?

Akan tetapi tampaknya pemaknaan seperti itu terlalu berat untuk tulisan ini. Bang Haji Rhoma Irama mungkin akan langsung meresponnya dengan satu lagu hit klasik fenomenalnya, yang sejauh ini belum terkalahkan oleh fenomena Syahrini: “Judi! [—teeet].” Pertaruhannya memang lumayan jleb juga: Bila didukung oleh data dari studi yang berstandar kajian ilmiah, barangkali cara pembacaan seperti itu akan menjadikan paparan dalam tulisan ini sebagai sebuah risalah penting. Tapi bila tidak, tulisan ini akan menjadi lebih buruk dari pepesan kosong. (Pepesan kosong, sih, mending. Daun pisangnya bisa kita gunakan buat ngelap iler yang menetes ketika kita melongo menatap Syahrini.)

Jadi mungkin sebaiknya kita memilih metode pembacaan yang lebih modest. Dalam hal ini, Claude Lévi-Strauss bisa menjadi isprirasi. Lévi-Strauss mentransformasikan sistem-sistem kebudayaan menjadi teks, dan bahkan lebih jauh lagi, mengkodifikasikannya sehingga dapat dijabarkan secara matematis—bukan sesuatu yang bisa dibilang modest, memang. Yang dimaksudkan dengan “modest” di sini adalah bahwa barangkali kita bisa “mengekstraksi” fenomena Syahrini ini menjadi sebuah teks—namun demikian, secara terbatas, ad hoc, pro loco, pro tempore saja—untuk kemudian terhadap teks itu kita konstruksikan sebuah penafsiran. Misalnya, kita baca “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” ini sebagai “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme”—barangkali seperti halnya inskripsi diktum “In God We Trust” di atas uang kartal Dollar Amerika, atau “Dengan Rahmat Tuhan Yang Mahaesa” di atas uang kartal Rupiah kita.

Tetapi pernyataan “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme” itu pun bisa saja menjadi terlalu keras, karena kita belum mengelaborasi “benang biru” dari ungkapan “alhamdulillah yah.” Sebagian orang barangkali akan secara normatif-teologis beranggapan bahwa mutasi ungkapan khidmat “alhamdulillah” menjadi ungkapan kolokial “alhamdulillah yah” telah “mendegradasi” pernyataan sikap bersyukur yang transenden menjadi pertunjukan sikap puas yang imanen. Atau bahkan menjadi semacam self-complacency yang profan. Tendensinya, adalah ke arah “pamer”: bahwa si penutur (dalam hal ini Syahrini) pada dasarnya meminta pengakuan serta pengukuhan atas—misalnya—kebaikannya, kecantikannya, keberhasilan daya-upayanya, atau pencapaian yang telah diraihnya.

Anggapan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya salah, karena jelas terdapat perbedaan antara ungkapan “alhamdulillah” dengan “alhamdulillah yah”—khususnya bila ungkapan terakhir itu diucapkan dengan intonasi ala Syahrini. Tidak sepenuhnya benar, karena bahkan dalam apa yang barangkali terbaca sebagai sikap “self-complacency” itu, pada dasarnya terdapat sikap bersyukur juga, meskipun barangkali dengan intensitas keberagamaan yang berbeda.

Kalimat bahasa Arab “alhamdulillah,” “al-ħamd li-‘llāh,” tentu saja kita tahu, adalah sebuah teks teologis (Islam). Maka urusan hermeneutika internal teksnya kita serahkan sajalah kepada beliau-beliau para mufasir dari kalangan alim-ulama. Di sini kita hanya akan membahas perihal pengekspresian ungkapan “alhamdulillah” serta “alhamdulillah yah” sebagai kejadian komunikasi dalam konteks budaya tutur. Edisi ngehe yang sok filosofis dari perumusannya adalah seperti berikut ini:

Ungkapan “alhamdulillah” beroperasi di ranah totalitas hidup. Di sini kita mem-persepsikan hidup sebagai realitas keberadaan-di-dunia yang dipenuhi oleh tak berhingga banyaknya variabel acak yang—seturut definisi atau sifat dasarnya—tak dapat diprediksi. Terhadap realitas ini, ada dua standpoint yang didukung oleh dua kubu. (Kebanyakan kita berada di satu titik di antara keduanya.)

Kubu pertama, yang barangkali dapat kita atribusikan kepada para motivator, adalah mereka yang memandang hidup sebagai semacam sistem kendali stokastik. Dalam pandangan ini, kita mempunyai kuasa yang cukup memadai: ada banyak parameter yang dapat kita pahami dan definisikan, ada logika yang cukup koheren, dan ada ruang variabel-kendali yang cukup lega. Galat, yang merupakan selisih antara rencana-rencana serta upaya-upaya, dengan kenyataan yang terjadi yang mengandung ketidakpastian, terdistribusi secara merata di seluas dimensi sejarah.

Kubu kedua, yang barangkali dapat kita atribusikan kepada para “pujangga kelam,” adalah mereka yang memandang hidup sebagai pertemuan yang terus-menerus terbarukan antara penghayatan sejarah dengan keacakan dunia yang selalu menuntut pemahaman ulang—pertemuan yang terus menerus melahirkan pengalaman yang unik, tak tergeneralisasikan. Di sini tidak ada sistem, tidak ada logika yang koheren, dan kendali hanya dapat diterapkan secara refleksif kepada diri, tetapi tidak kepada dunia. Hidup di dunia, pada prinsipnya dalam pandangan ini, adalah sebuah misteri.

Kendati berbeda, kedua kubu di atas, kita lihat, dipersamakan oleh satu hal: pengakuan akan adanya ketidakpastian. Keberagamaan, kemudian, adalah satu hal lagi yang mempersamakan kedua kubu itu. Di hadapan ketidakpastian, ketika “semua baik-baik saja,” ketika “kenyataan sesuai dengan harapan,” ketika kita merasa “beroleh anugerah,” kita, dalam hal ini orang yang beragama, membuat “lompatan teologis” dengan berucap, “alhamdulillah,” seraya memandang, menalar, serta merasakan—dengan takjub, setakjub-takjubnya—bahwa “against all odds,” hidup di dunia, “sampai titik ini,” memberikan hal-hal yang meneguhkan eksistensi kita. Dan kita meyakini, karunia Tuhan berada di balik itu. Karenanya, kita memanjatkan puji kepada-Nya.

Terstrukturkan dalam paradigma yang berbeda, ungkapan “alhamdulillah yah”-nya Syahrini beroperasi tidak di ranah totalitas hidup, tetapi hanya di ranah “episode-episode hidup.” Ranah ini adalah ranah di mana ruang hidup didefinisikan sebagai subhimpunan dari dunia: event-event dalam perjalanan karir; peristiwa-peristiwa dalam satu atau lain aspek dari kehidupan pribadi, seperti acara wisuda, rencana pertunangan, atau pertemuan keluarga; atau negosiasi-negosiasi serta transaksi-transaksi dalam bisnis.

Di sini, “sistem-sistem kehidupan” telah diisolasi dari segala variabel acak dari misteri dunia, dan telah disegementasikan ke dalam entitas-entitas yang manageable. Jadi, sistem-sistem ini pada pokoknya adalah deterministik. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa apa yang terjadi selalu dapat diprediksi. Maka persisnya, sistem-sistem ini adalah apa yang barangkali dapat kita pandang sebagai chaos atau deterministic chaos. (Bukan “chaos” dalam makna leksikal umum yang berarti “kekacauan” atau “ketakteraturan,” tetapi “chaos” sebagai sistem yang merupakan entitas dasar yang menjadi sumbu dari “chaos theory.”)

Dengan demikian, “episode-episode hidup” yang menjadi ranah operasional dari “alhamdulillah yah”-nya Syahrini, dalam model konseptual di atas, adalah sistem-sistem yang, sekali lagi, dalam karakternya sendiri, adalah deterministik dan “di bawah kendali.” Kendatipun begitu—dengan meminjam konsep dasar chaos theory—sistem-sistem ini juga mempunyai “transitivitas topologis” dan “kerapatan orbit-orbit periodik”-nya sendiri, yang membuatnya sensitif terhadap “kondisi mula”—yang kemudian, pada akhirnya, mengakibatkan prediksi untuk rentang waktu yang panjang bagi sistem-sistem ini menjadi mustahil.

Selalu saja ada kemungkinan sebuah “Lorenz attractor” akan muncul, yang dapat memicu terjadinya “efek kupu-kupu”: Nada-dering-ponsel yang tertukar, lipstik yang tertinggal di toilet, gradasi warna yang kurang pas pada pemakaian perona pipi, atau high-heels yang salah ukuran, bisa saja memicu reaksi spiral—sespiral obat-nyamuk ataupun badai siklon tropis—yang mengakibatkan tertundanya produksi album baru, timbulnya kasus sengketa hukum yang serius dengan pihak sponsor, gagal dan hancurnya kesepakatan dalam kontrak kerja berjalan, atau berantakannya konser yang sudah dirancang berbulan-bulan.

Kita lihat bahwa dihadapkan dengan kemungkinan di atas, adalah logis dan wajar bila Syahrini, dalam penafsiran ini, kita duga tulus—atau setidaknya, memiliki derajat ketulusan tertentu—ketika dia berucap, “alhamdulillah yah”—yang dapat kita pandang sebagai ekspresi sikap bersyukur bahwa “semua baik-baik saja.” Hanya saja, ketimbang dihayati sebagai teks teologis di dalam dirinya sendiri, teks “alhamdulillah,” di dalam ungkapan “alhamdulillah yah,” seturut implikasi dari model konseptual dalam paradigma ini, digunakan barangkali sekadar sebagai sarana citrawi dari sebentuk pemahaman keberagamaan, sebagaimana yang terinternalisasi di dalam diri Syahrini.

Dangkal? Bisa jadi. Namun demikian, “kedangkalan” ini justru memitigasi simpulan “upaya legitimisasi teologis terhadap materialisme.” Bukan seperti itu, tampaknya, pembacaan yang lebih tepat untuk penyematan “alhamdulillah yah” kepada “sesuatu banget,” melainkan adalah bahwa hal itu lebih merupakan upaya memperdamaikan—untuk meminjam terminologi dan sistematisasi Pierre Bourdieu—“habitus” keberagamaan dengan superposisi berbagai “field” dari realitas kehidupan saat ini, di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang.

Syahrini adalah contoh kisah dari sebuah fenomena klasik dalam dunia show-biz. Kisah ini adalah kisah tentang seorang artis yang, di awal karirnya, berhasil merebut perhatian publik berkat pemanfaatan, secara intensif, “erotic capital” (dalam definisi Catherine Hakim, barangkali, yang lebih lebih tepat untuk konteks ini). Namun, kemudian, setelah popularitasnya menanjak, si artis mendapati bahwa popularitasnya itu membawa konsekuensi bahwa dia harus berbenturan dengan dimensi etika atau moralitas dalam persepsi publik. Lebih spesifiknya, barangkali, yang harus dihadapi oleh si artis adalah tuntutan akan semacam, katakanlah, “versi performatif-Indonesiawi dari political correctness,” yang secara inheren mengandung wacana etika dan moralitas di dalamnya. Serta, karena keindonesiaannya, hal itu juga mengimplikasikan aspek keberagamaan—yang pada pokoknya, serta lazimnya, cenderung, antara lain, memandang simbol-simbol sensualitas di ranah publik secara negatif.

Dengan menggunakan kasus Syahrini sebagai titik tolak bahasan kita: Bagi Syahrini, kenyataan di atas itu menyisakan, dalam abstraksi ekstremnya, dua pilihan.

Pilihan pertama, Syahrini bisa keukeuh mencitrakan diri sebagai artis yang selalu tampil “seksi” atau “sensual.” Keuntungannya, tentu saja hal itu di dunia show-biz dianggap lebih “menjual”—dan sedianya, biasanya, memang demikian adanya. Risikonya, dia berpotensi kehilangan sepangsa “pasar hiburan,” yaitu, dalam hal ini, para penggemar dari kalangan “konservatif.” Atau mungkin dia akan menemui masalah-masalah yang pelik seperti halnya, misalnya, satu kasus yang pernah dialami oleh Dewi Persik ketika dia “dicekal” tampil di panggung-panggung hiburan di Kota Tangerang. Sebut saja pilihan pertama ini, “modus rok-mini.”

Pilihan kedua, Syahrini bisa mengikuti jejak Inneke Koesherawati yang mengubah total penampilannya—sekaligus segmen garapan keartisannya—menjadi sesuatu yang mencitrakan sosok artis muslimah yang “alim.” Bagi seorang artis yang telah cukup “sukses” (diukur dengan popularitasnya, tentunya), pilihan ini tidaklah terlalu “buruk” (dipandang dari segi bisnis). Toh, masa-masa “cari sensasi” telah berlalu. Malah hal ini bisa menghasilkan benefit berupa penerimaan yang lebih baik oleh kalangan yang lebih luas. Meskipun demikian, risiko terkikisnya “potensi daya jual,” untuk pilihan ini, tetap ada juga. Sebut saja pilihan kedua ini, “modus kaftan.”

Dari sudut pandang Syahrini sebagai “mesin bisnis,” maka problemnya sekarang adalah bagaimana menyiasati apa yang oleh para pemasar—atau seaslinya oleh “Suhu” Hermawan Kartajaya—disebut dengan segitiga “positioning, differentiation, branding” dengan mengoperasikan alternatif “modus kaftan” dan “modus rok-mini” itu. Yang ditempuh oleh Syahrini tampaknya bukan strategi positioning yang memilih mengadopsi salah satu dari kedua modus tersebut, melainkan memodifikasi keduanya menjadi semacam versi “decaffeinated” yang agak ringan dan cair. Lalu Syahrini merengkuh dan mengintegrasikan versi modifikasi dari “modus kaftan”- dan “modus rok-mini”-nya itu, dua-duanya sekaligus, ke dalam “personal branding”-nya. Selanjutnya adalah masalah differentiation: memasarkan Syahrini yang sama dalam kemasan yang berbeda untuk “segmen pasar” atau occasion yang berbeda.

Dalam kerangka inilah, kita dapat menyaksikan, misalnya, di bulan Ramadan lalu, Syahrini tampil sebagai artis bercitra “muslimah salehah” dengan meluncurkan beberapa single lagu religinya, dan sekaligus sebagai trend-setter dunia mode dengan penggunaan kaftannya. Lalu, selepas Lebaran, Syahrini tampil dengan rok-mini kembali—kali ini dalam bingkai tema “eksekutif muda”—ketika membawakan lagu-lagu hit standarnya. Ungkapan “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” tersituasikan juga dalam skema ini.

Selama “segmen pasar” atau occasion yang menjadi wilayah taktik differentiation-nya Syahrini tersebut dapat “disekat” atau “dipisahkan” dengan baik, maka skema penampilan Syahrini itu akan tampak alamiah saja. Akan tetapi, bila Syahrini menampilkan modus keartisannya yang seperti itu di media—sedangkan di situlah ranah utama keartisan Syahrini itu adanya—dan dengan kemampuan media dalam “melipat” ruang dan waktu, media menjukstaposisikan “modus kaftan” dan “modus rok-mini” Syahrini itu secara serial atau apatah lagi paralel, maka gejala inkonsistensi dan kontradiksi akan tampak di hadapan publik. Satu segmen publik, yang sinis, boleh jadi akan menilai bahwa “pencitraan” Syahrini sebagai artis “muslimah salehah” itu adalah sebuah pertunjukan sikap kepura-puraan yang lebay. Barangkali ada juga yang bahkan akan menilai bahwa Syahrini adalah tak lebih dari sebuah mesin kalkulasi bisnis, yang cenderung akan menguangkan “apa pun,” termasuk “citra keberagamaan”—kalau tidak disebut secara singkat dan tajam, “menjual agama.”

Namun demikian, adalah tidak fair, di samping juga tidak realistis dan terlalu menyederhanakan, bila Syahrini kita reduksikan menjadi hanya sebuah “mesin bisnis.” Itu tetap tidak fair, bahkan meskipun kenyataannya Syahrini sendiri secara gamblang dan blak-blakan berbicara tentang cash-flows, tentang budget, tentang expenditures untuk pernak-pernik fashion—yang dia katakan sebagai “invest[ment].” Juga meskipun Syahrini mengatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari apa yang secara terang-terangan dia akui sebagai strategi “menjual dirinya sendiri”—Syahrini sebagai sebuah “brand.”

Yang lebih mendasar lagi—bila kita menerima logika yang kita coba bangun sampai tahap ini—mereduksikan Syahrini menjadi hanya sebuah “mesin bisnis” akan menjadi tidak konsisten dengan simpulan kita tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget.’” Simpulan kita itu, kita lihat sekali lagi, bukanlah tentang hal-hal berikut: Di satu pojok, ada Syahrini. Dia adalah agen sosial yang secara spesifik dikategorikan sebagai sebuah entitas-ekonomik subjektif. Di pojok lain—berseberangan dengan Syahrini—ada sebuah struktur objektif keberagamaan dalam masyarakat, sebagai sebuah sistem doxa yang mendiktekan keniscayaan-keniscayaan kepada subjek-subjeknya. Kemudian, Syahrini merespon kondisi itu dengan perilaku adaptif. Dia mendasarkan tindakan-tindakannya kepada semacam “teori pilihan rasional.” Sekali lagi, tidak seperti itu, simpulan kita.

Terminologi kunci dalam simpulan kita itu adalah dua dari beberapa konsep sentral dalam karya-pikir Bourdieu: “habitus” (—yaitu disposisi-disposisi, atau kualitas-kualitas karakter, kecendrungan-kecenderungan, kerangka indra-pikir-tindak, yang didapatkan atau dipelajari seseorang, dan bertahan sebagai prinsip yang mengejawantah, seringkali secara otomatis, dalam praktek-praktek yang terbiasakan), dan “field” (—yaitu medan interaksi sosial dengan segala relasi-relasinya, distribusi kuasanya, struktur atau pola-pola dominasinya, aturan-aturannya, konvensi-konvensinya, pendapat-pendapat dominannya, dan seterusnya). Di dalam simpulan kita mengenai “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu, aspek keberagamaan menjadi “habitus” dari Syahrini, dan pada saat yang sama, juga sebuah “field” yang dengannya, Syahrini berhadapan, dan sekaligus juga, di dalamnya, Syahrini terlibat.

Rasanya bukan tanpa alasan bila kita membuat praduga seperti itu, meskipun kita hanya akan mengasumsikannya sebagai postulat saja, bukan sebagai sebuah inferensi dari data empiris, tentunya, (kita tidak sedang menyusun profil-psikologis atau biografi Syahrini di sini,) dan bukan pula sebagai sebuah argumen yang bersandar kepada topangan skema teoretis—kepada konsep “archetypes”– dan “the collective unconscious”-nya Carl Jung, misalnya. Cukuplah kita katakan bahwa di tengah-tengah masyarakat kita (dan Syahrini tentunya juga adalah salah seorang dari kita), aspek keberagamaan telah menjadi fakta (atau lebih tepatnya, barangkali, bukan “fakta,” melainkan “keberterimaan logis atas penjelasan tentang fakta”), yang secara nyata dapat kita tengarai dan bahkan rasakan. Implikasinya, dalam setting seperti ini, rasanya masuk akal bila kita katakan bahwa kebanyakan kita—kalau tidak boleh dikatakan bahwa kita semua—secara niscaya saja, serta secara sadar ataupun tidak, menginternalisasikan aspek keberagaman itu ke dalam pandangan hidup kita.

Kategorisasi Syahrini sebagai “mesin bisnis,” di lain pihak dalam paradigma ini, kita tempatkan sebagai sebuah kondisi keterdampakan oleh, dan sekaligus respon aktif terhadap, struktur objektif pengorganisasian ekonomi dalam masyarakat. Atau, pandanglah ini, dalam eksistensinya, sebagai semacam proses “structuration”– dan “reflexivity”-nya Anthony Giddens. Sedangkan akan hal dalam esensinya, kita tentu saja di sini bersesuaian pandangan dengan kaum Marxis (lebih tepatnya: dengan interpretasi “standar” atas dikotomisasi arsitektural-ontologis Marxian tentang “basis”–“suprastruktur”). Sudah sejak dulu Karl Marx mengenali struktur ekonomik objektif itu, dan mengidentifikasinya sebagai substruktur sosial—atau “basis.”

Hanya saja, berbeda dengan paradigma Marxian yang memandang “basis” itu sebagai yang pertama dan terutama, paradigma kita dalam simpulan kita mengenai “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu memproporsikan (lebih tepatnya, barangkali, mentransformasikan—secara konseptual, tentunya) “basis” tersebut, sebagai (ataupun menjadi) sebuah “field” yang kedudukannya sama kuat dengan “field” keberagamaan. Kita juga tidak mengeksklusikan aspek-aspek lain dari kehidupan masyarakat kita—seperti politik atau hukum, misalnya—dari simpulan kita itu. Karenanya, kita merangkumkannya ke dalam kata-kata “superposisi berbagai ‘field’ dari realitas kehidupan saat ini.”

Kita telah selesai mendudukkan subjek Syahrini dengan “habitus”-nya dalam perspektif medan makna yang kita coba konstruksikan. Yang tertinggal sekarang adalah elaborasi untuk frase terakhir dari simpulan kita tentang penyematan “alhamdulillah yah” kepada “sesuatu banget” itu—yaitu mengenai frase, “di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang.”

Yang dapat kita paparkan, dengan berangkat dari pernyataan di atas itu, sepertinya, tak ayal, adalah bahwa kita akan sampai kepada penengaraan akan sebuah suasana yang mencirikan perkembangan kapitalisme di era mutakhir ini (—topik yang tidak dapat dikatakan sebagai baru). Kita tengah berhadapan—kita katakan demikian, sejenak mengambil jarak, meskipun senyatanya kita larut di dalamnya—dengan sesosok kapitalisme yang berahi. Yang sudah ganjen sejak paruh-kedua abad XX lalu, dan yang semakin menampakkan wajahnya yang mupeng-mupeng-ngebet dan sange-sange-serondolan di awal abad XXI ini. Ini adalah era yang membuat kita cemas; ini adalah era yang membuat kita terpana. Ini adalah era yang memuakkan; ini adalah era yang asoy-geboy. Dan yang jelas, ini adalah era yang membikin kita berputar—seperti cakram yang digeber oleh seorang disc jockey yang tengah berburu tempat-catat di edisi “menjelang kiamat” dari Guinness Book of World Records.

Saat ini kita hidup di era ketika sosok perempuan cantik dan seksi dipampang dalam iklan berbagai produk. Tidak hanya dalam iklan produk jasa keuangan yang prestisius, atau iklan mobil mewah yang super-kinclong—tetapi juga dalam iklan minuman energi, pasta gigi, cat tembok, obat gosok, sabun cair, sampai pompa air. Bahkan juga dalam iklan layanan masyarakat. Kita hidup di era ketika “rumah makan” bukan sekadar berarti “rumah tempat orang makan,” tetapi juga “teater tempat orang pamer.” Kita hidup di era ketika mata kita selalu dibuat terbelalak dan mulut kita terbelangah oleh demonstrasi kecanggihan fitur-fitur dalam produk-produk digital gadget baru; nyaris setiap saat selalu saja muncul produk baru yang serta-merta membuat perangkat yang kita miliki menjadi sesuatu yang mirip dengan sempoa milik juru-tulis Laksamana Cheng Ho. Kita hidup untuk terpukau oleh para futurolog bisnis yang mengatakan bahwa bukan saja industri manufaktur itu sudah menjadi kuno, tetapi juga bahwa industri jasa itu sudah menjadi basi; kini terbit era industri “hiburan” dan “waktu luang.”

Kita hidup untuk menjadi saksi atas kefasihan para konsultan pemasaran dalam menunjukkan bahwa yang jauh lebih penting dari sekadar meng-identify kebutuhan atau me-respond-to kebutuhan, adalah meng-create kebutuhan.

Akan tetapi kalau kebutuhan itu diciptakan, siapa yang pada gilirannya menciptakan kebutuhan seorang pemasar untuk menciptakan kebutuhan itu? Atau pertanyaannya barangkali bukan “siapa,” melainkan “apa.” Dan bukankah jawaban yang paling mungkin adalah “kebutuhan” juga? Atau apakah kata “kebutuhan” di sini menjadi istilah yang kurang tepat? Apakah sebaiknya di sini dipergunakan istilah “hasrat” (“desire”)?

Dari Jacques Lacan, kita bisa memperoleh rumusan tentang hasrat. Meskipun rumusan mengenai hasrat dari Lacan itu barangkali masih dapat dipandang segaris dengan apa yang biasanya dirumuskan tentangnya semenjak zamannya Plato hingga Sigmund Freud, oleh karena Lacan menaruhnya dalam skematika teoretisnya yang unik, rumusannya itu dapat menghasilkan konsep yang agak berbeda—yaitu yang berparadigma produktif di samping akuisitif, tidak seperti paradigma yang melulu akuisitif seperti, misalnya, yang dapat kita lihat dalam konsep “Wunsch”-nya Freud. Slavoj Žižek mereformulasikannya dengan lebih jelas begini: “Raison d’être dari hasrat itu bukanlah untuk merealisasikan sasarannya, untuk mendapatkan pemuasan penuh, tetapi untuk mereproduksi dirinya sendiri sebagai hasrat.”

Reproduksi, replikasi, regenerasi, fraktalisasi hasrat. Dalam kecepatan, dan dengan akselerasi. Itulah kiranya yang menjadi impetus bagi dinamika “Mandelbrotian” dunia saat ini. Persaingan, perilaku pengambilan-risiko, efisiensi manajemen, serta penjelajahan, penemuan, penciptaan produk baru—semua yang membuat pasar bergerak—lahir dari situ. (Ada penyederhanaan dalam paparan ini; di sini kita tidak membedakan “hasrat,” atau “desire,” atau “Wunsch,” dengan “dorongan,” atau “drive,” atau “Trieb.”)

Implikasinya cukup serius. Pertama, disparitas antara “nilai” (setidaknya, “nilai rasional”) dengan “harga”—yang secara teknis-matematis dapat dikatakan sebagai problem-transformasi—dapat menjadi erratic, dan dapat melebar secara sistematis. Kedua, proses komodifikasi, yang didorong oleh energi (propulsif sekaligus multiplikatif) hasrat itu, dapat menjadi dromologi: Tidak hanya barang atau jasa, seperti dalam pandangan Jean Baudrillard, tetapi juga simbol-simbol—semuanya diproduksi jauh melampaui apa yang secara rasional dapat dikatakan sebagai “kebutuhan.” “Croissance et excroissance,” dalam istilah Baudrillard, adalah apa yang, menurut Baudrillard, memacu gaya hidup masyarakat kapitalistik ke titik ekstrem, ke dalam apa yang ia katakan sebagai kondisi “hiperrealitas.”

Dengan demikian, bila Marx “menunjukkan” bahwa dalam masyarakat kapitalistik, komoditas menjadi tanda “keterasingan” manusia, maka kita barangkali dapat mengatakan bahwa saat ini terjadi “badai kencang” proses “objektifikasi” dan “reifikasi” yang membuat “keterasingan” manusia semakin dalam menghunjam, semakin ketat menelikung, dan semakin deras mengepung. Herbert Marcuse bahkan menengarai timbulnya kondisi “keterasingan” yang lebih mendasar dalam masyarakat kapitalistik mutakhir: Ia melihat bahwa pada akhirnya, sementara komoditas itu diproduksi dalam sistem kapitalistik, orang-orang, menurut Marcuse, menganggap bahwa komoditas itulah yang utama, bahkan lebih utama dari diri mereka sendiri. Orang-orang “menemukan jiwa mereka” di dalamnya, dan menemukan bahwa keberadaan mereka hanyalah kepanjangan atau perluasan dari komoditas itu. —Sebuah fetishisme komoditas yang bahkan mungkin lebih ekstrem bila dibandingkan dengan apa yang sempat diutarakan oleh Marx.

Ada kegalauan-eksistensial yang kronis di situ. Tetapi juga, bila interpretasinya “ditarik ke luar dari subjek,” ke arah implikasi sosial-ekonomik-politis yang lebih luas, di situ bahkan bisa ada ketidakadilan. Bayangkan, misalnya, seandainya popularitas Syahrini menjadi sedemikian tinggi, sampai-sampai sehelai rok mini yang dikenakan Syahrini pada sebuah konser yang dianggap historis dibandrol pasar pada harga yang melambung hingga ke bulan. Kemudian rok mini itu dibeli oleh seorang “kolektor,” yang kebetulan juga adalah seorang koruptor, dengan uang hasil pat-gulipat dari, taruhlah misalnya, proyek penanggulangan bencana kelaparan di Papua. Kemudian skandal korupusi itu terbongkar; transaksi itu terpapar. Seorang redaktur pers yang “tengil” barangkali akan menulis sebuah editorial berjudul, “Rok-Mini Syahrini Renggut Ratusan Nyawa Warga Papua.”

Sedemikian burukkah sifat hasrat itu dalam peranannya mendorong laju-gerak perekonomian, interrelasi sosial, dinamika politik? Kaum rohaniwan tentu saja akan mengkonfirmasinya. Khususnya, bila hasrat itu dianggap sebagai satu-satunya—untuk meminjam istilah Henri Bergson—“élan vital,” dan bila “keberandalan” si hasrat itu dibiarkan lepas tanpa kendali. Kendati demikian, bahkan mereka pun barangkali akan mengakui bahwa kualifikasi yang disebutkan tadi hendaknya diberi penekanan, karena tak dapat dielakkan, bahwa hasrat adalah bagian penting (kalau bukan bagian paling hakiki, atau malah mungkin ada juga yang mengatakannya sebagai nama lain) dari naluri, yang nota bene adalah kondisi alamiah manusia. Menafikannya sama saja dengan mengurai-lepaskan definisi keberadaan manusia itu sendiri.

Hanya saja, agar perbincangan tentang manusia dan peradabannya mempunyai makna, maka imperatif-kategoris kendali-atas-hasrat, dalam bentuk-bentuk yang direpresentasikan oleh konsep-konsep Freudian mengenai alam-bawah-sadar (atau “das Unbewußte,” yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis sebagai “l’inconscient,” dan ke dalam bahasa Inggris sebagai “the unconscious”), seperti “represi” (“Verdrängung”) atau “sublimasi” (“Sublimierung”), biasanya dipahami sebagai syarat mutlak.

Akan tetapi, Marcuse, misalnya, berpendapat lain. Bila kita menarik benang merah antara dua buku Marcuse, Eros and Civilization dan One-Dimensional Man, barangkali kita dapat mengikhtisarkan salah satu tesis pentingnya begini: Bagi Marcuse, seharusnya masyarakat justru tidak terlalu bersikap represif terhadap hasrat atau naluri, karena bukanlah hasrat yang membuat kapitalisme “mengasingkan” subjek-subjeknya. Penyebab semua kekalutan ini, bagi Marcuse, adalah kultus terhadap produktivitas, dan yang lebih fundamental lagi, adalah cara berpikir instrumental teknokratis, atau “rasionalitas teknologis” (“technological rationality”), yang akarnya, menurut Marcuse, bisa dilacak sampai ke “perpecahan-epistemologis” Aristoteles dari Plato. Gregory Bateson menyuarakan hal senada ketika ia mengatakan bahwa epistemologi kebudayaan Barat dipicu oleh kerangka berpikir teleologis, “means-to-an-end driven,” yang menurutnya menyempitkan persepsi, dan membuat data bagi kesadaran menjadi terbatas. Dan Alain Badiou mengemukakannya dengan sedikit lebih romantis: “Dunia kontemporer,” kata Badiou, “bermuka-dua” kepada “prosedur-prosedur kebenaran.” Di mana satu “prosedur kebenaran” seharusnya berlaku, di situ “prosedur kebenaran” lainnya—yang represif terhadapnya—datang mendepaknya. Tetrad “seni-sains-politik-cinta” selalu dihardik dan disingkirkan oleh tetrad yang lain: “budidaya-teknologi-manajemen-seksualitas.”

Kembali kepada Marcuse: Adalah di dalam perjalanan historis yang akhirnya memunculkan kapitalisme sebagai sistem yang digdayalah, menurut Marcuse, letak akar permasalahan itu seharusnya dipindai. Singkatnya, yang lebih pantas disebut “biang-kerok”—demikian, barangkali, dalam pandangan Marcuse—adalah kondisi yang dipersyaratkan oleh sistem kapitalisme, ketimbang sifat dasar hasrat yang, paling banter, berfungsi sebagai pendorong akselerasinya.

Pandangan yang lebih radikal datang dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari dalam buku mereka yang terkenal, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia. (Ini adalah buku gila—mungkin dengan kata “gila” yang boleh diartikan benar-benar secara harfiah.) Selain lebih radikal, berkenaan dengan seluk-beluk bekerjanya hasrat dalam realitas “alamiah,” subjektif, maupun sosial, serta bagaimana realitas yang demikian itu secara simultan mendasari “petualangan” kapitalisme beserta konsekuensi-konsekuensinya, rasanya Deleuze dan Guattari juga lebih fasih dan lebih lantang menguraikannya.

Di bab pembukaannya yang sangar-sangar-slengean, jorok-jorok-funky, “mabok,” dan “kesurupan” itu, Deleuze dan Guattari menggambarkan betapa apa yang mereka sebut “mesin-mesin penghasrat,” “les machines désirantes,” adalah motor yang menggerakkan segala proses. “Unit” dari “mesin penghasrat” itu, atau “si-itu” (“ça”), yang merujuk kepada konsep “id”– atau “das Es”-nya Freud, menurut Deleuze dan Guattari, bertebaran di mana-mana—meresap, menjadi pokok pangkal segala hal. “Betapa kelirunya,” kata mereka lagi, “menyebutnya ‘si-itu.’”

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat. Hal pertama: Deleuze dan Guattari melepaskan “das Es”-nya Freud itu dari “Subjek.” Kalau Lacan memfatwakan bahwa subjek itu hakikatnya adalah formasi (dalam perkembangan seorang manusia sejak masa kanak-kanaknya) sebagai “pusat yang tergeser keluar” dari diri individu—dalam perian Žižek: sebagai sebuah “retakan” dalam medan semesta pengada—dan yang wujud-wungkulnya kemudian dikonstitusikan oleh “Yang Lain” (atau “l’Autre,” dengan ‘A’ besar—semesta sosio-linguistik dari si individu), maka bagi Deleuze dan Guattari, subjek adalah “entitas” yang bahkan keberadaannya pun problematik.

Bagi mereka, subjek, sebagai “entitas” antropologis-filosofis, adalah tak lebih dari titik-singgah sesaat—sebuah residu berdimensi psikologis, pengejawantahan dari ekses yang mereka sebut “voluptas,” yang berasal dari sintesis semiotik di ranah simbolik. Dan pada gilirannya, sintesis semiotik itu merupakan ritus dalam sebuah dimensi prosesional-paradigmatik “pencatatan” (“enregistrement”) sebagai operasionalisasi dari apa yang mereka sebut “numen,” ekses dari proses sintesis produktif dari “libido” dalam “mesin-mesin penghasrat.”

Hal berikutnya: Bagi Deleuze dan Guattari, “Yang Virtual” (ranah kemenjadian, di mana “mesin-mesin penghasrat” itu bekerja) dan “Yang Aktual” (ranah pengada, di mana realitas dikonstitusikan) adalah sama-sama riil dan “material.” Bahkan, “virtualitas-riil”(bukan “realitas-virtual”)-nya Deleuze dan Guattari, bagi mereka, adalah apa yang membuat segala yang aktual menjadi mungkin—ia barangkali adalah semacam pelintiran dari “le Réel”-nya Lacan.

Dalam “pergerakan” signifikansi ke arah “Yang Virtual” ini, Deleuze dan Guattari “meleburkan” dua ranah ontologis tersebut (—satu hal yang disoroti secara kritis oleh Žižek), dan mereka mengaitkannya dengan oposisi produksi–representasi (—satu hal yang menjadi sasaran kritik tajam dari Žižek; Žižek mencurigai hal itu sebagai “pengaruh jelek” Guattari atas Deleuze). Deleuze dan Guattari mengecam Freud dan Psikoanalisis yang, menurut mereka, menggunakan “model teater” untuk menggambarkan bekerjanya hasrat, dan dengan demikian, masih menurut mereka, mengelirukan produksi dengan representasi; Deleuze dan Guattari memandang bahwa bekerjanya hasrat harus diterangkan dengan “model pabrik.”

Hal lainnya lagi: Bila dalam dimensi “natural,” hasrat itu, menurut Deleuze dan Guattari, beroperasi di ranah tubuh (individu), maka dalam dimensi “sosial,” hasrat beroperasi di ranah “tubuh sosial” yang oleh Deleuze dan Guattari disebut “socius.” Deleuze dan Guattari menegaskan bahwa setiap “aktualisasi kuasa” yang bermatra libidinal harus dipandang bersifat sosial secara langsung.

Tanpa tedeng aling-aling dan “tanpa belas kasihan,” Deleuze dan Guattari mencerca Freud dengan pengerangkaan “Ödipus-Komplex”-nya: segitiga “Ayah-Ibu-Aku,” struktur inti keluarga sebagai kerangka fundamental yang, menurut Freud, menjadi “arsitektur kunci” bagi perkembangan psike manusia. (Deleuze dan Guattari tampaknya menganggap skema teoretis Freud itu sebagai “bibit” dari fasisme, yang barangkali dapat dikatakan sebagai musuh terbesar mereka—“Dan bukan saja fasisme historis, fasismenya Hitler dan Mussolini […] tetapi juga fasisme di dalam diri kita semua […],” kata Michel Foucault dalam Pengantar-nya.)

Maka bagi Deleuze dan Guattari, untuk menjadi energi propulsif bagi dinamika sosial-ekonomik-politis, hasrat (lebih tegasnya, libido) tidak perlu mengalami transubstansiasi apa pun, seperti, sebagai contoh par excellence, melalui proses “sublimasi.”

Kekenesan Syahrini ketika mengucapkan “alhamdulillah yah,” misalnya, mungkin akan dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai “sesuatu banget”: itu adalah hal yang material, “natural,” sekaligus sosial. Orang juga mungkin akan memberikan kualifikasi kesan, “sensual” atau bahkan “seksual”—tapi itu hanya tepat bila “sensualitas” atau “seksualitas” di sini dipahami dalam kerangka “seksualitas universal”-nya Deleuze dan Guattari, yaitu seksualitas non-(atau mungkin pasca-)biner di dalam realitas Deleuzean, atau “virtualitas riil,” dari “mesin-mesin penghasrat” yang “tanpa subjek.”

Untuk menjabarkannya, pertama-tama Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa kekenesan Syahrini itu adalah sebuah “objek parsial”—konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Melanie Klein—sebuah “pusat” yang terhadapnya, “dorongan,” realisasi parsial dari hasrat, berpuntal-puntal mengitari tanpa henti. Kemudian mereka mungkin akan menyitir Lacan dalam Seminar tentang “La lettre volée” (drama terjemahan Charles Baudelaire, dari cerita pendek Edgar Allan Poe, “The Purloined Letter”). Apa yang oleh Lacan dikatakan sebagai “rantai-rantai pemaknaan” (“chaines signifiantes”), yang dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai entitas mendasar di “ranah kode alam-bawah-sadar,” mungkin akan mereka tunjukkan sebagai prinsip yang secara partikular dicontohkan oleh ekses dari proses sirkulasi hasrat di sekitar “objek parsial kekenesan Syahrini” itu—dan yang barangkali dapat diilustrasikan dengan kejadian seperti berikut ini:

Seseorang menirukan Syahrini dengan berkata, “Alhamdulillah yah.” Ia katakan itu kepada orang kedua yang sama-sama mengetahui fenomena Syahrini. Sementara itu, orang ketiga yang juga terlibat dalam komunikasi itu, tetapi yang tidak tahu-menahu tentang Syahrini, tidak menyadari bahwa ia menjadi “kambing budeg”; ia melewatkan sebuah makna yang tidak tertransmisikan oleh ungkapan “alhamdulillah yah,” bila ungkapan itu dilihat sebagai pernyataan harfiah semata. Apa yang “terlewatkan” inilah yang oleh Lacan dipandang berpotensi untuk menarik sejumlah takhingga subjek untuk berhimpun: di mana komunikasi satu sama lain menjadi dapat ditangkap sebagai bermakna, hanya bila komunikasi itu dipandang dalam relasinya dengan sebuah “objek,” dan—untuk secara lebih verbal mengutip Lacan—“tetap-berlangsung diperantarai, secara tak-tereduksikan, oleh relasi yang tak terperikan kata-kata (par rapport ineffable).”

“Lalu perhatikan apa yang terjadi,” demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan bergaya menirukan Mario Teguh, “bila sang Kapitalisme yang awas dan cekatan itu mulai mengendus ‘apa yang terlewatkan’ tersebut.” Melalui proses “sintesis disjungtif” dari “enregistrement,” begitu mungkin Deleuze dan Guattari akan mengartikulasikannya, “objek parsial kekenesan Syahrini,” produk proses “sintesis konektif” dari “mesin-mesin penghasrat” Syahrini itu, akan di-“de-teritorialisasi”-kan dari tubuh Syahrini, untuk kemudian di-“re-teritorialisasi”-kan kepada “tubuh kapital.”

Maka demikianlah kisah itu berlanjut: Suara Syahrini ketika mengucapkan kata-kata “alhamdulillah yah” itu direkam, dan dijadikan “nada dering-balik” (“ring-back tone”). Bayangkan bila seorang penunggak cicilan kredit sepeda motor dengan terpaksa harus mengontak nomor telepon genggam seorang debt-collector (mungkin helem barunya yang imut tertukar dengan helem gahar milik si debt-collector, dengan sehelai stiker bertulisan, “Pegang daku, kau kubacok!” melekat di atasnya), dan alih-alih mendapat hardikan suara sangar di ujung sana, ia malah mendengar suara kenes Syahrini. Boleh jadi ia akan dibuat cekikikan—biarpun mungkin cuma sesaat.

Dan bila “RBT Alhamdulillah-Yah”-nya Syahrini yang dijual kepada para pengguna telepon genggam itu menghasilkan berkah finansial yang “sesuatu banget” bagi para operator jaringan telepon seluler, Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa itu sama sekali tidak ada urusannya dengan apa yang oleh “si Borjuis Freud” itu disebut “sublimasi.”

Lantas bagaimanakah kiranya Deleuze dan Guattari akan menafsirkan “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’”? Sepertinya arah yang paling pas untuk menebaknya adalah dengan melihat “perbenturan,” di satu pihak: Deleuze dan Guattari, dengan, di lain pihak: Freud. Freud mungkin akan menafsirkan “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” sebagai sebuah bentuk dominasi “prinsip realitas” (“Realitätprinzips”) atas “prinsip kesenangan” (“Lustprinzips”). Betapapun “upaya penaklukan” itu, dalam pandangan Freud, mengakibatkan “pengalaman traumatik” bagi individu (bila hal itu tidak begitu tampak dalam kasus Syahrini, mungkin kita bisa melihatnya dengan jelas dalam kasus Inul Daratista), pada prinsipnya, hal itu juga mutlak penting bagi integritas masyarakat (dalam hal ini, keberagamaan kita pandang sebagai norma sosial). Sementara Freud beranggapan bahwa pada hakikatnya masyarakat itu memang selalu represif—dan mempunyai alasan mendasar untuk bersifat demikian—Deleuze dan Guattari mungkin akan mencibir penafsiran “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” seperti itu.

Mereka mungkin akan mengatakan bahwa bukan saja “alhamdulillah yah” itu adalah bentuk keterlibatan langsung opresi sosial atas represi psikis (posisi teoretis-politis yang sebelumnya dideklarasikan oleh Wilhelm Reich), tetapi juga bahwa “sesuatu banget” itu adalah bentuk subjugasi “socius” kapitalisme—melalui “mesin-mesin pemukjizatan”-nya—atas “mesin-mesin penghasrat” di dalam diri Syahrini: Meskipun si “Tubuh Kapitalisme” itu, di satu sisi, (tampak) membebaskan “mesin-mesin penghasrat” Syahrini, di sisi lain, serentak dengan itu, ia juga justru mengasingkannya dari interkoneksi alamiah dan sosialnya. Kemewahan fashion, popularitas, status bergengsi sebagai selebritas, pemujaan oleh fans karena promosi oleh media—dan hal-hal lain yang “sesuatu banget” itu, demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan menyoroti, lebih merupakan konstruksi simbolik kapitalisme ketimbang sintesis produktif “mesin-mesin penghasrat” Syahrini.

Jadi kalau Syahrini sampai harus pingsan karena kelelahan ketika didera oleh jadwal pentas yang berjibun, Deleuze dan Guattari mungkin akan berujar, “Nah, lho!” Berlainan dengan alur logika kita pada paragraf-paragraf di atas mengenai dromologi hasrat dalam kaitannya dengan proses komodifikasi di dalam sistem kapitalisme, pandangan Deleuze dan Guattari mengenai hasrat antara lain adalah bahwa sofistikasi itu bukanlah bahasa hasrat, melainkan bahasa “pengorganisasian molar” dari subjek dan “socius”; bahwa meskipun hasrat itu seturut hakikatnya memang tak dapat diredam, dan bahkan bersifat “revolusioner,” bahasa hasrat itu pada dasarnya adalah netral, natural-mekanistik, “sederhana.”

Hasrat, kata mereka, hanya “membutuhkan” sedikit hal saja. “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang,” kata Ebiet G. Ade—begitu juga, kira-kira, kata Deleuze dan Guattari: Rumput yang bergoyang itu hanya butuh mineral, air, karbon dioksida, dan sinar matahari, untuk berfotosintesis—dan tiupan angin sepoi-sepoi, untuk bergoyang. Itulah, kata Deleuze dan Guattari lagi, sejatinya bahasa hasrat. Dan realitas yang sama, mereka mungkin akan menambahkan, bekerja dengan cara yang sama, baik pada Syahrini maupun pada rumput yang bergoyang: pemisahan manusia dengan alam itu hanyalah ilusi filosofis Subjek. “Homo natura,” begitu menurut Deleuze dan Guattari, adalah sejatinya hakikat manusia; hakikat itulah yang membentuk manusia menjadi “homo historia.”

Maka, “homo natura” datang lebih dulu, baru kemudian “homo historia.” Dalam urutan seperti itulah, menurut Deleuze dan Guattari, semestinya kita memandang kaitan antara matra fisiologis-psikis dengan matra sosial: “produksi sosial” merupakan derivasi dari “produksi penghasrat.” Meskipun begitu, kita juga harus mengatakan, demikian Deleuze dan Guattari menegaskan, bahwa “produksi penghasrat” itu, pertama dan terutama, pada hakikatnya bersifat sosial—untuk menyatakan dengan kata lain bahwa “homo historia” datang lebih dulu, baru kemudian “homo natura.” Lingkaran “Setan Ayam Petelur” ayam–telur, memang.

Dalam sekuensi paradigmatik “homo-historia”–“homo-natura,” bila hasrat itu diibaratkan seekor ayam jago, maka Deleuze dan Guattari mungkin akan mengatakan bahwa kita akan melihat seorang maling ayam yang menggenggam erat kedua kaki si Ayam Jago dengan tangannya, mendekap badan si Ayam Jago dengan lengannya, sambil mengepit leher si Ayam Jago di bawah ketiaknya. Kita akan melihat satu sisi dari karakter si Ayam Jago: seekor ayam jago yang kalem dan pendiam (mungkin sedang rileks? atau sedang stres?), entah manis entah melankolis, entah berkeinginan untuk menjerit dan berontak entah merasa nyaman dan menikmati dekapan hangat si Maling—atau mungkin menyukai bau ketiaknya?

Dalam sekuensi paradigmatik sebaliknya, “homo-natura”–“homo-historia,” demikian mungkin Deleuze dan Guattari akan menunjukkan, kita akan melihat seekor ayam jago yang ekornya diikat dengan ujung dari seutas tali yang panjang, dan di ujung lain dari tali itu, adalah tangan seorang anak badung yang iseng menghentak-hentakkan tali itu tanpa henti. Kita akan melihat sisi lainnya dari karakter si Ayam Jago: seekor ayam jago yang berekspresi “seluas-luasnya,” yang menggelepar, melompat, berkeok-keok, atau mungkin bahkan berkesempatan untuk berkokok, menghajar seekor ayam jago lain yang datang mendekat, atau mungkin mengejar seekor ayam betina untuk “dikawininya”—dengan izin (atau sponsor?) si Anak Badung, tentunya.

Dengan itu pula, sepertinya, Deleuze dan Guattari memandang sejarah dalam perspektif aktualisasi hasrat. (—Meskipun, sejarah, dalam pandangan Deleuze dan Guattari, adalah sejarah yang serba-kontingen, bukan sejarah yang berkeharustujuan seperti dalam Materialisme-Historis-nya Marxisme klasik.) Kalau feodalisme adalah si Maling Ayam, maka kapitalisme adalah si Anak Badung. Paradoks terbesar dari kapitalisme, dalam pandangan Deleuze dan Guattari, adalah—seperti yang kita lihat dalam paragraf-paragraf di atas mengenai quasi-komedi RBT Syahrini dan quasi-tragedi pingsannya Syahrini—bahwa kapitalisme “memproduksi akumulasi schizophrenic yang mencengangkan dari energi atau muatan, yang terhadap produksi akumulasi itu ia membawa sekian besar semua kekuatan represi untuk ditanggungkan, namun yang, betapapun begitu, terus berlanjut belaku sebagai batas yang dipancangkan oleh kapitalisme.”

Maka bila di bawah feodalisme, bagi Deleuze dan Guattari, neurosis adalah gejala umum masyarakatnya, di bawah kapitalisme, tipologi patologi-mental klinis yang dapat dipandang sebagai model untuk melihat bekerjanya “produksi penghasrat” di dalam realitas sosial masyarakatnya adalah schizophrenia. Lalu Deleuze dan Guattari pun kembali menyerang Psikoanalisis. “Model yang tepat itu,” demikian kira-kira kata Deleuze dan Guattari lagi, “bukanlah seorang neurotic yang terbaring di atas dipan seorang terapis, sambil curcol segala galau—melainkan seorang schizo, yang diam-diam keluyuran tengah malam.”

Dengarlah sang Schizo meracau: “Organ-organku hilang! Tubuhku jadi sebutir telur! Ada lintah di tubuhku!” Dari mana datangnya lintah, Schizo? “Dari sawah turun ke kali.” Akan tetapi dari mana datangnya lintah darat, Schizo? “Dari sawah disparitas-kuasa sosial turun ke kali distribusi-eksploitatif ekonomi.” Kombinasi aneh dari halusinasi-cum-delirium sang Schizo dengan logika Marxian seperti itulah, tampaknya, yang melatari asersi Deleuze dan Guattari seputar paradoks kapitalisme yang dikemukakan di atas. Dalam pandangan Deleuze dan Guattari, “klaim” oleh “socius,” sebagai “produksi sosial,” atas produksi oleh “mesin-mesin penghasrat,” terjadi dalam fase-fase stasis ketika di ranah “virtualitas riil,” “tubuh sosial” itu menjelma menjadi apa yang mereka sebut “tubuh tanpa organ” (“le corp sans organes”) yang berbentuk, kata mereka, “sebutir telur.” Di atas “tubuh” itulah, inskripsi simbolik, melalui proses “sintesis disjungtif,” secara berulang-ulang “dicatatkan.”

Terdengar gila, barangkali. Tapi cobalah kita simak: Masyarakat “primitif,” kata Deleuze dan Guattari, melakukan berbagai ritual untuk menyematkan simbolisasi sebagai penahbisan genealogis bahwa semua kegiatan produksi dirunut-balikkan kepada “pemilik sesungguhnya,” yang darinya semuanya berasal: Ibu Bumi. (Dan bukankah bumi kita ini bentuknya mirip dengan sebutir telur?) Dengan demikian, “produksi penghasrat” itu mengalami “teritorialisasi.” Masyarakat yang berada di bawah kekuasaan despotik (atau imperialisme), kemudian, men-“de-teritorialisasi”-kan semua kegiatan produksi itu dari “tubuh Bumi,” dan me-“re-teritorialisasi”-kannya kepada “tubuh” si Despot atau si Imperialis.

Lalu datanglah sang Kapitalisme Moderen. Semua ikatan “sakral” melalui simbol-simbol itu dirampasnya, dan semua produksi pun di-“teritorialisasikan”-kan kepada “tubuh kapital.” Namun demikian—dan “fakta” berikut inilah yang tampaknya dipandang oleh Deleuze dan Guattari sebagai sumber terkuat bagi paradoks kapitalisme itu—kapitalisme menggantikan bentuk “pencatatan” simbolik yang sarat akan pemaknaan elaboratif yang “sakral” dan “mistis” itu dengan seperangkat aturan kalkulasi sederhana yang oleh Deleuze dan Guattari disebut dengan istilah “axiomatique.” Dan apakah “axiomatique” itu? Ia tak lain adalah apa yang dengan lantang, dengan segenap energi, gairah, dan kerinduan, diteriakkan oleh “Mbah Dukun” Endang Kurnia, sesaat setelah ia mengorbitkan Alam: “Duuiiit… Duit!”

Maka, kini, kita berurusan dengan sesuatu yang sangat seksi: duit. (Tapi apakah duit juga lebih seksi dari Syahrini? “Arguably,” jawab sebagian orang. “Debatably,” jawab sebagian lagi.) Dari sini, barangkali kita sebaiknya berpisah jalan dengan Deleuze dan Guattari—dengan buku mereka yang kata Žižek “arguably Deleuze’s worst book” itu. (Žižek memang, kendatipun debatably, adalah seorang “penggemar” Deleuze, tapi arguably bukan “penggemar” Guattari.) Sebenarnya, Deleuze dan Guattari juga berbicara ngalor-ngidul tentang duit. Akan tetapi, arah yang sedikit berbeda, sepertinya, perlu kita tempuh sendiri dalam pendekatan kita untuk urusan ini. Urusan apa, tadi? O, ya: duit.

Ya. Duit, hepeng, uang—“pelacur universal, mucikari manusia dan bangsa-bangsa,” kata Marx (dan Friedrich Engels). Dan di balik uang, adalah relasi-relasi kuasa. Atau, kata-kata “di balik” itu pun barangkali tidak tepat, karena sesungguhnya uang itu sendiri adalah relasi-relasi kuasa. Uang kartal, atau, dalam batas-batas “bukti material” dimensi pencatatannya, juga uang giral serta uang kuasi—kita sebut saja semua itu sebagai “uang,” dalam tanda petik—hanyalah representasinya. Siapa di dunia ini yang benar-benar mencintai “uang,” yang memeluk, mencium, membelai, dan bersumpah setia kepadanya sambil berkata, “tak ada yang mampu memisahkan kita, Sayang”? Rasanya, tidak seorang pun. —Kecuali, mungkin, Tuan Krab, bosnya Spongebob. Semua orang memperlakukan “uang” seperti bola golf—sesuatu yang, “dikejar, setelah didapat: dihajar.” Daya-beli- atau, barangkali, kuasa-beli- (purchasing-power)-nyalah yang penting, bukan “barang”-nya.

Pernyataan “uang adalah relasi-relasi kuasa” barangkali terdengar terlampau tajam, karena bahkan Marx pun tidak secara persis mengatakan demikian. Marx “hanya” mengatakan bahwa uang adalah “sebuah relasi sosial” (“ein gesselschaftliches Verhältnis”). Dalam perspektif sosio-historis, seperti yang juga dikemukakan oleh Marx, uang memang muncul secara alamiah dari aktivitas transaksi ekonomik. Kendati demikian, rasanya tidak berlebihan bila kita melangkah lebih jauh ke pernyataan seperti itu, karena saat ini kita hidup di zaman ketika kapitalisme telah menjadi semakin canggih: zaman ketika “uang komoditas” telah digantikan oleh “uang fiat.” Konsekuensi dari fakta ini, tampaknya, adalah bahwa relasi-relasi kuasa dalam relasi-relasi sosial menjadi lebih tajam mengemuka.

Untuk lebih eksplisitnya, kita ajukan pertanyaan-dan-jawaban sebagai berikut: Dari manakah datangnya kuasa yang “dimiliki” uang itu? Di bawah rezim uang fiat dalam sistem kapitalisme mutakhir, jawabannya menjadi jelas (dan sebenarnya hal ini juga terimplikasikan dalam pernyataan Marx): dari struktur kekuasaan dalam masyarakat. Uang menjadi bernilai hanya bila relasi-relasi kuasa dalam masyarakat terlembagakan dengan baik: ada pemerintahan dengan sumber-sumber legitimasinya, dan ada perangkat hukum dengan hak monopolinya atas kekerasan—dengan kata lain, ada sebuah negara yang berjalan atau berfungsi, yang menjamin kebernilaian uang itu.

Lakon hidup uang fiat dimulai dengan kelahirannya dari rahim “ruang hampa”—bukan dari ekuivalensi terhadap barang atau jasa, tetapi terhadap rencana, proyeksi, atau ekspektasi—yaitu sebagai “utang masyarakat kepada masyarakat.” (Bank Sentral membeli obligasi atau saham untuk portofolionya, dan membayarnya “hanya” dengan “mencatatnya” dalam rekening yang dibuka untuk bank komersial, yang menjadi underwriter atau custodian, dari penerbit obligasi atau saham tersebut—proses yang dikenal sebagai “moneterisasi utang,” yang menciptakan “basis moneter”; bank-bank umum kemudian mengembangkan cakupan dari “basis moneter” itu dengan memberikan kredit komersial: uang sebagai “multiple expansion of bank deposits.”) Dan siapakah yang berhak untuk memproklamirkan diri sebagai representasi masyarakat yang laik tampil untuk mendapatkan akses kepada konsesi atas utang-utang itu? Struktur dan proses-proses kekuasaanlah yang menentukan.

“Apalah artinya merampok bank bila dibandingkan dengan mendirikan bank?” kata sebuah baris-dialog terkenal dari drama Bertolt Brecht, Die Dreigroschenoper. —Sebuah baris-dialog sinis yang membikin kita merinding karena ngeri, bahkan bila kita tidak menganggapnya sebagai pernyataan tentang kebenaran, melainkan hanya sebagai humor belaka; humor gelap, tentu saja. Namun demikian, bila rezim politik yang berkuasa itu korup, derajat kebenaran dari pernyataan itu bisa sangat mendekati seratus persen.

Cerita-cerita seputar Krisis Moneter 1997 (yang meluas menjadi krisis multiwajah di negeri kita itu) jelas berbicara: Tentang cukong-cukong besar yang, bermodalkan koneksi politis berbasis nepotisme dan kroniisme, dan yang dimanjakan oleh iklim kebijakan deregulasi perbankan yang ekstra-longgar karena didorong oleh optimisme maniak-narsisistik tentang pertumbuhan ekonomi, berlomba-lomba mendirikan bank; mengucurkan kredit (yang berarti menciptakan uang) secara besar-besaran kepada (untuk) kelompok usaha mereka sendiri; menarik rente dengan berbagai spekulasi; ber-cincay-ria dengan sekelumit praktek suap, sogok, manipulasi; sementara tetap bego dalam urusan profesionalisme dan efisiensi.

Sisanya, kemudian, adalah sejarah. Badai finansial datang; kebernilaian uang tak dapat lagi ditopang dengan tunak; bank-bank itu ambruk, menyisakan tunggakan ratusan trilyun Rupiah yang menjadi beban bagi Negara; harga-harga kebutuhan pokok terbang; masyarakat resah dan panik; tatanan politik terburai; integritas sosial retak-pecah, kemudian remuk. Dan berapa jumlah korban jiwa serta harta benda karena pembunuhan, pembakaran gedung, perampokan, penjarahan, pemerkosaan, dalam Peristiwa Mei 1998 sebagai akibat dari—atau, setidaknya, yang salah satu andil bagi akibatnya adalah—semua itu? Silakan bertanya kepada Tim Gabungan Pencari Fakta untuk mengetahui angka persis(?)-nya. Namun demikian, setiap kali orang mengatakan ungkapan klise, “uang adalah akar dari segala kejahatan,” kita jadi dibuat berpikir, “jangan-jangan betul juga.” —Meskipun, itu tidak mengherankan juga, karena bila uang itu identik dengan kuasa, maka, seperti kata Lord Acton dalam suratnya kepada Bishop Creighton—ungkapan yang tak habis-habisnya dikutip—“kuasa [itu sendiri] cenderung untuk korup.”

Dalam bukunya, Libidinal Economy, Jean-François Lyotard membedakan dua pengertian mengenai kuasa: “si maskulin” “le pouvoir,” yang terkait dengan pengertian-pengertian tentang potensial, gaya (force), atau kekuatan; dan “si feminin” “la puissance,” yang terkait dengan pengertian-pengertian tentang kapasitas atau kemampuan. Di dalam uang, sepertinya, kedua jenis kuasa itu “dikawinkan.” (Itulah salah satu sebab, barangkali, mengapa uang dapat beranak-pinak.) “Legal tender,” “nota bank,” atau “kredit pajak yang dapat digunakan sebagai alat tukar atau alat pembayaran” adalah beberapa istilah atau pengertian lain untuk uang. Di dalam pengertian-pengertian itu, kita lihat bagaimana “le pouvoir” dari struktur dan fungsi institusi-institusi serta aparat-aparat hukum dan negara berpadu dengan “la puissance” dari kapasitas-kapasitas ekonomi tentang daya-guna serta kalkulasi dan daya-simpan nilai.

Sekarang, marilah kita membuat sedikit, katakanlah, “eksperimen teoretis.” Pandanglah uang, dengan inspirasi dari Deleuze dan Guattari, sebagai sebuah sistem tanda; juga, dengan meminjam terminologi mereka, kita sebut saja sistem itu sebagai “enregistrement.” Dari Lyotard, kita ambil idenya tentang “circonversion,” sebuah proses di mana institusi-institusi ekonomi, politik, hukum, pendidikan, atau media, misalnya, terbentuk sebagai “konsentrasi dan konsolidasi” dari arus intensitas-intensitas libidinal yang terbangun dari disposisi hasrat yang oleh Lyotard disebut “dispositif”—dan yang berputar menapaki “tubuh teoretis” yang oleh Lyotard digambarkan dengan pita Möbius. Sampai di sini, kita mendapati sebuah sistem sibernetika dengan “le pouvoir” dan “la puissance” membentuk lingkar-balik antara “enregistrement” dengan “circonversion.” Kemudian, kita gandengkan sistem kita itu dengan “sistem sibernetika” kedua, yang kita dapatkan dari paparan Louis Althusser tentang ideologi: yaitu bahwa setiap subjek dikonstitusikan oleh ide-ide yang termanifestasikan dalam praktek-praktek atau perilakunya, dan perilakunya itu diatur oleh ritual-ritual, yang, pada gilirannya, didefinisikan oleh “perangkat-perangkat ideologis” (institusi-institusi seperti dalam “circonversion” —yang, dengan demikian, menjadi interseksi dari kedua sistem sibernetika kita itu), dan dari institusi-institusi itulah, ide-ide tersebut diderivasikan.

Apa yang dapat kita simpulkan dari eksperimen kita itu? Identitas ini, barangkali: Uang adalah bahasa ideologi. —Ideologi kapitalisme, tentu saja. Ini memang bukan sebuah simpulan yang mengejutkan; bahkan, tidak juga istimewa. Akan tetapi, bila kita renungkan, kita akan menyadari bahwa betapa dalam, implikasi dari simpulan eksperimen kita itu.

Setidaknya ada dua tataran di mana hal itu dapat kita petakan: Pertama, konsekuensi dari identitas antara uang dengan bahasa adalah bahwa uang bisa merasuk jauh ke dalam alam-bawah-sadar subjek yang berada di bawah sistem kapitalisme. Selain itu, sebagai bahasa, uang memang bahkan seringkali “berbicara” lebih lancar dan lebih efektif daripada argumen lewat kata-kata, sebagus apapun argumen itu. “Money talks, bullsh*t walks,” kata tokoh yang diperankan Danny DeVito kepada karakter saudara kembarnya yang diperankan Arnold Schwarzenegger dalam filem Twins. Kedua, konsekuensi dari keterkaitan antara uang dengan ideologi, dan dalam hal ini, ideologi yang dipahami dalam perspektif “pratique” Athusserian, yaitu sebagai praktek-praktek atau perilaku keseharian—bukan wangsit, bukan erudisi, bukan pula naskah manifesto politik—adalah bahwa tak seorang pun, di bawah kapitalisme, bisa lepas—atau, setidaknya, bisa dengan mudah melepaskan diri—dari jerat kuasa uang.

Kita rehat sejenak. Ini adalah saat yang tepat untuk sebuah kilas-balik.

Di titik ini, kita lihat bahwa kita telah bertabrakan dengan sebuah, katakanlah, “dinding epistemologis” yang pejal—sehingga kita dipaksa untuk mengevaluasi kembali konstruksi penafsiran kita atas teks Syahrini dalam simpulan kita tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu. Apa yang kita paparkan tentang kondisi kapitalisme mutakhir, yang kita maksudkan sebagai elaborasi untuk paruh kedua pada proposisi simpulan kita itu, dalam perjalannya, ternyata menjadi seperti seekor anak kucing yang imut, yang kita rawat serta kita besarkan, dan kemudian berubah menjadi seekor macan tutul yang gahar. Dan ia berbalik untuk siap mengerkah paruh pertama dari proposisi tersebut—sebuah sibernetika Bourdieusian “agen-sosial vis-à-vis struktur,” sesosok puteri duyung yang kita duga tangkas serta penuh percaya diri, yang kini tampak ringkih serta rapuh.

Seberapa bermakna, sebenarnya, simpulan kita dalam pernyataan, “upaya memperdamaikan ‘habitus’ keberagamaan dengan superposisi berbagai ‘field’ dari realitas kehidupan saat ini” itu, bila semesta logika-proposisional untuk pernyataan itu, yaitu, “di mana dan ketika desakan struktur materialistik dari realm sosial kita menerpa dengan demikian kuat dan kencang,” adalah “jerat kuasa uang”? Kelihatannya kita seperti menempatkan si Puteri Duyung bersama si Macan Tutul di dalam sebuah ruangan yang sempit. Apakah si Macan Tutul akan memakan habis tubuh si Puteri Duyung? Sangat boleh jadi. (Macan tutul, lho, ini; bukan kucing. Kalau kucing, sih, yang dimakannya mungkin cuma bagian bawah saja dari tubuh si Puteri Duyung.) Atau apakah akan terjadi jalinan asmara di antara mereka? “Puteri Duyung memang fiksi, Coy. Tapi kalau ceritanya sampai harus pacaran sama macan tutul, kebangetan, itu, namanya.”

Baiklah. Apa boleh buat, konstruksi penafsiran kita itu barangkali memang harus kita akui retak di atas fondasinya.

Di awal, kita berangkat dari asumsi—dengan menggunakan instrumen paradigmatik ala Bourdieu—bahwa, dalam pandangan kita, di negeri kita saat ini, “field” keberagamaan harus diberi bobot sama kuat dengan “field” ekonomik. Tetapi benarkah demikian kenyataannya? Jawaban atas pertanyaan inilah yang barangkali memang belum dapat kita putuskan dengan jelas-tegas. Dengan demikian, proposisi Althusser tentang “surdétermination” (yang diilhami oleh “Überdeterminierung”-nya Freud), yaitu multidimensionalitas sebab-struktural dalam determinasi dinamika perubahan sosial, menjadi relevan dalam hal ini (—betapapun proposisi itu dipandang kabur oleh G. A. Cohen). Dalam pandangan Althusser, “struktur dominan” (“structure à dominante”) dalam sebuah masyarakat bisa saja berganti-ganti locus—satu saat ada di lapangan ekonomi, saat lainnya ada di kehidupan keberagamaan—tetapi ujung-ujungnya, dinamika perubahan sosial secara riil “ditentukan dalam hal-tunggal pengata-akhir” (“determiné en dernié instance”) oleh perekonomian.

Hal di atas itu, barangkali, secara tepat terefleksikan dalam kata-kata Buya Syafi’i Ma’arif belum lama ini. “Saya heran,” demikian kira-kira pernyataannya, “tiap tahun antrian jemaah haji kita selalu panjang. Tapi kenapa korupsi tetap menjadi gejala yang masif di negeri ini?” “Keheranan” Buya Syafi’i di sini tentu saja adalah sebuah retorika: pesan yang disampaikannya lebih merupakan kritik deontologis-etis, ketimbang demonstrasi ketakpahaman kognitif. Buya Syafi’i pasti tahu, bahwa menyangkut urusan korupsi, pertama-tama masalahnya adalah, bahkan mungkin bagi orang yang paling saleh sekalipun di negeri kita saat ini, uang tetaplah terlalu seksi, dan di saat yang sama, terlalu perkasa. Kemudian, masalahnya menjadi serba-buruk karena deru kapitalisme yang mendapat momentum dahsyat di dua abad terakhir ini menyeret ke dalam pusarannya, negeri kita yang tergagap-gagap dengan segala kelemahan dan kekarut-marutannya, terutama di sisi pranata-serta-budaya politik dan hukum—plus, untuk saat ini dalam pandangan tidak sedikit orang, juga di sisi kepemimpinan Nasional.

Kita tentu dapat mengajukan keberatan atas pandangan yang tampak deterministik-strukturalistik seperti itu. Kita dapat bertanya: “Bukankah manusia itu mempunyai kehendak-bebas? Bukankah seorang manusia selalu dapat memutuskan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam sebuah perkara? Lagipula, selemah itukah peran moralitas yang mungkin merupakan inti dari semangat keberagamaan itu? Bukankah orang yang beriman dan saleh akan mampu melepaskan diri dari pengaruh buruk bagi akhlak, seperti, dalam hal ini, ‘godaan’ uang?” Memang tidak ada yang salah dengan semua keberatan itu. Hanya saja, barangkali, keyakinan seperti itu hanya berterima pada level subjek atau individu. Tetapi kita kemudian dapat bertanya lagi: “Bukankah bila setiap individu adalah individu yang beriman dan saleh, pada akhirnya kita akan mendapati sebuah ‘masyarakat yang beretika dan bermoral baik’?” Logika inilah, barangkali, yang tidak dapat kita terima begitu saja, tanpa kita cerna atau kita refleksikan terlebih dahulu.

Di sini kita menemui hal yang paling mendasar dalam setiap problem-struktural: bahwa struktur mempunyai dinamikanya sendiri, dan bahwa masyarakat tidaklah identik dengan penjumlahan elemen-elemennya. Itulah sebabnya, barangkali, seperti yang dapat kita petik dari tafsir Cak Nur (Nurcholish Madjid) atas surat Al-Ăşr, mengapa Al-Quran menyebutkan bahwa bagi umat manusia, agar terlepas dari kategori “berada dalam kerugian,” kriteria “beriman dan beramal saleh” saja tidak cukup—tetapi juga harus ada “deontologi struktural” “saling-mengingatkan dalam perihal kebenaran,” yang dalam pandangan Cak Nur, untuk era moderen, tak dapat tidak, harus pula diartikan sebagai “sistem hukum serta kendali atau perimbangan-kekuatan politis (check and balance) yang dilembagakan serta dibudayakan.” Masih ada satu kriteria lagi yang harus dipenuhi, kita tahu: yaitu adanya “saling-mengingatkan dalam perihal kesabaran,” yang barangkali dapat kita pahami sebagai “solidaritas sosial,” atau mungkin, bagi mereka yang meyakini keharusan adanya keterlibatan langsung dari negara dalam urusan kesejahteraan masyarakat, sebagai “konsep negara-kesejahteraan (welfare-state).” Bukan kebetulan, tentunya, bila surat Al-Ăşr dibuka dengan, “Demi masa”—yang seolah mengatakan kepada kita, “Belajarlah dari sejarah. Lihatlah betapa komunitas-komunitas sosial-ekonomik-politis yang gagal mentransformasikan prinsip-prinsip etika dan moralitas ke dalam tata-kelola struktural yang adil dan berkeadaban, membuat mereka akhirnya runtuh dan luluh-lantak—tak jarang dengan disertai serentetan episode debacle yang brutal dan berdarah-darah.”

Transformasi—atau kerap juga transubstansiasi—ini perlu, karena prinsip-prinsip etika dan moralitas pada level individu (atau kelompok individu) tidak selalu kompatibel dengan imperatif “deontologi struktural” pada level masyarakat secara keseluruhan.

Dalam sebuah kesempatan, Alwi Shihab pernah bercerita tentang pengalamannya ketika menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Seseorang bertanya, demikian seturut penuturannya, “apakah seorang politisi boleh berbohong?” Pak Alwi menjawab, masih seturut penuturannya, bahwa berbohong itu memang “tidak boleh”; namun demikian, lanjutnya, khusus bagi politisi, hukumnya menjadi “boleh.” “Tapi saya dikoreksi oleh Duta Besar Yaman,” tutur Pak Alwi lagi, “Menurut beliau, bagi seorang politisi, berbohong itu hukumnya bukan ‘boleh,’ tetapi ‘wajib.’” Orang tentu boleh setuju atau tidak, dengan “logika hukum” dari pernyataan Pak Alwi itu. Tapi Pak Alwi bisa juga benar. Hanya saja, coba kita perhatikan konsekuensinya, bila “logika hukum” dari pernyataan Pak Alwi itu memang sahih: Jika khusus bagi para politisi, berbohong itu hukumnya menjadi “boleh,” atau bahkan “wajib,” maka bukankah, kemudian, khusus kepada para politisi, berprasangka-buruk itu hukumnya juga menjadi “boleh,” atau bahkan “wajib”?

Contoh inkompatibilitas antara prinsip etika dan moralitas pada level individu dengan imperatif “deontologi struktural” pada level masyarakat, seperti dalam kasus Pak Alwi tadi, mungkin, oleh sebagian orang, akan dianggap terlalu samar karena bersifat subjektif-ideal. Tetapi di bidang yang bersifat objektif-material, yaitu ekonomi, contoh-contoh seperti itu bahkan lebih jelas kentara, dan bertebaran di banyak kasus. Kita hadirkan satu contoh elementer saja di sini: Apa yang akan terjadi, umpamanya, bila setiap orang mendadak “sadar” akan pentingnya etika hidup sederhana, dan semua orang serentak mewujudkannya, “dengan langkah kecil saja,” misalnya dengan mengurangi total belanja kebutuhan mereka separuh dari jumlah biasanya? Mimpi buruk bagi ekonomi-makro. Satu-satunya hal baik barangkali adalah inflasi akan menjadi lebih jinak. Tetapi hal-hal lainnya? Bila konsumsi menyumbang dua pertiga bagian kepada total produk domestik bruto (PDB), maka ceteris paribus keluaran ekonomi akan berkontraksi sepertiganya. Dengan angka PDB nominal, katakanlah, enam ribu trilyun Rupiah, maka barang dan jasa senilai dua ribu trilyun Rupiah akan raib dari peredaran. Kita dapat membayangkan: Sejumlah besar perusahaan akan gulung tikar; PHK merajalela—dengan segala dampak sosialnya.

Dan itulah soal krusialnya. Agaknya kenyataan “vulgar” yang paling keras menampar kesadaran semua orang saat ini adalah bahwa sekali wahana perekonomian itu bergulir, maka ia tak bisa berhenti. Tak boleh berhenti. Kenyataan ini sering membuat segala argumen etika dan moralitas menjadi tersudut tak berdaya, terbata-bata dicecar oleh omelan fasih argumen material-ekonomik. Karena perut yang lapar memang tak dapat menunuggu. Dan siapapun berjudi dengan taruhan tinggi bila meremehkan perut yang lapar. Lalu akan halnya etika dan moralitas? Etika dan moralitas itu serupa maskara dan bulu-mata panjang milik Syahrini: Ia bisa saja “tahan-badai” (rasanya lebih tepat daripada “anti-badai,” byword versi orisinal Syahrini), tetapi patut diragukan, apakah ia juga akan tahan terhadap air-mata yang meluap ketika sang Empunya terpuruk dirundung galau? Etika dan moralitas bisa saja tetap bergeming, kokoh, tak tergoyahkan, oleh “propaganda kafir” dengan segala “muslihat keji” dari “konspirasi jahat”-nya, tetapi patut diragukan, apakah ia juga akan tahan terhadap perut-yang-lapar?

Larut bersama-sama di dalam gemasing-kemincir, rementak, dan lemuncur wahana perekonomian—dengan interkoneksi komponen-komponennya yang berajut-temenun, berjulur-lintang, berumpan-balik, dan berujuk-silang itu—bahkan urusan pembinaan kesalehan akhlak, di satu bilah, secara struktural, turut bergantung kepada urusan maksiat, di bilah lain. Bukankah dakwah dan syiar agama juga butuh biaya? Dari mana, misalnya, Pemerintah membiayai sosialisasi budaya “Maghrib Mengaji”? Dari pajak, salah satunya (boleh jadi porsi terbesar dari sumber pembiayaannya). Akan tetapi kapan atau dalam hal apa Pemerintah dapat memperoleh pemasukan dari pajak? Bila perekonomian bergerak dan menghasilkan surplus. Dari sektor mana? Sektor mana saja. Hotel-hotel, salon-salon, dan spa-spa dengan prostitusi terselubung, serta panti-panti pijat plus-plus juga ikut berkontribusi. Kemudian, kita bicara besaran dan jumlah: bukankah, supaya efektif, misi luhur dan mulia itu kadang mempersyaratkan ketersediaan uang yang tidak sedikit? Di bawah perkonomian libidinal-kapitalistik seperti halnya saat ini, “sufi” yang paling zuhud kadang membutuhkan “pelacur” yang paling genit.

Lebih tragisnya lagi, barangkali, di bawah sistem yang sama, urusan perut yang lapar pada orang-orang yang terpinggirkan, juga sering bergantung kepada urusan kosmetika gaya-hidup, gengsi, atau hura-hura pada orang-orang yang berada di pusat-pusat kuasa (ekonomi, dan boleh jadi juga politik). Hajat hidup orang banyak bergantung kepada hajat kuasa dan prestise segelintir elit. Maka ketika perekonomian tiba-tiba terpelanting ke lembah terdepresif dari siklus bisnis, yang selalu terjadi adalah bahwa entitas-entitas bisnis raksasalah yang “harus diselamatkan.” Mereka itu, “too big to fail.” Banyak orang yang merasa sebal dengan retorika “too big to fail” ini, tetapi retorika tersebut menjadi menyebalkan, justru karena validitas logikanya sulit dibantah. Dan “to let fail” apa yang “too big to fail” akan mengakibatkan “too big a failure,” yaitu “systemic failure.”

Yang terhormat, para anggota Dewan di Senayan, dengan segala retorika “prediksi post hoc” mereka di keriuhan Pansus Kasus Bank Century beberapa waktu lalu, boleh saja, kalau hanya sebatas retorika, dengan enteng menafikan kemungkinan terjadinya “kegagalan sistemik” pada dunia perbankan kita, yaitu ketika, beberapa waktu sebelumnya, Krisis Ekonomi 2008, yang bermula dari krisis sub-prime mortgages di Amerika Serikat itu, menunjukkan tanda-tanda imbasnya kepada perekonomian kita. Tetapi sikap seperti itu, selain kehilangan perspektif, juga bisa berbahaya kalau dijadikan basis kebijakan publik. (Bahwa kebijakan Jaring Pengaman Sektor Keuangan kemudian menjadi “kesempatan-dalam-kesempitan”—dimanfaatkan oleh orang-orang culas dengan keterlibatan figur-figur sentral dalam lingkaran kekuasaan?—yang kemudian memunculkan Kasus Bank Century tersebut: itu soal lain.)

Diakui atau tidak, “kegagalan sistemik,” di dalam sistem kapitalisme, bukanlah omong kosong; ia adalah cacat bawaannya. Kendatipun “tak tampak” dalam kondisi “normal,” ia sewaktu-waktu dapat muncul dalam rupa yang teramat menyedihkan, sekaligus menakutkan. (Para ekonom Keynesian, dari Simon Kuznets hingga Paul Krugman, memang menyumbangkan kerangka teoretis penting bagi kebijakan stabilisasi, tetapi dua kritik atas problem paling mendasar dalam ekonomi, yaitu, pertama, yang datang dari Marx, tentang kemustahilan pencapaian keadaan-tunak dalam hal kesetimbangan antara penawaran dan permintaan, dan kedua, yang datang dari Amartya Sen, tentang rigiditas struktural yang menyebabkan disparitas antara efisiensi ekonomik dengan efektivitas distribusi sumberdaya ekonomik, sepertinya akan tetap relevan sampai kapan pun.)

Jadi, misalnya, dalam rangka “penyehatan” terhadap kondisi perbankan yang remuk-redam dihajar Krisis Moneter 1997, Negara, dalam hal ini: Bank Indonesia, ketika itu, harus menggelontorkan dana penanggulangan krisis yang konon jumlahnya total lebih dari enam ratus trilyun Rupiah (terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI, Obligasi Rekapitalisasi, dan Obligasi Penjaminan). Dan konon, sampai saat ini pun tingkat pengembalian atas dana yang menggelontor itu masih sangat rendah, mungkin belum sampai setengahnya. Sisanya masih belum jelas juntrungannya. Namun poinnya adalah, betapapun gusarnya publik akan hal itu, publik sulit membantah bahwa langkah darurat yang melatari kondisi tersebut tetap perlu diambil. Argumen moral mengutuknya; argumen material meniscayakannya. Itulah antinominya. Itulah ironinya.

Maka seandainya para motivator beralih fungsi menjadi para budayawan, sepertinya pertaruhan terbesar kita adalah ketika kita mentakzimi nasehat mereka tentang upaya memperdamaikan, di satu pihak: agama, etika, atau moralitas, dengan, di lain pihak: uang. Karena ada perseteruan abadi di antara kedua pihak itu. —Kecuali, tentu saja, kalau uang juga dianggap sebagai sistem etika, moralitas, atau bahkan, mungkin, “agama” terendiri: “etika uang,” “moralitas uang,” atau “agama uang.” “Uang tidak menentukan segalanya, tetapi segalanya akan menjadi tidak menentu tanpa uang.” Di dalam peri-kehidupan masyarakat kapitalistik, tidakkah terlihat bahwa dalam kondisi normal, segalanya ditentukan oleh uang? dan dalam kondisi krisis, justru uanglah yang membuat segalanya menjadi tidak menentu? “Kita harus mengendalikan uang, bukan dikendalikan oleh uang.” Harus. Tapi mampukah? Optimisme mereka—keyakinan mereka akan kemampuan untuk “menguliti macan tutul, dan menjadikan kulitnya sebagai kaftan untuk kemudian dipakaikan kepada Puteri Duyung”—yang menyejukkan dan membesarkan hati, pada level kehidupan pribadi itu, dapat menjadi blunder yang fatal pada level tataran struktural kehidupan masyarakat.

Macan tutul memang kadang-kadang tampak serupa kucing. Atau, barangkali, macan tutul pada dasarnya memang sejenis kucing juga, sih. Tapi bagaimanapun, macan tutul tetaplah macan tutul. Ketika agama, etika, atau moralitas, dijadikan roh deontologis-etis untuk melegitimisasi signifikansi (atau, mungkin, “superioritas”) uang dan peri-kegiatan ekonomik, maka agama, etika, atau moralitas, akan selalu berada dalam risiko untuk terposisikan pada sebentuk peran sebagai apa yang oleh Žižek disebut “vanishing mediator.”

Seperti gaun pengantin—begitulah barangkali hakikat “vanishing mediator” itu. Gaun pengantin tampil di saat-saat menentukan dalam kehidupan, di sebuah ritus prosesional yang sakral, yang menandai sebuah perubahan penting. Ia dinanti, disambut, dipuji, dikagumi. Tetapi semua gaun pengantin bernasib sama. Ujung-ujungnya—tak peduli secantik, se-elegan, dan semewah gaun yang sempat dikenakan dengan manisnya oleh Kate Middleton—ia tetap akan direnggut, diurai, dilepas, ditanggalkan (dan mungkin bahkan dilempar ke lantai?) dalam sebuah ritus lain yang penuh hasrat: prosesi “malam pertama.”

Salah satu tesis tentang genealogi kapitalisme yang diyakini secara luas keberterimaan teoretisnya adalah proposisi Weber—seperti yang telah disinggung di awal tulisan ini—tentang “Etika Protestantisme.” Menurut Weber, kapitalisme lahir dari pergeseran etika, dengan pemaknaan ulang terhadap “kesalehan akidah” agama Kristen, melalui penahbisan “panggilan duniawi” (peri-kegiatan ekonomik) sebagai “ekspresi ketaatan kepada Tuhan.” Dalam prosesnya, semangat “rasionalisasi” dan “intelektualisasi” itu kemudian memunculkan penilaian bahwa hal-hal duniawi dirasakan lebih penting dan tak cocok lagi dengan hal-hal religius. Maka agama pun akhirnya dicampakkan.

Žižek memandang proses tersebut terjadi dalam dua fase, atau—dalam istilah Žižek—dua “pasase”(“passages”) yang melibatkan dimensi “konten” (substansi) dan “forma” (bentuk): Pada pasase pertama, “konten” berubah, tetapi perubahan itu terjadi dalam “forma” lama—peri-kegiatan ekonomik mengedepan, tetapi signifikansinya tetap dimaknai dalam kerangka imperatif kesalehan religius. Pada pasase kedua, yang terjadi adalah murni perubahan “forma”—setelah peri-kegiatan ekonomik mengedepan, agama disisihkan begitu saja. Agama di sini hanya berperan sebagai semacam “katalis,” yang hadir untuk kemudian terusir, di persinggahan antara transubstansiasi dan transformasi, atau—dalam paparan Žižek—agama di sini berperan sebagai “vanishing mediator.”

Itukah yang terjadi di negeri kita saat ini? Sulit untuk memberikan jawaban pasti. “Indonesia ini luas, jumlah penduduknya besar, dan modus kehidupan masyarakatnya pun beragam,” kita katakan. Tetapi rasanya kita dapat menengarai kuatnya kecendrungan seperti itu, dan mengatakan bahwa, setidaknya, gejala-gejala transubstansiasi-transformasi peri-kehidupan (yang melibatkan aspek-aspek keberagamaan dan aspek-aspek perekonomian) itu, kini tampak tengah berlangsung dalam bentuk bertetarikannya wacana-wacana dan praktek-praktek dalam interrelasi sosial saat ini. Barangkali cukup aman untuk kita katakan bahwa, di negeri kita saat ini, pertarungan antara imperatif-deontologis “moralitas keberagamaan” dengan keniscayaan-material “pragmatisme ekonomik” masih belum selesai.

Setidaknya, pertarungan itu belum selesai bagi Syahrini. Bagi sebagian orang, barangkali, Syahrini akan selalu “dikutuk” untuk menjadi “Puteri Duyung,” sesosok “makhluk jadi-jadian” yang alim-alim-kenes, persilangan antara “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget”: separuh “sosok”-nya adalah tubuh puteri cantik yang beraura magis (etika, moralitas, keberagamaan, dst.), separuhnya lagi adalah tubuh ikan yang bau amis (hasrat duniawi, uang, “material girl,” dst.). Tetapi “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget” boleh jadi hanya tampak mesra di permukaan. Di dasar dan kedalaman, yang biasanya merupakan tempat yang lebih cocok untuk bersemayamnya konflik, bukan tidak mungkin terdapat pula pergulatan—yang memeram kagalauan tersendiri—untuk sebuah metamorfosis: kerinduan untuk menjadi sesosok “princess” yang “sesungguhnya.”

Berikut ini kita simak “resolusi antigalau” dari Syahrini—kita tafsirkan sebagai respon subjektif terhadap pertarungan itu—yang dapat kita tuai dari kolase petikan-petikan lirik beberapa lagunya (dengan sedikit bantuan dari interpretasi etika Lacanian):

Dalam “Tatapan Cinta,” Syahrini berkata, “Cinta… Mengapa kau siksa aku, saat hidupku baik-baik saja? Ku hanya inginkan satu cinta. Hindarkanlah aku.” Neurosis: Ada sedikit histeria, ada sedikit paranoia. Ada sedikit halusinasi, ada sedikit delirium. Apa yang membuat Syahrini begitu galau sampai-sampai Syahrini meratapi “kenyataan” bahwa “cinta” yang dia katakan, “kau siksa aku,” itu, juga sekaligus sebagai “cinta” yang dia “inginkan”? “Barred subject”: Syahrini terbelah—separuh berada di dalam alam-bawah-sadar, separuh lagi di dalam kesadaran. Dan “cinta,” yang dipanggil-panggil oleh Syahrini itu, boleh jadi adalah dua “objek-hasrat” yang berbeda, yang dikira identik oleh Syahrini. Kita simak lagi “ratapan” Syahrini tadi berikut ini, kali ini dengan menambahkan tafsiran tengil kita yang dicantumkan dalam tanda kurung-siku:

“Cinta… [Uang…] Mengapa kau siksa aku [‘…sampai aku harus pingsan, segala’], saat hidupku baik-baik saja [‘—Dulu aku hanya seorang gadis lugu dari Bogor. Hidupku sederhana, tapi bahagia’]? Ku hanya inginkan satu cinta [kebahagiaan—apa pun itu, definisinya]. [‘Tuhan, tolong…’] Hindarkanlah aku [‘…dari karir yang membunuh kehidupan pribadiku, dari sorotan kamera dan kilatan lampu blitz para paparazzi yang usil dan menggangu itu, dari olok-olok para presenter acara infotainment yang mulutnya bawel-bawel itu, dari tuntutan berat para produser yang sok ngatur-ngatur itu, dari tudingan masyarakat yang sok benar-sendiri dan sering tak berperasaan itu—sampai bikin black-campaign pakai bilang aku lady-escort, segala…’].”

Kemudian, dalam “Tak Memilih,” Syahrini berkata, “Ku harus lupakan; ku harus tinggalkan; ku harus menghapus semua duka yang telah kau beri—di akhir cerita kita…” Apakah gerangan, sebenarnya, “duka yang telah kau beri” itu? Apakah “cinta” memberi Syahrini “duka”? Tetapi “duka” adalah reaksi subjektif Syahrini. Syahrini menegaskan, “ku harus…”—dia semakin sadar akan dirinya sebagai Syahrini yang berhadapan dengan “bukan Syahrini.” Syahrini tengah menatap cermin. Dia melihat gambaran dirinya yang sedang “berduka.” Dan sebagaimana layaknya dalam cermin, logika yang berlaku adalah logika kebalikan. “Castration”: “duka yang kau beri” adalah “kebahagiaan yang kau rampas dariku.”

Tetapi “kebahagiaan” juga adalah reaksi subjektif Syahrini. Syahrini telah mengira bahwa “sesuatu” akan mengembalikan “cinta” yang dia kira dulu dia “miliki”—“saat hidupku baik-baik saja”—namun kini dia sadar bahwa baik “cinta yang terampas dariku” oleh “sesuatu,” maupun “sesuatu” itu sendiri, adalah hasrat dari “Yang Lain.” Maka Syahrini merasa yakin, “ku harus lupakan; ku harus tinggalkan; ku harus menghapus…”—“cinta” yang “terampas dariku,” kemudian, Syahrini tegaskan sebagai “tiada.” “Traversing the fantasy”: “objek-hasrat yang hilang” sebenarnya tak pernah hilang, karena tak pernah ada. Syahrini pun menyimpulkan, “di akhir cerita…”—pergulatan itu terlewati. Dia tidak lagi berbicara “kau” dan “aku,” tetapi “kita”: Syahrini berdamai dengan “Yang Lain.” Sebagai seorang muslimah, Syahrini berada selangkah lagi ke arah doa yang “benar-benar doa.”

Maka, “akhirnya,” dalam “Ya Robbi,” Syahrini berkata, “Ya, Allah, tabahkan diri; kuatkan iman—kuatkan iman,” serta dalam “Taubatlah Taubat” (dan dua kata “taubat” di sini tentu saja merupakan repetisi, bukan berarti perintah taubat kepada taubat itu sendiri), Syahrini berkata, “Jangan terbuai; jangan terlena. Jangan terbuai, dan sadarilah.” Syahrini tidak lagi memohon untuk “dihindarkan” dari realitas yang “menyiksa,” karena realitas yang “menyiksa” adalah realitas yang sama yang juga menjanjikan “sesuatu,” sehingga dapat membuatnya “terbuai” dan “terlena.” “Jouissance”: “Akan kunikmati kegalauanku.” Syahrini berfokus kepada “kesadaran,” kepada “ketabahan” dan “kekuatan iman” di dalam “diri”-nya. Persoalannya adalah, bahwa doa Syahrini yang meminta “ditabahkan diri” dan “dikuatkan iman” itu sendiri menunjukkan bahwa “diri” bisa saja menjadi tidak “tabah,” dan “iman” menjadi tidak “kuat.” Semakin bertumbuh, “kesadaran,” semakin besar, peluang bagi Syahrini untuk “menyadari” bahwa akan selalu ada “sesuatu” yang membuat “diri”-nya “terbuai” dan “terlena.”

Namun demikian, barangkali, sebenarnya tidaklah terlalu buruk bila Syahrini kemudian menjadi “terbuai” atau “terlena” oleh “sesuatu.” Boleh jadi Syahrini malah akan tambah “sukses”—meskipun Syahrini mungkin akan semakin rentan terhadap galau: Akan semakin banyak orang yang melancarkan “black-campaign” tentangnya, akan semakin ketat jadwal pentasnya (yang berakibat meningkatnya peluang timbulnya kondisi traumatik yang memungkinkan Syahrini untuk pingsan), atau mungkin akan lebih sering dalam setahun Syahrini harus menginap beberapa hari di rumah sakit karena terserang tifus—lalu tiba-tiba berat badannya bertambah dalam masa pemulihan. Yang akan menjadi sangat buruk adalah bila masyarakat ikut-ikutan “terbuai” dan “terlena” oleh “sesuatu.” Dan yang dimaksudkan dengan “masyarakat” di sini adalah masyarakat sebagai sebuah kesatuan struktural, serta “sesuatu” di sini adalah peri-kehidupan materialistik, yang beroperasi di bawah sistem perekonomian libidinal-kapitalistik, dalam setting kekarut-marutan institusional-kultural sistem politik dan hukum, seperti halnya di negeri kita saat ini—sebuah arus besar yang sepertinya pratiquement menjadi “ideologi dominan.”

“Resolusi antigalau”-nya Syahrini adalah sebuah pertaruhan eksistensial: Bila berhasil, ia barangkali akan menjadi apa yang dikatakan oleh Roberto Unger sebagai “kapabilitas negatif” (“negative capability”), yang dalam paparan Unger berarti, kira-kira, transendensi peran keagenan-sosial, kemampuan pemberdayaan-diri, yang melampaui keterdampakan oleh struktur—atau, kapasitas subjek yang tidak tereduksikan ke dalam kepatuhan atau penentangan semata. Sebaliknya, bila gagal, ia tampaknya akan menjadi apa yang dikatakan oleh Žižek sebagai “disidentifikasi ideologis” (“ideological disidentification”), yang barangkali dapat dijelaskan begini: Sebuah ideologi dominan selalu memberikan keleluasaan kepada subjek-subjeknya untuk seolah-olah bergerak dalam kendalinya sendiri, menjaga jarak, dan bahkan mungkin mendemonstrasikan penentangan terhadap garis-garis haluan eksplisit yang diresepkan oleh ideologi dominan tersebut; namun demikian, pada akhirnya, totalitas praktek yang dijalani oleh si subjek akan tetap mengukuhkan dominasi dari si ideologi itu. Subjek yang berperilaku dalam bingkai diskursif inilah yang dikatakan oleh Žižek sebagai melakukan “disidentifikasi ideologis.”

Telah kita lihat konsekuensi dari pertaruhan “resolusi antigalau” ini bagi teks Syahrini dalam interpretasi kita atas wajah publiknya sebagai sosok-khalayak. Bagaimana hal itu lebih lanjut akan berdampak pada kehidupan pribadi Syahrini, tidak perlulah dijelaskan di sini. Bagaimanapun, kehidupan pribadi Syahrini adalah milik Syahrini sendiri.

Yang lebih patut untuk menjadi concern kita, tentunya, adalah—seperti yang kita simak sejauh ini di sini—bagaimana fenomena Syahrini ini menjadi penunjuk kepada “pergulatan batin-struktural di dalam peri-kehidupan sosial” masyarakat kita saat ini—kalau saja boleh, frase demikian dipandang bermakna. Sekurang-kurangnya, pernyataan yang dikemukakan oleh Hasyim Muzadi baru-baru ini, menunjukkan hal itu. Banyak hal telah kehilangan substansinya, kata Pak Hasyim: “Ekonomi kehilangan kemakmuran; politik kehilangan amanah; pendidikan kehilangan karakter; bahkan agama pun kehilangan etika,” katanya. Pertemuan para tokoh lintas agama beberapa waktu lalu, yang kemudian melahirkan deklarasi bersama sebagai sikap resistensi moral mereka terhadap “kenyataan buruk” dalam berbagai persoalan yang menjadi perhatian dan topik kritik berbagai kalangan belakangan ini, juga menyuarakan concern yang sama. Dan sudah bukan lagi berita bila persoalan korupsi menjadi salah satu isu penting (atau bahkan mungkin terpenting) dalam pernyataan sikap mereka itu.

Pertaruhan yang lebih menentukan, terkait “pergulatan batin-struktural” seperti yang dikemukakan di atas, barangkali, adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika, dalam sebuah pidatonya beberapa waktu lalu, Pak SBY mengatakan bahwa ia akan “berdiri di depan,” untuk memimpin “jihad melawan korupsi.” Pak SBY tentunya tidak memilih kata “jihad,” dalam pernyataannya itu, dengan membuat daftar kata yang disalin dari tesaurus, mengurutkannya, lalu memilih salah satunya dengan melempar dadu. Kata “jihad”—barangkali terminologi paling “berat” dalam kehidupan keberagamaan—tentu adalah pilihan kata yang diputuskan dengan kesadaran. Sesadar-sadarnya kesadaran. Kita dapat menangkap implikasi dari tafsir atas pilihan kata tersebut dalam, setidaknya, dua hal: Pertama, bahwa Pak SBY mengakui, betapa korupsi saat ini telah menjadi fakta yang lugas, keras menohok kesadaran. Kedua: bahwa Pak SBY sadar, betapa korupsi saat ini sudah bukan lagi sekadar problem penegakan hukum; tetapi lebih mendasar lagi, yaitu bahwa persoalan korupsi telah mengusik atau bahkan mengancam keyakinan beragama, beretika, bermoralitas, bernurani—hakikat paling inti dari kehidupan bermasyarakat, filosofi yang bahkan menjadi roh yang, dengannya, segala skriptur dan prosedur hukum dilahirkan dan dihidupkan.

Konsekuensinya, argumen yang sering dikemukakan oleh para politisi yang menjadi “tameng” bagi posisi Pak SBY dari kritik publik, dalam isu pemberantasan korupsi, yaitu bahwa sikap terbaik bagi Pak SBY sebagai Presiden Republik Indonesia, dalam pemberantasan korupsi, adalah dengan “menyerahkan semuanya kepada mekanisme hukum, menghormati hukum dengan tidak melakukan ‘intervensi,’” serta bahwa Pak SBY telah menyelenggarakan “upaya sungguh-sungguh” dalam isu pemberantasan korupsi tersebut, tampaknya membutuhkah dekonstruksi—karena argumen itu menjadi tidak lagi klop dengan tafsir atas “jihad melawan korupsi”-nya Pak SBY.

“Jihad” itu berbeda dengan “ijtihad” atau “mujahadah,” meskipun semua kata itu kurang lebih mengandung pengertian yang sama, yaitu “konsistensi” dan “upaya sungguh-sunggguh.” Inti dari “jihad” adalah “melawan struktur” dan “pasang badan.” Dengan demikian, retorika “jihad melawan korupsi”-nya Pak SBY dapat diterima sebagai bermakna, hanya bila retorika itu dibuktikan sebagai sebuah “kapabilitas negatif” yang mempersetankan semua biaya politis yang menyangkut jabatan Pak SBY sebagai Presiden, dan posisi-tawar partai-partai politik pendukung Pak SBY sebagai kekuatan transaksional dalam percaturan pertarungan kekuasaan. Bila tidak, retorika tersebut dengan mudah akan jatuh ke dalam “disidentifikasi ideologis.”

Yang sangat buruk dari “disidentifikasi ideologis,” lebih buruk dari sekadar “pencitraan” (atau “pencitraan disinformatif,” yaitu memberi kemasan citra yang baik kepada konten yang buruk), adalah bahwa bila dengan “pencitraan,” realitas buruk—berurat-berakarnya praktek korupsi, misalnya, dalam hal ini—menjadi seolah tertutupi, maka dengan “disidentifikasi ideologis,” realitas buruk itu menjadi seolah termaafkan, atau bahkan terabsahkan. Bandingkan saja, misalnya, mana yang lebih buruk: laporan keuangan yang penuh dengan manipulasi, atau laporan keuangan yang sama, kali ini dengan kualifikasi audit yang beropini “wajar” untuk itu?

Dan biar adil, bidik-telisik sikap kritis kita juga harus kita tujukan kepada para politisi dari kubu yang menjadi lawan politik dari kubu Pak SBY—baik itu “lawan yang terang-terangan” maupun “lawan yang malu-malu kucing” (atau mungkin lebih pas kalau kita katakan, “lawan yang malu-malu macan-tutul”). Secara konvensional, mereka biasanya digolongkan ke dalam kekuatan politik institusional non-penguasa. Jadi barangkali bolehlah kepada mereka kita terapkan imperatif-kriterial yang sedikit lebih ringan dalam hal pertaruhan “kapabilitas negatif” dan “disidentifikasi ideologis.”

Segala kritik dan langkah politis mereka yang ditujukan untuk “menyerang” Pak SBY—dengan retorika “amar ma’ruf, nahyi munkar,” “anti-neoliberalisme,” “pembelaan terhadap wong cilik,” “populisme perekonomian,” “suara hati nurani,” atau apa pun—harus kita terima sebagai kontrol politis yang baik dan perlu, sebagai aktualisasi awal dan minimal dari “kapabilitas negatif,” bahkan bila tujuan sejatinya di balik semua itu adalah tujuan pragmatis menaikkan pamor mereka, sekaligus merebut posisi hegemonik dalam percaturan wacana, atau malah menggeser dan mengambil-alih kekuasaan riil kendali atas Negara. Itu lumrah dalam politik. Langkah-langkah mereka itu kita katakan jatuh ke dalam “disidentifikasi ideologis” apabila peningkatan posisi-tawar mereka, sebagai raihan dari upaya-upaya itu, mereka gunakan sebagai “alat tukar” dalam bertransaksi politis yang bersifat, misalnya, bagi-bagi jatah kekuasaan semata, atau lebih buruk lagi, misalnya, saling-menutupi praktek-praktek kotor yang sama-sama mereka lakukan, dengan memanfaatkan keterpaparan posisi lawan tentang hal itu sebagai kartu truf yang masing-masing mereka pegang.

Meskipun demikian, sedikit catatan mengenai partai-partai politik—semua partai politik—sepertinya perlu kita tambahkan di sini. Bahwa sistem politik kita saat ini—sistem kepartaian, pemilihan umum (pemilu), susunan dan kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara, dan seterusnya—cenderung memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada partai politik. Paradoksnya adalah, bahwa kekuasaan yang terlalu besar itu bukannya membuat partai politik menjadi kuat secara inistitusional, tetapi malah rapuh, karena hal itu membuat partai politik yang hakikat das-Sollen-nya adalah organisasi massa berbasis kader dan berkarakter bottom-up menjadi lebih mirip dalam realitas das-Sein-nya dengan korporasi berbasis elitisme hirarkis dan berkarakter top-down. Dan distribusi kuasa menjadi bias kepada para elit partai. Maka di dalam sistem seperti ini, rekrutmen politik menjadi sebuah proses sirkulasi kuasa yang berputar di kalangan elit partai, acap lepas dari proses intermediasi aspirasi bagi kepentingan konstituensi.

Yang disebut “pimpinan partai” biasanya adalah kader-kader pilihan para elit yang “dipersiapkan” untuk maju dalam pertarungan kuasa, bukan manajer atau administrator yang memfasilitasi langkah maju kader-kader terbaik. Sedangkan yang sering disebut “kader-kader terbaik” hampir selalu identik dengan “les-élites-du-dessus partai,” yang nyaris selalu mirip para avonturir Machiavellian yang tengah menggalang dukungan bagi diri mereka (dan hampir selalu dapat dipastikan: mereka harus membidik posisi-posisi strategis di dalam partai terlebih dahulu sebagai sasaran antara)—ketimbang para politisi yang melangkah dari bawah, dan membangun reputasinya bertahun-tahun dengan berpeluh-peluh bersalaman dengan kaum buruh, petani, nelayan, atau pedagang kaki lima, menyusun petisi-petisi yang memperjuangkan kepentingan mereka.

Politik biaya-tinggi adalah realitas yang diproduksi oleh sistem seperti itu. Karena, kandidat pejabat publik yang disodorkan oleh partai politik biasanya mempunyai karakter yang khas: laku di kalangan elit partai, tapi tidak laku di kalangan pemilih. Untuk mencapai target jual, dengan demikian, dibutuhkan upaya pemasaran yang ekstra-agresif. Dan dibutuhkan dana yang besar bahkan “sekadar” untuk membuat kandidat yang disodorkan itu menjadi dikenal. Efek subsider dari kenyataan ini adalah, rekrutmen para artis ke dalam partai politik, atau ke sisi kandidat yang didorong oleh partai politik untuk maju dalam pemilu—yang tentunya dipandang sebagai pilihan strategi yang masuk akal, karena hal itu dianggap dapat menolong untuk mendongkrak popularitas partai politik atau kandidat peserta pemilu—menjadi gejala yang marak. Strategi pamungkas yang sering dianggap paling mangkus, tentu saja, adalah politik-uang. Dan bila hal ini terjadi, rusaklah satu simpul tatanan politik, yaitu otentisitas aspirasi. Tapi kerusakan tidak berhenti di situ saja. Distorsi terhadap otentisitas aspirasi adalah disfungsi fatal yang memberikan “umpan-balik positif” bagi degenerasi tatanan politik secara keseluruhan.

Di percabangan sistemik lain, kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki partai-partai politik, serta politik biaya-tinggi sebagai implikasinya, telah menempatkan partai-partai politik pada posisinya sebagai “loci standorum” yang sangat rentan terhadap intensi dan inisiasi praktek-praktek korupsi. Singkatnya: Partai sangat butuh uang. Sumber-sumber pembiayaan lazim tak bisa diandalkan. (Dapatkah iuran dari para anggota di ujung-bawah hirarki dan sumbangan dari para simpatisan di akar-rumput—yang potensinya sangat besar seandainya saja loyalitas emosional-ideologis itu masih ada—diharapkan menjadi sumber pendanaan yang memadai? Tapi, “Buat apa mati-matian berkorban untuk partai, kalau yang diuntungkan cuma para elitnya saja?” Maka untuk menyebar spanduk, baliho, atau stiker saja, “Mereka suka menagih, ‘Pak/Bu, uang-kopinya, dong.’”) Sementara, “Pemilu makin hari makin dekat, makin dekat, Saudara-saudara!” Senyampang semua itu, “keren”-nya, partai mempunyai “tangan sakti”—pejabat-pejabat publik beserta kebijakan-kebijakan publik di bawah kuasa-kelola mereka “berada di dalam genggamannya” (sebagian kendalinya, setidaknya). Lalu, “Sst! Ini gosip resmi: Akan ada proyek besar. Proyek besar, Saudara-saudara! Trilyunan!”— …

Menilik kondisi seperti itu, berprasangka buruk kepada para politisi rasanya memang pantas difatwakan wajib. Dan di dalam pertaruhan di antara “kapabilitas negatif” dengan “disidentifikasi ideologis,” retorika mereka patut dicurigai lebih berat bertendensi akan jatuh ke dalam hal kedua. Sistem yang ada, barangkali by design, tampaknya cenderung untuk melanggengkan status quo. Logikanya adalah, “dapatkah diharapkan terjadinya perubahan mendasar yang muncul dari tangan para politisi, khususnya para elit partai-partai politik itu, bila perubahan mendasar tersebut berarti pemangkasan kekuasaan mereka, ‘amputasi’ terhadap tangan mereka sendiri?”

Bukan saja menyedihkan, tetapi juga mengerikan, sebenarnya, bila kondisi seperti saat ini terus berlanjut. Jalinan proses-proses distribusi kuasa politik dan ekonomi yang bertemali, dengan bias kepentingan para elit, rasanya patut dipersalahkan untuk fakta yang menyayat nurani saat ini: bahwa pangsa terbesar dari nilai kekayaan pribadi di negeri kita sekarang terakumulasi di sepangsa kecil orang-orang atau kelompok. Dan lebih mengerikan lagi, ternyata pangsa terbesar dari nilai kekayaan yang terakumulasi di situ itu adalah dalam bentuk penguasaan atas tanah. Tidakkah Kasus Mesuji dan kasus-kasus sengketa tanah di wilayah-wilayah lain, yang melibatkan orang banyak berhadapan dengan korporasi yang ditamengi oleh Negara, tersebar di berbagai tempat di negeri kita, terdengar bak teriakan suara sirine yang meraung, melengking nyaring?

Ada masalah sistemik dalam tata-kelola struktural kita; itu satu hal. Namun demikian, andaikanlah masalah itu teratasi, dan perbaikan mendasar yang “sesuatu banget” terhadap institusi-institusi serta budaya politik dan hukum terjadi, tetapi perbaikan itu masih berlangsung dalam bingkai-ideologis kapitalisme—akankah semuanya kemudian menjadi “baik-baik saja,” sehingga kita dapat bernapas lega dan berkata, “alhamdulillah yah”? Atau barangkali kita harus mengubah pertanyaannya menjadi begini: Apakah sebuah keniscayaan bahwa kita harus memilih secara hitam-putih, dengan logika “exclusive-or,” salah satu pihak dalam diskursus kapitalisme versus sosialisme? Itu adalah pertanyaan besar yang masih merupakan isu dalam sebuah perdebatan besar, tentu saja. Dan barangkali akan tetap menjadi isu besar sepanjang sejarah.

Žižek, misalnya, tampaknya adalah salah seorang yang tidak percaya akan perbaikan sistemik apapun, selama jantung kapitalisme masih berdetak. Krisis ekonomi yang datang berulang, dan kian hari kian kompleks itu (seperti yang sampai saat ini masih menggantung di Eropa dan Amerika Serikat), bagi Žižek, adalah bukti bahwa kapitalisme sudah tak dapat lagi mempertahankan argumen-argumennya. Salah satu versi Žižek untuk kata-kata Marx dan Engels yang tersohor, yaitu bahwa “kalangan borjuis”—kita asumsikan saja, itu identik dengan kapitalisme itu sendiri—“menciptakan bagi diri mereka, para penggali kuburnya sendiri” (“produziert vor allem ihren eigen Totengräber”), tampaknya adalah alegori unyu yang kerap diceritakannya tentang adegan dalam filem-filem kartun: Seekor kucing (barangkali bisa juga kita ganti dengan seekor macan tutul) berlari kencang di atas sebuah dermaga, bablas hingga ke ujungnya. Saking kencangnya berlari, ia tidak menyadari bahwa landasan yang dipijaknya sudah habis, dan kini ia menggantung di udara. Ia tidak jatuh, semata karena logika filem-kartun: bahwa ia belum melihat ke bawah. Nah, kata Žižek, si Kucing (atau si Macan Tutul) itu adalah kapitalisme. “Tugas kita sekarang,” kata Žižek pada sebuah kesempatan, “hanyalah memaksanya untuk melihat ke bawah.”

Hanya saja, saran Žižek tentang cara memaksa si Kucing (atau si Macan Tutul) itu untuk melihat ke bawah barangkali terdengar agak mengerikan. Bagi Žižek yang seorang Hegelian tulen, sekaligus juga, mungkin, seorang Deleuzean, dialektika antara “tak ada yang baru di bawah matahari” dengan “pembaruan dan kebaruan berlangsung setiap saat” adalah bahwa, “hal-hal ‘yang benar-benar Baru’ hanya dimungkinkan oleh pengulangan.” Dan Žižek pun acap berbicara dengan khidmat tentang Revolusi Rusia, tentang Revolusi Perancis, tentang “keilahian teror.”

“Himbauan” Žižek untuk mengulang revolusi sosial—yang berkali-kali gagal di masa lalu karena, “faktor-faktor sejarah mengkhianatinya”—barangkali membikin alergi sebagian besar kita. Tetapi kelirukah apa yang dikatakannya tentang keniscayaan “keruntuhan kapitalisme,” seperti Marx juga keliru dalam beberapa hal tentang tesis yang satu itu? Žižek adalah seorang ateis, tapi kadang-kadang ia terdengar mirip dengan seorang agamawan yang paling konservatif. Misalnya, ketika ia mengatakan bahwa semangat egalitarian yang dibawa oleh agama (Kristen, dalam hal ini) adalah jawaban bagi, katakanlah, “kegalauan struktural” sebagai gejala kronis dari “solidaritas semu” yang dikhotbahkan demokrasi liberal. Dapatkah agama atau semangat keberagamaan menjadi pendorong perubahan? Bila ya, dalam bentuk yang seperti apa? Bagaimana hal itu bisa direalisasikan atau diaktualisasikan di negeri kita, bila kecenderungannya di sini saat ini adalah bahwa semangat keberagamaan sering terjebak dalam ritualisme dan simbol-simbol?

Biarkanlah pertanyaan-pertanyaan besar itu tetap menjadi porsi para tokoh yang mempunyai kapasitas untuk menjawabnya. Kita sekarang, di sini, mempunyai pertanyaan yang lebih sederhana, tetapi yang tak kalah terasa “mengganggu” untuk dijawab: Bagaimana nasib konstruksi penafsiaran kita atas teks Syahrini tentang “penyematan ‘alhamdulillah yah’ kepada ‘sesuatu banget’” itu?

Seperti di saat-saat lain, ketika kita dihantui oleh berbagai pertanyaan dan kita menduga-duga jawaban tanpa sekalipun merasa yakin akan jawaban yang kita kemukakan, barangkali sebaiknya kita sekali lagi mencoba bertanya kepada rumput yang bergoyang. —Meskipun, jangan-jangan, kali ini rumput yang bergoyang pun mulai bosan atau enggan dibombardir terus dengan pertanyaan-pertanyaan, sehingga akhirnya memberikan jawaban seperti yang dituliskan Carl Sandburg dalam petikan puisinya: “Pile the bodies high at Austerlitz and Waterloo. Shovel them under and let me work— I am the grass; I cover all.”

Tetapi barangkali memang itu yang kita butuhkan: membiarkan konstruksi penafsiran kita itu terkubur di bawah bentangan rumput ke-“hijau”-an kita. Barangkali kita memang sebaiknya merobohkannya, dan dengan itu, kita menjadikannya sama sementaranya dengan kehadiran kita di dunia—seperti pahatan mentega yak Tibet, yang meleleh-melekang di bawah sinar matahari terang sesaat setelah terpasang; seperti lukisan pasir di hogan Navajo, yang berterbang-pencar disapu angin memancar sesaat setelah terhampar; seperti sebuah Fender Stratocaster putih, yang hangus dibakar Jimi Hendrix yang seolah tak letih biarpun peluh meretih, sesaat setelah penampilannya di sebuah konser di London, Juni 1967, ketika psychedelic rock menderu-menggeratih.

Kemudian mar-ki-mar: mari kita markakan kejadian ini sebagai satu mata-rantai pada Markov-chain sebuah alur stokastik sejarah keculunan yang akan membawa kita ke mata-rantai berikutnya, di mana, siapa tahu, kita akan dipertemukan dengan wawasan bermakna yang tak terduga, biarpun itu setipis marquisette, atau sesamar kepak camar dalam temaram suluh damar. —Dan biarpun barangkali Žižek akan menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, “Dasar antek-antek obscurantists!”

Dan marilah kita berlindung kepada Badiou dari kecaman Žižek yang menusuk. Meskipun semua ini tentu saja tidak layak disebut sebagai bagian dari apa yang oleh Badiou dikatakan sebagai upaya “memberi putusan atas apa yang tak dapat diputuskan,” setidaknya barangkali ini adalah bagian dari apa yang oleh Badiou dikatakan sebagai upaya “memberi nama atas apa yang tak dapat dipahami.” —Atau sebagai geliat resah, jawaban atas “diam yang merisaukan” yang timbul dari apa yang dikatakan oleh Ludwig von Wittgenstein: “Apa yang memang dapat dikatakan, harus dapat dikatakan dengan jelas. Dan tatkala kita tak dapat berkata-kata, di situ kita harus diam.”

Sebagai the last resort, bagaimana kalau kita serahkan pertanyaan-pertanyaan kita tadi itu sebagai pe-er kepada Syahrini sendiri yang memulai semua kegalauan ini? Tapi kemungkinan besar, sih, itu akan dijawab oleh Syahrini dengan, “Plis, dong, ah. Jangan lebay, yah.” Dan memang beralasan bagi Syahrini untuk menjawab seperti itu. Yang terpikirkan oleh Syahrini barangkali sederhana saja: Sementara dia merasa bahwa dia adalah seorang muslimah yang taat, dia juga ingin menjadi seorang artis. —Sebuah keinginan yang tentu saja absah, tak pernah kalah absahnya dengan keinginan setiap kita akan ketentraman rohani dan penghidupan yang layak.

Akhir-akhir ini kita sering ikut-ikutan mengucapkan kata-kata “alhamdulillah yah” dan “sesuatu banget.” Sebagian kita bahkan mengatakannya sembari menirukan mimik dan intonasi Syahrini sepersis mungkin. Betapapun menggelikan jadinya. Kita lakukan itu, kadang untuk menunjukkan bahwa kita tak ketinggalan tren informasi; kadang untuk sekadar bergaya atau ber-unyu-ria; kadang untuk mencemooh, mengejek, atau bahkan mencela. Di balik itu, faktanya adalah bahwa kata-kata sederhana dari Syahrini itu telah membuat kita “tersihir.” Dan jangan-jangan, diam-diam kita mengamini semiotika kedua ungkapan itu dengan segenap hati.

Kalau kita sampai sedemikian “tersihir,” dan alih-alih berusaha untuk mengusir “sihir Syahrini” itu, kita malah “menahbiskannya” dalam hati, apa, sih, yang membikin kita begitu beguiled and bowled-over seperti itu? Entahlah. Tapi jawabannya barangkali, kali ini, dapat kita temukan bukan pada rumput yang bergoyang, melainkan pada jambul Syahrini—bukan “Jambul Khatulistiwa,” yang barangkali lebih fenomenal (dan lebih artistik?), tetapi “Jambul Terowongan Casablanca.”

Siapa berani bertaruh bahwa para fashion-pundits, les connaisseurs de mode, akan menganggap “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini itu sebagai sebuah mahakarya seni? —Tapi kenapa para pewarta infotainment tetap tampak antusias menanyakan perihal jambul Syahrini yang satu itu kepada sang Empunya? (Dan, mengingat tingginya rating komersial acara infotainment di dunia pertelevisian kita, rasanya kita dapat mengatakan bahwa antusiasme para pewarta infotainment itu juga mewakili keingintahuan publik.) Jawabannya: Mungkin itu karena “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini mempunyai kemiripan karakter dengan filem Casablanca.

Filem garapan sutradara Michael Curtiz itu telah menjadi bahan kajian dalam studi kasus yang cukup serius yang dipresentasikan oleh beberapa teoretisi. —Oleh Richard Maltby, misalnya, yang menyoroti adegan “tiga-setengah detik yang hilang,” seperti yang juga dikaji kembali oleh Žižek ketika ia mengulas konsep “ego ideal” (“Idealich”) dan “superego” (“Überich”) dalam pskioanalisis Lacanian. Adegan yang menjadi sorotan adalah ketika tokoh Ilsa Lund (diperankan Ingrid Bergman) dan Richard Blaine (diperankan Humphrey Bogart) terlibat dalam sebuah “le conflit amoureux,” di kamar Rick, ketika Ilsa hendak mengambil surat transit untuk keluar dari Casablanca. Pertengkaran/kasih-mesra mereka kemudian dipotong oleh jeda tiga-setengah detik yang diisi dengan visualisasi menara bandara dengan lampu suarnya yang berputar memindai. Ketika rangkaian gambar tersebut berlalu, “cekcok asmara” Rick–Ilsa tampaknya telah melawati fase resolusi.

Jeda-adegan itu—seperti yang dipaparkan oleh Žižek—boleh jadi hanyalah taktik klise sebagai sebuah bentuk self-censorship. Namun demikian, apa yang muncul sebagai efek yang ditimbulkannya menjadi sebuah teka-teki, sebuah ambiguitas diegesis, karena fakta nonkonformalitas waktu antara dunia nyata dengan dunia filem (apakah 3½ detik itu waktu nyata? ataukah waktu diegetik saja, yang berarti mewakili lalu-waktu yang lebih panjang?), kemudian, memunculkan pesan cerita yang membuka peluang bagi penafsiran ganda—dan tafsir-tafsir tersebut bisa sekaligus valid, kedua-duanya. Problem hermeunetik-semiologis ini mungkin tidak pernah disadari oleh para pembuat filem Casablanca. Dan secara keseluruhan, filem Casablanca sendiri bukanlah filem yang mendapat apresiasi tinggi dari para pengamat filem.

Interpretasi atas filem Casablanca yang barangkali lebih relevan dengan kasus “Jambul Terowongan Casablanca”-nya Syahrini datang dari ulasan Umberto Eco. Menurut Eco, filem Casablanca menjadi menarik (dan populer, tentu saja) memang bukan karena sofistikasi artistik yang lahir dari deliberasi proses penggarapan yang cermat serta kualitas kepakaran yang mumpuni, tetapi malah sebaliknya, yaitu karena dalam filem itu, kepiawaian artistik tersebut justru absen. Absennya kepiawaian artistik itulah yang membuat serombongan hal klise menyelinap untuk kemudian menyeruak. Dan anehnya, hal itu malah menguatkan si filem. “Ketika segala archetypes,” kata Eco, “tanpa malu-malu masuk-menggerutus, kita menyentuh kedalaman ala Homer.” (Di sini, konsep “archetypes”– dan “the collective unconscious”-nya Jung, yang kita campakkan pada paragraf terdahulu dari tulisan ini, tampaknya sebaiknya kita pungut kembali.)

Untuk lebih lanjut memparafrase Eco: Satu dua hal klise sangat mungkin bisa menjadi dagelan. Tapi serombongan hal-hal klise? Itu mengusik relung batin kita—kemungkinan besar dengan tanpa kita sadari—karena kita merasakan, betapapun samar, bahwa betapa hal-hal klise itu berkongko sambil bermain pingpong, dalam sebuah acara, katakanlah, perayaan reuni “archetypes” di arena “the collective unconscious.” Yang senantiasa tinggal, membandel, tak-terhapuskan, dalam alam-bawah-sadar kita, jaringan makna primordial dalam bentuk relasi-relasi penanda yang tertulis sejak zaman-baheula-nya spesies manusia, dengan “acara reuni” itu, menjadi hadir-bagi-kita, bukan “sekadar” tinggal-di-dalam-kita: diam-diam kita dilempar mendekat ke arah “Yang Lain.”

Bila seluruh kisah keartisan Syahrini, teks Syahrini, dimampatkan ke dalam “Jambul Terowongan Casablanca”-nya, rasanya si Jambul tidak akan berkeberatan untuk memikul beban “tanggung-jawab semiologis” itu. Dengan permohonan maaf kepada (para) penata-rambut Syahrini, si Jambul sepertinya lebih pantas disebut sebagai sebuah produk craft ketimbang art (lebih karena konteks peruntukan-tampilnya—sebuah gala untuk perayaan ulang tahun sebuah stasiun televisi ketimbang sebuah pentas fashion per se—bukan karena kualitas artistiknya yang, barangkali, selalu saja dapat menjadi materi debat antara Rudy Hadisuwarno dengan Johnny Andrean).

Akan tetapi pandanglah konstruksi-geometris si Jambul, terutama irisan penampang-lintangnya. Ia adalah sebuah “mathematical attractor”: rambut Syahrini yang ditarik naik itu kemudian membentuk lengkungan melingkari ruang kosong—“sesuatu banget” yang hilang dan sekaligus tak pernah hilang karena tak pernah ada dan sekaligus selalu ada—ia mungkin adalah sebuah meta-penanda untuk “objet petit a”-nya Lacan, “sebab-objek dari hasrat.” Atau, ia mungkin juga sekaligus adalah sebuah meta-topeng untuk “le Symbolique”-nya Lacan, adalah sebuah medan repetisi kinesis dan drainase energi yang dapat dimaknai sebagai “naluri kembali-ke-ketiadaan,” dan yang dalam cermin wacana teologis mungkin dapat dimaknai sebagai kedamaian religius seperti terungkapkan dalam “alhamdulillah yah.” Semiotika dialektis Eros dan Thanatos—itulah barangkali yang ditampilkan oleh jambul “Terowongan Casablanca”-nya Syahrini.

Jambul-qua-jambul tidak berarti banyak dalam dunia tata-rambut serta fashion. Dan das-Jambul-an-sich (karena, rasanya, istilah “das-Büschel-an-sich” itu tidak bermakna) telah menjadi hal klise di dalam dirinya sendiri. Seperti itu juga, kiranya, fenomena-keartisan-Syahrini di dalam dirinya sendiri: setiap untaian jalinan “benang merah” dan “benang biru” yang bertemali merajut cerita “sensasi” Syahrini, pada dasarnya, adalah hal klise seklise-klisenya.

Kita kenal betul detak-degup hasrat yang menjadi irama alur-liku perjalanan para selebritas, tak terkecuali Syahrini, dalam upaya mereka menggapai hal-hal yang “sesuatu banget.” Pertunjukan utilisasi-eksplorasi-eksploitasi “erotic capital”; beragam “media stunt,” dari yang paling datar “business as usual” sampai yang paling melambung sensasional; serentetan jurus manajemen-peluang dan senarai strategi “market engagement”; dan sebagainya dan seterusnya, seakan dipaparkan secara beruntun langsung ke dalam palung terdalam alam-bawah-sadar kita, sehingga kita seolah dapat memahaminya tanpa ba-bi-bu, dan dapat mengkomunikasikannya tanpa ta-ti-tu, karena kita tahu-sama-tahu.

Demikian juga, kita memaklumi betapa para selebritas itu, sekali lagi: tanpa terkecuali Syahrini, bukanlah semata adalah (kebanyakan) para “socialites” yang serba-“glamour,” tetapi juga adalah para agen-sosial yang baik, yang tahu bagaimana berkompromi dengan norma sosial, seperti yang terlihat, misalnya, dalam referensi religius dari hampir semua mereka untuk segala hal-ihwal menyangkut states-of-affairs keartisan mereka, yang sering mereka kaitkan, entah sebagai ekspresi tulus entah sebagai sekadar praktek standar kehumasan, dengan ungkapan frase yang sudah menjadi hal klise, kepada “Yang di Atas.” Ungkapan “alhamdulillah yah”-nya Syahrini, tentu saja, tak lain adalah frase variannya.

Namun demikian, suka atau tidak suka, di dalam lubuk hati kita, rasanya kita harus jujur mengakui bahwa kesuksesan mereka memukau kita. —Meskipun keterpukauan kita itu kadang kita artikulasikan dengan hal-hal yang berbeda secara diametral: dengan puja atau cela. Dan kalau hal-hal klise itu sampai menebar medan keterpukauan seperti itu, apakah gerangan yang terjadi? Inilah barangkali jawabannya: Efek resonanasi. —Karena, hal-hal klise itu juga tertanam di dalam diri kita: sebagai hasrat, atau sebagai kerinduan akan ketentraman rohani. Betapapun kedua hal itu tidak selalu dapat berkoeksistensi dengan akur.

Bagaimanapun, kita hidup—seperti kata petikan sebuah puisi Rabindranath Tagore dalam terjemahan Hartojo Andangdjaja—“di balairung dunia”: sebuah gelanggang besar tempat “tangkai rumput yang sederhana itu, duduk sepermadani dengan sinar matahari dan bintang-bintang tengah malam.” Di atas dunia ini, hal-hal “sederhana,” yang menjadi motif eksistensial kita, seperti animo ketubuhan, hasrat duniawi, kebutuhan akan pemenuhan aktualisasi diri, keinginan akan kehidupan yang lebih baik, akan kesuksesan karir, akan status sosial, akan penghargaan, akan penghormatan, selalu harus “duduk” berapat, berdialog, berdebat, berselisih, bersitegang, bertenggang, berkompromi, berdamai, berangkulan, dengan “gemerlap-dan-kemilau” nilai-nilai etika, moralitas, dan agama.

Syahrini—atau lebih tepatnya barangkali bukan Syahrini, tetapi “Syahrini” (dalam tanda petik)—dengan kaftan, rok mini, “alhamdulillah yah,” “sesuatu banget,” dan seri jambulnya, dalam hal ini hanyalah lambang. Dan pribadi Syahrini bukanlah satu-satunya yang terujuk olehnya. Bahkan bukan pula semata begini: Syahrini adalah salah satu dari deretan selebritas kita yang harus berakrobat dengan “modus kaftan” dan “modus rok-mini” untuk tetap eksis; karenanya, para selebritas itu—dan hanya mereka sajalah yang—terhimpun menjadi satu entitas fenomenal yang terujuk oleh lambang itu. Bukan demikian, tampaknya.

Melainkan bahwa “Syahrini,” pada gilirannya, adalah dunia hiruk-pikuk dan riuh-rendah kita semua.